UNTIL YOU
|
|
|
***
Itulah Na Jaemin saat ini, ia hanya bisa berkedip beberapa kali dan mengambil nafas seadanya ketika Jeno benar-benar berdiri dihadapannya dan menyapanya dengan senyuman manis itu.
Oh, Na Jaemin sangat ingin melompat dan memeluk Jeno andai ia bisa, mungkin jikalaupun bisa ia akan dipecat setelahnya, jadi seberapa besarpun keinginannya Jaemin harus menahan keinginannya tersebut.
"Bagaimana keadaanmu? Lukamu baik-baik saja?"
Pertanyaan dari Jeno menyadarkannya dari fase melamun "Jika aku tidak baik-baik saja aku tidak mungkin bekerja saat ini."
Jeno menganggukkan kepala, jawaban Jaemin memang benar adanya, ia lalu memberikan selembar uang untuk membayar minuman pesanannya, "Buatkan jadi 2 untukmu, kutraktir."
Mendengar perkataan Jeno bahwa dia mentraktir Jaemin membuatnya terkekeh geli dengan cara Jeno mentraktirnya minuman namun ia segera menerima uang tersebut dan mengembalikan kelebihan uang Jeno "Kamsahamnida Jeno-ssi."
Saat menerima uang kembalian tersebut Jeno dengan tiba-tiba menarik jemari Jaemin masuk dalam genggaman agar kasir itu mendekat padanya, ia bisa melihat bagaimana wajah terkejut Jaemin karena ulah Jeno yang dengan tiba-tiba memangkas jarak diantara mereka "Ingat, kau masih asistenku. Berhenti menjauhiku dan siapkan makan siangku besok." bisiknya sambil tersenyum simpul lalu mengambil minuman pesanannya dan segera beranjak dari hadapan Jaemin.
Usai menetralisir rasa terkejutnya Jaemin menghela nafas, kenapa Lee Jeno benar-benar kembali menyebalkan? "Cih.. Aku saja tidak tahu dia ingin makan apa." gumamnya kesal tapi ia masih menatap kemana arah punggung Jeno pergi, bukan keluar cafe melainkan menuju lantai 2.
Jaemin bisa melihat Jeno duduk di meja dekat dengan pagar pembatas dengan nyaman tanpa berpikir meja itu milik seseorang seperti seolah-olah dia terbiasa duduk disana.
Sebentar, terbiasa??
Jangan-jangan...
Jeno sering datang?
Omo..
"Permisi?"
Bayangan tentang Jeno yang diam-diam datang ketempat kerjanya menguap saat mendengar panggilan dari pembeli lainnya, Jaemin kembali fokus pada pekerjaannya, ia segera menoleh pada pembeli dihadapannya "Ya, maaf.. Selamat sore, selamat datang apa yang ingin anda pesan?"
"Jaemin-ssi? Itukan namamu?"
"Ya?" Jaemin terkejut karena pembeli didepannya memanggil namanya, dan atensi Jaemin yang terlihat sangat penasaran disadari oleh Jeno yang sedari tadi memasang mata memperhatikan Jaemin.
"Ini aku William.."
"Ah!! Kau yang pernah menolongku bukan? Dan Sky Bridge?"
"Ya benar, saat itu kau belum sempat mengatakan namamu. Hari ini aku melihatmu bekerja disini dan akhirnya aku bisa tahu namamu." Si pria itu, yang terlihat tinggi dengan rambut tertata rapi dan kulit yang sedikit lebih gelap daripada kulit orang Korea kebanyakan menunjuk nametag yang digunakan Jaemin sembari tersenyum begitu ramah dan manis.
"Namaku Na Jaemin, kau ingin pesan apa?"
"Aku ingin pesan minuman yang sebelumnya dipesan oleh pembeli tadi."
"Ah..." Jaemin mengambil minuman miliknya yang tadi di belikan oleh Jeno lalu menyodorkannya pada William "Ini, kau ambil anggap saja sebagai rasa terima kasihku kau sudah menolongku waktu itu." Jaemin memberikan minuman miliknya tanpa tahu kini Jeno tengah melotot kesal dari lantai 2 cafe tempatnya bekerja.
"Apa benar ini tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, ambil saja."
Pria itu dengan senang hati mengambil minuman tersebut, lalu tersenyum ramah pada Jaemin yang membalas senyumannya "Bagaimana jika besok kita makan siang bersama? Aku akan menunggumu di kantin?" Dengan semangat Jaemin menganggukkan kepalanya, baginya ini kesempatan untuk memperluas pertemanannya.
"Baiklah, sampai bertemu besok Jaemin-ssi." Pria itu beranjak keluar dari cafe dengan senyum lebar, namun senyumannya perlahan hilang saat melihat siapa yang berada di hadapannya saat ini.
Sesama siswa ChoiShin HighSchool tengah menatap William dengan tajam dari atas motornya, ia kemudian turun sembari menenteng helm di tangan kanannya dan melangkah memasuki pelataran cafe.
"Kusuruh kau datang kerumahku untuk mengerjakan tugasku tapi kau justru memberikan banyak alasan agar bisa datang kemari? Apa kau sudah memiliki banyak uang sekarang?" Siswa tersebut menghampiri William dan menarik kerah bajunya lalu mendorong William hingga terjatuh menabrak beberapa kursi dan meja yang berada diluar cafe menimbulkan beberapa keributan yang mengundang perhatian tamu dan pekerja didalam cafe termasuk Jaemin.
"Maafkan aku Junshik-ssi."
"Kau selalu berhasil membuatku kesal." Pria tersebut hampir melayangkan tinju menggunakan helm digenggamannya pada William andai saja Jaemin tidak menghalangi dan mendorong pria bernama Ju Junshik itu menjauh dari William.
"Apa kau tidak punya etika? Berkelahilah di tempat lain apa kau berniat menghancurkan bisnis orang lain?" Umpat Jaemin.
Junshik yang terdorong melihat Jaemin berdiri memasang badan untuk William, ia familiar dengan wajah dihadapannya ini, hingga ia ingat masalahnya dengan si pekerja cafe tersebut beberapa waktu lalu, pemuda bernama Ju Junshik itupun mendengus dan terkekeh meremehkan.
"Ah, kau.. Si penerima dana sosial itu? Waah, kau benar-benar berniat menjadi pahlawan diantara para penerima bantuan sosial eoh? Jungwoo, William? Siapa lagi yang ingin kau bantu? Mengap kau tidak memikirkan saja tentang dirimu sendiri."
Mendengar ucapan tersebut Jaemin berusaha memutar memori otaknya tentang pria dihadapannya ini "Ah, kau si busuk itu bukan? Sebaiknya kau pergi atau aku akan membuatmu babak belur disini, ini bukan sekolah aku sama sekali tidak akan segan-segan mematahkan tulang lehermu." Ancam Jaemin, namun justru membuat Junshik memanas dan menghampiri Jaemin dengan cepat, tapi langkahnya terhenti karena seorang Lee Jeno pasang badan didepan tubuh Jaemin.
"Apa kau masih tidak paham arti ucapkanku waktu itu Junshik-ssi?" Tanyanya dengan penuh penekanan, membuat Junshik mau tidak mau menurunkan helm yang berada dalam kepalan tangannya.
"Disini kau bisa menolongnya, disekolah kau tidak akan bisa melakukan apapun lagi. Kau sudah membuangnya kau ingat itu Tuan muda Lee." Junshik tertawa pelan mengejek Jeno kemudian lalu beranjak pergi dan menggertak William dengan berpura-pura ingin menendangnya hingga William meringkuk semakin takut.
Setelah Junshik pergi dari cafe tersebut Jaemin segera membantu William untuk bangkit berdiri "Kau tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa. Terima kasih Jaemin-ssi, tapi maaf minuman darimu jatuh dan tumpah."
"Tidak apa-apa nanti akan ku beres-... Jeno-ssi.. sebentar.." Jeno tiba-tiba meraih jemari Jaemin dan menariknya pergi menuju bagian belakang cafe sebelum ia melihat lebih banyak percakapan antara Jaemin dan pria itu.
"Apa yang ada di kepala kecilmu itu eoh? Mengapa menolongnya?" Omel Jeno yang merasa khawatir pada keadaan Jaemin nanti kedepannya.
"Lalu dirimu sendiri? Mengapa kau menolongku?"
Jeno terdiam, haruskah ia menjawab? Apa Jaemin tidak bisa menebak sendiri jawabannya?
"Dia sesama penerima dana bantuan sosial sepertiku, aku tidak bisa tinggal diam."
"Karena itu Na Jaemin! Kalian berdua sama-sama penerima dana bantuan sosial, kalian akan tamat jika berhadapan dengannya. Dengar kata-kataku, jangan pernah berurusan dengan Ju Junshik disekolah, apalagi ikut campur dalam urusan si William itu, lagi."
"Apa kau tidak terlalu takut secara berlebihan Jeno-ssi?"
Jeno menunjuk dirinya sendiri tidak percaya dengan pertanyaan Jaemin "Aku? Berlebihan? Mungkin kau harus bertanya pada Jungwoo apa yang dilakukan si gila Junshik itu pada penerima dana bantuan sosial."
Kesal, Jeno pun beranjak meninggalkan Jaemin namun ketika ia ingat minuman darinya yang berakhir tumpah diatas lantai tanpa sempat dicicipi oleh Jaemin pemuda itu kembali lagi menghampiri Jaemin "Dan bisa-bisanya kau memberikan minuman yang kuberikan untukmu padanya, kau benar-benar mencari mati eoh!!" Jeno bahkan sampai berteriak kesal seperti anak kecil hingga Jaemin menjauhkan kepalanya mundur kebelakang.
"Ingat siapkan makan siangku besok dan menjauhlah dari masalah!" Omelnya lagi lalu segera pergi, benar-benar pergi meninggalkan Jaemin dan cafe.
Setelah Jeno pergi Jaemin baru bisa menghela nafas entah lega atau dirinya memang baru bisa membuang nafas setelah mendengar ocehan Jeno panjang lebar didepan wajahnya "Aigooo, apa dia baru saja marah padaku, yak!! Aku tidak akan menyiapkan makan siangmu, memang aku ini pengasuhmu!" Omel Jaemin pada angin, bahkan Jeno sudah tidak ada lagi disekitarnya apalagi mendengar omelannya.
⇨ Until You ⇦
"Jungwoo-ya.."
Jungwoo menoleh saat ia mendengar Jaemin memanggilnya, sudah berapa hari ia tidak melihat Jaemin? Pertama karena Jaemin tidak masuk kedua setelah Jaemin masuk dirinya dan Jaemin tidak mengambil kelas yang sama.
"Jaemin-ah.." Jungwoo segera memeluk Jaemin dengan erat ia mendengar kejadian kemarin saat Donghyuk menyiram dan memukul Jaemin "Sudah berapa lama aku tidak melihatmu, bagaimana kabarmu? Apa yang terjadi? Bagaimana lukamu?" Saat Jungwoo melepaskan pelukannya rentetan pertanyaan keluar begitu saja, apalagi ia melihat luka membiru di sudut bibir Jaemin.
"Luka ini tidak ada apa-apanya untukku."
Lucas yang sejak tadi berdiri di sisi Jungwoo mendengus dan terkekeh pelan, ia mengacak rambut Jaemin gemas "Kau satu-satunya murid penerima dana bantuan yang sangat suka memberontak. Jangan melangkah terlalu jauh Jaemin-ah, aku dan Jungwoo sangat mengkhawatirkan keadaanmu."
Setidaknya dari ratusan orang yang memusuhinya masih ada beberapa yang benar-benar berniat berteman dengannya, dan mengkhawatirkannya, Jaeminpun menganggukkan kepalanya ia mencoba untuk mengerti akan kekhawatiran yang dirasakan Lucas serta Jungwoo.
"Ya aku paham, tunggulah diriku sebentar aku akan mengambil buku, kita akan pergi ke kelas bersama." Jaemin meminta Jungwoo dan Lucas menunggunya, dirinya baru saja datang dan ia belum mengambil buku dari lokernya.
Kedua sejoli itu mengikuti Jaemin menuju loker milik pemuda Na tersebut, mereka berdua tengah membicarakan akan menu apa yang nanti ingin mereka makan saat istirahat, dan berniat memaksa Jaemin untuk makan bersama dengan mereka nantinya, namun suara tas Jaemin yang terjatuh membuat atensi Lucas dan Jungwoo berpindah.
"Omo!" Jungwoo menutup mulutnya saat terkejut melihat bagian dalam loker Jaemin yang sudah hancur, semua buku miliknya rusak tercabik-cabik, belum lagi terdapat bangkai burung didalamnya.
Terdapat tulisan 'ibumu pelacur' hampir disetiap jengkal dinding loker yang ditulis dengan darah burung tersebut. Jemari Jaemin mengepal dengan kuat, ia bahkan menggigit bibirnya sendiri menahan kesal dan sesak didadanya melihat kata-kata tersebut ditujukan untuk ibu yang sudah susah payah membesarkannya.
"Waah lihat siapa yang datang.."
Jaemin melirik kearah sumber suara setelah menghapus setetes air mata yang menetes karena menahan kesal didadanya, ia melihat bagaimana Jungwoo terkejut dan segera bersembunyi di balik tubuh Lucas, membuatnya teringat ucapan Jeno tentang sipembuat onar itu, Ju Junshik.
Sambil menutup pintu lokernya dengan kasar Jaemin segera berbalik dan meninju wajah Junshik hingga membuat hidung pria tersebut mengeluarkan darah, tidak cukup satu pukulan Jaemin berteriak dan terus menghajar Junshik melampiaskan kekesalan atas setiap tulisan yang dibacanya.
"Jaemin-ah, hentikan!!" Lucas terpaksa memeluk dan menarik tubuh Jaemin dari belakang dengan paksa, menahan tubuh Jaemin yang tengah emosi sangatlah sulit untuk dilakukan. "Jaemin, Jaemin-ah sudah hentikan."
"Lepaskan aku!! Sialan!! Aku akan membunuhmu!!!"
Tubuh Lucas sampai perlu ditarik oleh Jungwoo agar mereka bisa memisahkan Jaemin yang menyerang Junshik secara membabi buta, Lucas bahkan sampai terjatuh kelantai hanya demi menahan tubuh Jaemin yang meronta-ronta ingin menyerang Junshik.
Namun suara tawa yang keluar dari bibir Junshik membuat Jaemin berhenti meronta, dan membuat Jungwoo bergidik ngeri ia meremas dengan kuat lengan Lucas yang masih menahan Jaemin.
"Kau.. kau masih bisa tertawa?! Akan kubunuh kau Ju Junshik!!" Umpat Jaemin dan berhasil membuat Lucas kembali memeluk Jaemin dengan erat agar dia tidak lagi bangkit untuk menyerang Junshik.
Junshik bangkit dari jatuhnya ia menyentuh wajahnya yang babak belur, namun wajah itu tersenyum merendahkan Jaemin. Ia bahkan terbahak melihat Jungwoo yang terlihat ketakutan saat ini "Cih, terima kasih Na Jaemin. Berkat luka ini, aku bisa memberikan pelajaran padamu." Junshik melangkah pergi dengan langkah tertatih ia tidak akan melaporkan hal ini pada kepala sekolah namun ia akan mengambil tindakan sendiri yang sudah ia rencanakan untuk Jaemin dan untuk menjatuhkan Jeno bersamaan.
"Yaaak!!!! Berhenti, aku belum membunuhmu!!"
"Jaemin-ah!! Tenangkan dirimu."
Sesak didada Jaemin semakin menjadi, ia membenci segala sesuatu yang memojokkan ibunya. Kenapa mereka harus membawa ibunya dalam hal ini? Kenapa?
"Jaemin-ah, kumohon hentikan. Ju Junshik bukan orang yang bisa kau hadapi seorang diri, aku tidak ingin kehilangan seorang teman lagi." Rengekan Jungwoo yang terdengar pilu membuat Jaemin akhirnya berhenti meronta, ia mengatur nafasnya dan setelah dirinya tenang Lucas melepaskan pelukannya kemudian menarik Jungwoo dalam pelukannya.
Jaemin bisa melihat Jungwoo kini menahan tangisannya dalam dekapan Lucas "Katakan padaku, ada apa dengan si gila itu? Apa yang sudah dilakukannya?"
Ingatan Jungwoo kembali pada kejadian 3 tahun lalu sebelum ia mengenal Lucas, dirinya dan seorang temannya sama-sama menerima dana bantuan sosial untuk masuk kesekolah elite sekolah lanjutan setelah menyelesaikan sekolah dasar dengan nilai tertinggi.
Jungwoo sangat mengagumi temannya itu, dia pintar sangat bertalenta dalam hal apapun, musik, kesenian, sains, apapun yang dilakukannya akan mendapatkan nilai terbaik, temannya adalah panutan bagi Jungwoo.
Namun semuanya berakhir ketika dirinya mulai terbully dan sahabatnya justru dengan bodoh membantunya, sahabatnya justru menjadi sasaran utama bully dan tidak pernah menyalahkannya.
Ju Junshik dan teman-temannya memukuli sahabat Jungwoo diatas atap sekolah mereka hingga babak belur tapi itu belum cukup, karena dengan tanpa perasaan Junshik mendorong sahabatnya itu hingga terjatuh dari atas atap.
Dan tewas.
Pihak sekolah menyatakan bahwa sahabatnya bunuh diri dan menganggap Jungwoo berhalusinasi tentang Junshik yang mendorong sahabatnya itu.
Sejak saat itu setiap melihat Junshik kenangan kelam itu akan terkorek dengan sendirinya membuat Jungwoo gemetar ketakutan, ia selalu takut jika suatu saat mereka akan menyerang Lucas karena melindunginya tapi beruntung hal itu tidak pernah terjadi.
Namun sekarang ia seperti terlempar ke masa lalu saat melihat Jaemin menerima teror dari Junshik "Kumohon menjauhlah darinya Jaemin-ah, kumohon." pinta Jungwoo, ia meraih jemari Jaemin yang lecet karena luka memukuli wajah Junshik tadi.
"Sebaiknya kuobati luka ditanganmu, dan tetaplah berada didekatku dan Jungwoo jangan pernah berkeliaran sendirian Jaemin-ah. Junshik bukan manusia.."
Jaemin terdiam, ia hanya mengangguk mengiyakan permintaan Lucas dan Jungwoo padanya. Namun sekali lagi, Jaemin sudah terlajur menyelam dan basah ia tidak bisa berhenti saat ini. Dan dirinya sadar bahwa Ju Junshik pasti mengejarnya setelah ini.
⇨ Until You ⇦
Hyukjae keluar dari kelasnya dengan membawa skrip rundown untuk siaran nanti dan berniat menemui Junmyeon, namun dirinya berhenti melangkah saat mengingat ruang siaran yang ia tinggalkan sejak tadi pagi tidak dalam keadaan terkunci, dirinyapun berbalik menuju ruang siaran dan melewati beberapa orang yang dikenal olehnya termasuk Donghaepun berada disana saat melewati sky bridge, mereka orang-orang yang memahat Hyukjae menjadi sekeras dan setegas sekarang karena bully-an mereka.
"Lee Hyukjae!"
Langkahnya terhenti saat namanya dipanggil, tapi dia tidak menoleh. Donghae menghela nafas apa hal ini harus terjadi dihadapannya?
"Kau sudah memiliki klub baru bukan? Waw, bagaimana kau membujuk kepala sekolah? Menggodanya? Kudengar kepala sekolah kita Gay."
"Hei." Donghae berdiri saat melihat Hyukjae akhirnya menoleh, ia menghampiri temannya itu dan menepuk dada orang yang masih dianggapnya teman tersebut. "Apa kau tidak salah membicarakan kepala sekolah kita disini, kau berniat membuat seluruh keluargamu bangkrut eoh?"
Donghae tidak mengada-ada hanya dengan sebuah cek dan tanda tangan seorang Choi Siwon ia bisa membuat 10 perusahaan bangkrut dalam hitungan detik. Namun itu hanya gertakan dari Donghae, ia hanya tidak ingin mereka memojokkan Hyukjae.
"Kupikir kau seperti adikmu yang berniat membela kaum pengemis itu."
Donghae melirik Hyukjae yang tengah menatapnya, ia bisa melihat Hyukjae menggeleng pelan padanya agar tidak perlu membelanya. Ya Donghae memang tidak pernah membelanya selama ini, karena ia takut kehilangan teman-temannya dan akan diejek oleh teman-temannya, namun justru karena harga dirinya itu yang membuatnya kehilangan Hyukjae sejak awal.
Sekarang ingin membela Hyukjaepun rasanya sudah terlambat, orang yang disukainya itu sudah terbiasa berdiru dan membela dirinya sendiri dan apa yang dilakukan Donghae dahulu padanya justru membuat Hyukjae semakin mandiri dan terlalu kuat atas setiap bully-an yang diterimanya seperti saat ini.
"Sebaiknya kita ke kantin." Ajak temannya yang lain, merekapun beranjak pergi kekantin namun Donghae berkata akan menyusul mereka nanti.
"Kau tidak apa-apa?"
"Diriku sudah terbiasa, isi kepala mereka terisi oleh pemikiran negatif sedangkan isi kepalaku terisi pemikiran positif."
Hyukjae kembali melangkah menuju ruang siaran diikuti oleh Donghae, ia tidak berniat menyusul teman-temannya dikantin ia ingin berbincang dengan Hyukjae walau hanya sebentar.
Namun Hyukjae tidak masuk kedalam ruang siaran ia hanya mengunci pintu tersebut dan kembali pergi, "Kau ingin kemana?"
"Bukan urusanmu."
"Hyukie.." Donghae meraih lengan Hyukjae menahan pria itu melangkah lebih jauh lagi "Apa kau benar-benar menutup pintu maafmu untukku?"
Hyukjae menoleh, ia menatap Donghae dan membiarkan siku lengannya masih ditahan oleh Donghae "Jika aku memaafkanmu apa itu akan mengubah keadaan? Semuanya sudah terjadi Donghae-ssi, aku tetap menjadi si lemah dan kau tetap akan menjadi pecundang selamanya." perlahan Hyukjae melepas cengkraman Donghae padanya yang melemah.
"Kau hanya perlu berhenti muncul dihadapanku, lupakan kesalahanmu, dan kau akan melupakanku."
"Apa kau juga melakukan hal yang sama?" Donghae melempar kembali pernyataan Hyukjae padanya.
"Melupakanku? Apa kau benar-benar bisa melupakanku Lee Hyukjae?"
Dadanya berdenyut kuat, Donghae bahkan sulit bernafas saat bertanya hal itu pada Hyukjae bagaimana jika dia mengatakan 'iya' padahal selama ini setiap saty detik yang berjalan Donghae selalu memikirkan Hyukjae, menyesali setiap kesalahannya.
"Apa kau, bisa?" ia menatap kedua mata Hyukjae seolah mencari jawaban atas pertanyaannya.
"........... Ya, aku bisa."
Hyukjae segera berbalik saat ia menjawab pertanyaan Donghae dan segera pergi meninggalkan pria itu seorang diri, padahal susah payah Hyukjae mencari kalimat panjang untuk menjawab Donghae namun akhirnya ia tidak sanggup mengatakannya dan hanya terlontar sebuah kalimat pendek yang jelas-jelas bertolak belakang dari kenyataan yang dirasakannya.
Dengan langkah cepat Hyukjae menjauh dari gedung 3 melewati Sky Bridge menuju gedung utama, dirinya tidak sanggup lagi berlama-lama menatap kedua mata Donghae yang menyiratkan luka yang amat dalam karena kelakuan Hyukjae.
Kini tubuh keduanya bersandar lemas didinding di dua tempat yang berbeda.
Donghae meremas rambutnya kuat-kuat ia ingin berteriak dengan kencang. Salah satu tangannya memukul-mukul dinding ruang siaran dengan kasar bahkan sakit di tangannya sama sekali tidak sebanding dengan denyut sakit di dadanya.
Sedangkan Hyukjae, ia bersandar hingga merosot terduduk didekat ruang olahraga lantai 1 gedung utama ia meremas dadanya kuat-kuat sambil memeluk kakinya sendiri, ini terlalu sakit sangat sakit menyangkal perasaanya sendiri.
Kalau dirinya, masih sangat menyukai Donghae.
Semua berawal 2 tahun yang lalu.
Lee Donghae pertama kali melihat Hyukjae berjalan di jalur pendestrian jalan setapak milik sekolah seorang diri sedangkan dirinya duduk didalam mobil diantarkan oleh kedua orangtuanya.
Sejak awal dirinya terpesona, melihat Hyukjae yang tengah menghirup udara dengan menutup kedua matanya dan mendongak keatas. Membuat Donghae bisa melihat garis rahangnya dengan jelas, helaian rambut hitam legamnya tertiup angin, andai bisa Donghae ingin menjadi orang pertama yang membenahi surai hitam tersebut sebelum tangan sipemilik menyentuh mahkota hitam itu.
Namun, kenyataan menamparnya.
Pria yang merebut atensinya sejak awal bertemu adalah orang yang seharusnya dihindari olehnya sejak awal.
Hyukjae adalah murid penerima dana bantuan, dan saat itu semua orang tidak ada yang ingin berteman dengannya. Padahal Donghae selalu ingin menyapanya, mengucapkan 'Selamat Pagi Lee Hyukjae' tapi dirinya terlalu takut.
Ya, Donghae si murid tahun pertama yang baru masuk itu takut tidak memiliki teman jika dirinya justru dekat dengan Hyukjae.
Hingga suatu hari, permainan itu datang ketelinga Donghae ketika ia berkumpul dengan teman-temannya.
'Bertaruh membuat si miskin menyukai mereka dalam satu bulan.'
Bagi Donghae yang putus asa dan tidak tahu bagaimana cara bisa berkomunikasi dengan Hyukjae hal tersebut bagaikan siraman air surga. Ia bisa memulai percakapan dengan Hyukjae menggunakan alasan taruhan tersebut.
"Namaku Lee Donghae.."
"Lee Hyukjae.."
Sorot mata keduanya menyiratkan ketertarikan satu sama lain, mungkin Donghae terlalu terang-terangan selama ini melirik serta mencuri pandang menatap Hyukjae diam-diam dan ternyata disadari oleh Hyukjae sendiri.
Kedekatan itu berlangsung berbulan-bulan bahkan Donghae benar-benar sudah melupakan tentang taruhan yang dimaksudkan oleh teman-temannya itu. Ia bisa menarik Hyukjae kemanapun ia pergi mengajak pria manis itu menuju kantin ataupun perpustakaan.
Menunggui Hyukjae-nya selesai dengan club dancenya bahkan mengantarkannya pulang setiap hari, baginya itu sudah menjadi aktivitas rutin bagi Donghae.
Dadanya berdebar-debar dengan kuat tiap kali ia mendengar pria itu menghampirinya tiap pagi di ruang loker dengan panggilan khas yang diberikan Hyukjae padanya "Hae-ya..."
Sebuah panggilan manis yang bisa membuat seorang Lee Donghae tersenyum lebar saat melihat kedatangan Hyukjae bahkan hingga satu hari penuh ia akan tersenyum seperti orang bodoh jika mengingat-ingat panggilan manis itu masuk ketelinganya.
"Hyukie, kau sudah makan?"
Dirinya bahkan memiliki panggilan khusus untuk Hyukjae yang selalu menunggunya didepan ruang olahraga ketika jam istirahat datang hanya untuk bisa makan bersama dengan Donghae.
Tidak, mereka tidak akan makan di kantin. Hyukjae selalu membawakan bekal untuk dimakan berdua oleh mereka di atas sky bridge, sangat jarang ada murid yang datang keatas sana disiang bolong kecuali mereka berdua.
'Kimbab'
Donghae selalu mengatakan ia menyukai kimbab buatan Hyukjae seperti ia menyukai bagaimana siluet tubuh Hyukjae yang terkena sinar matahari terbenam.
Bisa dikatakan, banyak yang iri dengan Hyukjae. Dia seperti putri dalam cerita dongeng, seperti cinderella yang menemukan pangeran kuda putihnya karena Donghae begitu perhatian dan sangat baik padanya.
Namun....
Semua hancur, begitu saja bagaikan kaca yang pecah di atas lantai ketika Donghae menyatakan perasaannya.
Saat itu, ketika ia sudah melupakan taruhan bodoh itu, Lee Donghae menyatakan perasaan yang dipendamnya pada Hyukjae. Ia sudah siap menarik Hyukjae dalam kehidupannya, tapi teman-temannya justru datang merusak segalanya.
"Kau, menyukainya? Ayolah Lee Hyukjae, apa kau pikir Lee Donghae akan menyukaimu? Ini hanyalah sebuah permainan, dan kau sudah ikut dalam permainan ini sejak awal."
Hari itu Donghae akhirnya mengingat kembali permainan konyol tersebut, andai waktu bisa ia ulang Donghae tidak akan pernah menyatakan perasaannya pada Hyukjae hingga mereka lulus nanti namun kenyataan berkata lain pada dirinya dan Hyukjae, dan hari itu pertama kali dalam hidupnya
Hyukjae merasakan dikhianati oleh orang yang disukainya.
Ia menatap Donghae berharap kedua mata itu menjawab apa yang dipertanyakan olehnya 'Katakan ini semua bohong Hae-ya?'
Tapi kedua mata itu berpaling saat teman-temannya merangkul Donghae, mengingatkan pria itu akan permainan mereka beberapa bulan lalu.
'Lee Donghae hanya mempermainkan Lee Hyukjae. Kau pikir teman kami ini Gay seperti dirimu? Menjijikkan.'
Bagaimana bisa??
"Kau bagian dari kami bukan Donghae-ya? Katakan saja, kau tak akan menyakitinya."
Mereka tertawa diatas penderitaan Hyukjae, mereka tertawa diatas rasa sakit yang Donghae rasakan karena ia lebih mementingkan harga dirinya daripada menyelamatkan Hyukjae yang terpuruk.
"Maafkan aku Hyukie, aku hanya bermain-main denganmu."
Bagai di sambar petir disiang bolong, ingin rasanya Lee Hyukjae menghilang saja dari muka bumi ini sekarang juga.
Penderitaannya bukan hanya hari itu saja, namun sepanjang tahun pertamanya di sekolah elite itu. Ia menjadi bahan ejekan seisi sekolah, bahkan termasuk menjadi ejekan sesama penerima dana bantuan sosial.
Semua menyebutnya 'tidak tahu diri' tidak akan pernah ada kehidupan seperti Cinderella untuk seorang Lee Hyukjae. Ia benar-benar merasa sendirian disekolah ini, namun justru hal ini lah yang membuatnya kuat.
Ia tidak pernah meneteskan air mata sedikitpun setelah hari dimana Donghae membuangnya, ia selalu berjalan dengan kepala terangkat. Tidak ada satupun orang yang membuatnya takut di tempat ini, ia hanya berusaha menulikan pendengarannya dan berharap cepat menyelesaikan pendidikkannya disekolah ini dan cepat-cepat menghilang dari hadapan Donghae.
Debaran itu tentu saja masih ada, ia masih bisa mengingat bagaimana wangi starwberry dari tubuh Hyukjae ketika mereka duduk bersama diatas Sky Bridge dan angin membuat Donghae menghirup aroma manis tersebut dari tubuh kurus itu.
Bahkan hingga saat ini aroma itu tidak pernah hilang 'Aku suka strawberry, aku bisa menghabiskan pulahan strawberry jika kau membelikannya untukku.'
Donghae masih mengingat setiap kalimat, setiap hal, setiap detail apapun yang dilakukan Hyukjae bersamanya. Penyesalannya membuat dirinya tidak bisa melupakan Hyukjae sedikitpun.
Anggaplah ini karma buruknya, tapi mencintai seorang Lee Hyukjae selama ini bukan hukuman baginya. Tapi tidak pernah dianggap ada oleh Lee Hyukjae itulah hukuman terburuk yang diterimanya.
Andai saja hari itu Donghae bisa seperti Jeno yang dengan berani mengklaim pria yang disukainya didepan semua orang mungkin saat ini Hyukjae masih ada dalam dekapannya.
Mungkin Hyukjae masih akan mencarinya setiap jam istirahat tiba, dan mungkin Hyukjae tidak akan seperti sekarang.
Terbiasa seorang diri.
Tangannya yang mengepal terasa kebas karena memukuli dinding dengan kuat Donghae tidak memperdulikan lecet di buku jemarinya, ia segera meraih ponselnya.
Mencari nomor ponsel Lee Hyukjae yang masih tersimpan di dalam kontaknya namun tidak pernah dihubungi olehnya selama hampir 2 tahun ini. Ia tidak ingin menyesal untuk yang kesekian kalinya.
Sambil menghirup udara untuk menetralkan nafasnya yang tersengal karena menahan sesak didadanya Donghae berusaha menghubungi Hyukjae.
Namun diseberang sana, Hyukjae hanya terdiam menatap layar ponselnya. Ini pertama kalinya Donghae menghubunginya lagi setelah hari itu.
Ibu jarinya bergerak ragu diatas tombol hijau, ia tidak tahu haruskah menerima panggilan itu atau tidak. Namun setelah sekian lama ponsel itu berdering Hyukjae memutuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut. Ia menyimpan ponselnya kembali didalam saku setelah menonaktifkannya, melupakan Donghae adalah keputusan yang benar.
Jika ia meminta Donghae melupakannya, tentu saja Hyukjae juga harus bisa melakukan hal yang sama.
"Kau bisa Lee Hyukjae.." Ucapnya dengan suara parau menyemangati dirinya sendiri.
'Nomor yang anda tuju....... '
Donghae menghela nafasnya ia tidak akan memutuskan sambungan teleponnya, ia menunggu bunyi 'biip' terdengar ditelinganya.
"Hyukie.. aku tahu kau mungkin tidak akan mendengarkan ini tapi, setidaknya aku bisa mengatakan apa yang ingin kukatakan padamu."
"Mianhae, jeongmal mianhanda Lee Hyukjae. Maafkan aku yang menjadi pecundang dihadapanmu, maafkan aku yang sangat lemah dan tidak bisa menjadi pelindung untukmu."
Hening, Donghae menarik nafasnya ia hampir menangis karena mengeluarkan apa yang tertahan didadanya selama 2 tahun ini, dadanya benar-benar sesak.
"Andai saja aku tahu akan seperti ini akhirnya, aku tidak akan melepaskanmu. Hari itu, aku berbohong padamu, aku tidak pernah bermain-main denganmu Hyukie. Namun jiwa pecundangku dan harga diriku jauh lebih tinggi saat itu hingga dengan bodohnya aku melepaskanmu."
Tungkainya melangkah mundur hingga bersandar pada dinding luar ruang siaran "Aku benar-benar menyukaimu, bahkan jauh sebelum diriku dekat denganmu."
"Aku..." Donghae menunduk dan mulai terisak "Aku mencintaimu Lee Hyukjae, apa terlambat bagiku untuk mengakuinya?" Ia tersedak nafasnya sendiri siapapun yang mendengarnya pasti mengerti bagaimana sesak yang dirasakan dan ditahan oleh Donghae selama ini.
"Semakin hari harga diriku semakin luntur dan tergantikan dengan sakitnya kehilangan dirimu Hyukie, aku benar-benar kehilanganmu. Dan dadaku sangat sakit Lee Hyukjae.... aku mencintaimu, apa yang harus kulakukan?"
Donghae menghapus kasar air matanya dan kembali menarik nafas, menetralkan nafasnya dan suaranya "Kau memintaku untuk melupakanmu bukan? Sudah kucoba dan hasilnya hanya membuatku semakin mengingatmu dan semakin menyukaimu Lee Hyukjae..."
"Hhhh jika melupakanmu sangat mudah mungkin aku tidak akan ikut dalam club siaranmu yang sangat membosankan itu." Dirinya terkekeh pelan, ya bosan. Donghae tidak bisa ikut andil dalam siaran karena rasa malunya berhadapan dengan orang banyak. Iapun tidak mengerti apa saja yang dibicarakan mereka semua setiap rapat.
Namun dirinya datang hanya untuk bertemu dengan Hyukjae, melukis wajahnya dalam sketsa miliknya. Membayar rasa rindunya setelah satu malam tidak melihat pria yang disukainya itu.
"Lee Hyukjae... saranghae, jeongmal saranghanda.." Donghae mengulang kalimat ini berkali-kali seakan-akan Hyukjae saat ini tengah mendengarkan disebrang sana, Donghae berhenti mengulang kalimat itu saat dadanya kembali sesak, iapun akhirnya memutuskan mengakhiri pesan suaranya dan terduduk didepan ruang siaran menelungkupkan kepalanya diatas kedua dengkul kakinya.
⇨ Until You ⇦
Yixing melirik Jaemin yang tengah duduk di hadapannya dan memakan makan siangnya dalam diam, ia tidak mengerti ada apalagi dengan anak ini.
Seingatnya Jaemin berangkat dengan mood yang baik tadi pagi namun mengapa saat bertemu di jam istirahat Jaemin terlihat banyak pikiran.
Usai berbalas pesan dengan Junmyeon ia meletakkan ponselnya disamping piringnya "Jaemin-ah kau tidak apa-apa? Apa terjadi sesuatu?"
Jaemin hanya mendongak sedikit lalu menggeleng "Usai makan siang aku akan keperpustakaan Hyung, aku sedang ingin sendirian."
"Jika kau sedang ingin sendirian itu artinya terjadi sesuatu. Kau tidak ingin berbagi dengan Hyungmu ini?"
"Tidak Hyung.." Jaemin kembali mendongak dan tersenyum manis pada Yixing "Belum waktunya untukku ceritakan padamu."
Mau tidak mau Yixing membalas senyuman itu dan mengacak pelan rambut Jaemin, ekor matanya menangkap siluet Jeno yang menghampiri mereka dengan kesal karena melihat Jaemin tengah makan dengan pria lain bahkan pria itu mengelus puncak kepala Jaemin selembut itu.
"Yak!!" Jeno datang dan menendang kursi yang tengah diduduki oleh Jaemin dan tentu saja mengundang perhatian dari beberapa murid lain yang tengah makan didalam kantin, dirinya benar-benar dibakar api cemburu saat ini.
Kemarin pria di cafe hari ini pria yang datang bersamanya kemarin pagi, ada apa dengan Na Jaemin? Apa dia sedang menguji kesabaran Jeno?
"Aku lapar, ambilkan makananku."
Jaemin yang baru saja berniat memasukkan suapan terakhirnya kedalam mulut terhenti, ia melirik sedikit mendengar Jeno tengah merajuk di belakangnya.
Mengapa Jeno justru benar-benar datang diwaktu yang salah? Karena saat ini mood Jaemin tengah sangat buruk.
"Apa kau buta?" Jaemin bertanya sambil berdiri berhadapan dengan Jeno yang jujur saja terkejut dengan bentakan Jaemin didepan wajahnya.
"Apa kau tuli?"
"Lee Jeno-ssi, apa kau tidak memiliki tangan dan kaki?"
"Bukankah itu tugasmu?"
Bertambah alasan Jeno semakin kesal dengan Jaemin, karena pria itu tidak pernah mendengar dan menuruti ucapannya dan sekarangpun Jaemin justru malah mengomel padanya ataukah dirinya memang datang dengan cara yang salah?
"Ambillah sendiri makananmu dan jangan ganggu aku." Jaemin kembali duduk, ia tersenyum kikuk pada Yixing yang terlihat kebingungan dengan sikapnya yang terlihat kasar pada Jeno.
"Yak! Kau benar-benar tuli Na Jaemin?" Jeno kembali menendang kursi yang diduduki Jaemin agar pria itu berdiri lagi dan tidak memunggunginya.
Dengan menahan kesal Jaemin mengepalkan tangannya Jeno benar-benar mencari masalah diwaktu yang salah, ia hampir berniat untuk kembali berdiri namun genggaman di tangannya membuat Jaemin teralihkan, ia menatap Yixing yang menepuk-nepuk punggung tangannya seolah-olah tengah menenangkannya.
Yixing tersenyum ramah pada Jaemin memamerkan lesung pipi yang dalam dan manis kemudian kembali menepuk-nepuk tangan Jaemin, ia yakin ada masalah namun dirinya tidak tahu apa "Kami sudah selesai makan, jika kau ingin makan ambilah sendiri. Jaemin ada urusan denganku."
Yixing segera menarik Jaemin untuk segera beranjak pergi dari kantin melewati Jeno begitu saja yang tengah menahan rasa kesalnya tentu karena ulah Jaemin dan pria yang tidak dikenalnya itu, ayolah dia baru saja melihat Na Jaemin sekarang setelah seharian tidak melihat pemuda Na itu dan sekarang Jaemin beranjak pergi?? Jeno ingin keadaan kembali seperti sedia kala, menghabiskan harinya dengan mendengar ocehan Jaemin yang kesal dengan ulahnya atau melihat bagaimana Jaemin dan Jungwoo bercengkrama setiap hari, ia ingin keadaan itu kembali.
Yixing berjalan dengan cepat agar mereka segera keluar dari kantin namun langkahnya terhenti saat ia hampir menabrak seseorang yang berniat masuk kedalam "Maaf.." Yixing benar-benar terkejut, beruntung yang ada dihadapannya adalah Junmyeon. Ia memberikan lirikan pada keberadaan Jeno di belakang sana walau hanya menghasilkan kerutan tidak mengerti dari kening Junmyeon.
"Tak apa-apa Yixing."
Junmyeon menggeser tubuhnya memberikan Yixing dan Jaemin akses untuk lewat lalu menoleh kearah Jeno yang tengah berdiri di meja yang mungkin saja tadi diduduki oleh Yixing dan Jaemin, ia kembali memperhatikan wajah Yixing yang melewatinya sekilas dan genggaman tangan Yixing pada Jaemin yang mengekor dibelakangnya.
Ia bisa bayangkan Jeno tengah terbakar cemburu saat ini, jika dirinya tidak tahu bahwa ini bagian dari rencananya tentu saja Junmyeon pun akan merasa cemburu melihat jemari Yixing mengenggam jemari Jaemin.
"Kau melamun?"
Junmyeon tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada seseorang yang menyapanya, ia menggelengkan kepalanya. Dirinya memang tidak melamun hanya tengah berpikir untuk membatalkan rencana mencari seseorang yang akan melakukan hal bodoh pada Jaemin seperti yang dilakukan pria dihadapannya ini pada Hyukjae 2 tahun lalu, Donghae.
"Aku tidak melamun Hyung, apa kau ingin makan bersama?"
"Tentu, aku bosan makan sendiri." Donghae segera mengiyakan ajakan makan tersebut dirinya butuh hiburan setelah kejadian tadi, namun langkah mereka tertahan saat mendengar sebuah panggilan dari arah belakang.
"Junmyeon-ah."
"O, Hyukjae Hyung?" Sapanya ramah, karena sangat jarang ia melihat Hyukjae berada dikantin seperti hari ini.
"Ini laporan untuk bulan ini bisa kau bantu aku berikan pada kepala sekolah? Dan, ini rundown untuk siaran siang ini." Hyukjae menyerahkan beberapa tumpukan kertas pada Junmyeon.
"Baiklah Hyung, kau ingin makan bersama? Akan sepi rasanya jika hanya makan berdua saja dengan Donghae Hyung."
Hyukjae melirik Donghae yang baru saja memalingkan wajahnya, sepertinya Donghae mengikuti sarannya untuk mulai melupakannya. Namun, saat Hyukjae pun mengalihkan pandangannya ia melihat bekas luka di buku jemari Donghae.
Sadar akan kekhawatirannya yang berlebihan pada keadaan Donghae, Hyukjaepun segera kembali menatap Junmyeon dan menggelengkan kepalanya "Tidak perlu, masih ada yang harus kukerjakan."
Tanpa bisa Junmyeon tahan lagi Hyukjae sudah melangkah pergi secepat kilat menyisakan Donghae yang terdiam melamun seolah-olah ia baru bisa kembali bernafas setelah Hyukjae pergi "Kau baik-baik saja Hyung? Kenapa bergantian melamun? Ada apa lagi dengan kalian berdua? Apa kalian berdua sama sekali tidak berniat memperbaiki keadaan?"
Donghae tersadar dari lamunannya kemudian ia menggeleng, semuanya sudah berakhir tadi "Tidak ada yang harus diperbaiki lagi Junmyeon-ah." Daripada melayani pertanyaan dari Junmyeon, Donghae memutuskan untuk melangkah terlebih dahulu kemudian menghampiri Jeno adiknya yang berdiri seperti patung di tengah kantin.
"Apa yang kau lakukan? Mengapa melamun disini? Ayo makan denganku dan Junmyeon."
Jeno mengangguk perlahan dan melangkah mengikuti Donghae yang menyusul Junmyeon dengan patuh, tapi ia berhenti melangkah sambil menarik bagian belakang seragam sekolah Donghae "Hyung.."
"Ya?"
"Aku sudah mengikuti ucapanmu untuk berpura-pura, tapi aku justru membuatnya berada dalam masalah dan bahaya. Diriku saja hampir mati cemburu dan mati sesak melihatnya jauh dariku dan dekat dengan orang lain."
"Jeno-ya..." Donghae tak habis pikir adiknya benar-benar mengikuti ucapannya, mengikuti apa yang selama ini dilakukannya, berpura-pura melupakan Hyukjae.
Jeno mengeratkan cengkramannya pada seragam Donghae "Aku akan mengklaimnya lagi, kali ini sebagai kekasihku. Aku tidak perduli dia ingin menyangkal atau tidak, aku tidak perduli Na Jaemin akan menjadi pemberontak disekolah ini atau tidak, aku tidak perduli harus berhadapan dengan 1000 Ju Junshik demi membelanya... aku akan membuatnya kembali padaku."
Donghae terdiam, ia menatap kedua mata adiknya yang terlihat tengah dibakar api semangat demi mendapatkan Na Jaemin kembali. Dan itu membuatnya iri, karena dirinya tidak pernah seberani Jeno dalam mengambil keputusan.
"Apa kau yakin?"
"Apa yang harus membuatku tak yakin? Saat jantungku berdebar kuat hanya karena dirinya, apa diriku memiliki alasan lain untuk tidak mengejarnya kembali?"
Dan Donghae kembali terdiam, ia pernah menyangkal debarannya sendiri setelah membuang Hyukjae. Ucapan Jeno benar-benar menampar Donghae, ia tidak menjawab pertanyaan Jeno namun dirinya segera beranjak meninggalkan adiknya dan kantin.
Ada yang harus mulai diperjuangkan olehnya saat ini walaupun terlambat.
Lee Hyukjae.
⇨ To Be Continued ⇦
Tidak ada komentar:
Posting Komentar