myCatalog

Sabtu, 03 Oktober 2020

TWISTED - EPILOG


∵ TWISTED ∵


|


|


|


|


Ratusan tahun berlalu, tak pernah lagi terdengar tentang keberadaan 'Penghisap darah' atau apapun mengenai mereka, entah memang keberadaan mereka memang tersembunyi, atau mereka memang sudah punah, atau memang Mansion Lee adalah penghisap darah terakhir di bumi Korea.

Namun ada sebuah dongeng yang diceritakan dari mulut ke mulut di sebuah desa kecil dekat dengan kaki gunung dan semakin lama cerita itu semakin berkembang dan terdengar hingga ke kota-kota lain bahkan kini cerita tersebut beredar dalam siaran-siaran radio dikota besar.

Adalah seorang vampire tampan yang begitu mencintai seorang manusia biasa, mereka hidup bersama tanpa saling melukai sama sekali.

Hingga suatu saat sang manusia semakin menua dan menua, sang vampire tak ingin menjadikan manusia itu menjadi monster seperti dirinya.

Setelah pasangan manusianya tewas termakan usia, sang vampire menelan vervains membunuh dirinya sendiri disebelah jasad kekasihnya sembari mengenggam erat jemari pasangannya.

Berharap dengan kematiannya mereka akan kembali bertemu dikehidupan selanjutnya bukan dengan perbedaan lagi namun sebagai sesama manusia.

"Aahhh aku sangat iri."

Suara seorang gadis yang menyahuti cerita didalam radio tersebut membuat beberapa teman sebayanya dalam bus sekolah terkekeh dan meledeknya. "Apa kau ingin memiliki kekasih seorang vampire? Ayolah tak ada vampire dijaman modern seperti saat ini."

Rengekan gadis itu menggundang tawa dari teman-temannya, sedangkan dikursi paling belakang seorang remaja pria berumur kurang lebih 13 tahun menutup kepala dan setengah wajahnya dengan hoodie mengeratkan earpod yang menempel di telinganya melantunkan lagu dari boyband favoritnya.

'Super Junior & EXO'

Bus sekolah berhenti dipemberhentian akhir, pria itu turun sambil menunduk memeriksa isi ponsel pintarnya yang trasparant dalam genggamannya. Dirinya sudah tiba di terminal akan kemana lagi dirinya setelah ini.

Ia membaca sekali lagi email yang didapatnya kemarin malam agar datang untuk mengikuti sebuah wawancara audisi secara langsung disebuah agensi besar. Beruntung ia berkata pada ibunya bahwa dirinya akan bermain kerumah temannya.

Remaja pria itu melangkah mencari bus lain menuju gedung agensi yang akan di datanginya, sepanjang perjalanan ia tertidur karena lelah harus melakukan perjalanan jauh setelah pulang dari sekolah.

Beruntung saja dirinya tidak melewatkan halte tempatnya harus turun, kaki panjangnya melangkah mencari nama sebuah agensi yang membalas email yang dikirimnya seminggu lalu saat mendaftar dan mengirimkan video audisi.

"SM Entertainment..." gumamnya sambil menatap sekeliling, sesekali membenahi letak kacamatanya diatas masker hitam yang digunakannya.

"Ah.. Disana.."

Remaja itu menyebrang dan memasuki gedung sambil membuka hoodie yang menutup kepalanya membiarkan surai kelamnya tertiup angin, kemudian ia memperlihatkan email yang didapat olehnya pada seorang Noona dimeja resepsionis yang berbentuk minimalis.

"Kau naik saja kelantai 3, disana banyak yang sama sepertimu."

"Terima kasih.."

Remaja itu membungkuk dan melangkah menuju tangga yang akan membawanya ke lantai 3 ia lebih memilih menggunakan tangga dari pada menggunakan lift. Kedua netra coklatnya tengah sibuk menatap interior dalam gedung yang sangat simpel namun terlihat futuristik tersebut.

Arsitek di tahun 2313 memang sangat hebat ia akui itu.

Saat dirinya tiba dilantai 3, sambil melihat sekeliling dengan perlahan ia melangkah menuju koridor yang dimaksud sambil membuka masker hitam yang menutup sebagian wajahnya sambil sesekali menunduk kembali menatap ponselnya.

Bugh..

"Maaf maaf.." Pemuda itu membungkuk dan meminta maaf namun pria dewasa yang ditabrak olehnya justru ikut membungkuk.

"Ah tidak-tidak, jangan meminta maaf. Apa kau datang untuk audisi?"

Pemuda itu mendongak dan menganggukkan kepalanya, ia melihat pria hadapannya tersenyum menghasilkan dimple dalam disalah satu pipinya, itu adalah salah satu idolanya "Semangat, jangan gugup.."

".... Ya.." Sahutnya justru dengan gugup.

"Lay.. Kau disana? Ayo temani aku cepat.."

Seorang pria memanggil Lay dari balik tubuh pemuda tersebut, membuatnya menoleh dan mendapati idola lainnya yang berwajah tampan dan beralis tebal, dia adalah leader EXO.

Mimpi apa dirinya semalam?

"Ya ya, semangat.." Lay mengacak rambut pemuda tersebut kemudian berlari kecil menghampiri pria lainnya "Kau benar-benar tak sabaran Suho-ya.." Ujarnya.

Pemuda itupun mengerjapkan kedua mata dibalik kacamatanya dan menghela nafas, "Baiklah, kau tidak boleh mengecewakan orang yang memberikanmu semangat." Ujarnya pada diri sendiri.

Iapun melanjutkan perjalanan dengan semangat berbelok menuju koridor yang diarahkan oleh panah yang menunjukkan ruang audisi, namun begitu semangat dirinya saat ini hingga..

Bugh

Remaja pria itu berhenti melangkah saat dirinya saling bertabrakan bahu dengan seseorang yang melangkah berlawanan arah dengannya.

"Maafkan aku."

"Maaf.."

Kedua remaja pria itu sama-sama saling meminta maaf, kemudian keduanya tertawa pelan.

"Aku berjalan dan tak melihat kedepan karena terburu-buru untuk ke kamar mandi. Maafkan aku..." ucap pria berpakaian hitam dengan mata bulat dengan senyum lebar nan manis.

"Dirikupun salah, karena tidak melihat jalan dengan baik." ia tersenyum tak enak hingga kedua matanya melengkung ikut tersenyum bersamaan dengan bibirnya membentuk sabit yang menggemaskan.

Keduanya terdiam sebentar merasa tak asing dengan apa yang mereka lakukan barusan.

"Kau dipanggil untuk audisi?" pertanyaan yang sama terlontar dari bibir keduanya, membuat mereka kembali tertawa, bahkan rasa terburu-buru yang membuat si manis berjalan tergesah-gesah tadi terlupa begitu saja.

"Ya." Dan lagi mereka kembali menjawab bersamaan.

"Kau tahu, ini pertama kali diriku mengalami hal seperti ini dalam hidupku."

"Ya, dirikupun.. Kurasa kita bisa berteman setelah ini."

Remaja berkacamata itu mengulurkan tangannya terlebih dahulu "Namaku Lee Jeno." Dan segera disambut oleh pria manis dihadapannya dengan semangat dan senyum lebar.

"Jaemin.. Na Jaemin."

"Ahahahaha..."

Suara tawa dari lantai satu membuat keduanya menoleh dan melihat kebawah bersamaan, mereka melihat 2 anggota boyband senior mereka superjunior tengah berjalan bersama sambil tertawa dan merangkul satu sama lain.

"Kau benar-benar bodoh Lee Donghae." Satu jitakan mendarat dikepala sang pria yang tertawa sangat kencang, dan sang pelaku segera berlari untuk kabur.

"Yaaak, Eunhyuk-ah..!" Sedangkan si korban segera berlari mengejar pelaku penjitakan kepalanya sambil tertawa tentu saja.

"Itu baru membuatku iri.." Ucap si remaja berkacamata, persahabatan seperti itu yang membuatnya iri bukan cerita mitos dari desa yang menceritakan kisah antara vampire dan manusia, hal tersebut hanya mitos dan belum tentu ada di dunia ini.

"Apa yang membuatmu iri?"

"Persahabatan mereka, kedekatan mereka. Aku ingin seperti mereka."

Pria bermata bulat itu terkekeh mendengar ucapannya "Kau sangat lugu Jeno-ssi, mari kita berteman dan bersama selamanya seperti mereka."

"Bersama.. selamanya?" Jeno melepas jabatan tangannya dengan Jaemin dan dengan terburu-buru mengulurkan kelingkingnya dan segera disambut oleh Jaemin.

"Selamanya.."

'Deg!'

Tanpa keduanya sadari, mereka telah mengukir takdir baru bagi keduanya. Bahkan mungkin mereka tak menyadari bahwa ada sebuah debaran kecil yang muncul didalam dada keduanya saat kelingking mereka saling bertautan.

Debaran yang mengikat janji keduanya di atas jembatan sungai Sanzu.

Twisted


2 tahun lewat setelah hari itu, siapa yang tak tahu dimana ada ada Jeno disanapun akan ada Jaemin mereka tak terpisahkan barang sedetikpun bahkan keduanya masuk SMA yang sama dan berada dikelas yang sama serta duduk di kursi yang bersebelahan.

Dan tak lama lagi keduanya akan segera diperkenalkan dalam rookies grup. Bahkan siapa yang menyangka bahwa Jeno akhirnya cukup dekat dengan Donghae yang sangat senang hati mengajarkannya beberapa alat musik.

"Mengapa kau sangat mirip denganku." Omel Donghae saat melihat betapa mirip wajah Jeno dengan wajahnya namun ia memeluk gemas anak itu hingga Jeno kehabisan nafas dalam pelukan Donghae.

"Apa ibumu memikirkan Donghae Hyung saat dirimu berada dalam kandungan." Sambar Jaemin sambil menyilakan kedua kakinya diatas sofa ruang latihan musik, ia masih memainkan ponselnya sesekali mengirim pesan chat pada seseorang.

"Apa kau mengigau Jaemin-ah? Bahkan Superjunior belum debut saat diriku dilahirkan." Bantah Jeno, ia mendekati senior yang sudah dianggap Hyung kandungnya sendiri, saat dirinya ingin bertanya bibirnya terdiam dengan sendirinya saat mendapati Donghae yang tengah menatap Eunhyuk didalam ruang rekaman.

"Mengapa kau menatapnya seperti itu Hyung?"

Donghae terkekeh ia menggendikan bahunya "Entahlah.. Ada sesuatu yang menarik dalam dirinya hingga diriku selalu ingin menatapnya dan berada didekatnya." Pria tampan itu menatap Jeno dan mengusak rambut hitam Jeno yang melirik Jaemin di sofa.

"Saat kau sudah dewasa nanti kau akan mengerti, mengapa kau juga menatap Jaemin seperti itu."

"H-hyung.. aku tidak menatap Jaemin.."

Donghae hanya tertawa dan kembali mengacak-acak surai hitam Jeno hingga berantakan. Apa anak ini ingin mengelak? Jelas-jelas Donghae melihat dengan jelas bagaimana cara Jeno menatap Jaemin begitu berbeda dengan cara anak ini menatap trainee yang lain.

"Eoo mana bocah itu, kenapa belum datang juga?" Omel Jaemin sambil melipat kedua tangannya di dada menandakan ia tengah kesal namun terlihat sangat menggemaskan dipandangan Jeno.

"Aku akan mencarinya."

Jaemin menurunkan kedua kakinya kemudian bangkit berdiri dan beranjak keluar dari ruang latihan musik "Jaemin-ah tunggu, hyung aku menyusul Jaemin." Tanpa menunggu Donghae menyahutinya Jeno segera berlari mengejar Jaemin.

Donghae kembali terkekeh dan menggelengkan kepalanya, melihat Jeno hanya membuat ia mengingat dirinya sendiri yang sangat bergantung pada Eunhyuk pria yang saat ini membalas senyuman manis Donghae dari balik kaca ruang rekaman.

"Mati aku, mati aku, aku terlambat Jaemin Hyung akan membunuhku."

Sepanjang perjalanan ia berbisik bagaikan itu adalah sebuah mantra yang akan membuat langkahnya semakin cepat, ia hampir berlari melewati seorang anak seumuran dengan dirinya yang terlihat kebingungan mencari letak sebuah ruangan.

Namun bukan hal itu yang menarik perhatian remaja bermata sipit itu, melainkan earpod yang digunakan anak ini berwarna sama dengan miliknya. Perlahan langkahnya terhenti dan berbalik badan, ternyata anak itupun berbalik untuk melihatnya dan keduanya saling menunjuk earpod mereka yang mereka gunakan berwarna sama lalu tertawa, sangat khas anak-anak.

"Kau tersesat?"

Mendengar pertanyaan itu diterjemahkan oleh earpod di telinganya pria berwajah oriental tersebut mengangguk dengan cepat "Aku akan mengantarkanmu.. Kemana kau ingin pergi?"

Ia menunjukan sebuah kertas pada remaja sipit ini "Ah aku tahu tempat ini, aku akan mengantarkanmu."

Remaja itu mengulurkan tangannya "Namun sebelum itu.. siapa namamu? Aku Park Jisung." Ucapnya panjang lebar sambil tersenyum lebar dengan mata sipitnya.

"Chenle... Zhong Chenle."

Keduanya saling menjabat tangan, dan melempar senyum polos. Setidaknya kali ini, mereka tidak akan kehilangan lagi satu sama lain.

"Yak Park Jisung?!"

Teriakan Jaemin membuat Jisung menatap kebalik tubuh Chenle "Omo Jaemin Hyung.." Ia mengenggam jemari Chenle dan mengajak pria itu berlari bersamanya menghindari Jaemin yang mungkin saja akan menjitaknya atau mencubit pipinya.

"Jaemin-ah.. Tunggu aku.."

Keempatnya berlarian saling mengejar satu sama lain, langkah panjang keempatnya semakin lama semakin panjang menghabiskan tahun demi tahun bersama dan tak akan terpisahkan dengan keji seperti sebelumnya.

Kali ini bahkan takdirpun enggan mengusik kebahagiaan mereka.

THE END

TWISTED - 20


∵ TWISTED ∵


|


|


|


|


TIDAK!

Netra cokelatnya menyadari Lami melangkah menghampirinya, ditambah lagi Jaemin yang memanggil namanya dengan panik dari belakang. Jeno merasa tubuhnya ditarik oleh Jaemin ia tahu dengan jelas apa yang melintas dikepala kekasihnya itu.

Jenopun segera kembali menarik lengan kekasihnya kebelakang mengganti posisi mereka, kali ini.. tidak akan ada lagi kejadian dimana Jaemin yang menjadi pelindungnya.

Kedua matanya mengerjap, panggilan Jaemin yang berdengung ditelinganya mengiringi rasa sakit dalam dadanya yang terasa terbakar dan berdenyut begitu kuat saat Jeno menyadari bahwa pasak tersebut kini bersarang didalam dada kirinya merobek dadanya menusuk jantungnya.

Sepertinya mitos yang didengarnya selama ini dari bibir Renjun dan Donghae memang benar adanya. Pasak dari kayu pohon oak benar-benar akan membunuh dirinya.

Kilasan ingatan antara dirinya bersama dengan Jaemin dan masa lalu keduanya kini berlarian didalam kepala Jeno saat rasa panas semakin membakar dadanya.

"Kau adalah Lee Jeno.."

"Apa darahku masih terasa manis?"

Ia teringat pertam kali bertemu Jaemin di bandara saat pria itu terjatuh dan terinjak beberapa penggemarnya "Jaemin-ah.. Kau tak apa-apa?" Suara Mark menjadi latar bagaimana baik Jaemin ataupun Jeno saling menatap satu sama lain.

"Berjanjilah kau akan mencariku dan membuatku mencintaimu lagi.."

Wajah manis Jaemin yang tersenyum dari balik Gat nya membuat Lee Jeno selalu tak berkutik dan terdiam setiap memandang pahatan indah yang diciptakan Tuhan sebagai pria yang dicintainya.

"Jika kau berbohong padaku, aku akan membelah tubuhmu jadi dua Lee Jeno-ssi.."

"Jika, diriku tidak berbohong?"

Jaemin kembali terdiam sesaat sebelum menelan liurnya dan membuka mulutnya "Aku akan memberikan hidupku untukmu, baik dikehidupan lalu, sekarang, dan masa depan. Jadi jangan berbo-..."

Ia teringat akan ciuman pertama mereka yang dicurinya dari Jaemin yang tengah mengoceh panjang setelah Jeno mengatakan perasaannya pada pria itu, Park Jaemin.

Pertemuan tanpa sengaja keduanya di pasar yang ramai pada pagi hari.

Namun ada ingatan lain yang kembali dalam memori lama nya mengenai Jaemin dan masa lalunya, tubuhnya terasa tercabik dan nama yang di sebutkannya sebelum siluet tubuh Renjun menutupi pandangannya semakin membuatnya mengorek makin dalam ingatannya.

"K-Kibum-ah.."

"Apa yang kau lakukan?"

"Melindungimu.."

"Mulai saat ini dia tangan kananku, Lee Jinki. Tidak ada satu orangpun yang bisa menyentuhnya.." Pria dengan pakaian bangsawan itu tersenyum lebar didepan para prajuritnya "Menyentuhnya sama saja melawan perintahku, Kim Kibum..."

Jeno meringis, ia mengerjapkan kedua matanya menatap Jaemin, ingatan kian ingatan bermuculan tiada henti sejak ia bertemu pertama kali dengan Kim Kibum hingga terakhir kali ia memanggil nama pria itu sebelum ingatannya terhapus selamanya sampai saat ini.

Jaemin menangis, ia memeluk tubuh Jeno yang perlahan kian melemas bahkan wajah pasi itu semakin memucat dengan bibir yang mulai menghitam "A-... Arrghhhh!!!" Dadanya terasa sakit, rasa sesak luar biasa sama seperti saat ayahnya terbunuh malam itu ia bisa merasakan Jenonya benar-benar sudah meninggalkannya, Jaemin tak lagi merasakan keberadaan Jeno hanya raga tak bernyawa tanpa jiwa.

"Jinki.. Lee Jinki.." Ia menangis terisak menjerit membisikkan nama Lee Jinki ditelinga Jeno namun pria itu tak lagi merespon, sekali lagi.. Kim Kibum kehilangan Lee Jinkinya.

Serangan berhenti sejak Lami menusukkan pasaknya, gadis itu bahkan sama sekali tak merasa bersalah melihat Jaemin menangis sekeras itu karena kematian yang diperbuat olehnya.

Ia melangkah menjauh meninggalkan Na Jaemin dengan kesedihannya "Satu lagi monster yang harus kusingkirkan.."

"Menjauh!" Bentak Chenle sambil menodongkan pistol pada Lami yang mendekat kearah mereka, Jinhyuk yang lemas tak bisa berbuat apa-apa nafasnya tersengal-sengal ia bahkan tak tahu apa ia masih bisa membuka matanya lagi atau tidak setelah ini, ia terkejut melihat adiknya menusuk Jeno yang saat ini tergeletak tewas dilantai dermaga.

Jinhyukpun tak bisa berbohong dan berpura-pura kuat, ia terbatuk hingga mengeluarkan darah dari mulutnya. Hanya dirinya yang tahu berapa lama lagi ia akan bertahan dengan luka seperti ini disekujur tubuhnya.

Namun ia masih bisa meminta Mija bersembunyi dibalik tubuhnya dengan berbisik lemah dan dituruti oleh gadis kecil itu ia bersembunyi diantara punggung Jinhyuk dan Chenle.

Tangan pria itu gemetar ia tak berani menarik pelatuk untuk membunuh seorang manusia, melenyapkan penghisap darah saja yang ia dengar sejak kecil adalah makhluk mengerikan saja dirinya tak sanggup apalagi membunuh sesama manusia seperti dirinya.

Jisung meraih lengan Chenle yang gemetar ketakutan, pria itu menggenggam jemari kekasihnya dengan tangannya yang penuh darah, mengambil pistol tersebut dari tangan Chenle sambil menatap prianya dengan dalam.

"Biarkan Chenle-ya.. Kita sama-sama tahu apa... hhh yang akan terjadi pada diriku, dengan atau tanpa pasak itu bukan?" Jisung berusaha tersenyum dengan wajah pucatnya, Jeno sudah tiada ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya setelah ini.

Namun Chenle memeluk Jisung dengan erat menghalangi gadis itu untuk menusuk pasaknya "Kita akhiri berdua Park Jisung.."

"Cih.." Lami tetap mengangkat tangannya ia tidak perduli akan membunuh siapa kali ini, yang menghalangipun akan ia lenyapkan tanpa sisa.

"Hentikan!" Yixing terkejut melihat Lami tetap berniat menyerang saat Chenle justru memeluk Jisung menghalangi Lami untuk menyerang penghisap darah itu, nyawa adiknya dalam bahaya saat ini.

Tapi sayang Lami benar-benar tak lagi mendengarkan apapun dan siapapun, ia tetap melangkah berniat menyerang target terakhirnya.

Pasak dalam genggamannya melayang dan tertancap pada dada kiri seseorang yang dengan tiba-tiba menghalangi serangan Lami pada Chenle dan Jisung. Jemarinya yang menusukkan pasak kini berada dalam genggaman seseorang yang semakin menggerakkan jemari itu agar menusuk dadanya kian dalam.

"O-Oppa?"

Jaemin yang memang sudah bersimbah darah milik Jeno menunduk ia kini melihat pasak yang sama berada didadanya menembus organ dalamnya, ia kemudian kembali menatap Lami yang gemetar melepas genggaman jemarinya dari pasak tersebut.

Namun Jaemin menahan jemari tersebut, ia mengenggamnya dengan erat sebelum jatuh tergeletak dilantai dermaga nafasnya benar-benar tersengal ini ratusan kali lebih menyakitkan daripada saat ia tertembak saat itu.

Pandangannya melembut pada Lami yang ia lihat mulai menangis dan mengguncang tubuhnya, jemarinya terangkat menghapus airmata dari wajah cantik gadis yang selalu ia lukai dan sakiti disetiap kehidupan yang mereka jalani "Maafkan aku.. Lami."

"Oppaa!!!" Gadis itu mengguncang tubuh Jaemin namun tak ada respon apapun lagi jemari pria yang baru saja menghapus airmatanya seperti dahulu terjatuh lemas begitu saja sebelum Lami mengenggamnya. Apa yang sudah ia lalukan??

"Oppa!! Maafkan aku, aku tak bermaksud melukaimu aargh!! Oppaa!!"

Lami menghapus air matanya namun dadanya benar-benar sakit ia mengenggam erat jemari Jaemin dengan tangan kirinya dan mendongak perlahan saat mendengar suara lock pistol yang terbuka didepannya.

Gadis itu menatap Jisung yang masih dengan lemas memeluk Chenle, yang kini menangis dipelukannya. Pria itu mengangkat pistol ditangannya dengan pupilnya yang memerah menatap Lami yang sudah membunuh kedua hyungnya dengan tangannya sendiri.

Gadis itu tak menghindar, ia mulai merasa bersalah akan perbuatan bodohnya hingga membuatnya kehilangan pria yang dicintainya. Perlahan Lami menarik sudut bibirnya untuk tersenyum tulus pada Jisung "Maafkan aku.."

'Dooorrr'

Usai mendengar ucapan itu Jisung menarik pelatuk pistolnya, menembak dada kiri gadis itu dengan timah panas hingga tubuh Lami terhentak kebelakang dan tergeletak bersimbah darah diantara jasad Jeno dan Jaemin.

Pupil merah Jisung kembali menjadi coklat, pistol digenggamannya terlepas, tubuhnya semakin lemas ia menghabiskan seluruh energinya hanya untuk menarik pelatuk pistolnya tadi.

Mau tak mau Chenle menahan tubuh Jisung yang kian merosot lemas, pria itu semakin menangis kencang ia tahu efek dari vervains itu akan membunuh Jisungnya sebentar lagi.

Namun tubuh Chenle justru ditarik paksa agar melepaskan pelukannya pada Jisung yang kini tergeletak lemah menatapnya yang kian menjauh meronta saat ditarik paksa oleh beberapa anak buah Yixing yang masih tersisa.

"Tak perlu membunuhnya, dia akan mati perlahan dengan polisi itu, dan tinggalkan saja anak kecil itu."

Mija menangis terisak di balik tubuh Jinhyuk ia sejak tadi menghadap kearah laut membelakangi semua orang, ia hanya mendengar suara jeritan, tembakan dan tangisan disekitarnya.

"O-Oppa..." Panggilnya pada Jinhyuk yang sedari tadi ia genggam jemarinya.

"Oppa?" Mija sekali lagi memanggil Jinhyuk yang tidak merespon panggilannya, ia mengintip untuk melihat keadaan kakaknya yang terluka tersebut.

"Oppa?!!!"

Kedua tangannya mengguncang lengan Jinhyuk yang benar-benar tak meresponnya, ia takut akan kehilangan kakaknya. Mija pun menangis semakin terisak memanggil Jinhyuk yang tewas menyusul Jaemin dan Jeno.

Mija merangkak menghampiri Jisung yang tersengal-sengal dilantai dermaga "Oppa, kau harus bangun Oppaa.." Ia mengguncang lengan Jisung membuat pria itu menoleh, senyum terakhirnya ia berikan pada Mija agar gadis itu tenang.

"Bersembunyi hhh lah, oppa hanya akan.. tidur hhh sebentar.." Jemarinya mencoba untuk menyentuh puncak kepala Mija, namun jemari itu sudah terjatuh terlebih dahulu sebelum ia sempat menyentuhnya.

"Tidak.. Tidaak!!! Park Jisung!!" Chenle masih meronta-ronta ketika tubuhnya diseret paksa, Yixing berbalik memimpin jalan ia tak perduli dengan jeritan pilu Chenle namun langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang tak dikenalnya berdiri disana.

"Menyingkirlah dan anggap saja kau tak melihat apapun disini." Yixing kembali melangkah tak mempedulikan adiknya yang kian meronta merengek agar ditinggalkan saja dengan Jisung.

Pria itu menatap Yixing tajam, tangannya terangkat hingga perlahan ia meremas udara membuat para anak buahnya mengejang dan mencekik lehernya sendiri "Mati..." Ucapnya dengan suara berat, remasannya pada udara kosong kian erat hingga mereka semua jatuh tak bernyawa dihadapan Yixing yang terkejut.

"K-kau.."

Pria itu Donghae melirik Chenle yang kembali berlari menghampiri Jisung dan memeluk tubuh adik terkecilnya itu, netranya menatap tubuh Jeno yang tergeletak membelakanginya dan tubuh Jaemin yang bersimbah darah.

Kedua pupilnya merah menyala, dan kembali menatap Yixing dengan amarah yang membara, airmata sudah menggenang dipelupuk matanya.

Yixing kembali mengeluarkan pistolnya dan menembak Donghae dengan peluru berlapis cairan vervains miliknya berkali-kali, namun belum peluru itu menyentuh Donghae timah panas itu berhenti didepan tubuh Donghae hanya dengan sebuah tatapan tajam.

Dengan sebuah gerakan tangan peluru-peluru tersebut berputar kembali dan menyerang Yixing menancap disetiap bagian tubuhnya. "Kau bermain-main dengan makhluk yang salah.."

Tubuh Yixing terhentak kebelakang saat peluru-peluru tersebut menghantam tubuhnya secara bersamaan, hingga ia tergeletak diatas lantai dermaga.

"A-aakhh!!"

"Kau.. menyentuh keluargaku, kau membunuh keluargaku!!" Donghae kembali mengangkat tangannya ia mencekik udara membuat tubuh Yixing terangkat keatas menggantung diudara, menatap bagaimana pria itu tercekik tanpa perlu Donghae menyentuhnya.

Hal yang Donghae sesali adalah, ia terlambat.. Seharusnya ia lebih peka, andai ia sampai lebih cepat anda ia tahu lebih cepat, andai saat Bibi Kang berkata Chenle mencari Jisung dan Jeno dirinya sadar lebih awal, tentu ia tak akan kehilangan adik-adiknya.

Setiap darah yang menetes dari tubuh adiknya dan mereka yang tewas hari ini akan ia balas dengan kematian yang paling menyiksa dari pemburu itu.

"C-Chenle.."

Yixing memanggil Chenle dengan susah payah, ia ingin adiknya melihat bagaimana penghisap darah akhirnya menyerang manusia. Namun Chenle terlalu berduka hanya untuk menoleh menatap Hyungnya itu.

Iapun sangat ingin, membunuh Hyungnya itu saat ini jika bisa. Namun bagaimanapun, Yixing adalah Hyungnya, sedangkan membunuh sama sekali bukan keahliannya.

Pria bersurai pink itu menghiraukan panggilan Yixing, ia tengah menangis sambil menahan isakannya menatap wajah pucat Jisungnya yang mengikari janji untuk tidak akan pernah meninggalkannya.

Gadis kecil yang sedari tadi mengguncang lengan Jisung pun perlahan bangkit, ia tak mengerti apa yang terjadi mengapa semua orang tergeletak dengan darah ditubuhnya mengapa semua orang tertidur dihadapannya.

Mija menghampiri Chenle "Oppa jangan menangis, semuanya sudah tertidur.. Mija tidak ingin Oppa menangis hingga tertidur, Mija akan sendirian."

Perlahan Chenle membaringkan tubuh Jisungnya dan memeluk Mija agar anak kecil ini tak melihat apa yang terjadi dibalik tubuhnya, menyembunyikan wajah Mija dibalik dadanya. "Waktunya kau untuk tidur Yixing Hyung.."

Donghae kembali menatap Yixing, senyum miring tersungging di bibirnya namun airmata masih menetes dari matanya "Selamat tidur Zhang Yixing.." Jemarinya meremas udara kembali ia menutup kedua matanya mendengar suara setiap tulang leher Yixing yang retak dan patah perlahan karena serangan dari telekinesisnya.

Brrukk

Tubuh Yixing jatuh tergeletak dengan wajah membiru tak bernyawa, Donghae menjatuhkan lengannya lemas ia terduduk diatas lantai dermaga menarik kedua kakinya untuk menekuk dan memeluk dengan erat kedua kakinya.

Jemarinya meremas rambutnya menahan perih dan sakit di dadanya, namun ia benar-benar tidak bisa. Kehilangan kedua adiknya bersamaan sama saja seperti dibunuh dua kali, Donghae merasa mati saat ini.

"AAAARRRGHHHH!!!!!"

DEG!

Donghyuk menjatuhkan gelas dalam genggamannya kedua matanya kosong menatap kedepan membuat Mark segera menghampiri kekasihnya itu.

"Ada apa? Donghyuk-ah?"

Namun bukan jawaban yang didapat oleh Mark melainkan tubuh pria berkulit Tan itu merosot terduduk dilantai apartment, menangis hingga terisak memukul dadanya yang terasa sangat pedih dan sakit, perlahan Mark memeluk tubuh Donghyuk ia tak mengerti apa yang terjadi pada kekasihnya namun ia mencoba untuk menenangkan Donghyuk.

Ia merasakannya.

Donghyuk merasakan apa yang tengah Donghae rasakan saat ini, mereka kehilangan Jeno dan Jisung. Kematian merampas anggota keluarga mereka.

Sedangkan Renjun ia menatap langit, tangannya bertumpu pada dinding. Hampir saja tubuhnya limbung, jemarinya yang lain meremas dadanya dengan kuat hingga perlahan Renjun menangis, adik yang dijaga olehnya pergi meninggalkannya.

Bersamaan dengan Jungwoo yang mencoba menghapus airmatanya ia berdiri dan mengeluarkan ponselnya, menghubungi polisi agar datang kedermaga didekat pesisir, usai melakukan panggilan ia mulai berjongkok dan terisak.

Rasa sakit yang Donghae rasakan pasti dirasakan oleh seluruh penghuni Mansion saat ini.

"Ada apa? Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi? Kenapa kau menghubungi polisi?"

Siwon bertanya bertubi, ia menatap Xiaojun dan Hendery karena tak mendapatkan jawaban apapun dari Jungwoo ia menatap Lucas yang juga bingung menatap Jungwoo dan Renjun yang menangis.

Walaupun Xiaojun baru saja menjadi penghisap darah, iapun merasakan rasa sakit yang tengah dirasakan Donghae namun ia tak mungkin ikut bersedih saat ini, netranya menatap Hyukjae yang terduduk disudut termenung.

Bagaimana jika pria itu tahu, dia kehilangan ketiga saudaranya juga setelah Junmyeon?

Twisted


Pemakaman usai, Donghae berdiri menatap nisan kedua saudaranya yang berdiri berdampingan sedangkan nisan lainnya yang tewas hari itu berada di blok lain pemakaman ini. Kasus kematian massal di dermaga saat itu benar-benar membuat gempar seluruh Korea Selatan, tak ditemukan penyebab pasti kematian sebagian korban disana namun spekulasinya adalah mereka saling membunuh satu sama lain.

Bahkan dunia permodelan Korea Selatan pun berduka karena Lee Jeno ikut menjadi korban tewas disana bersama dengan bodyguardnya Na Jaemin.

Choi Jinhyuk diberikan gelar kehormatan karena tewas ditempat sebagai betuk tugas yang tengah dijalaninya.

Tak ada bukti tak ada saksi mata, ketika polisi datang mereka hanya melihat jasad yang tergeletak tak bernyawa. Beruntung Donghae berhasil bangkit dan menarik Chenle dengan bujukan Mija agar meninggalkan tubuh Jisung dan pergi dari sana.

Donghae bahkan sampai menggendong dan menarik Chenle untuk segera pergi bersama dengan gadis kecil yang sejujurnya menangis melihat Chenle menjerit dan menolak untuk pergi.

"Apa kalian bahagia setelah meninggalkanku?"

Pertanyaan pertama yang dikeluarkan Donghae setelah hampir 30 menit dia hanya berdiri dalam diam didepan nisan Lee Jeno dan Park Jisung. Bahkan bibirnya bergetar saat menanyakan hal itu.

Ratusan tahun ia selalu melihat kedua adiknya itu saling berbincang satu sama lain, sekarang ia harus melihat kedua nisan dingin adiknya berdampingan dihadapannya.

"..... Kami akan pindah dari Seoul, mungkin dari Korea. Baik-baiklah disini, mungkin suatu saat nanti aku akan menyusul kalian, atau mengunjungi kalian lagi kemari."

"Hhh... aku..."

Jemari Donghae perlahan mengelus puncak kedua nisan adiknya bersamaan ia masih berharap bahwa yang sentuhnya saat ini bukanlah nisan dingin melainkan puncak kepala kedua adiknya, namun rasanya itu tidak mungkin. Airmata kembali menetes dari pelupuk matanya ia bahkan tak dapat melanjutkan kalimat selanjutnya hanya isakan yang keluar dari sana.

"Apa seperti ini resikonya Jaemin-ah? Apa kau membawa semua resiko itu denganmu tanpa membaginya padaku?" Hyukjae duduk bersila didepan nisan milik Jaemin, matanya menatap 4 jejer nisan yang tertulis nama orang-orang yang disayangi olehnya.

Junmyeon, Jinhyuk, Jaemin dan Lami.

Mereka semua pergi meninggalkan Hyukjae dihari yang sama, bahkan tanpa sempat mengatakan apapun padanya, bahkan tanpa ada pertemuan sebelumnya. Setidaknya berikanlah dirinya sebuah kalimat terakhir?

"Oppa.."

Hyukjae menoleh ia tersenyum simpul menatap Mija yang menghampirinya dan segera memeluk dirinya "Oppa tidak menangis bukan?"

"Tentu saja tidak." Hyukjae sudah lelah menangis hingga ia rasa airmatanya hampir mengering.

"Donghae Oppa menangis sangat kencang.."

Mau tak mau Hyukjae hanya menanggapinya dengan tersenyum, ia mengerti bagaimana rasa sakit yang dirasakan Donghae, bahkan selama beberapa hari ini pria itu sama sekali tidak menangis hanya demi menghibur Hyukjae yang terpukul.

Ia kehilangan 4 orang yang dikenalnya selama lebih dari 20 tahun rasanya seperti dunia seakan-akan runtuh, bagaimana dengan Donghae? Pria itu kehilangan 2 orang adik yang ratusan tahun bersama dengannya.

"Donghae Oppa sedang bersedih. Menangislah saat kau merasakan sedih, biarkan Donghae Oppa menangis kita akan menunggunya di mobil."

Hyukjae menggendong Mija dan beranjak menuju tempat dimana mobil Donghae terparkir, ia menunggu didalam sambil mengecek ponselnya.

Tak lama Donghae datang sambil menghapus sisa airmatanya "Kau tak apa-apa Donghae-ya?" Hyukjae meletakkan ponselnya dan menyentuh wajah Donghae.

"Tak apa.." Pria itu tersenyum dan mengenggam jemari Hyukjae, ia melirik pada Mija yang tengah duduk di kursi belakang dengan beberapa tas yang akan mereka bawa.

"Kemana kita?" Tanya Donghae pada Mija.

"Aku ingin berada didekat gunung.." Jawab Mija semangat, Donghae dan Hyukjae terkekeh pelan.

"Baiklah, kita akan kesana. Kita bertiga akan membangun semuanya dari awal bersama." Ucap Donghae sambil menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan pelataran makam.

Usai kejadian tragis tersebut Donghae meminta agar para penghuni mengambil jalannya masing-masing. Donghae sudah tidak bisa memimpin mereka lagi karena dirinya sendiri melanggar peraturan yang dibuatnya.

'Membunuh manusia dengan sengaja'

Dengan berat hati mereka semua terpaksa mengiyakan, mansion Lee kosong dalam waktu hitungan hari setelah ditinggalkan oleh pemimpinnya.

Donghae mengajak Hyukjae dan mengangkat Mija menjadi bagian keluarga mereka kemudian pergi entah kemana, mereka ingin menjelajahi seluruh Korea sepertinya, melupakan kejadian lampau.

Mark dan Donghyuk kembali ke Eropa meneruskan persiapan pernikahan mereka, tanpa pesta yang meriah tanpa mengundang siapapun. Mereka hanya ingin melakukannya dengan sederhana diantara suasana berkabung seperti saat ini.

Jungwoo kini pindah dan tinggal di panti membantu Lucas sembari tetap bekerja bersama di cafe, Hyukjae meninggalkan cafe untuk adik satu-satunya yang dewasa dan masih tersisa.

Siwon meneruskan pekerjaannya dan sesekali datang ke panti untuk berkunjung, ia menutup rapat mulutnya tentang kejadian hari itu. Dan kini ia bekerja sama dengan Hendery, yang dipindahkan menjadi detektif di kantor polisi tempatnya bekerja.

Chenle.. Melanjutkan kuliahnya yang tertunda, ia berusaha bangkit seorang diri tanpa seorang kakak dan tanpa Jisung. Walau Donghae sudah memberikan seluruh aset Jisung pada Chenle ia tak ingin hanya berpangku pada hal itu saja, Chenle ingin berhasil seperti Jisung.

Xiaojun dan Renjun memutuskan untuk pindah menuju daerah pesisir menjorok kehutan, tetap menyendiri namun memulai semuanya dari awal.

Mereka meninggalkan Mansion Lee selamanya, memulai semuanya dari awal. Melupakan kenangan pahit yang pernah terjadi dimansion tersebut. Menanggalkan nama 'Penghuni Mansion Lee' dibelakang.

Melupakan masa lalu.

Twisted


Jembatan sungai Sanzu yang tak pernah gelap dan sangat panjang ramai dilewati oleh para roh yang sudah menemukan jalan mereka untuk menuju kehidupan selanjutnya. Tungkai mereka berjalan sendiri-sendiri sambil membawa setangkai bunga lily segar dalam genggaman tangan kanan mereka.

Langkah seorang pria terhenti, ia menatap bunga dalam genggamannya dan menoleh pada pria yang berjalan dibelakangnya. Keduanya saling melempar senyuman manis, jemarinya terulur menunjukkan kelingkingnya.

Janjinya yang belum terpenuhi.

"Aku akan mengenalimu Kibum-ah.."

Pria itu tersenyum lebar dan mengaitkan kelingkingnya dengan kekasihnya yang mungkin akan ia lupakan sebentar lagi "Aku juga akan mengenalimu Jinki-ya.."

Tautan kedua kelingking mereka terlepas bersamaan dengan terpaan angin yang cukup kencang melewati keduanya, sesaat keduanya saling bertatap namun tak lama pria bersurai auburn itu memutuskan kontak mata dan melangkah terlebih dahulu melewati si pria bersurai hitam seolah-olah ia melupakan apa yang baru saja terjadi.

Dan pria bersurai hitam itupun berbalik dan melanjutkan perjalanannya fokus pada langkahnya sendiri menghiraukan pria bersurai auburn didepannya dan perlahan melupakan segalanya.

Melanjutkan perjalanannya yang entah akan membawa mereka kemana.

Twisted


Renjun melingkari kalender bulanan yang tergantung di ruang tengah cabin miliknya dan Xiaojun yang sudah ditempatinya lebih dari 50 tahun menjorok dihutan, ia masih terlihat sama tak berubah.


"Kau sudah kembali?"


Xiaojun baru saja kembali dari perburuannya mencari darah hewan di hutan, seingatnya hari ini Renjun akan pulang telat karena mengunjungi pemakaman Lucas, namun sore hari ia sudah melihat kekasihnya ada di cabin mereka.


"Ya.. Aku tak bisa melihat Jungwoo menelan vervains itu dihadapanku seperti yang dilakukan Donghyuk saat Mark tewas dalam kecelakaan 10 tahun lalu." Renjun menutup pulpen dalam genggamannya.


Ia menghela nafas, semenjak kematian Jeno dan Jisung perlahan penghuni Mansion mereka pun akan perlahan menyusul dengan vervains yang sengaja mereka simpan. Entah karena mereka yang sudah merasa tidak sama lagi seperti dahulu, atau karena anggota keluarga yang mereka bangun tewas.


Seperti Donghyuk, usai pemakaman Mark yang sudah menua dan tewas karena kecelakaan di Perancis, pria yang menyandang nama anak angkat Mark saat pria itu tewaspun justru memutuskan untuk menyusul Mark dengan Vervains yang disimpannya selama ini, tepat dihadapan Renjun.


Pria itu rasanya tercabik saat melihat Donghyuk perlahan meregang nyawa dengan rasa terbakar disekujur tubuhnya, dan kini ia tidak bisa melihat Jungwoo melakukan hal yang sama ketika pasangan hidupnya meninggal karena usia yang kian menua.


"Manusia akan tewas jika sudah waktunya, sedangkan penghisap darah memutuskan sendiri waktu hidupnya didunia ini." Xiaojun menyentuh puncak kepala Renjun dan mengecupnya sesaat sebelum keduanya menatap keatas meja persegi yang menyimpan bingkai foto penghuni mansion beserta keluarga dan pasangan hidup mereka.


Renjun meletakkan 2 bingkai baru saat dirinya kembali, foto Lucas dan Jungwoo yang bersebelahan dengan bingkai milik Donghyuk dan Mark.


Mungkin tak lama lagi, mereka akan mendengar berita duka lagi.


Langkah kaki seorang wanita berumur dengan sepatu berhak tingginya terdengar mengisi gema dalam lorong rumah sakit, wanita itu membawa sekeranjang buah dalam genggamannya sembari tersenyum ramah pada beberapa orang yang menyapanya.


Lorong rumah sakit sudah menjadi temannya sejak 5 tahun terakhir saat ayah angkatnya mulai jatuh sakit secara tiba-tiba, ia menghela nafasnya perlahan sebelum berhenti melangkah dan menatap pintu dingin dihadapannya tempat sang ayah berada disana.


Sebelum pintu ia buka, pintu tersebut terbuka dari dalam dan menampilkan sosok seorang dokter yang baru saja keluar dan mengecek keadaan pasien dalam ruangan tersebut.


"Oh Nyonya Lee kau sudah datang.."


"Ya.. Hari ini pekerjaanku di kantor penerbit lebih sibuk, jadi diriku baru bisa datang sekarang. Bagaimana keadaan ayahku?"


Dokter wanita itu tersenyum ramah "Sama seperti sebelumnya, stabil.. Walau kurasa kau dan anakmu harus menyiapkan diri setiap saat."


Wanita itu terpaksa menarik senyum di wajahnya dan mengangguk "Terima kasih dokter Zhong..." Ujarnya.


Dokter wanita itu segera beranjak pergi setelah menundukkan kepalanya, wanita yang sudah berumur itu menatap punggung dokter tersebut yang beranjak menjauh darinya.


Ingatan wanita itu beralih pada kejadian 50 tahun lalu saat melihat wajah dokter tersebut, perlahan ia tersenyum saat tahu pria bernama Zhong Chenle itu akhirnya bangkit dan membina rumah tangga hingga memiliki anak, menjalankan kehidupan sewajarnya manusia.


Wanita itupun masuk dan membuka pintu kamar, ia melihat ayah angkatnya bersama dengan 'anaknya' didalam sana tengah saling memandang satu sama lain dengan jemari yang saling bertaut.


"Oppa.." Panggil Wanita itu dan membuat keduanya menoleh bersamaan. Mereka tersenyum pada wanita berumur itu, satunya sudah terlihat tua dengan rambut memutih dan lemah, dan satunya lagi terlihat masih begitu muda sama seperti 50 tahun lalu saat mereka memulai untuk menjalani kehidupan bersama.


"Kau melihatnya? Tadi sepertinya anak wanita Chenle.." Ujar si yang paling muda dalam ruangan tersebut dan disambut kekehan pelan dari 2 lainnya.


Wanita itu meletakkan keranjang buah yang dibawanya pada meja nakas "Ya aku melihatnya Oppa, dia bahkan menyebutmu anakku Oppa.."


"Uri Donghae memang tidak akan pernah menua.." Ujar pria tertua disana yang semakin terlihat lemah, semakin hari semakin lemah walaupun kesehatannya stabil, namun umur tak lagi mendukung.


Ucapan itu membuat baik si muda Donghae dan Wanita si kecil Mija terdiam bersamaan, mendengar hal tersebut justru membuat Donghae semakin merasa ia akan kehilangan Hyukjaenya sebentar lagi.


Mereka memutuskan untuk hidup seperti manusia normal, membesarkan Mija seperti anak-anak normal lainnya dan membiarkan Hyukjae menua dan makin menua hingga kini status mereka bertiga berganti saat pria yang terbaring ini kian menua.


Mija menjadi anak tertua yang begitu berbakti pada orangtuanya, Hyukjae sedangkan Donghae ia terpaksa harus menerima dirinya disebut sebagai cucu dari orang yang dicintainya.


"Mija-ya.. Bisa tinggalkan kami sebentar?"


Permintaan Hyukjae disanggupi oleh Mija yang segera mengangguk, ia beranjak pergi keluar dari kamar namun kedua tungkainya tak sanggup untuk melangkah lebih jauh saat mendengar ucapan Hyukjae yang masuk kedalam telinganya saat jemarinya hampir menutup pintu.


"Aku ingin pulang dan meninggal dengan tenang diranjangku Donghae-ya.."


"... Bisakah kau tidak membicarakan ini Hyukie?"


Jemari Hyukjae terangkat, ia menyentuh wajah Donghae yang begitu tampan dihadapannya, lelaki yang amat dicintainya "Berhenti menghindar Donghae-ya.. Cepat atau lambat hari itu akan datang, dan diriku... Ingin meninggalkanmu dengan cara yang benar.."


Baik Donghae ataupun Mija terdiam ditempat, keduanya menunduk dan mulai terisak menangis dalam diam. Bagi Donghae ia akan kehilangan dunianya, tapi bagi Mija akan kehilangan segalanya, kedua Oppa yang sudah mengasuh dan membesarkannya hingga saat ini, bagaimanapun Mija tahu dengan jelas bahwa Donghae akan menyusul Hyukjae begitu pria itu menghembuskan nafas terakhirnya.


Keinginan Hyukjae keduanya penuhi, mereka tiba dirumah yang terletak diperbukitan, rumah sederhana yang dibangun perlahan oleh Donghae karena Mija begitu ingin tinggal didekat gunung.


"Aku akan membakar kayu.." Ujar Mija dengan semangat di umurnya yang sudah tidak muda lagi, sedangkan Donghae ia menyelimuti Hyukjaenya.


"Aku akan membuatkan gingseng hangat untukmu.." Satu kecupan di kening Hyukjae mengantar senyum manis dari bibirnya yang tak pernah berubah walau keriput sudah bermunculan diwajahnya.


Donghae membuat segelas gingseng di dapur, bibirnya tak berhenti tersenyum sejak mereka beranjak pulang dari rumah sakit. Hyukjae berjanji padanya akan menghabiskan sore nanti bersamanya di teras menemani Mija seperti kebiasaan mereka dahulu.


Netranya memandang jendela dihadapannya yang menampilkan dapur dari luar rumah, ia menatap pepohonan yang berdiri kokoh tanpa dedaunan karena musim dingin tengah menyerang Korea, jemarinya Donghae tempelkan pada cangkir yang berisi gingseng panas ia hampir membawanya andai telinganya tidak mendengar panggilan Mija.


"Oppa?" Wanita itu menyentuh lengan Hyukjae yang mendingin, ia begitu panik saat menyadarinya "Oppaa!!! Donghae Oppaa!!!"


Donghae berlari meninggalkan dapur tanpa membawa lagi secangkir gingseng dengan asap mengepul disana, mengiringi panggilan Donghae yang memanggil nama Hyukjaenya dengan pilu.


"Lee Hyukjaeee!!"


Bingkai berwarna hitam kembali Renjun letakkan di meja perseginya, ia menatap seluruh wajah disana satu per satu. Mereka adalah orang-orang yang pernah dikenalnya dan kini mereka semua telah pergi meninggalkan dirinya termasuk Donghae yang selama ratusan tahun memimpin dirinya.


Jemarinya mengepal, kehilangan demi kehilangan semakin membuat relung dadanya terasa begitu berdenyut sakit.


Asap yang berasal dari sekeliling Cabin mulai menganggu pernapasannya, Renjun terbatuk ia menoleh dan menatap Xiaojun yang mulai membakar sekeliling mereka dengan api sedangkan diatas meja tersebut terdapat 2 gelas kecil air putih yang sudah dicampurkan dengan vervains.


Semua penghisap darah yang bernaung di mansion Lee sudah tewas seiring waktu, hanya tersisa dirinya dan Xiaojun dan kini mereka berdua akan mengakhiri perjalanan Mansion tersebut, penghuni terakhir yang masih hidup.


Xiaojun mendekati Renjun ia memeluk prianya sekali lagi sebelum keduanya saling menganggukkan kepala untuk meminum vervains tersebut bersamaan. Hawa panas dari sekeliling cabin yang terbakar sama sekali bukan apa-apa dibanding rasa terbakar yang keduanya rasakan membakar didalam tubuh mereka.


Sebelum kesadaran keduanya menghilang, mereka memutuskan untuk duduk di sepasang kursi yang menghadap keluar, memandang pemandangan malam dari jendela cabin yang perlahan terbakar bersamaan dengan tubuh Renjun dan Xiaojun yang sudah tewas karena vervains.


Mija memandang pusara dihadapannya, Lee Donghae, Lee Hyukjae. Dirinya kini hidup seorang diri, tidak ada yang menemaninya setelah keduanya pergi meninggalkannya. Jangan salahkaj Donghae yang tega meninggalkannya setelah Hyukjae menghembuskan nafasnya.


Sejak awal Mija kecil sudah sadar bahwa kedua oppanya itu tidak akan terpisah bahkan oleh maut sekalipun. Ia kini menginjakkan kakinya didalam rumah yang terasa sepi namun masih terasa kehangatan keluarga didalamnya.


Mereka memberikan kehidupan keluarga yang begitu sempurna pada Mija, dan wanita itu bersyukur pernah menjadi bagian dari mereka, pernah mendengar kisah keduanya. Dan kini, Mija akan menceritakan pada semua orang bahwa mitos tentang penghisap darah yang begitu jahat tidaklah benar.


Ia membuka jurnalnya dan mulai menulis disana, diatas meja kerja yang selalu digunakan oleh Donghae selama ini.


'Mansion Lee...


Hujan turun begitu deras saat seseorang berlari antara semak rerumputan menghindari monster yang mengejarnya, dia adalah Lee Donghae...


....


....


.....


.....




THE END

TWISTED - 19


∵ TWISTED ∵


|


|


|


|


Mobil merah metalik milik Xiaojun berhenti dipekarangan didepan panti asuhan yang ditinggali oleh Jinhyuk dan Jaemin sedari kecil, keduanya menatap sekeliling sebelum turun dari mobil yang dibawa oleh detektif muda tersebut.

Sebelum mereka tiba Jinhyuk sudah menghubungi Junmyeon dan bertanya dimana Hyungnya tersebut berada, dan beruntung memang Junmyeon tengah berada di panti.

Keduanya melangkah memasuki bangunan panti, Xiaojun menatap sekeliling ini pertama kali ia memasuki sebuah panti asuhan. Saat dirinya kecil dan dibuang dijalanan ia hanya hidup dan tidur di tepi jalan tak ada yang berniat membawanya kerumah singgah hingga Renjun menghampirinya di tengah hujan dengan payung hitam dan tangan yang terulur.

Dirinya sudah tinggal di Mansion Lee sejak Renjun membawanya dan beranjak keluar setelah dirinya mulai bekerja 5 tahun lalu. Netranya memandang sekeliling ruangan yang terdapat banyak bingkai foto diatas meja tinggi yang terbuat dari kayu mahogany dan terdapat banyak laci dibawahnya.

Jinhyuk memimpin jalan mereka menuju bagian belakang panti yang merupakan bagian favorit sang Hyung sejak dulu, mereka berpapasan dengan seorang anak perempuan kecil yang hampir menabrak Xiaojun.

"Mija-ya kau belum tidur siang?"

"Aku akan ke kamar Oppa, aku baru saja memeluk Junmyeon Oppa.." gadis kecil itu memeluk Jinhyuk sebelum berlari semakin kedalam menuju lorong yang terlihat terdapat banyak pintu berhadapan didalamnya.

Sepertinya itu deretan kamar anak-anak.

Jinhyuk tersenyum hingga kedua matanya menyipit dan menghilang melambai pada Mija adik kesayangannya, dia benar-benar terlihat seperti Lami saat masih kecil, sangat menggemaskan.

"Kau sudah datang?" sapa Junmyeon dan membuat Jinhyuk mengalihkan perhatiannya dari Mija pada Junmyeon.

"Hyung.."

Xiaojun membungkuk sebagai bentuk salam pada Junmyeon, keduanya melangkah menuju halaman belakang mengikuti langkah Junmyeon.

"Siapa dia?"

"Dia Xiaojun, detektif.."

"Waw.." Junmyeon terkekeh pelan kemudian menatap kedua pria dihadapannya, adiknya sudah lebih tinggi dan terlihat lebih kuat darinya ternyata ia hampir lupa bahwa waktu berlalu dengan cepat. "Ada hal apa sampai seorang Letnan membawa seorang detektif untuk berbincang denganku?"

"Tentu saja membicarakan pria yang dekat denganmu belakangan ini. Apa kau bisa berhenti bersikap terlalu baik padanya, dia hanya memanfaatkanmu."

"Zhang Yixing? Aku hanya sedikit menolongnya, apa itu salah? Apa itu suatu bentuk kejahatan?"

Jinhyuk hampir membuka mulutnya namun Xiaojun menahannya "Apa kau membiarkan kartu kreditmu digunakan olehnya? Apa kau tahu dia membeli sebuah mobil atas kartu kreditmu kemudian menggunakan mobil itu untuk menabrakku?"

"Apa?" Junmyeon terlihat terkejut, dari reaksinya saja Xiaojun dan Jinhyuk sudah bisa menebak bahwa Junmyeon di manfaatkan habis-habisan oleh Zhang Yixing.

"Apa kau tahu kemarin malam Hyukie dan diriku terluka karena Lami? Karena adik kecil kita itu dekat dengan Zhang Yixing."

Junmyeon terdiam ia benar-benar terkejut, awalnya ia sudah tak ingin mendengar ucapan detektif yang sama sekali tak dikenalnya ini, bisa saja bukan pria itu hanya mengada-ada? Namun tak mungkin Junmyeon tak percaya dengan ucapan Jinhyuk adiknya sendiri.

Namun Junmyeon tetaplah Junmyeon ia tetap mencoba membantah hingga terjadi pertengkaran kecil diantara dirinya dan Jinhyuk.

Xiaojun menghela nafasnya, ia sudah menduga akan mendengarkan pertengkaran seperti ini. Zhang Yixing itu sudah terlalu memikat Kim Junmyeon dan membuat pria ini menjauhi pemburu itu rasanya adalah hal mustahil. Perlahan ia melangkah mundur dan tak berniat mendengar pertengkaran kedua kakak beradik tersebut, ia baru saja berbalik dan berniat kembali masuk kedalam namun suara sebuah vas bunga yang jatuh membuat langkahnya dan pertengkaran Jinhyuk serta Junmyeon terhenti.

Ketiganya menoleh bersamaan kebagian dalam bangunan panti "Apa ada orang lain selain anak-anak?" Jinhyuk mengeluarkan pistol dari balik sakunya sedangkan Xiaojun mendengus kesal karena lupa membawa senjatanya ikut bersamanya.

"Tentu saja tidak, kau bekerja, Jaemin tak tinggal disini, Hyukie masih berada di cafe bersama dengan Lucas, Lami pun tak terlihat sejak diriku datang. Tak ada siapapun disini selain diriku."

Jinhyuk dan Xiaojun melangkah masuk kembali kedalam dan menemukan vas bunga didekat lorong menuju deretan kamar anak-anak terjatuh dan hancur di atas lantai.

"Aaaaa...."

"Inkyung?!" Junmyeon segera berlari menuju pintu dapur dan menemukan jejak pria berpakaian hitam yang tengah menggendong seorang anak pria dengan paksa.

Tanpa pikir panjang Jinhyuk menembak kaki orang tersebut membuatnya jatuh dan membuat anak kecil itu berlari kearah Junmyeon.

"Hyung!"

"Inkyung-ah tak apa-apa kau jangan takut... Bersembunyilah cepat.." Junmyeon membisikkan tempat yang harus digunakan anak itu untuk bersembunyi dan berkata jangan keluar hingga polisi datang.

Junmyeon berlari menuju lorong yang terdapat deretan kamar anak-anak lainnya, namun hampir saja dirinya diserang andai saja Xiaojun tidak menahan serangan tersebut. "Bawa anak-anak keluar."

Pria itu kembali bangkit dan meminta seluruh adik-adik kecilnya untuk mengikutinya keluar namun ketika ia berlari menuju pintu ia melihat ada beberapa orang yang tengah berjaga didepan sana "Kemari." Junmyeon kembali keruang tengah dan membisikkan pada mereka satu persatu tempat yang berbeda untuk bersembunyi dan jangan keluar sampai polisi datang.

Anak yang terakhir sudah pergi Junmyeon merasa ada yang kurang "Mija? Mija-yaaa!"

Jinhyuk dan Xiaojun saling membantu melawan beberapa pria yang menerobos masuk kedalam panti, keduanya menendang 2 pria berbaju hitam secara bersamaan ketika mereka berganti posisi.

"Oppaaa!!"

"Mija!!"

Jinhyuk mengejar pria yang menggendong adik kecilnya itu tanpa ampun memukul pria tersebut saat sudah menarik dengan mudah tubuh Mija berpindah dari gendongan pria tersebut pada gendongannya.

"Pergi dengan paman Xiaojun dia akan mengantarkanmu pada Junmyeon Oppa." Jinhyuk memberikan Mija pada Xiaojun dan memintanya mengantarkannya pada Junmyeon.

"Oppaaa...."

"Tenang... Tidak akan terjadi apa-apa.." Xiaojun segera pergi melewati lorong dapur menuju ruang tengah namun ia terjatuh saat punggungnya dipukul dari belakang dengan keras.

"Paman?!"

"Aku tak apa-apa, pergilah Junmyeon Oppa ada diruang tengah." Xiaojun mengangkat tangannya menahan serangan selanjutnya yang hampir menghantam kepalanya "Pergi cepat.."

Xiaojun mau tak mau menahan serangan disana sampai ia kembali lagi menuju lorong dapur meninggalkan Mija yang berjalan ketakutan menghampiri Junmyeon yang hampir menggila mencari satu adiknya lagi.

"Oppaa!"

Junmyeon segera berlari keluar dari lorong lainnya dan berlutut merentangkan tangannya menunggu Mija menghampirinya dengan senyum lebar, ia bersyukur adiknya tidak apa-apa.

"Kemari Mija-ya.."

Gadis kecil itu berlari pelan menghampiri Junmyeon namun langkahnya terhenti dengan tiba-tiba saat melihat siapa yang berada tak jauh dibelakang Junmyeon, memberikan gesture akan membunuh Junmyeon jika anak itu mendekat.

"Mija? Kenapa?"

Dengan jemari kecilnya yang gemetar Mija menunjuk kearah belakang Junmyeon membuat Oppanya menoleh perlahan kebelakang dan melihat Yixing berada disana melambai dan tersenyum padanya namun Junmyeon tak dapat mengartikan maksud tatapan dan senyuman itu apa.

"Yixing?"

'BUUUKKHH'

Junmyeon merasakan hantaman kuat dibelakang kepalanya, telinganya terasa mendengung dengan kuat hingga tubuhnya ambruk tergeletak diatas lantai.

Netranya dengan samar menatap adiknya yang membuang balok panjang dihadapan Junmyeon kemudian menggendong paksa Mija untuk ikut dengannya bersama dengan Yixing yang mengikuti dari belakang.

"...... L-Lami.."

"Oppaaa!!! Oppaaa!!"

Jeritan Mija membuat Xiaojun segera beranjak kembali kedalam dan meninggalkan Jinhyuk, ia terkejut melihat Junmyeon sudah tergeletak bersimbah darah dan tak ada Mija bersamanya.

"Mija!" panggilnya sambil berlari kebagian belakang berharap Jinhyuk berhenti berkelahi dan segera menyusul Mija yang diambil oleh mereka.

Namun begitu tiba dibelakang ia justru melihat tubuh Jinhyuk ambruk setelah disemprot dengan cairan yang sangat ia yakini adalah pelumpuh syaraf.

"Jinhyuk-ssi!!" Xiaojun hampir saja berlari mengejar para pria berpakaian hitam yang menyeret tubuh Jinhyuk yang terlihat kaku lemas dan tak bisa digerakan serta Mija yang digendong paksa meronta-ronta sambil menangis.

Namun sebuah tangan menahan bahunya dan menarik Xiaojun agar berbalik badan, begitu tubuhnya berbalik pria bersurai terang itu merasa sakit luar biasa di perut kirinya.

"A-akhh..."

Xiaojun menunduk, ia melihat sebuah belati berwarna hitam pekat sudah bersarang diperutnya. Netranya menatap penusuknya yang tersenyum ramah padanya, Yixing.

"Sejak awal seharusnya kau menuruti permintaan Huang Renjun untuk tidak ikut campur Detektif... Kami tidak memiliki urusan apapun denganmu."

Yixing memutar belati digenggamannya membuat ujung tajamnya semakin melukai perut Xiaojun hingga darah menetes dari sana, semakin banyak darah yang menetes semakin dalam Yixing menekan belati tersebut merobek perut pria itu.

"Gadis itu menginginkan Jeno, sedangkan diriku...menginginkan Park Jisung." usai dengan kalimatnya Yixing melepaskan tangannya dari bahu Xiaojun dan melihat pria itu mundur beberapa langkah kebelakang sebelum terjatuh keatas tanah berumput.

Ia menatap gerombolan manusia itu pergi begitu saja meninggalkannya yang mungkin saja akan tewas kehabisan darah disini.

"Hhh hhhh..." Xiaojun menyentuh luka di perutnya, sedikitpun darah kental tak berhenti mengalir dari sana, dirinya benar-benar seperti tengah menunggu ajal.

".... R-Renjun-ah.."

Chenle duduk didalam mobil menyusul Hendery yang sudah membuka laptopnya dan mulai mencari keberadaan pemilik nomor ponsel yang diberikan Jaemin padanya tadi.

"Ini ponselmu.."

"Oh terima kasih Chenle-ssi.." Hendery mengambil ponsel miliknya dan meletakkannya di jok sebelum ia kembali sibuk dengan laptopnya sedangkan Chenle mencoba menghubungi Jisung untuk yang kesekian kalinya.

Namun hasilnya tetap nihil.

Chenle sejujurnya takut ketika ia menghubungi ke Mansion dan mereka mengatakan bahwa keduanya belum kembali, otak pintarnya akan berpikir kemana-mana hanya karena Jisungpun tak menerima panggilannya.

Ibu jarinya dengan ragu menekan nomor rumah Mansion Lee, menunggu ada yang mengangkat panggilannya hingga suara seseorang terdengar disana.

"Bibi Kang? Ini aku, Chenle."

"Ahh yaaa Chenle-ya? Ada apa?"

"Um.. Aku ingin bertanya, apa Jisung dan Jeno-ssi sudah berada di Mansion? Mereka berkata akan segera pulang setelah dari Sungai Han."

"Mereka? Mereka belum kembali. Mungkin mereka akan sampai sebentar lagi, apa ada yang ingin ku sampaikan pada mereka jika keduanya sampai?"

"Tak ada Bibi Kang.." Chenle hampir mematikan panggilannya tapi ia kembali berbicara "Katakan pada Jisung untuk mengabariku. Terima kasih Bibi Kang."

"Baiklah, akan kusampaikan... Tak perlu sungkan Chenle-ya.."

Panggilan berakhir, Chenle menyimpan ponselnya kembali kedalam saku ia melirik Hendery yang masih fokus dengan pekerjaannya.

"Kau baik-baik saja?"

Chenle menganggukkan kepalanya ragu ia tidak baik-baik saja, ucapan Xiaojun menggema dikepalanya "... Aku akan disini menemanimu, jika hasilnya sudah keluar aku akan segera memberitahu Jaemin Hyung.."

Hendery menekan tombol enter, ia berhasil masuk hanya tinggal melacak keberadaan GPS dari kedua ponsel tersebut saja, iapun menoleh pada Chenle.

"Kau yakin? Karena kau terlihat tak baik- baik saja."

Pria bersurai pink itu diam, dia sama sekali tak menjawab masih ragu sepertinya namun perlahan Chenle mengeluarkan ponselnya "Setelah selesai melacak kedua nomor ponsel itu bisakan kau melacak seseorang untukku?"

"Tentu.."

"Siapa yang menelpon?" Donghae bertanya saat tengah menuruni tangga, ia melihat Bibi Kang baru saja meletakkan gagang telepon kembali ketempatnya.

"Chenle-ssi, dia bertanya apakah Jisung dan Jeno sudah sampai atau belum."

Donghae mengerutkan keningnya, kenapa Chenle sampai harus menghubungi kerumah? Bukankah biasanya Jisung dan Chenle tak pernah terpisahkan?

"Kabari dia jika keduanya sudah pulang.."

"Baik.." Bibi Kang segera beranjak kembali kebelakang sedangkan Donghae meneruskan langkah menuju ruang kerjanya, namun getaran ponsel di sakunya membuatnya berhenti melangkah.

"Ya? Jungwoo, ada apa?"

"Bisa kau kemari? Kurasa Hyukjae-ssi tidak baik-baik saja, diriku dan Lucas sibuk melayani pelanggan tak ada yang menemaninya berbicara, sedari tadi dia hanya diam saja."

"Baiklah... Aku akan kesana sekarang juga." Donghae meletakkan berkas dalam genggamannya keatas meja kemudian segera beranjak pergi dari Mansion menuju Jewel's Cafe.

Twisted


Kedua netra Renjun tengah menatap Xiaojun yang sejak sadar langsung menghisap darah dari beberapa mayat yang tergeletak di sekeliling taman belakang, dirinya tengah berjaga-jaga andai saja polisi akan benar segera datang Renjun akan menarik Xiaojun menjauh.

Tubuh pria bersurai terang itu terduduk usai ia merasa tenggorokannya tak lagi merasa panas akan dahaga, ia melirik Renjun yang tengah menatapnya.

"Kau menyelamatkanku?" Xiaojun menghapus jejak darah disudut bibirnya, namun kemudian ia menunduk dan melihat belati kecil yang masih bersarang diperutnya. Perlahan ia menarik belati tersebut sambil menahan ringisan dibibirnya.

Belati itu terlepas, Xiaojun segera membuangnya dan melihat dengan mata kepalanya sendiri perlahan luka di perutnya tertutup rapat seolah-olah ia tak pernah terluka sebelumnya.

"Hebat bukan? Sekarang kau bagian dari kami."

Ia kembali menatap Renjun, apa sekarang dirinya butuh pujian? Atau Renjun ternyata tengah menyindirnya? "Kupikir kau tak akan menyelamatkanku.."

"Kupikir kau akan mendengar ucapanku untuk menjauh dari masalah, menjauh dari pemburu itu."

Xiaojun diam, seharusnya memang dia menuruti ucapan Renjun padanya namun ia hanya berharap segalanya selesai setelah menarik Junmyeon keluar dari genggaman Yixing.

"Aku hanya berpikir untuk membantu, lagipula diriku dan Jinhyuk tidak mendatangi pemburu itu, kami mendatangi Junmyeon... Kau tahu ini seperti jebakan untukku dan Jinhyuk."

"Ya... Kau membantu." Renjun menghela nafasnya, apa segalanya akan berjalan dengan mudah setelah berurusan dengan pemburu itu.

Dirinya tahu ia salah, tapi niatnya benar-benar ingin membantu, namun Jinhyuk dan Mija justru dibawa oleh Zhang Yixing sedangkan Jun.... Xiaojun teringat pada pria itu "Junmyeon? Bagaimana dengannya? Dia terluka tadi."

"Bisakah kau berhenti memikirkan oranglain? Dirimupun terluka bahkan hampir tewas didepan mataku andai saja... aku..."

"Sshh..." Xiaojun segera bangkit berdiri, ia menarik Renjun kedalam pelukannya. Pria ini hanya perlu mengatakan dirinya khawatir tanpa mengomel apa terasa sangat sulit?

"Aku baik-baik saja... Kau menyelamatkanku bukan? Maafkan aku Renjun-ah.."

Renjun memeluk Xiaojun dengan kuat, apa dia tahu Renjun hampir berhenti bernafas saat melihat betapa pucat wajah Xiaojun tadi? Betapa dirinya takut kehilangan Xiaojun, bagaimana jika mereka telat menemukan Xiaojun "Berjanjilah, menjauh dari pemburu. Aku tak ingin kehilanganmu lagi."

Perlahan Xiaojun menarik kedua sudut bibirnya, dadanya semakin menghangat mendengar ucapan Renjun, ya.. dia akhirnya mendapatkan pria itu. Gunung es yang berdiri kokoh itu akhirnya mencair.

Twisted


Jaemin menghapus air matanya ia benar-benar berharap ambulance datang dengan cepat dan membawa Junmyeon untuk segera diobati, ia harus mencari Jinhyuk setelah ini.

Bruk.

Ia menoleh ke arah sumber suara, Jaemin melangkah kedalam ruang kerja yang dahulu sering Junmyeon gunakan, dengan langkah perlahan sembari menyentuh pistol miliknya yang berada di balik saku Jaemin melangkah mendekati asal suara yang berasal dari bawah meja kerja.

"Ilwoo?!"

"H-Hyuung.." anak kecil itu segera keluar dari bawah kolong meja dan memeluk Jaemin dengan erat, ia menceritakan tadi banyak pria berpakaian hitam yang menarik mereka agar keluar dari kamar. Namun Jinhyuk dan temannya yang bersurai terang melawan mereka dan Junmyeon meminta dirinya bersembunyi sampai polisi datang.

"Sssst sudah jangan menangis ada hyung disini, sebentar lagi polisi akan datang." Jaemin segera memeluk adik kecilnya sembari keduanya melangkah keluar dari dalam ruangan.

Anak kecil itu melihat Junmyeon yang tergeletak diatas lantai dan kembali menangis sembari menunjuk tubuh hyung mereka itu "J-Junmyeon Hyung... Kulihat Lami Noona memukulnya dan membawa Mija pergi."

Jaemin terdiam ia tengah mencerna ucapan sang adik, "Apa katamu?"

"Lami Noona, dia memukul Junmyeon Hyung.. Apa Junmyeon Hyung akan baik-baik saja Hyung?"

Ia benar-benar tak percaya bahwa Lami melakukan itu, ia tak percaya gadis itu tega melukai Junmyeon dan pergi meninggalkan pria yang sudah bekerja keras membanting tulang menyekolahkan mereka semua?

"Junmyeon Hyung akan baik-baik saja, percaya pada Hyung."

Chenle dan Hendery menatap layar laptop, kedua ponsel dari nomor yang diberikan Jaemin berada di daerah pesisir, apa mereka kesana bersama? Atau Yixing membawa mereka kesana?

"Aku akan memberitahukan pada Jaemin Hyung."

"Sebentar Chenle-ssi.. Kau bilang bahwa kau ingin diriku melacak nomor seseorang, berikan padaku."

Hampir dirinya lupa bahwa dirinya penasaran dengan keberadaan Jisung, bahkan sudah lebih dari setengah jam tapi tidak ada kabar dari Jisung, bahkan polisi belum juga datang.

Mau tak mau Chenle membuka kontaknya dan memberikan nomor ponsel Jisung pada Hendery. Pria bersurai kelam itu segera mencari nomor ponsel tersebut dalam databasenya kemudian menyambungkan perangkatnya dengan GPS yang terpasang di ponsel Jisung.

Dan kali ini pencarian GPS pada nomor ponsel ini sangat cepat, walau menghasilkan kerutan di kening Hendery.

"Ada apa?"

"Dia sepertinya sedang berkendara.."

Chenle menghela nafasnya, mungkin Jisung sejak tadi menghabiskan waktunya bersama dengan Jeno dan sekarang pria itu akan pulang ke mansion.

"Tapi..."

"Tapi apa?" Chenle menatap Hendery bingung.

"Dia bergerak kearah pesisir, arah yang sama dengan kedua nomor sebelumnya."

"Apa maksudmu?"

Hendery hampir menjawab tapi Chenle mengangkat tangannya meminta Hendery diam, dia hanya bertanya tapi tentu Chenle mengerti apa maksudnya dari ucapan Chenle.

"Coba lacak nomor ini." Chenle memberikan nomor lain pada Hendery dengan nama Jeno tertulis disana.

Dengan cepat Hendery mengetikkan nomor ponsel tersebut masuk kedalam database lalu melacak GPSnya. Hendery menelan liurnya dan menggeser laptopnya agar Chenle bisa melihatnya "Mereka berada di kendaraan yang sama menuju pesisir."

"Sial.."

Chenle segera beranjak keluar dari mobil dan disusul oleh Hendery sambil membawa laptopnya ia mengikuti Chenle yang berlari kembali masuk kedalam bangunan panti mencari Jaemin.

Begitu melihat Jaemin tengah menggendong seorang anak kecil keluar dari sebuah ruangan Chenle segera mendekatinya "Hyung!"

"Bagaimana? Kau sudah menghubungi Mansion? Kalian sudah melacak kedua nomor itu?"

"Mereka ada di pesisir." jawab Hendery, Jaemin pun segera menyerahkan adiknya tersebut pada Chenle.

"Aku akan kesana jaga dia sampai polisi datang."

Tapi Chenle segera memberikan anak kecil itu pada Hendery yang tergesa-gesa meletakkan laptop yang dibawanya demi menggendong anak kecil tersebut "Tenang, kau aman bersamaku."

"Tunggu Hyung.."

"Kau tidak bisa ikut Chenle, ini masalahku dan keluargaku."

Chenle menahan lengan Jaemin dan meremasnya dengan kuat "Bukan hanya saudaramu yang ada disana Hyung."

"Apa maksudmu?"

"Saat kuhubungi Mansion Bibi Kang berkata bahwa mereka berdua belum sampai, dan kuminta Hendery-ssi melacak nomor ponsel Jisung dan Jeno."

Wajah Jaemin memucat, ia benar-benar tak siap mendengar kelanjutan ucapan Chenle bahwa... "Mereka sedang dalam perjalanan kearah pesisir.."

"B-Bagaimana bisa?"

"Jeno sudah tahu segalanya.."

Suara Xiaojun terdengar dari arah belakang, ia datang bersama dengan Renjun yang kini menatap pria bersurai terang itu dengan kening berkekrut "Tahu apa?"

"Tentang kejadian 20 tahun yang lalu."

"Bukankah tak ada yang mengatakan apapun padanya?" Renjun menahan lengan Xiaojun agar pria ini bicara padanya.

"Jinhyuk-ssi menceritakan pada Jeno setelah kalian datang kemari mengambil kembali berkas penyelidikan dan membakarnya. Mereka menutup mulut mereka rapat-rapat tentang kenyataan ini dari kalian."

"Maksudmu Jeno sudah tahu semuanya, dia tahu bahwa dia tanpa sengaja membunuh ayahku?"

Xiaojun menganggukkan kepalanya "Hari ini dia dan Jinhyuk menemuiku di cafe tempat kau menjemputnya tadi, kami berencana akan memulai penyelidikan tentang Zhang Yixing."

Jaemin tak lagi mendengar penjelasan lebih lengkap tentang apa rencana mereka ia segera beranjak pergi namun Renjun menahannya "Kemana kau akan pergi?"

"Kemana lagi? Tentu saja menyusul Jeno."

"Aku ikut denganmu."

"Tidak." Jaemin menahan Renjun agar tetap berada dipanti.

"Kau disini, tunggu hingga polisi dan ambulance datang tetaplah disini dengan hyungku dan Hendery serta Xiaojun. Tolong jaga dan temukan adik-adikku yang lain, mereka bersembunyi disekitar panti, Ilwoo akan membantu kalian menemukan mereka, aku dan Chenle yang akan menyusul Jeno dan Jisung."

Renjun tak sempat lagi menahan Jaemin, ia hanya bisa melihat kedua manusia tersebut pergi dari panti dengan mobil Jeno.

"Kemana mereka pergi?"

"Pesisir.. Jeno dan Jisung menyusul jejak Jinhyuk dan Lami di pesisir." Hendery mendudukkan anak kecil dalam gendongannya.

"Apa mereka akan baik-baik saja?"

Namun tak ada yang menjawab pertanyaan Renjun, karena mereka semua pun tak yakin jika mereka menjawab 'Semua akan baik-baik saja'.

Twisted


Jeno melirik Jisung yang menghiraukan panggilan Chenle yang kesekian kali diponselnya, ia sungguh tak enak pada Chenle karena membiarkan Jisung tetap pergi bersamanya.

"Kau tak ingin mengangkatnya?"

"Jika kuangkat, itu hanya membuatku akan berubah pikiran."

"Kau masih bisa kembali Jisung-ah.."

Jisung tersenyum ia menoleh pada Jeno sebentar kemudian kembali fokus menyetir "Aku tak ingin kembali, jadi sebaiknya kita selesaikan ini dengan cepat lalu pulang..."

"Kau yakin?"

"Tentu.."

Jeno menghela nafasnya ia kembali menatap keluar jendela mobil, mereka sudah tiba di pesisir. Hanya tinggal mencari dermaga dimana mereka berjanji untuk bertemu dengan pemburu itu.

Merasa Jeno tak lagi akan bertanya apapun padanya Jisung menatap layar ponselnya yang masih menyala karena baru saja Chenle kembali menghubunginya, ia bisa melihat selca dirinya dan Chenle disana dengan wajah saling menempel dan tawa yang lebar.

'Aku akan pulang Chenle-ya... Tunggu aku di mansion dan jangan mencariku.'

Mobil yang membawa keduanya berhenti di sebuah dermaga, mereka berdua bisa melihat dengan jelas ada 2 mobil van hitam terparkir didepan mereka.

Baik Jeno ataupun Jisung turun dan tanpa ragu melangkah menuju titik pertemuan, mereka melihat seorang pria yang mengenakan jumper hitam dan menutup kepalanya dengan hoodie membelakangi keduanya, siluet yang sama seperti yang pernah dilihat Jisung dahulu saat pria itu menyeret Chenlenya menuju gang kecil.

"Kau... Zhang Yixing?" Tanya Jisung tanpa sedikitpun merasa takut, namun Jeno menahan Jisung untuk melangkah lebih dekat.

Walau dirinya hanya membaca berkas penyelidikan semata, seolah-olah Jeno bisa menilai dengan mudah karakter seorang Zhang Yixing ia yakin bahwa pria itu tak sendiri disini, ditambah ia mengingat suara Jinhyuk yang tengah dipukuli serta suara Lami saat menghubunginya tadi, jadi tak mungkin hanya ada dirinya disini.

"Kau menginginkanku bukan? Serahkan Jinhyuk dan Xiaojun aku akan mengganti nyawa mereka dengan milikku jika kau ingin."

"Hyung?! Apa yang kau bicarakan, aku membantumu kemari bukan untuk mengantarkan nyawamu."

Pria berhoodie itu berbalik sambil membuka hoodienya ia terkekeh pelan melihat 2 orang yang ditunggunya datang kehadapannya tanpa repot-repot menangkapnya "Ah, tenang.. aku sama sekali tak menginginkan dirimu Lee Jeno.."

"Apa maksudmu?"

Yixing tiba-tiba mengeluarkan pistol dari balik saku hoodienya dan menembak perut Jisung dengan peluru yang sudah dilapisi dengan rendaman air Vervains*.

'Dorr!'

Jeno terkejut, ia segera menahan tubuh Jisung yang tertembak dan hampir ambruk limbung kebelakang. Lukanya tak menutup seperti biasanya, bahkan kini Jisung mengerang sambil meremas perutnya dengan kuat membuat darahnya terus menetes dari sana.

"H-hyung.."

Yixing tertawa pelan melihat bagaimana Jisung kesakitan saat ini, pria itu akan merasakan rasa terbakar yang sama seperti saat dirinya merasa kehausan luar biasa di tenggorokannya, namun sayangnya kali ini tak ada yang bisa menghilangkan rasa panas dan membakar itu, bahkan darah sekalipun.

"Apa yang kau tembakkan!"

"Vervains.. Seharusnya kalian lebih maju dari pada kami, Park Jisung akan mati perlahan setelah dia melihatmu tewas dihadapannya."

Jeno mendudukkan Jisung membisikkan kata-kata agar adiknya itu menahan rasa sakitnya. Setelah ia selesai Jeno berjanji akan membawa Jisung pergi dari sini "Tahan Jisung-ah, Hyung akan membawamu pergi dari sini."

Ia bangkit berdiri dan melangkah lebih dekat dengan Yixing "Apa salahnya? Bukankah kau melakukan ini karena diriku? Kau membantu Lami untuk melenyapkanku?!"

"Pfftt... Lami? Itu urusan kalian berdua. Urusanku adalah dengan dia, karena dia aku kehilangan adikku, Zhong Chenle tak pernah sekalipun membantah ucapanku, dan dia merebut Chenle dariku."

".... Kau benar-benar sudah gila."

"Oppaaa!!"

Jeno menoleh kearah salah satu pintu van hitam yang terbuka ia melihat Mija berada disana tengah meronta dalam dekapan erat Lami bahkan tubuh Jinhyuk berada disana penuh dengan darah ia tak tahu apakah pria itu masih hidup atau tidak.

"Apa yang kau lakukan, itu adik dan Oppamu sendiri Lami!!" Jeno melangkah mendekat pada Van namun Lami menodongkan sebuah pisau lipat pada leher Mija membuat Jeno tak dapat mendekat sedikitpun.

"Kumohon Lami.."

"Aku akan membiarkan mereka hidup.. serahkan nyawamu padaku, jika aku tak mendapatkan Jaemin Oppa begitu juga denganmu."

"Haruskah seperti itu? Kau tahu apa yang kau lakukan ini menyakiti Jaemin." Jeno mencoba melangkah kembali mendekat saat melihat Lami sedikit teralihkan karena ucapannya.

"Jangan mendekat padaku!" Lami yang menyadari gerakan Jeno justru mengeratkan pisau dalam genggamannya pada leher Mija, hingga leher anak kecil itu lecet dan mengeluarkan sedikit darah.

Jeno mengangkat kedua tangan dan menghentikan langkahnya, ia menyerah. Asalkan Jinhyuk, Mija dan Jisung bisa selamat, ia menyerah.

Twisted


Begitu Donghae tiba di restoran ia melihat Jungwoo dan Lucas sudah berada di luar Cafe bersama dengan Hyukjae, ia melihat Jewel's Cafe sudah ditutup.

"Kenapa kalian menutup cafe?"

"Perasaanku tak enak, kami ingin kembali ke panti."

"Baiklah akan kuantar... Jika memang perasaanmu tak enak aku tak akan mengijinkanmu untuk membawa kendaraanmu sendiri."

Hyukjae mengangguk mengiyakan ucapan Donghae, iapun akhirnya naik kedalam mobil Donghae disusul Jungwoo dan juga Lucas.

"Perasaankupun tidak enak sedari tadi."

Donghae menghela nafasnya, jika Jungwoo sampai berkata perasaannya pun tak enak itu artinya memang terjadi sesuatu diantara salah satu penghisap darah.

Dengan cepat Donghae membawa mobilnya menuju panti, namun begitu tiba mereka melihat banyak mobil polisi dan ambulance didepan gang menuju panti.

Hyukjae segera membuka pintu tanpa menunggu Donghae selesai memarkir mobilnya, Lucas pun segera turun dengan tergesah-gesah mengejar Hyukjae namun tak bisa di pungkiri pria tan itu penasaran dengan apa yang terjadi dipantinya.

Keduanya tertahan digaris polisi karena dilarang untuk masuk kedalam, namun Jungwoo dengan cepat menyentuh tangan polisi tersebut "Kami keluarganya, biarkan kami masuk.." Ucapnya dengan lembut, dan berhasil membuat polisi itu membiarkan mereka ber-4 masuk kedalam.

Yang pertama kali mereka lihat adalah beberapa kantung mayat yang dibawa keluar dan dibagian dalam panti dan terlihat Renjun serta Xiaojun sedang duduk bersama anak-anak panti yang lain memeluk mereka yang terlihat ketakutan. Sedangkan Hendery memberikan beberapa keterangan pada polisi dan Siwon yang berada dipanti saat ini.

Namun yang membuat tubuh Hyukjae jatuh lemas saat melangkah masuk kedalam adalah saat para polisi menutup seluruh tubuh pucat Junmyeon dengan kain putih.

"T-tidaak!!"

Lucas meraih tubuh Hyukjae yang hampir terduduk di atas lantai, Siwon yang berada disana pun segera menghampiri sumber suara setelah menghapus air matanya dan meminta agar tubuh Junmyeon dibawa untuk di outopsi.

"Hyukie.." Siwon dan Lucas memeluk erat Hyukjae yang menangis dan meraung, dadanya benar-benar sesak ia tidak pernah bermimpi sekalipun akan berpisah dengan Junmyeon melalui cara menyakitkan seperti ini.

Donghae menatap Renjun dan Xiaojun, ia bisa merasakan aroma detektif itu telah berubah, Renjun menyelamatkan Xiaojun diambang kematiannya. Ia mengalihkan pandangannya dari Xiaojun namun kembali ia berbalik badan membelakangi kekasihnya, sebisa mungkin Donghae tidak ingin melihat Hyukjaenya menangis hingga seperti itu, dadanyapun ikut sakit saat ini.

Melihat Hyung mereka menangis, anak-anak pantipun turut menangis dalam pelukan Renjun dan Xiaojun dan sebagian berlari memeluk Jungwoo, walaupun Jungwoo tak mengenal siapa yang meninggal tersebut namun melihat mereka semua menangis hatinyapun ikut terasa perih.

Siapapun yang tega membuat malaikat-malaikat kecil ini menangis benar-benar keterlaluan.

"Siapa yang melakukan ini?"

Suara Donghae terdengar sangat berat, beruntung para polisi sudah meninggalkan mereka para penghuni panti dan beberapa anggota mansion Lee serta Hendery didalam bangunan ini.

"Lami Noona memukul Junmyeon Hyung!! Aku benci Lami Noona!!" Ilwoo kembali berteriak sambil menangis. Anak kecil ini sampai harus melihat hal menyakitkan seperti itu karena Lami yang matanya sudah tertutup oleh kebencian.

Tangisan Hyukjae makin menjadi, ia menunduk dan semakin terisak. Mengapa adik manisnya jadi seperti ini? Apa benar hanya karena Jaemin dan Jeno? Tidak mungkin.

"Dimana Jaemin dan Jinhyuk? Apa sudah ada yang menghubunginya?" Setelah sekian lama Siwon baru bertanya tentang keberadaan kedua adiknya yang tak tampak sedari tadi.

"Kami disini bersama dengan Jaemin tadi.." Hanya Hendery yang membuka suaranya, entahlah Renjun dan Xiaojun hanya diam saja mereka sepertinya tak tahu harus menjawab apa, keduanya hanya ingin menenangkan anak-anak yang tengah menangis ini.

"Lalu kemana dia?"

"Jaemin pergi mencari Jinhyuk dan menyusul Jeno serta Jisung."

"Apa? Sebentar, aku tak mengerti maksudmu.." Donghae mendekati Hendery, dadanya sudah berdebar kuat ia mulai merasakan apa yang Jungwoo rasakan, perasaan khawatir dan takut.

"Mereka..."

Hendery bercerita dari awal apa saja yang ia dengar dari Xiaojun dan ditambah dengan pengakuan Ilwoo belum lagi hasil pencariannya dengan Chenle, mereka semua kini menuju pesisir entah apa yang akan terjadi.

Donghae mengepalkan tangannya bahkan kedua pupilnya mulai memerah karena menahan emosinya yang memuncak, seharusnya ia melenyapkan pemburu itu saja saat mendengar namanya.

"Aku akan menyusul mereka.." Siwon segera berdiri ia hampir mengambil kunci mobilnya.

"Aku akan sampai lebih cepat, kemana mereka pergi?"

Hendery yang terkejut melihat perubahan mata Donghae segera menunjukkan kedip merah dari GPS ponsel mereka dimaps yang terpampang pada layar laptopnya.

Dalam hitungan detik Donghae menghilang dari hadapan Hendery saat berbalik badan membuat pria bersurai kelam itu terkejut hingga terjungkal.

Renjun yang melihat Donghae pergi begitu saja ia tahu, mungkin keganasan milik Donghae yang selama ini ia tahan akan dikeluarkan olehnya, sekali lagi seperti saat pria itu membunuh para prajurit kerajaan yang mengepung adiknya ratusan tahun lalu.

Twisted


Mobil sedan hitam yang dikendarai Jaemin melaju dengan cepat membelah jalan bebas hambatan menuju pesisir, mereka bahkan beberapa kali melanggar lampu lalu lintas karena terburu-buru.

Baik Jaemin ataupun Chenle sama sekali tak bisa lagi bertoleransi dengan waktu karena nyawa kekasih mereka tengah dipertaruhkan dengan waktu yang ada, semakin cepat mereka sampai mungkin Chenle bisa kembali membujuk kakaknya dan menghentikan hal buruk apapun yang akan dilakukan Zhang Yixing pada orang yang berharga bagi keduanya.

Sesekali Jaemin melirik pada titik merah pada layar ponsel mereka yang kini berhenti di dermaga. Ia yakin mereka benar-benar sudah berhenti saat ini.

"Kita akan segera sampai Chenle ya, kau jangan khawatir."

"Aku benar-benar takut Hyung.."

Jaemin meremas gagang stirnya, ia pun merasakan hal yang sama. Ia takut sangat takut, dirinya tak bisa membayangkan berada di posisi Jeno yang bersikap tak tahu apa-apa padahal dia sudah tahu segalanya. Bagaimana bisa Jeno hanya diam saja dihadapannya, bagaimana bisa pria itu berpura-pura dirinya tak tahu apa-apa?

Suara ban mobil berdecit, Jaemin menghentikan mobilnya saat melihat mobil Jisung berada tak jauh dari mereka, baik Jaemin ataupun Chenle segera keluar dari mobil dan berlari pelan mendekati mobil milik Jisung.

"Tidak.. Tidak.. Tunggu.."

"Ada apa Chenle-ya?"

"A-aku.."

Perlahan Jaemin meremas kedua jemari Chenle yang terasa gemetar ketakutan saat ini, ia paham mengapa anak ini begitu merasa ketakutan "Kau diamlah disini, aku akan kesana.."

Jaemin melangkah mendekat dan menghiraukan Chenle yang masih meminta mereka untuk bersembunyi terlebih dahulu, bahkan tangan Chenle tak bisa menjangkau ujung pakaian yamg digunakan Jaemin saat pria itu pergi meninggalkannya.

Keduanya melihat Jeno kini mengangkat kedua tangannya keatas dengan Jisung yang terduduk lemas di atas dermaga sembari menyentuh perutnya dan mengerang tertahan "Berhenti, hentikan semua ini!"

Kedatangan Jaemin membuat semua yang berada disana terkejut, namun tidak dengan Yixing. Ia tahu pasti mereka akan datang menyusul kekasihnya, ada Jaemin pasti akan ada Chenle bukan?

Dan ya, ia melihat Chenle bersembunyi di balik mobil berwarna biru milik Jisung, menatap pria yang lemas itu dengan khawatir.

"O-Oppa?" Entah apa yang dipikirkan Lami, ia tersenyum melihat Jaemin datang. Bahkan ia melepaskan Mija dalam dekapannya yang segera berlari menuju Jeno sambil menangis.

"Apa yang kau lakukan disini?" Omel Jeno pada Jaemin sambil memeluk Mija dan meminta anak itu berlari ke arah Jisung.

"Apalagi? Mengapa kau datang kemari sendiri Lee Jeno! Aku hampir mati mengkhawatirkanmu kau tahu!"

Senyum diwajah Lami memudar "Kau datang bukan untukku Oppa?"

Belum usai rasa kesalnya pada Jeno dirinya harus mendengar ucapan seperti itu dari bibir Lami, ia melirik gadis yang masih terlihat cantik itu walaupun matanya sembab dan noda darah ada dipakaiannya.

"Kau..? Untuk apa diriku datang untuk seorang pembunuh sepertimu."

Baik Jeno dan Lami terkejut dengan ucapan Jaemin, pisau lipat yang berada dalam genggaman Lami terlepas begitu saja hingga terjatuh keatas tanah, apa itu artinya ia tadi benar-benar membunuh Junmyeon?

Tapi, bukankah dirinya dan Jeno sama-sama seorang pembunuh, tapi kenapa Jaemin membencinya? Kenapa Jaemin tak bisa memperlakukannya sama seperti pria itu memperlakukan Jeno.

"Diapun pembunuh Oppa, tapi kau tidak pernah sekalipun memandangnya sebagai seorang pembunuh, Lee Jeno seorang monster kau tahu!"

"Dia membunuh ayahku dalam keadaan tak sadar, sedangkan dirimu? Kau membunuh Hyungku dalam keadaan sadar eoh! Kau monster Lami-ya!!"

Lami melangkah mundur beberapa langkah, ia tak percaya Jaemin akan membencinya hingga seperti itu, ini kali pertama dalam hidupnya Lami melihat Jaemin menatap matanya dengan tatapan seperti ini, pertama kali dalam hidupnya nada bicara Jaemin sangat tinggi padanya.

"Berhenti mengangguku ataupun Jeno ataupun Hyung lainnya." Lanjut Jaemin "Setelah kubawa Jinhyuk Hyung kerumah sakit, kau berurusan denganku." Jaemin menatap Jeno dan meminta pria itu pergi saja dari sini, sedangkan Jaemin berusaha membantu Jinhyuk bangkit berdiri membiarkan Lami mulai menangis dan menunduk seorang diri.

Jeno menurut, ia melirik Lami benar-benar dengan pandangan tulus dan prihatin sebelum dirinya beranjak kembali mendekati Jisung dan membantu adiknya untuk berdiri "Kubantu Oppa.."

"Terima kasih Mija-ya.."

"Jisung-ah.."

Baik Jisung ataupun Jeno menoleh kesumber suara, Jisung tersenyum lemah menahan ringisan dari bibirnya sambil meremas perutnya yang benar-benar terasa terbakar dan tak henti mengalirkan darah disana. Ia melihat Chenle berlari dengan cepat kearahnya dan membantu Jisung untuk bangkit.

"Kau bodoh, kenapa datang kemari?"

Chenle menatap Jisung dengan matanya yang berair hampir menangis, ia bisa mencium aroma vervains yang kuat dari tubuh Jisung. Rasanya ingin menangis saat dirinya tahu ia akan kehilangan Jisung...

Dirinya seorang pemburu, Jisung seorang penghisap darah, mereka tahu efek vervains apa.. Mereka tahu mungkin ini terakhir kali keduanya saling menatap satu sama lain.

"K-kau yang bodoh, eoh? Bukankah dimana ada dirimu harus ada diriku hh Jisung-ah." Chenle perlahan memeluk Jisung.

"Sebaiknya kita segera membawa Jisung pulang."

"Tak perlu repot-repot, dia akan mati sebentar lagi.." Yixing kembali bersuara, ia tak terlalu suka drama dihadapannya.

Inilah yang ia kurang suka saat menunda untuk melenyapkan seorang penghisap darah, seharusnya ia bisa menusukkan pasak miliknya pada dada Jisung dan Jeno andai saja gadis ini tidak meminta untuk menjadikan Jinhyuk umpan.

"Hyung, bisakah.. hentikan? Bukankah kau sudah melukainya? Jisungku akan menghilang seperti keinginanmu, bukankah kau sudah mencapai apa yang kau inginkan? Bisakah kau hentikan saja semuanya?"

Chenle benar-benar memohon pada sang Hyung, meminta Yixing menghentikan kegilaannya namun pria berwajah oriental itu justru menjentikkan jemarinya membuat beberapa anak buahnya yang entah bersembunyi dimana keluar dari persembunyian mereka.

"Kau pikir aku menyiapkan hari ini untuk apa Zhong Chenle? Sudah kukatakan sejak awal, jangan pernah bermain-main denganku."

Mereka menatap sekeliling, bagaimana cara mereka pergi jika ternyata mereka terkepung seperti ini. Perlahan Jaemin mendudukan Jinhyuk didekat Mija dan Chenle yang masih berusaha menahan tubuh Jisung yang semakin lemas.

"Hyung.. tunggulah sebentar aku akan membawamu kerumah sakit." Walau lemah Jaemin masih bisa melihat anggukan kecil dikepala Jinhyuk, tubuh Hyungnya itu penuh dengan darah dan luka "Mija-ya, Chenle kalian tetap disini jaga Hyungku." Jaemin memberikan pistol dari sakunya pada Chenle "Gunakan ini jika ada yang mendekat, jangan ragu untuk menggunakannya."

Ragu Chenle menganggukkan kepalanya dan menerima pistol tersebut ia mengenggam senapan itu dengan jemari gemetar, ini kali pertama ia menyentuh senjata dengan tangannya.

Hanya tersisa Jeno dan Jaemin yang bisa melawan, mereka tak ingin berakhir disini jadi sebaiknya melawan hingga akhir bukan mengalah untuk menyerah.

Perkelahian tak imbang terjadi, keduanya sebisa mungkin menahan serangan dan menjauhkan para penyerang dari Chenle yang menjaga 3 orang sekaligus, walau keduanya berhasil menghalau serangan dan pukulan namun Jaemin yang hanya manusia terjerembab saat tubuh dan kakinya ditendang dengan kuat.

"Akhh.."

Jisung menutup mata Mija dengan tangannya yang penuh dengan darah "Jangan lihat.." Pintanya dan Mija menurut untuk menutup matanya sambil menutup telinganya menggunakan tangan, tubuh anak itu bergetar saat melihat Jaemin terjatuh dengan suara nyaring dari kakinya.

"Menjauh darinya!!" Umpat Jeno kesal saat melihat Jaemin terjerembab, ia menarik penyerang yang mengerumuni Jaemin memukuli mereka dan menendang semuanya satu persatu hingga tumbang.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Jeno tanpa bisa membantu Jaemin untuk bangkit, ia harus waspada akan serangan lain. Pria bersurai auburn itu mengeram dan bangkit kembali berdiri dengan kekuatannya sendiri.

Walau kakinya kini sakit dan terlihat tertatih dalam bergerak namun ia tetap akan membantu Jeno melawan. Kedua tangannya mengepal kembali dan kembali dalam posisi siaga untuk melawan setiap serangan.

Jeno memukul wajah dan menendang perut dari beberapa penyerangnya membuat mereka terhuyung dan mendekati Jaemin yang sudah siap untuk memberikan bogem mentah dan tak ragu memelintir leher mereka.

Disaat perkelahian terjadi, Yixing melangkah mendekti Lami yang terlihat menangis dan menunduk "Apa kau hanya akan diam saja? Aku melakukan semua ini, hari ini, untuk membantumu melampiaskan dendammu Lami." Yixing merangkul Lami menepuk-nepuk bahu kecil gadis yang masih menangis tersebut.

"Jangan dengarkan Jaemin, semua ini, semua hal buruk yang terjadi pada dirimu dan panti asuhanmu semuanya salah Lee Jeno."

Gadis itu perlahan menghentikan tangisannya, netra bulatnya menatap Jeno yang tengah bertarung dengan mahir menumbangkan anggota Yixing termasuk hal yang mudah untuk makhluk itu.

"..... Semua salahnya."

Yixing mengelus surai hitam milik Lami, perlahan ia mengeluarkan sebuah pasak yang terbuat dari kayu pohon oak dan memberikannya pada Lami.

"Dada kirinya, dan dia akan tewas menghilang dari dunia ini. Dan Na Jaemin akan kembali padamu."

Tanpa pikir panjang gadis itu mengambil pasak kayu tersebut mengenggamnya dengan erat, ia hampir melangkah namun Yixing membisikkan sesuatu "Jika kau tak keberatan.. Bunuhlah Park Jisung untukku, diapun selalu membantu Lee Jeno menghancurkan hidupmu bukan."

Tak perlu mendengar jawaban, sudut bibir Yixing terangkat menjadi sebuah senyuman saat melihat Lami melangkah mendekati Jeno dengan cepat sembari membawa pasak digenggamannya, langkahnya semakin cepat dengan tangan yang terangkat.

"Jeno!!"

Jaemin susah payah memukul siapapun yang menghalangi jalannya walaupun dengan langkah tertatih mendekati Jeno saat melihat Lami berniat menyerang prianya.

Sambil mengambil salah satu pedang dari jasad prajurit didekatnya Jaemin masih bisa menyerang beberapa prajurit yang berusaha menyerangnya yang tengah berjalan tertatih menghampiri Jeno.

Ia menarik Jeno agar menjauh dari serangan Lami, berdiri didepan Jeno agar serangan itu tidak melukai prianya. Kedua netra Jeno terkejut, bahkan Jisungpun seperti tengah melihat kejadian yang sama akan terulang.

"H-Hyung.." Panggil Jisung dengan tersengal.

Panah yang seharusnya bersarang didada Kiri Jeno kini justru bersarang di punggung menembus hingga ke dada kanan Jaemin, Jeno terkejut setengah mati melihat Jaeminnya berdiri menjadi tameng baginya.

"Apa yang kau lakukan, Jaemin-ah?"

Namun, tidak kali ini.

Pasak itu kini bersarang didada kirinya, memberikan rasa sakit yang luar biasa saat kayu pohon oak itu seakan membakar dadanya secara perlahan bahkan ia yakin benda ini akan membunuhnya sebentar lagi..

Sebagaimana seorang penghisap darah akan tewas saat seseorang menancapkan pasak dari kayu pohon oak pada dadanya, itulah keadaan Jeno saat ini. Menukar posisinya dan Jaemin didetik terakhir sebelum kekasihnya kembali meregang nyawa karena menyelamatkannya.

Kedua netra coklat itu saling berpandangan untuk sesaat sebelum kedua tubuh mereka yang saling menahan satu sama lain dan merosot terduduk diatas lantai dermaga.

"J-Jeno?"

"Apa yang kau lakukan Lee Jeno?!"

Jemari Jeno terangkat ia mengelus wajah Jaemin mungkin untuk yang terakhir kalinya bibirnya menyunggingkan senyum hangat pada Jaemin "Kali ini.. aku.. yang melindungimu.... Kibum-ah.."

To Be Continued

*Vervains (Sejenis lavender) namun merupakan racun mematikan bagi kaum Vampire (penghisap darah), menimbulkan rasa terbakar yang hebat hingga menyebabkan hilang kesadaran melemahkan penghisap darah bahkan dapat menyebabkan kematian instant.