myCatalog

Sabtu, 03 Oktober 2020

TWISTED - 20


∵ TWISTED ∵


|


|


|


|


TIDAK!

Netra cokelatnya menyadari Lami melangkah menghampirinya, ditambah lagi Jaemin yang memanggil namanya dengan panik dari belakang. Jeno merasa tubuhnya ditarik oleh Jaemin ia tahu dengan jelas apa yang melintas dikepala kekasihnya itu.

Jenopun segera kembali menarik lengan kekasihnya kebelakang mengganti posisi mereka, kali ini.. tidak akan ada lagi kejadian dimana Jaemin yang menjadi pelindungnya.

Kedua matanya mengerjap, panggilan Jaemin yang berdengung ditelinganya mengiringi rasa sakit dalam dadanya yang terasa terbakar dan berdenyut begitu kuat saat Jeno menyadari bahwa pasak tersebut kini bersarang didalam dada kirinya merobek dadanya menusuk jantungnya.

Sepertinya mitos yang didengarnya selama ini dari bibir Renjun dan Donghae memang benar adanya. Pasak dari kayu pohon oak benar-benar akan membunuh dirinya.

Kilasan ingatan antara dirinya bersama dengan Jaemin dan masa lalu keduanya kini berlarian didalam kepala Jeno saat rasa panas semakin membakar dadanya.

"Kau adalah Lee Jeno.."

"Apa darahku masih terasa manis?"

Ia teringat pertam kali bertemu Jaemin di bandara saat pria itu terjatuh dan terinjak beberapa penggemarnya "Jaemin-ah.. Kau tak apa-apa?" Suara Mark menjadi latar bagaimana baik Jaemin ataupun Jeno saling menatap satu sama lain.

"Berjanjilah kau akan mencariku dan membuatku mencintaimu lagi.."

Wajah manis Jaemin yang tersenyum dari balik Gat nya membuat Lee Jeno selalu tak berkutik dan terdiam setiap memandang pahatan indah yang diciptakan Tuhan sebagai pria yang dicintainya.

"Jika kau berbohong padaku, aku akan membelah tubuhmu jadi dua Lee Jeno-ssi.."

"Jika, diriku tidak berbohong?"

Jaemin kembali terdiam sesaat sebelum menelan liurnya dan membuka mulutnya "Aku akan memberikan hidupku untukmu, baik dikehidupan lalu, sekarang, dan masa depan. Jadi jangan berbo-..."

Ia teringat akan ciuman pertama mereka yang dicurinya dari Jaemin yang tengah mengoceh panjang setelah Jeno mengatakan perasaannya pada pria itu, Park Jaemin.

Pertemuan tanpa sengaja keduanya di pasar yang ramai pada pagi hari.

Namun ada ingatan lain yang kembali dalam memori lama nya mengenai Jaemin dan masa lalunya, tubuhnya terasa tercabik dan nama yang di sebutkannya sebelum siluet tubuh Renjun menutupi pandangannya semakin membuatnya mengorek makin dalam ingatannya.

"K-Kibum-ah.."

"Apa yang kau lakukan?"

"Melindungimu.."

"Mulai saat ini dia tangan kananku, Lee Jinki. Tidak ada satu orangpun yang bisa menyentuhnya.." Pria dengan pakaian bangsawan itu tersenyum lebar didepan para prajuritnya "Menyentuhnya sama saja melawan perintahku, Kim Kibum..."

Jeno meringis, ia mengerjapkan kedua matanya menatap Jaemin, ingatan kian ingatan bermuculan tiada henti sejak ia bertemu pertama kali dengan Kim Kibum hingga terakhir kali ia memanggil nama pria itu sebelum ingatannya terhapus selamanya sampai saat ini.

Jaemin menangis, ia memeluk tubuh Jeno yang perlahan kian melemas bahkan wajah pasi itu semakin memucat dengan bibir yang mulai menghitam "A-... Arrghhhh!!!" Dadanya terasa sakit, rasa sesak luar biasa sama seperti saat ayahnya terbunuh malam itu ia bisa merasakan Jenonya benar-benar sudah meninggalkannya, Jaemin tak lagi merasakan keberadaan Jeno hanya raga tak bernyawa tanpa jiwa.

"Jinki.. Lee Jinki.." Ia menangis terisak menjerit membisikkan nama Lee Jinki ditelinga Jeno namun pria itu tak lagi merespon, sekali lagi.. Kim Kibum kehilangan Lee Jinkinya.

Serangan berhenti sejak Lami menusukkan pasaknya, gadis itu bahkan sama sekali tak merasa bersalah melihat Jaemin menangis sekeras itu karena kematian yang diperbuat olehnya.

Ia melangkah menjauh meninggalkan Na Jaemin dengan kesedihannya "Satu lagi monster yang harus kusingkirkan.."

"Menjauh!" Bentak Chenle sambil menodongkan pistol pada Lami yang mendekat kearah mereka, Jinhyuk yang lemas tak bisa berbuat apa-apa nafasnya tersengal-sengal ia bahkan tak tahu apa ia masih bisa membuka matanya lagi atau tidak setelah ini, ia terkejut melihat adiknya menusuk Jeno yang saat ini tergeletak tewas dilantai dermaga.

Jinhyukpun tak bisa berbohong dan berpura-pura kuat, ia terbatuk hingga mengeluarkan darah dari mulutnya. Hanya dirinya yang tahu berapa lama lagi ia akan bertahan dengan luka seperti ini disekujur tubuhnya.

Namun ia masih bisa meminta Mija bersembunyi dibalik tubuhnya dengan berbisik lemah dan dituruti oleh gadis kecil itu ia bersembunyi diantara punggung Jinhyuk dan Chenle.

Tangan pria itu gemetar ia tak berani menarik pelatuk untuk membunuh seorang manusia, melenyapkan penghisap darah saja yang ia dengar sejak kecil adalah makhluk mengerikan saja dirinya tak sanggup apalagi membunuh sesama manusia seperti dirinya.

Jisung meraih lengan Chenle yang gemetar ketakutan, pria itu menggenggam jemari kekasihnya dengan tangannya yang penuh darah, mengambil pistol tersebut dari tangan Chenle sambil menatap prianya dengan dalam.

"Biarkan Chenle-ya.. Kita sama-sama tahu apa... hhh yang akan terjadi pada diriku, dengan atau tanpa pasak itu bukan?" Jisung berusaha tersenyum dengan wajah pucatnya, Jeno sudah tiada ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya setelah ini.

Namun Chenle memeluk Jisung dengan erat menghalangi gadis itu untuk menusuk pasaknya "Kita akhiri berdua Park Jisung.."

"Cih.." Lami tetap mengangkat tangannya ia tidak perduli akan membunuh siapa kali ini, yang menghalangipun akan ia lenyapkan tanpa sisa.

"Hentikan!" Yixing terkejut melihat Lami tetap berniat menyerang saat Chenle justru memeluk Jisung menghalangi Lami untuk menyerang penghisap darah itu, nyawa adiknya dalam bahaya saat ini.

Tapi sayang Lami benar-benar tak lagi mendengarkan apapun dan siapapun, ia tetap melangkah berniat menyerang target terakhirnya.

Pasak dalam genggamannya melayang dan tertancap pada dada kiri seseorang yang dengan tiba-tiba menghalangi serangan Lami pada Chenle dan Jisung. Jemarinya yang menusukkan pasak kini berada dalam genggaman seseorang yang semakin menggerakkan jemari itu agar menusuk dadanya kian dalam.

"O-Oppa?"

Jaemin yang memang sudah bersimbah darah milik Jeno menunduk ia kini melihat pasak yang sama berada didadanya menembus organ dalamnya, ia kemudian kembali menatap Lami yang gemetar melepas genggaman jemarinya dari pasak tersebut.

Namun Jaemin menahan jemari tersebut, ia mengenggamnya dengan erat sebelum jatuh tergeletak dilantai dermaga nafasnya benar-benar tersengal ini ratusan kali lebih menyakitkan daripada saat ia tertembak saat itu.

Pandangannya melembut pada Lami yang ia lihat mulai menangis dan mengguncang tubuhnya, jemarinya terangkat menghapus airmata dari wajah cantik gadis yang selalu ia lukai dan sakiti disetiap kehidupan yang mereka jalani "Maafkan aku.. Lami."

"Oppaa!!!" Gadis itu mengguncang tubuh Jaemin namun tak ada respon apapun lagi jemari pria yang baru saja menghapus airmatanya seperti dahulu terjatuh lemas begitu saja sebelum Lami mengenggamnya. Apa yang sudah ia lalukan??

"Oppa!! Maafkan aku, aku tak bermaksud melukaimu aargh!! Oppaa!!"

Lami menghapus air matanya namun dadanya benar-benar sakit ia mengenggam erat jemari Jaemin dengan tangan kirinya dan mendongak perlahan saat mendengar suara lock pistol yang terbuka didepannya.

Gadis itu menatap Jisung yang masih dengan lemas memeluk Chenle, yang kini menangis dipelukannya. Pria itu mengangkat pistol ditangannya dengan pupilnya yang memerah menatap Lami yang sudah membunuh kedua hyungnya dengan tangannya sendiri.

Gadis itu tak menghindar, ia mulai merasa bersalah akan perbuatan bodohnya hingga membuatnya kehilangan pria yang dicintainya. Perlahan Lami menarik sudut bibirnya untuk tersenyum tulus pada Jisung "Maafkan aku.."

'Dooorrr'

Usai mendengar ucapan itu Jisung menarik pelatuk pistolnya, menembak dada kiri gadis itu dengan timah panas hingga tubuh Lami terhentak kebelakang dan tergeletak bersimbah darah diantara jasad Jeno dan Jaemin.

Pupil merah Jisung kembali menjadi coklat, pistol digenggamannya terlepas, tubuhnya semakin lemas ia menghabiskan seluruh energinya hanya untuk menarik pelatuk pistolnya tadi.

Mau tak mau Chenle menahan tubuh Jisung yang kian merosot lemas, pria itu semakin menangis kencang ia tahu efek dari vervains itu akan membunuh Jisungnya sebentar lagi.

Namun tubuh Chenle justru ditarik paksa agar melepaskan pelukannya pada Jisung yang kini tergeletak lemah menatapnya yang kian menjauh meronta saat ditarik paksa oleh beberapa anak buah Yixing yang masih tersisa.

"Tak perlu membunuhnya, dia akan mati perlahan dengan polisi itu, dan tinggalkan saja anak kecil itu."

Mija menangis terisak di balik tubuh Jinhyuk ia sejak tadi menghadap kearah laut membelakangi semua orang, ia hanya mendengar suara jeritan, tembakan dan tangisan disekitarnya.

"O-Oppa..." Panggilnya pada Jinhyuk yang sedari tadi ia genggam jemarinya.

"Oppa?" Mija sekali lagi memanggil Jinhyuk yang tidak merespon panggilannya, ia mengintip untuk melihat keadaan kakaknya yang terluka tersebut.

"Oppa?!!!"

Kedua tangannya mengguncang lengan Jinhyuk yang benar-benar tak meresponnya, ia takut akan kehilangan kakaknya. Mija pun menangis semakin terisak memanggil Jinhyuk yang tewas menyusul Jaemin dan Jeno.

Mija merangkak menghampiri Jisung yang tersengal-sengal dilantai dermaga "Oppa, kau harus bangun Oppaa.." Ia mengguncang lengan Jisung membuat pria itu menoleh, senyum terakhirnya ia berikan pada Mija agar gadis itu tenang.

"Bersembunyi hhh lah, oppa hanya akan.. tidur hhh sebentar.." Jemarinya mencoba untuk menyentuh puncak kepala Mija, namun jemari itu sudah terjatuh terlebih dahulu sebelum ia sempat menyentuhnya.

"Tidak.. Tidaak!!! Park Jisung!!" Chenle masih meronta-ronta ketika tubuhnya diseret paksa, Yixing berbalik memimpin jalan ia tak perduli dengan jeritan pilu Chenle namun langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang tak dikenalnya berdiri disana.

"Menyingkirlah dan anggap saja kau tak melihat apapun disini." Yixing kembali melangkah tak mempedulikan adiknya yang kian meronta merengek agar ditinggalkan saja dengan Jisung.

Pria itu menatap Yixing tajam, tangannya terangkat hingga perlahan ia meremas udara membuat para anak buahnya mengejang dan mencekik lehernya sendiri "Mati..." Ucapnya dengan suara berat, remasannya pada udara kosong kian erat hingga mereka semua jatuh tak bernyawa dihadapan Yixing yang terkejut.

"K-kau.."

Pria itu Donghae melirik Chenle yang kembali berlari menghampiri Jisung dan memeluk tubuh adik terkecilnya itu, netranya menatap tubuh Jeno yang tergeletak membelakanginya dan tubuh Jaemin yang bersimbah darah.

Kedua pupilnya merah menyala, dan kembali menatap Yixing dengan amarah yang membara, airmata sudah menggenang dipelupuk matanya.

Yixing kembali mengeluarkan pistolnya dan menembak Donghae dengan peluru berlapis cairan vervains miliknya berkali-kali, namun belum peluru itu menyentuh Donghae timah panas itu berhenti didepan tubuh Donghae hanya dengan sebuah tatapan tajam.

Dengan sebuah gerakan tangan peluru-peluru tersebut berputar kembali dan menyerang Yixing menancap disetiap bagian tubuhnya. "Kau bermain-main dengan makhluk yang salah.."

Tubuh Yixing terhentak kebelakang saat peluru-peluru tersebut menghantam tubuhnya secara bersamaan, hingga ia tergeletak diatas lantai dermaga.

"A-aakhh!!"

"Kau.. menyentuh keluargaku, kau membunuh keluargaku!!" Donghae kembali mengangkat tangannya ia mencekik udara membuat tubuh Yixing terangkat keatas menggantung diudara, menatap bagaimana pria itu tercekik tanpa perlu Donghae menyentuhnya.

Hal yang Donghae sesali adalah, ia terlambat.. Seharusnya ia lebih peka, andai ia sampai lebih cepat anda ia tahu lebih cepat, andai saat Bibi Kang berkata Chenle mencari Jisung dan Jeno dirinya sadar lebih awal, tentu ia tak akan kehilangan adik-adiknya.

Setiap darah yang menetes dari tubuh adiknya dan mereka yang tewas hari ini akan ia balas dengan kematian yang paling menyiksa dari pemburu itu.

"C-Chenle.."

Yixing memanggil Chenle dengan susah payah, ia ingin adiknya melihat bagaimana penghisap darah akhirnya menyerang manusia. Namun Chenle terlalu berduka hanya untuk menoleh menatap Hyungnya itu.

Iapun sangat ingin, membunuh Hyungnya itu saat ini jika bisa. Namun bagaimanapun, Yixing adalah Hyungnya, sedangkan membunuh sama sekali bukan keahliannya.

Pria bersurai pink itu menghiraukan panggilan Yixing, ia tengah menangis sambil menahan isakannya menatap wajah pucat Jisungnya yang mengikari janji untuk tidak akan pernah meninggalkannya.

Gadis kecil yang sedari tadi mengguncang lengan Jisung pun perlahan bangkit, ia tak mengerti apa yang terjadi mengapa semua orang tergeletak dengan darah ditubuhnya mengapa semua orang tertidur dihadapannya.

Mija menghampiri Chenle "Oppa jangan menangis, semuanya sudah tertidur.. Mija tidak ingin Oppa menangis hingga tertidur, Mija akan sendirian."

Perlahan Chenle membaringkan tubuh Jisungnya dan memeluk Mija agar anak kecil ini tak melihat apa yang terjadi dibalik tubuhnya, menyembunyikan wajah Mija dibalik dadanya. "Waktunya kau untuk tidur Yixing Hyung.."

Donghae kembali menatap Yixing, senyum miring tersungging di bibirnya namun airmata masih menetes dari matanya "Selamat tidur Zhang Yixing.." Jemarinya meremas udara kembali ia menutup kedua matanya mendengar suara setiap tulang leher Yixing yang retak dan patah perlahan karena serangan dari telekinesisnya.

Brrukk

Tubuh Yixing jatuh tergeletak dengan wajah membiru tak bernyawa, Donghae menjatuhkan lengannya lemas ia terduduk diatas lantai dermaga menarik kedua kakinya untuk menekuk dan memeluk dengan erat kedua kakinya.

Jemarinya meremas rambutnya menahan perih dan sakit di dadanya, namun ia benar-benar tidak bisa. Kehilangan kedua adiknya bersamaan sama saja seperti dibunuh dua kali, Donghae merasa mati saat ini.

"AAAARRRGHHHH!!!!!"

DEG!

Donghyuk menjatuhkan gelas dalam genggamannya kedua matanya kosong menatap kedepan membuat Mark segera menghampiri kekasihnya itu.

"Ada apa? Donghyuk-ah?"

Namun bukan jawaban yang didapat oleh Mark melainkan tubuh pria berkulit Tan itu merosot terduduk dilantai apartment, menangis hingga terisak memukul dadanya yang terasa sangat pedih dan sakit, perlahan Mark memeluk tubuh Donghyuk ia tak mengerti apa yang terjadi pada kekasihnya namun ia mencoba untuk menenangkan Donghyuk.

Ia merasakannya.

Donghyuk merasakan apa yang tengah Donghae rasakan saat ini, mereka kehilangan Jeno dan Jisung. Kematian merampas anggota keluarga mereka.

Sedangkan Renjun ia menatap langit, tangannya bertumpu pada dinding. Hampir saja tubuhnya limbung, jemarinya yang lain meremas dadanya dengan kuat hingga perlahan Renjun menangis, adik yang dijaga olehnya pergi meninggalkannya.

Bersamaan dengan Jungwoo yang mencoba menghapus airmatanya ia berdiri dan mengeluarkan ponselnya, menghubungi polisi agar datang kedermaga didekat pesisir, usai melakukan panggilan ia mulai berjongkok dan terisak.

Rasa sakit yang Donghae rasakan pasti dirasakan oleh seluruh penghuni Mansion saat ini.

"Ada apa? Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi? Kenapa kau menghubungi polisi?"

Siwon bertanya bertubi, ia menatap Xiaojun dan Hendery karena tak mendapatkan jawaban apapun dari Jungwoo ia menatap Lucas yang juga bingung menatap Jungwoo dan Renjun yang menangis.

Walaupun Xiaojun baru saja menjadi penghisap darah, iapun merasakan rasa sakit yang tengah dirasakan Donghae namun ia tak mungkin ikut bersedih saat ini, netranya menatap Hyukjae yang terduduk disudut termenung.

Bagaimana jika pria itu tahu, dia kehilangan ketiga saudaranya juga setelah Junmyeon?

Twisted


Pemakaman usai, Donghae berdiri menatap nisan kedua saudaranya yang berdiri berdampingan sedangkan nisan lainnya yang tewas hari itu berada di blok lain pemakaman ini. Kasus kematian massal di dermaga saat itu benar-benar membuat gempar seluruh Korea Selatan, tak ditemukan penyebab pasti kematian sebagian korban disana namun spekulasinya adalah mereka saling membunuh satu sama lain.

Bahkan dunia permodelan Korea Selatan pun berduka karena Lee Jeno ikut menjadi korban tewas disana bersama dengan bodyguardnya Na Jaemin.

Choi Jinhyuk diberikan gelar kehormatan karena tewas ditempat sebagai betuk tugas yang tengah dijalaninya.

Tak ada bukti tak ada saksi mata, ketika polisi datang mereka hanya melihat jasad yang tergeletak tak bernyawa. Beruntung Donghae berhasil bangkit dan menarik Chenle dengan bujukan Mija agar meninggalkan tubuh Jisung dan pergi dari sana.

Donghae bahkan sampai menggendong dan menarik Chenle untuk segera pergi bersama dengan gadis kecil yang sejujurnya menangis melihat Chenle menjerit dan menolak untuk pergi.

"Apa kalian bahagia setelah meninggalkanku?"

Pertanyaan pertama yang dikeluarkan Donghae setelah hampir 30 menit dia hanya berdiri dalam diam didepan nisan Lee Jeno dan Park Jisung. Bahkan bibirnya bergetar saat menanyakan hal itu.

Ratusan tahun ia selalu melihat kedua adiknya itu saling berbincang satu sama lain, sekarang ia harus melihat kedua nisan dingin adiknya berdampingan dihadapannya.

"..... Kami akan pindah dari Seoul, mungkin dari Korea. Baik-baiklah disini, mungkin suatu saat nanti aku akan menyusul kalian, atau mengunjungi kalian lagi kemari."

"Hhh... aku..."

Jemari Donghae perlahan mengelus puncak kedua nisan adiknya bersamaan ia masih berharap bahwa yang sentuhnya saat ini bukanlah nisan dingin melainkan puncak kepala kedua adiknya, namun rasanya itu tidak mungkin. Airmata kembali menetes dari pelupuk matanya ia bahkan tak dapat melanjutkan kalimat selanjutnya hanya isakan yang keluar dari sana.

"Apa seperti ini resikonya Jaemin-ah? Apa kau membawa semua resiko itu denganmu tanpa membaginya padaku?" Hyukjae duduk bersila didepan nisan milik Jaemin, matanya menatap 4 jejer nisan yang tertulis nama orang-orang yang disayangi olehnya.

Junmyeon, Jinhyuk, Jaemin dan Lami.

Mereka semua pergi meninggalkan Hyukjae dihari yang sama, bahkan tanpa sempat mengatakan apapun padanya, bahkan tanpa ada pertemuan sebelumnya. Setidaknya berikanlah dirinya sebuah kalimat terakhir?

"Oppa.."

Hyukjae menoleh ia tersenyum simpul menatap Mija yang menghampirinya dan segera memeluk dirinya "Oppa tidak menangis bukan?"

"Tentu saja tidak." Hyukjae sudah lelah menangis hingga ia rasa airmatanya hampir mengering.

"Donghae Oppa menangis sangat kencang.."

Mau tak mau Hyukjae hanya menanggapinya dengan tersenyum, ia mengerti bagaimana rasa sakit yang dirasakan Donghae, bahkan selama beberapa hari ini pria itu sama sekali tidak menangis hanya demi menghibur Hyukjae yang terpukul.

Ia kehilangan 4 orang yang dikenalnya selama lebih dari 20 tahun rasanya seperti dunia seakan-akan runtuh, bagaimana dengan Donghae? Pria itu kehilangan 2 orang adik yang ratusan tahun bersama dengannya.

"Donghae Oppa sedang bersedih. Menangislah saat kau merasakan sedih, biarkan Donghae Oppa menangis kita akan menunggunya di mobil."

Hyukjae menggendong Mija dan beranjak menuju tempat dimana mobil Donghae terparkir, ia menunggu didalam sambil mengecek ponselnya.

Tak lama Donghae datang sambil menghapus sisa airmatanya "Kau tak apa-apa Donghae-ya?" Hyukjae meletakkan ponselnya dan menyentuh wajah Donghae.

"Tak apa.." Pria itu tersenyum dan mengenggam jemari Hyukjae, ia melirik pada Mija yang tengah duduk di kursi belakang dengan beberapa tas yang akan mereka bawa.

"Kemana kita?" Tanya Donghae pada Mija.

"Aku ingin berada didekat gunung.." Jawab Mija semangat, Donghae dan Hyukjae terkekeh pelan.

"Baiklah, kita akan kesana. Kita bertiga akan membangun semuanya dari awal bersama." Ucap Donghae sambil menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan pelataran makam.

Usai kejadian tragis tersebut Donghae meminta agar para penghuni mengambil jalannya masing-masing. Donghae sudah tidak bisa memimpin mereka lagi karena dirinya sendiri melanggar peraturan yang dibuatnya.

'Membunuh manusia dengan sengaja'

Dengan berat hati mereka semua terpaksa mengiyakan, mansion Lee kosong dalam waktu hitungan hari setelah ditinggalkan oleh pemimpinnya.

Donghae mengajak Hyukjae dan mengangkat Mija menjadi bagian keluarga mereka kemudian pergi entah kemana, mereka ingin menjelajahi seluruh Korea sepertinya, melupakan kejadian lampau.

Mark dan Donghyuk kembali ke Eropa meneruskan persiapan pernikahan mereka, tanpa pesta yang meriah tanpa mengundang siapapun. Mereka hanya ingin melakukannya dengan sederhana diantara suasana berkabung seperti saat ini.

Jungwoo kini pindah dan tinggal di panti membantu Lucas sembari tetap bekerja bersama di cafe, Hyukjae meninggalkan cafe untuk adik satu-satunya yang dewasa dan masih tersisa.

Siwon meneruskan pekerjaannya dan sesekali datang ke panti untuk berkunjung, ia menutup rapat mulutnya tentang kejadian hari itu. Dan kini ia bekerja sama dengan Hendery, yang dipindahkan menjadi detektif di kantor polisi tempatnya bekerja.

Chenle.. Melanjutkan kuliahnya yang tertunda, ia berusaha bangkit seorang diri tanpa seorang kakak dan tanpa Jisung. Walau Donghae sudah memberikan seluruh aset Jisung pada Chenle ia tak ingin hanya berpangku pada hal itu saja, Chenle ingin berhasil seperti Jisung.

Xiaojun dan Renjun memutuskan untuk pindah menuju daerah pesisir menjorok kehutan, tetap menyendiri namun memulai semuanya dari awal.

Mereka meninggalkan Mansion Lee selamanya, memulai semuanya dari awal. Melupakan kenangan pahit yang pernah terjadi dimansion tersebut. Menanggalkan nama 'Penghuni Mansion Lee' dibelakang.

Melupakan masa lalu.

Twisted


Jembatan sungai Sanzu yang tak pernah gelap dan sangat panjang ramai dilewati oleh para roh yang sudah menemukan jalan mereka untuk menuju kehidupan selanjutnya. Tungkai mereka berjalan sendiri-sendiri sambil membawa setangkai bunga lily segar dalam genggaman tangan kanan mereka.

Langkah seorang pria terhenti, ia menatap bunga dalam genggamannya dan menoleh pada pria yang berjalan dibelakangnya. Keduanya saling melempar senyuman manis, jemarinya terulur menunjukkan kelingkingnya.

Janjinya yang belum terpenuhi.

"Aku akan mengenalimu Kibum-ah.."

Pria itu tersenyum lebar dan mengaitkan kelingkingnya dengan kekasihnya yang mungkin akan ia lupakan sebentar lagi "Aku juga akan mengenalimu Jinki-ya.."

Tautan kedua kelingking mereka terlepas bersamaan dengan terpaan angin yang cukup kencang melewati keduanya, sesaat keduanya saling bertatap namun tak lama pria bersurai auburn itu memutuskan kontak mata dan melangkah terlebih dahulu melewati si pria bersurai hitam seolah-olah ia melupakan apa yang baru saja terjadi.

Dan pria bersurai hitam itupun berbalik dan melanjutkan perjalanannya fokus pada langkahnya sendiri menghiraukan pria bersurai auburn didepannya dan perlahan melupakan segalanya.

Melanjutkan perjalanannya yang entah akan membawa mereka kemana.

Twisted


Renjun melingkari kalender bulanan yang tergantung di ruang tengah cabin miliknya dan Xiaojun yang sudah ditempatinya lebih dari 50 tahun menjorok dihutan, ia masih terlihat sama tak berubah.


"Kau sudah kembali?"


Xiaojun baru saja kembali dari perburuannya mencari darah hewan di hutan, seingatnya hari ini Renjun akan pulang telat karena mengunjungi pemakaman Lucas, namun sore hari ia sudah melihat kekasihnya ada di cabin mereka.


"Ya.. Aku tak bisa melihat Jungwoo menelan vervains itu dihadapanku seperti yang dilakukan Donghyuk saat Mark tewas dalam kecelakaan 10 tahun lalu." Renjun menutup pulpen dalam genggamannya.


Ia menghela nafas, semenjak kematian Jeno dan Jisung perlahan penghuni Mansion mereka pun akan perlahan menyusul dengan vervains yang sengaja mereka simpan. Entah karena mereka yang sudah merasa tidak sama lagi seperti dahulu, atau karena anggota keluarga yang mereka bangun tewas.


Seperti Donghyuk, usai pemakaman Mark yang sudah menua dan tewas karena kecelakaan di Perancis, pria yang menyandang nama anak angkat Mark saat pria itu tewaspun justru memutuskan untuk menyusul Mark dengan Vervains yang disimpannya selama ini, tepat dihadapan Renjun.


Pria itu rasanya tercabik saat melihat Donghyuk perlahan meregang nyawa dengan rasa terbakar disekujur tubuhnya, dan kini ia tidak bisa melihat Jungwoo melakukan hal yang sama ketika pasangan hidupnya meninggal karena usia yang kian menua.


"Manusia akan tewas jika sudah waktunya, sedangkan penghisap darah memutuskan sendiri waktu hidupnya didunia ini." Xiaojun menyentuh puncak kepala Renjun dan mengecupnya sesaat sebelum keduanya menatap keatas meja persegi yang menyimpan bingkai foto penghuni mansion beserta keluarga dan pasangan hidup mereka.


Renjun meletakkan 2 bingkai baru saat dirinya kembali, foto Lucas dan Jungwoo yang bersebelahan dengan bingkai milik Donghyuk dan Mark.


Mungkin tak lama lagi, mereka akan mendengar berita duka lagi.


Langkah kaki seorang wanita berumur dengan sepatu berhak tingginya terdengar mengisi gema dalam lorong rumah sakit, wanita itu membawa sekeranjang buah dalam genggamannya sembari tersenyum ramah pada beberapa orang yang menyapanya.


Lorong rumah sakit sudah menjadi temannya sejak 5 tahun terakhir saat ayah angkatnya mulai jatuh sakit secara tiba-tiba, ia menghela nafasnya perlahan sebelum berhenti melangkah dan menatap pintu dingin dihadapannya tempat sang ayah berada disana.


Sebelum pintu ia buka, pintu tersebut terbuka dari dalam dan menampilkan sosok seorang dokter yang baru saja keluar dan mengecek keadaan pasien dalam ruangan tersebut.


"Oh Nyonya Lee kau sudah datang.."


"Ya.. Hari ini pekerjaanku di kantor penerbit lebih sibuk, jadi diriku baru bisa datang sekarang. Bagaimana keadaan ayahku?"


Dokter wanita itu tersenyum ramah "Sama seperti sebelumnya, stabil.. Walau kurasa kau dan anakmu harus menyiapkan diri setiap saat."


Wanita itu terpaksa menarik senyum di wajahnya dan mengangguk "Terima kasih dokter Zhong..." Ujarnya.


Dokter wanita itu segera beranjak pergi setelah menundukkan kepalanya, wanita yang sudah berumur itu menatap punggung dokter tersebut yang beranjak menjauh darinya.


Ingatan wanita itu beralih pada kejadian 50 tahun lalu saat melihat wajah dokter tersebut, perlahan ia tersenyum saat tahu pria bernama Zhong Chenle itu akhirnya bangkit dan membina rumah tangga hingga memiliki anak, menjalankan kehidupan sewajarnya manusia.


Wanita itupun masuk dan membuka pintu kamar, ia melihat ayah angkatnya bersama dengan 'anaknya' didalam sana tengah saling memandang satu sama lain dengan jemari yang saling bertaut.


"Oppa.." Panggil Wanita itu dan membuat keduanya menoleh bersamaan. Mereka tersenyum pada wanita berumur itu, satunya sudah terlihat tua dengan rambut memutih dan lemah, dan satunya lagi terlihat masih begitu muda sama seperti 50 tahun lalu saat mereka memulai untuk menjalani kehidupan bersama.


"Kau melihatnya? Tadi sepertinya anak wanita Chenle.." Ujar si yang paling muda dalam ruangan tersebut dan disambut kekehan pelan dari 2 lainnya.


Wanita itu meletakkan keranjang buah yang dibawanya pada meja nakas "Ya aku melihatnya Oppa, dia bahkan menyebutmu anakku Oppa.."


"Uri Donghae memang tidak akan pernah menua.." Ujar pria tertua disana yang semakin terlihat lemah, semakin hari semakin lemah walaupun kesehatannya stabil, namun umur tak lagi mendukung.


Ucapan itu membuat baik si muda Donghae dan Wanita si kecil Mija terdiam bersamaan, mendengar hal tersebut justru membuat Donghae semakin merasa ia akan kehilangan Hyukjaenya sebentar lagi.


Mereka memutuskan untuk hidup seperti manusia normal, membesarkan Mija seperti anak-anak normal lainnya dan membiarkan Hyukjae menua dan makin menua hingga kini status mereka bertiga berganti saat pria yang terbaring ini kian menua.


Mija menjadi anak tertua yang begitu berbakti pada orangtuanya, Hyukjae sedangkan Donghae ia terpaksa harus menerima dirinya disebut sebagai cucu dari orang yang dicintainya.


"Mija-ya.. Bisa tinggalkan kami sebentar?"


Permintaan Hyukjae disanggupi oleh Mija yang segera mengangguk, ia beranjak pergi keluar dari kamar namun kedua tungkainya tak sanggup untuk melangkah lebih jauh saat mendengar ucapan Hyukjae yang masuk kedalam telinganya saat jemarinya hampir menutup pintu.


"Aku ingin pulang dan meninggal dengan tenang diranjangku Donghae-ya.."


"... Bisakah kau tidak membicarakan ini Hyukie?"


Jemari Hyukjae terangkat, ia menyentuh wajah Donghae yang begitu tampan dihadapannya, lelaki yang amat dicintainya "Berhenti menghindar Donghae-ya.. Cepat atau lambat hari itu akan datang, dan diriku... Ingin meninggalkanmu dengan cara yang benar.."


Baik Donghae ataupun Mija terdiam ditempat, keduanya menunduk dan mulai terisak menangis dalam diam. Bagi Donghae ia akan kehilangan dunianya, tapi bagi Mija akan kehilangan segalanya, kedua Oppa yang sudah mengasuh dan membesarkannya hingga saat ini, bagaimanapun Mija tahu dengan jelas bahwa Donghae akan menyusul Hyukjae begitu pria itu menghembuskan nafas terakhirnya.


Keinginan Hyukjae keduanya penuhi, mereka tiba dirumah yang terletak diperbukitan, rumah sederhana yang dibangun perlahan oleh Donghae karena Mija begitu ingin tinggal didekat gunung.


"Aku akan membakar kayu.." Ujar Mija dengan semangat di umurnya yang sudah tidak muda lagi, sedangkan Donghae ia menyelimuti Hyukjaenya.


"Aku akan membuatkan gingseng hangat untukmu.." Satu kecupan di kening Hyukjae mengantar senyum manis dari bibirnya yang tak pernah berubah walau keriput sudah bermunculan diwajahnya.


Donghae membuat segelas gingseng di dapur, bibirnya tak berhenti tersenyum sejak mereka beranjak pulang dari rumah sakit. Hyukjae berjanji padanya akan menghabiskan sore nanti bersamanya di teras menemani Mija seperti kebiasaan mereka dahulu.


Netranya memandang jendela dihadapannya yang menampilkan dapur dari luar rumah, ia menatap pepohonan yang berdiri kokoh tanpa dedaunan karena musim dingin tengah menyerang Korea, jemarinya Donghae tempelkan pada cangkir yang berisi gingseng panas ia hampir membawanya andai telinganya tidak mendengar panggilan Mija.


"Oppa?" Wanita itu menyentuh lengan Hyukjae yang mendingin, ia begitu panik saat menyadarinya "Oppaa!!! Donghae Oppaa!!!"


Donghae berlari meninggalkan dapur tanpa membawa lagi secangkir gingseng dengan asap mengepul disana, mengiringi panggilan Donghae yang memanggil nama Hyukjaenya dengan pilu.


"Lee Hyukjaeee!!"


Bingkai berwarna hitam kembali Renjun letakkan di meja perseginya, ia menatap seluruh wajah disana satu per satu. Mereka adalah orang-orang yang pernah dikenalnya dan kini mereka semua telah pergi meninggalkan dirinya termasuk Donghae yang selama ratusan tahun memimpin dirinya.


Jemarinya mengepal, kehilangan demi kehilangan semakin membuat relung dadanya terasa begitu berdenyut sakit.


Asap yang berasal dari sekeliling Cabin mulai menganggu pernapasannya, Renjun terbatuk ia menoleh dan menatap Xiaojun yang mulai membakar sekeliling mereka dengan api sedangkan diatas meja tersebut terdapat 2 gelas kecil air putih yang sudah dicampurkan dengan vervains.


Semua penghisap darah yang bernaung di mansion Lee sudah tewas seiring waktu, hanya tersisa dirinya dan Xiaojun dan kini mereka berdua akan mengakhiri perjalanan Mansion tersebut, penghuni terakhir yang masih hidup.


Xiaojun mendekati Renjun ia memeluk prianya sekali lagi sebelum keduanya saling menganggukkan kepala untuk meminum vervains tersebut bersamaan. Hawa panas dari sekeliling cabin yang terbakar sama sekali bukan apa-apa dibanding rasa terbakar yang keduanya rasakan membakar didalam tubuh mereka.


Sebelum kesadaran keduanya menghilang, mereka memutuskan untuk duduk di sepasang kursi yang menghadap keluar, memandang pemandangan malam dari jendela cabin yang perlahan terbakar bersamaan dengan tubuh Renjun dan Xiaojun yang sudah tewas karena vervains.


Mija memandang pusara dihadapannya, Lee Donghae, Lee Hyukjae. Dirinya kini hidup seorang diri, tidak ada yang menemaninya setelah keduanya pergi meninggalkannya. Jangan salahkaj Donghae yang tega meninggalkannya setelah Hyukjae menghembuskan nafasnya.


Sejak awal Mija kecil sudah sadar bahwa kedua oppanya itu tidak akan terpisah bahkan oleh maut sekalipun. Ia kini menginjakkan kakinya didalam rumah yang terasa sepi namun masih terasa kehangatan keluarga didalamnya.


Mereka memberikan kehidupan keluarga yang begitu sempurna pada Mija, dan wanita itu bersyukur pernah menjadi bagian dari mereka, pernah mendengar kisah keduanya. Dan kini, Mija akan menceritakan pada semua orang bahwa mitos tentang penghisap darah yang begitu jahat tidaklah benar.


Ia membuka jurnalnya dan mulai menulis disana, diatas meja kerja yang selalu digunakan oleh Donghae selama ini.


'Mansion Lee...


Hujan turun begitu deras saat seseorang berlari antara semak rerumputan menghindari monster yang mengejarnya, dia adalah Lee Donghae...


....


....


.....


.....




THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar