UNTIL YOU
|
|
|
***
⇨ Hari Pertama penerimaan ⇦
TENG TENG TENG TENG
Bel tanda masuk berbunyi, para murid yang sudah menjadi senior kelas 2 kini tengah menanti kedatangan para pendatang baru disekolah mereka dan akan menjadi kelas junior mereka nantinya.
"Apa akan ada murid bantuan dana sosial tahun ini?" Tanya seorang pria tampan yang baru saja naik menjadi kelas dua pada seseorang disebelah kanannya, yang sama-sama tampan namun dilihat dari jumlah lambang bintang yang dibordir dengan warna terang didada kirinya menunjukkan bahwa pria itu sekarang sudah berada dikelas tiga.
"Tentu saja ada, salah satunya dari keluargaku. Ayah dan ibuku menyumbangkan dananya untuk seorang anak lelaki. Aku belum bertemu dengannya tapi sepertinya dia memang pintar."
Si pria kelas 2 itu menghela nafas pelan, ia merasa miris dengan label murid dana bantuan yang melekat pada mereka para penerima dana beasiswa. "Seharusnya label 'dana bantuan' tidak pernah ada Hyung. Itu hanya membuat perbedaam sosial makin terlihat jelas."
"Ya, Kim JunMyeon, atau Choi JunMyeon aku harus memanggilmu? Kau terlalu banyak berpikir tentang kehidupan orang lain."
"Yak Hyung, cukup panggil aku JunMyeon, jangan gunakan Choi disekolah."
Pria kelas 3 itu tertawa pelan melihat adik kelasnya itu panik, kemudian bersandar pada sky bridge sambil menatap kearah kedatangan para siswa baru "Kau aneh, siapapun sangat ingin dipuja tapi kau berbeda. Keluargamu benar-benar sangat berbeda."
"Apa kau saat ini memujiku? Sebaiknya aku kembali ke kelas, ada jadwal yang..."
"Kyaaaaaaaa kyaaaaaa..."
Junmyeon dan seniornya berhenti berbincang karena mendengar teriakan dibawah sana, si senior kelas 3 ini mendengus melihat siapa yang tengah diteriaki para gadis dengan antusias dibawah sana.
"Woah, adikmu benar-benar sudah terkenal sebelum masuk sekolah ini. Apa dia butuh sekolah sebenarnya?"
"Untuk popularitas tidak perlu, tapi untuk isi kepalanya tentu saja perlu. Ibu dan ayahku terlalu memanjakannya, memberikan apa saja yang dia inginkan. Maka dari itu dia jadi begitu malas belajar." pria itu menoleh pada Junmyeon yang dengan setia mendengarkan ucapannya.
"Kau tahu dia sangat menentang keluargaku memberikan dana bantuan pada si murid pintar itu."
"Kenapa?" Junmyeon bertanya-tanya tanda tidak percaya, mengapa harus menentang?
Seniornya mengendikkan bahunya tanda tidak tahu padahal dirinya merasa tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh kedua orangtua mereka "Anak itu sangat membingungkan aku tidak pernah tahu apa yang ada didalam pikirannya."
Junmyeon dan seniornya itu kembali menatap kebawah dan ternyata yang tengah dibicarakan oleh mereka kini mendongak keatas sembari melambai kearah mereka dengan wajah angkuh dan senyum miring dari bibirnya, namun justru membuat para gadis menjerit karena dia terlihat sangat tampan saat seperti itu.
Senior itu berdecak kesal melihat tingkah adiknya "Lee Jeno itu, kenapa sangat berlebihan didepan para gadis?"
Junmyeon terkekeh pelan melihat senior di sebelahnya kesal akan kelakuan adiknya "Bukankah kau juga sama saja dulu Hyung saat pertama kali masuk kemari? Lee Donghae si Casanova?"
"Ya ya ya, jangan bahas itu. Itu adalah masa paling memalukan dalam hidupku. Bukankah kau akan kembali ke kelas? Kenapa masih disini dan mengejekku?" Senior bernama Donghae itu tidak bisa menyembunyikan rasa malunya bahkan telinganya sampai memerah saat ini.
Dirinya pun dengan spontan mendorong Junmyeon pelan sebagai bahan candaan namun juniornya itu justru menabrak seseorang yang lewat dibelakangnya dan membuat Donghae terdiam dalam seketika begitu melihat siapa yang ditabrak oleh Junmyeon.
"Oh.. Hyukjae Hyung." Junmyeon menoleh lalu membungkuk karena yang ditabrak olehnya adalah senior dan satu angkatan dengan Donghae, mereka sama-sama mengambil kelas tari dan musik bersama, itu yang Junmyeon tahu.
"Maaf Hyung aku tidak sengaja."
"Tak apa Junmyeon-ah."
Tanpa menunggu lebih lama Hyukjae si senior itu segera beranjak tanpa memperdulikan tatapan Donghae padanya.
"Kalian masih belum berbaikan?"
Donghae menghela nafas dengan berat "Itu yang jadi masalah Junmyeon-ah, aku tidak tahu bagaimana cara memulainya."
"Kau bisa bergabung dalam club yang dibuat olehnya."
"Club?"
"Hyukjae Hyung mengajukan proposal untuk mendirikan club siaran, setidaknya menjadi seorang penyiar bukan impian seluruh anak konglomerat ditempat ini bukan. Jadi dia membuat club itu untuk seluruh siswa dengan dana bantuan agar nyaman bersosialisasi, hanya diantara mereka saja."
"Hyukie sampai seperti itu?" Donghae kembali terdiam dan bersandar pada pagar penahan sky bridge "Itu semua salahku." gumamnya pelan.
"Lalu bagaimana? Apa club itu disetujui?"
"Tentu saja, Siwon Hyung sangat mendukung, dia menyediakan dana untuk membangun ruang tambahan baru di gedung 3 untuk digunakan sebagai ruang club siaran." Junmyeon menunjuk arah kemana Hyukjae pergi tadi "Sepertinya dia akan kesana? Apa kau akan bergabung Hyung?"
"Tentu saja tidak, aku sama sekali tidak berbakat dalam hal penyiaran. Kau sendiri?"
"Tentu saja aku akan ikut, mencoba hal baru tidak ada salahnya bukan?" Junmyeon menepuk lengan Donghae memintanya agar tidak terlalu memikirkan masalahnya dan Hyukjae walau hasilnya sudah pasti nihil.
Tiada waktu dan hari yang di lewati oleh Donghae tanpa memikirkan Hyukjaenya, pria sederhana yang sangat dicintai olehnya namun dengan bodoh disakiti juga oleh dirinya.
"Kau tidak berniat kekelas Hyung? Aku ingin kembali kekelas."
"Kembalilah terlebih dahulu, aku masih akan disini lagipula aku akan ke kelas bahasa sebentar lagi."
Junmyeonpun menurut, ia segera beranjak menuju kelasnya karena ia tidak ingin terlihat terlalu mencolok dekat dengan Donghae yang sangat populer secara terang-terangan. Ingat, Junmyeon sengaja tidak mengekspose identitas dirinya jadi sebagian besar murid mengira dirinya hanya setingkat lebih tinggi daripada para penerima beasiswa.
Selepas kepergian Junmyeon, Donghae kembali menghadap kearah pagar sky bridge dan menatap adiknya yang sangat di elu-elukan oleh para gadis, namun pandangannya teralihkan saat melihat seorang lelaki muda dengan seragam SMP yang seharusnya sudah tidak digunakan lagi disekolah ini, apalagi seragam itu begitu lusuh. Donghae yakin pria itu adalah siswa baru ditahun pertama, netranya menangkap pria itu tengah berjalan kaki dari pelataran depan sekolah menuju lobby gedung utama tempat Jeno tengah di gandrungi oleh para gadis dengan santai.
"Ah ini dia si penerima beasiswa." Langkah si siswa baru itu terhenti, ia menoleh pada orang yang menyebut predikat barunya tersebut.
Walau ia penerima beasiswa namun dirinya sama sekali tidak terlihat seperti seorang kutu buku berjalan, rambut tebalnya yang sedikit bergelombang tertata rapi dengan warna auburn, matanya bulat tanpa mengenakan kacamata, dan jangan lupa senyum lebar yang manis dan tampan disaat bersamaan ketika tersenyum ataupun tertawa. Garis besarnya adalah, dia tampan dihadapan para gadis, mungkin yang tidak akan menyukainya hanya para pria nanti.
Bahkan dari penampilan saja dirinya tidak terlihat seperti penerima beasiswa andai saja dia tidak menggunakan seragam SMP lamanya yang cukup lusuh karena terlalu sering digunakan dan tak pernah diganti.
"Apa kalian memanggilku? Ah kalian pasti tidak tahu namaku bukankah begitu?"
Kedatangan si penerima beasiswa itu mengundang perhatian Jeno yang seharusnya menjadi pusat perhatian, namun karena salah satu temannya justru menyerukan tentang sipenerima beasiswa perhatian mereka kini terbagi antara dirinya dan pria itu terlebih mata para gadis pun kini menatap pria itu.
"Perkenalkan namaku Na Jaemin." Si penerima beasiswa dengan sangat percaya diri memperkenalkan dirinya didepan banyak orang, ia bahkan sampai membungkuk sebagai salam perkenalan yang lebih sopan.
Jeno seperti tahu dan pernah mendengar nama itu sebelumnya, setelah mengorek isi memori otaknya yang terbatas dirinya segera melangkah mendekat hingga kini ia berada dihadapan Jaemin yang tengah membungkuk dan melihat sepasang sepatu yang berada tepat didepannya.
"Kau, Na Jaemin?"
Mendengar namanya diucapkan Jaemin kembali berdiri tegak dan berhadapan dengan Jeno yang berdiri angkuh didepannya "Ya, itu aku."
"Mulai hari ini layani aku dengan baik." Ucapan Jeno mengundang tawa dari siswa lainnya, namun hanya menghasilkan kerutan di kening Jaemin yang tengah berpikir atas apa maksud dari ucapan pria dihadapannya barusan.
"Uang yang kau terima sebagai beasiswa disini, adalah uang kedua orangtuaku. Jadi sebagai balasannya jadilah pelayanku dan aku akan bersikap baik padamu." Ucap Jeno tegas sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana.
Jaemin cukup terkejut mendengarnya, ia tidak menyangka pria dihadapannya adalah anak dari keluarga Lee namun wajahnya tentu saja tidak menunjukkan hal tersebut, dirinya terlampau pandai menyembunyikan ekspresi miliknya. Tapi, sayangnya Na Jaemin bukanlah tipe orang yang bisa diintimidasi oleh seseorang dengan mudah.
"Pelayanmu? Tapi seingatku yang digunakan untuk menyekolahkanku ditempat ini adalah uang milik kedua orangtuamu bukan uangmu, kalaupun diriku harus menjadi pelayan seharusnya orangtuamu yang kulayani bukan dirimu." Sahutnya dengan tenang bahkan pria itu masih bisa menunjukkan senyum manis di wajahnya.
"Permisi."
Jaemin memutuskan pembicaraan sepihak karena merasa menang atas kebisuan Jeno didepannya. Ia beranjak terlebih dahulu dari hadapan Jeno namun si bungsu Lee itu justru memanjangkan kakinya hingga si penerima beasiswa tersandung dan hampir jatuh ditengah kerumunan, beruntung saja ada seseorang yang menolongnya sebelum Jaemin benar-benar terjatuh mencium tanah karena ulah si pria kaya itu.
"Ck." Jeno berdecak kesal, ia tidak suka dibantah dan dia juga tidak suka jika ada yang menganggu keasikannya, Jeno berbalik iapun mendekati Jaemin yang tengah kembali beranjak berdiri.
"Ini baru kakimu, aku belum membuat hidupmu yang tersandung banyak masalah." Ujarnya dengan penuh penekanan lalu segera beranjak terlebih dahulu kedalam gedung disusul oleh temannya yang lain dan beberapa gadis setelah menabrak bahu lebar milik Jaemin.
Pemuda Na itu menghela nafasnya perlahan, sangat terlihat bahwa Jaemin tengah menahan kekesalan yang timbul karena anak orang kaya itu. Ia sudah tahu si bungsu Lee memang sangat menyebalkan seperti ucapan nyonya Lee yang sudah memperingatkan dirinya sebelum hal buruk terjadi dan menimpanya disekolah ini, namun ia tidak menyangka bahwa pria itu benar-benar menyebalkan 100x lipat dari bayangannya.
"Kau tidak apa-apa?"
Sebuah pertanyaan yang masuk ketelinganya membuat Jaemin tersadar dari lamunannya akan betapa menyebalkanbya Lee Jeno "Ah, ya aku tidak apa-apa."
Pria yang menolongnya tersenyum ia lalu berpamitan dan melangkah masuk terlebih dahulu kedalam gedung utama sekolah setelah mengatakan sambutan padanya "Selamat datang."
Sepeninggal pria yang menolongnya tadi Jaemin kembali menghela nafas dan menatap sekeliling, sekolah ini adalah tempat dimana impiannya akan dimulai jadi ia tidak akan mengijinkan satu orangpun merusak apalagi mengakhirnya. Perduli setan dengan statusnya dan ucapan orang-orang padanya ia hanya akan memasukkan kata-kata itu ketelinga kanannya lalu mengeluarkannya dari telinga kiri sama seperti membuang sampah tanpa menyimpan sedikitpun perkataan tersebut didalam ingatannya.
"Semangat Na Jaemin, kau pasti bisa." Ucapnya menyemangati dirinya sendiri, kemudian melangkah masuk kedalam gedung utama menghiraukan beberapa orang yang menatapnya aneh karena berteriak menyemangati dirinya sendiri barusan.
"Woah, adikku itu benar-benar."
Donghae ternyata masih berdiri ditempatnya berdiri sejak tadi memperhatikan perilaku adiknya dari kejauhan, ia menggelengkan kepalanya tanda prihatin dengan sifat jelek adiknya itu kemudian menghela nafas dan memutuskan untuk beranjak saja dari atas Sky Bridge yang mulai terasa panas.
⇨ Until You ⇦
Sistem pengajaran sudah dimulai, siswa dibagikan beberapa formulir untuk mengisi data dalam kelas wajib dan kelas pilihan pribadi begitu pula dengan Jaemin dan Jeno yang bertepatan berada diruang guru menunggu untuk dipanggil kedalam dan sialnya bersamaan.
Jeno melirik Jaemin yang sibuk dengan kalkulator diponselnya, ia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pemuda bersurak auburn itu disini. Dari sekian banyak murid di sekolah ini kenapa dirinya harus dipanggil bersamaan dengan si penerima beasiswa ini?
Apa karena orangtuanya yang membiayai Jaemin maka dari itu mereka dipanggil bersamaan?
"Omo.."
Gumaman terkejut dari bibir Jaemin kembali menarik atensi Jeno, dengan mata tajamnya ia melirik lagi ponsel yang berada digenggaman Jaemin. Deretan angka dengan jumlah 0 yang cukup panjang membuat Jaemin berdecak kesal lalu menghela nafas malas. Semangatnya yang menggebu-gebu saat di lobby gedung utama tadi langsung padam bukan karena kata-kata pedas yang masuk kedalam telinganya, melaikan karena deretan angka dikalkulatornya.
Uang memang lebih menyiksa daripada ucapan manusia, bagi Na Jaemin.
"Ah, mahal sekali."
Jeno tersenyum simpul, ia tahu apa yang dikeluhkan oleh si miskin itu. Harga buku, dan seragam tidak termasuk dalam beasiswa yang ditanggung oleh keluarganya "Kau terlihat sangat bersemangat tadi, sekarang kau terlihat sangat ingin menyerah."
Merasa dirinya diajak untuk berbicara Jaemin menoleh "Siapa yang menyerah, aku hanya mengeluh. Apa kau tidak pernah melihat seseorang mengeluh seumur hidupmu?"
"Yak, kau..." Jeno yang sebelumnya merasa bisa sedikit menjahili Jaemin dengan kata-kata pedasnya terpaksa harus menahan kesalnya sendiri untuk yang kesekian kali, pria ini benar-benar tidak mudah untuk dikalahkan.
"Baiklah, apa yang kau keluhkan dengan deretan angka itu? Karena jujur saja jangankan melihat orang mengeluh, mengalami saja diriku tidak pernah."
"Cih, sombong sekali."
Jaemin berdecih sebal namun tangannya bergerak kearah Jeno untuk memperlihatkan tumpukan beberapa kertas ditangannya, ibunya tidak memiliki email bahkan ponsel jadi ia baru mendapatkan daftar harga tagihan seragam dan buku hari ini dengan jumlah nominal yang sangat mengejutkan.
"Kau lihat harga seragam itu? Apa aku tidak salah melihat jumlah angka 0 disana?"
Dengan angkuhnya Jeno mengambil kertas tersebut dan membacanya, ia menatap harga seragam yang diharuskan dan diwajibkan digunakan oleh para siswa, bahkan jika bisa gunakan seragam itu selama 3 tahun, hanya perlu menambahkan bordiran bintang di bagian dada setiap naik satu tingkat.
"Ada apa dengan harganya?"
"Ada apa? Ada apa katamu? Itu mahal."
"Harga seragam ini setara dengan uang sakuku selama 3 hari." Jaemin hampir membiarkan rahangnya terjatuh kelantai mendengar ucapan Jeno. Ah dirinya lupa, yang duduk disebelahnya ini adalah si bungsu keluarga Lee yang menyokong dana beasiswanya.
"Ck, berikan padaku." Jaemin mengambil daftar harga tersebut dari tangan Jeno lalu melipat kertas tersebut untuk dimasukkan kedalam saku celananya.
"Kau tidak sanggup membelinya?"
"Apa kau perlu bertanya?"
Jeno terkekeh pelan, merendahkan lebih tepatnya "Ya, uang sekolahmu saja ditanggung oleh orangtuaku, apa harus kuminta orangtuaku membelikan seragam untukmu?" Tawarnya, namun Jaemin justru menghiraukannya.
"Kelas apa yang akan kau ambil?" tanpa mengedepankan sopan santun Jeno mengambil kertas formulir yang sudah diisi Jaemin tanpa ijin dan membacanya, ingat dirinya sangat tidak suka dihiraukan, apalagi dirinya yang memulai pembicaraan.
"Yak! Mana sopan santunmu Lee.."
"Sepertinya kita akan sering bertemu Na Jaemin." usai membaca deretan kelas yang dipilih oleh Jaemin, ia menoleh pada Jaemin dan mengembalikan kertas formulir milik pria itu.
"Aku bisa memberikanmu seragam hari ini juga, tapi... kau harus menjadi pelayanku."
Jaemin mengambil kembali kertas yang sudah diisi olehnya tadi lalu menatap Jeno yang baru saja mengajukan kesepakatan untuk yang kesekian kali "Ck.." kedua mata bulat Jaemin memicing menatap Jeno "Kenapa kau sangat mudah merendahkan orang lain Lee Jeno-ssi?"
"Lee Jeno, Na Jaemin?"
"Namamu dipanggil, berdirilah kertasmu tidak akan berjalan dengan sendirinya." Jaemin menghentikan pembicaraan antara dirinya dan Jeno kemudian segera bangkit berdiri dan meninggalkan Jeno untuk menyerahkan formulir yang sudah diisi olehnya.
Jaemin tengah menjawab beberapa pertanyaan dari guru yang akan mengajarnya namun tiba-tiba saja ada yang meletakkan formulir dimeja guru yang tengah berbicara panjang lebar dengannya tentang peraturan dan menegurnya dengan seragam lusuhnya itu. Jaemin terkejut dengan tangan besar yang kini berada diatas meja tersebut, dan melihat wajah kesal Jeno didekatnya "Ini formulirku, kau bisa mengeceknya sendiri. Apa kau sudah selesai dengannya? Karena aku ada urusan dengan si penerima beasiswa ini."
"Denganku?" dengan wajah polos Jaemin menunjuk wajahnya sendiri namun jemari yang tengah menunjuk dirinya sendiri itu segera digenggam oleh Jeno kemudian menariknya keluar dari ruangan guru.
"Berhenti, hei... Lee Jeno-ssi!"
Jaemin bahkan sampai membungkuk dengan kikuk karena ulah Jeno yang tiba-tiba menariknya keluar ruangan dan membuat sang guru berteriak-teriak kesal "Yak!" Jaemin menarik tangannya yang tengah menjadi objek penyandaraan oleh Jeno hingga langkah keduanya berhenti.
"Apa yang kau lakukan? Jika kau ingin menjadi anak nakal, jangan melibatkanku."
"Aku hanya bosan mendengar ocehannya, lagipula mau sampai kapan kau akan ditegur hanya karena pakaianmu?"
"Lalu apa urusannya denganmu Lee Jeno-ssi?"
Jeno memutar posisi tubuhnya hingga kini ia berhadapan dengan Jaemin "Kau butuh seragam bukan? Usai jam pelajaran temui aku di sky bridge, jika kau tidak datang akan kuminta orangtuaku mencabut dana bantuannya padamu." ancam Jeno, kemudian beranjak pergi meninggalkan Jaemin yang lagi-lagi hanya bisa mengangga kesal karena ulah Jeno.
"Ya, ya, yaak!!" Jaemin meremas udara kosong dihadapannya, oh dirinya sangat kesal saat ini sampai-sampai ia yakin bisa membunuh orang yang mencari gara-gara dengannya hari ini tanpa segan-segan.
⇨ Until You ⇦
"Terima kasih.." pria kurus dengan tinggi yang proposional membungkuk setelah berdiri dari kursinya sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali senyuman ramah tidak lepas dari bibirnya, hidung mancung nya dan mata indahnya membingkai wajahnya dan membuatnya terlihat semakin tampan dengan balutan kemeja putih yang dikeluarkan.
Lee Hyukjae memang bukan murid yang 100% penurut namun nilai dan prestasinya patut diancungi jempol, bahkan seharusnya dirinya menjadi contoh baik para siswa di sekolah elite ini. Namun karena statusnya yang hanyalah seorang siswa yang datang dari dana bantuan membuat segala keunggulannya dan prestasinya dipandang sebelah mata, kecuali bagi para sesama penerima beasiswa Lee Hyukjae tentu saja seorang panutan.
"Lee Hyukjae?"
"Ya? Apa kau ingin mendaf-..." pertanyaannya terhenti ketika ia melihat siapa yang datang keruang siaran, pria yang selama ini selalu dihindari olehnya, Lee Donghae.
Hyukjae segera membereskan kertas formulir yang berserakan di atas meja dalam ruang siaran yang baru saja bisa digunakan hari ini, Hyukjae ingin segera pergi menghindari siapapun yang ada dihadapannya saat ini.
"Hyukie, aku mohon."
Donghae menghalangi langkah Hyukjae yang akan keluar dari ruang siaran, tidak ada siapa-siapa lagi diruangan itu hanya dirinya dan Lee Hyukjae yang selalu menghindari dirinya.
"Lee Donghae-ssi, pendaftaran sudah ditutup datang lagi besok." Hyukjae mencoba untuk sedikit lebih tegas pada dirinya sendiri dan Donghae, iapun lelah harus terus menerus menghindar dari si kaya ini.
"Aku datang bukan untuk mendaftar Hyukie."
"Kalau begitu kau salah tempat."
"Aku hanya ingin berbicara denganmu."
Hyukjae mengeraskan rahangnya, kedua matanya masih menatap Donghae dengan tegas ia sama sekali tidak berminat untuk memulai apapun dengan Donghae termasuk pembicaraan.
Atau dirinya akan terjebak 'lagi' seperti kejadian lampau, "Kau mungkin salah mencari orang sebagai temanmu untuk berbicara Lee Donghae-ssi. Ingat, aku si anak penerima bantuan sosial sebaiknya kau menjauh dari sini sebelum semua orang mengejekmu." Hyukjae kembali berniat untuk beranjak namun lagi-lagi Donghae menahannya.
"Setidaknya ijinkan aku meminta maaf Hyukie." Pinta Donghae benar-benar memohon, inilah maksud ucapannya pada JunMyeon. Bukan dirinya tidak ingin meminta maaf, tapi Donghae memang tidak tahu bagaimana ia harus menarik perhatian Hyukjae kembali agar bisa mendengarnya mengucapkan maaf walaupun hanya satu menit.
"Kau tidak berhutang maaf padaku, jadi kau simpan saja ucapan maafmu itu." Hyukjae beranjak keluar dari ruang siaran ia berjalan secepat mungkin ketika sudah berada dikoridor, Hyukjae hanya tidak ingin Donghae mengejarnya dan merusak pertahannya.
Siapa yang tidak akan runtuh dan luluh jika setiap Hyukjae melihat Donghae dadanya masih berdegub kencang seperti ingin mati, merasakan sakit dan suka disaat bersamaan benar-benar menyiksa dirinya selama ini, dan menghindar adalah pilihan utama yang diambilnya.
Tinggallah Donghae seorang diri diruang siaran, ia menghela nafas berat, jemarinya mengepal dengan kuat seolah-olah tengah menyesali perbuatan bodohnya lebih dari setahun silam yang justru hanya membuat Hyukjae menjauh darinya, bahkan mungkin membencinya.
"Hyukie-ah.. mianhae." Gumannya dengan suara parau, kedua matanya sudah memerah dan air mata sudah menggenang dipelupuk matanya. Donghae benar-benar sangat rapuh saat ini, ia tidak bisa berpikir dengan waras sejak Hyukjae menjauhinya, menjaga jarak darinya, dan terlihat membencinya.
⇨ Until You ⇦
Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang, Jaemin membereskan beberapa buku miliknya kedalam tas hitam yang dibawanya. Ia segera melangkah keluar dari kelas tanpa berpamitan pada siapapun, seisi kelasnya sama sekali tidak menyapa ataupun menganggap keberadaannya ada jadi sebaiknya Jaeminpun menganggap mereka semua tidak ada hanya Jaemin seorang yang berada didalam kelas, dia akan lebih fokus pada pelajaran.
"Hei kau.."
Langkahnya terhenti saat mendengar ada yang memanggilnya, tapi karena ragu Jaemin bukan menoleh tapi justru ia kembali melangkah. Namun sebuah tepukan dipunggungnya membuat Jaemin akhirnya menoleh.
"Hei."
"Kau memanggilku?" Tanya Jaemin bingung sambil menunjuk wajahnya sendiri dan masih menatap sekelilingnya, masih tak percaya ada yang mengajaknya berbicara.
"Ya aku memanggilmu, namaku Jungwoo. Kim Jongwoo, aku penerima beasiswa sama sepertimu."
"Ahh.. akhirnya aku bisa mendapatkan teman." Entah ini ucapan syukur atau sindiran pada beberapa murid yang lewat didekatnya.
"Kita mungkin akan bertemu dimata pelajaran wajib, jadi kumohon bantuanmu. Oh ya, siapa namamu?"
"Jeamin, Na Jaemin. Tentu saja kau bisa mengandalkanku."
Seorang pria lain tiba-tiba muncul dari belakang koridor dan segera merangkul bahu Jongwoo pria cantik dengan senyum menawan yang lebar hampir sama seperti Jaemin. Hanya saja Jungwoo jauh lebih cantik dari pada Jaemin yang terlihat sangat manis dengan seragam SMPnya. "Aku mencarimu Jungwoo-ya."
"Maaf, aku mengejar Jaemin-ssi agar bisa berkenalan dengannya."
Pria yang merangkul Jungwoo tersebut menoleh pada Jaemin pria yang dikejar oleh Jungwoo kekasihnya "Kenalkan, Lucas." Pria bernama Lucas dengan kulit gelap itu melepas rangkulannya dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Jaemin, usainya ia kembali merangkul Jungwoo.
"Apa kau juga datang dari beasiswa?"
Lucas terkekeh lalu menggeleng "Tidak, bukan. Tapi keluargaku yang mendanai biaya sekolah Jungwoo, tapi jangan menyamakan diriku dengan murid lainnya. Aku tidak membeda-bedakan status kalian."
Jaemin menutup mulutnya rapat-rapat karena ia salah menilai orang, tapi memang dengan sifat dan cara Lucas bersikap pada Jungwoo wajar saja jika dirinya sampai berpikir kalau Lucaspun sama datang dari kalangan beasiswa sepertinya.
"Kau ingin makan bersama? Kau bisa makan bersama kami baru pulang."
"Ah, tidak bisa. Aku harus segera pulang, ada yang menungguku." Jaemin menolak dengan halus ajakan Jungwoo untuk makan bersama dengannya, pertama ia belum siap menghabiskan uang untuk makanan yang sebegitu mahalnya bagi Jaemin, kedua ia harus menemui Jeno seperti yang dipinta oleh si bungsu Lee itu.
"Sayang sekali, tapi kuharap lain kali makanlah dengan Jungwoo temani dia, aku takut saat berbeda kelas dengannya dia akan merasa kesepian."
Jaemin mengangguk dengan semangat saat mendengar permintaan Lucas, itu bukan permintaan yang berat bagi Jaemin "Tentu saja."
"Baiklah aku akan ke kantin terlebih dahulu, kalau kau berubah pikiran kau bisa menyusul kami. Bye Jaemin-ssi.." Jungwoo melambai kemudian pergi bersama Lucas yang masih asik merangkul Jungwoo.
"Ah benar-benar membuatku iri.".
Tentu saja Jaemin iri, dihari pertamanya masuk yang harus ia lihat justru Jeno yang terlihat sangat tidak menyukainya hanya karena Jaemin menerima bantuan beasiswa dari keluarganya, anak itu bertindak sesukanya terhadap Jaemin. Benar-benar menyebalkan..
Sebentar... berbicara tentang Jeno.. Ah! Jaemin menepuk keningnya hampir ia melupakan janjinya dengan Jeno karena ia terlalu sibuk berpikir.
Tanpa terburu-buru Jaemin melangkah mencari dimana letak Sky Brigde yang sangat terkenal tersebut, jembatan yang menghubungkan antara gedung utama dengan gedung ke-3, namun yang kini menjadi masalah terbesarnya adalah ia tidak tahu lantai mana yang dihubungkan oleh jembatan tersebut.
Jaemin melangkahkan kakinya menatap kekanan dan kiri, kenapa ditempat ini tidak ada papan penunjuk sama sekali? Oh baiklah ini sekolah bukan pusat perbelanjaan. Saat ia tengah sibuk mencari Jaemin akhirnya menemukan pintu menuju sky bridge tidak jauh dari sisi kanannya.
"Ah akhirnya kutemukan juga tempat ini, mencari tempat ini saja menghabiskan waktu lebih dari 20 menit." Keluhnya sambil membuka pintu dan melihat betapa luasnya skybridge dihadapannya saat ini, berlantaikan kayu mahogany berwarna kecoklatan dan terdapat beberapa macam tanaman yang tempat menanamnya hampir menyerupai kursi sehingga para murid bisa duduk disana untuk bersantai-santai.
"Kurasa ini akan jadi tempat favoritku saat jam istirahat." Gumamnya sambil melangkah perlahan memasuki area skybridge.
Na Jaemin tengah sibuk memperhatikan sekelilingnya karena ia melihat Jeno belum tiba di skybridge tersebut hingga tiba-tiba ada seseorang yang menempelkan botol air dingin kewajahnya dan membuatnya terkejut.
"Omo!"
"Maaf membuatmu terkejut. Kau terlihat lelah dan berkeringat, jadi kuberikan salah satu airku untukmu."
Jaemin memang terkejut karena selagi dirinya menatap sekeliling dengan tatapan kagum seperti orang bodoh ada orang lain yang berada disini selain dirinya sedangkan si Jeno bodoh justru belum terlihat batang hidungnya, kemana anak itu.
"Eoh? Kau yang membantuku tadi bukan?"
Pria itu memamerkan senyum tampannya dan mengangguk "Namaku William." pria tersebut mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Jaemin yang tengah terlihat berpikir, mungkin ia mengira bahwa William ini mungkin saja memiliki hubungan dengan Lucas mengingat keduanya menggunakan nama barat.
"Na Jaem.."
"Ah disana kau ternyata?!"
Namanya saja belum selesai ia ucapankan namun suara Jeno di kejauhan dari sudut yang bersebrangan dengan dirinya tiba-tiba muncul sambil mengomelinya.
Menganggu saja.
"Kau mengenalnya?"
Jaemin menatap William dan Jeno yang tengah melangkah kearahnya, ia tersenyum simpul kemudian menggeleng "Tidak."
"Yaaak!!"
William tertawa mendengar jawaban Jaemin dan reaksi Jeno, ia kembali memberikan botol minuman yang digunakan olehnya sebagai media berkenalan dengan Jaemin namun Jeno lebih dulu datang lalu menarik lengan Jaemin agar segera pergi dengannya.
Sambil terkekeh Jaemin melambai pada William dan berjalan mundur karena Jeno menariknya tanpa membiarkan Jaemin berbalik badan "Yaak!" Jaemin menarik tangannya kemudian berbalik badan dan melangkah normal bersama dengan Jeno, meninggalkan William yang masih menatap punggung keduanya.
"Sebenarnya kau sedang apa? Kau tahu aku harus bekerja part time 2 jam lagi?" Omel Jaemin saat sudah berada diparkiran berdiri di belakang Jeno yang tengah mengobrak-abrik bagasinya, dia sudah hampir berdiri 10 menit disini.
"Kau bekerja part time?"
"Apa itu penting sekarang?"
Jaemin melipat kedua tangannya di dada sambil terus menatap punggung Jeno yang masih setia membungkuk di bagasi mobil sportnya lalu mendekatinya "Apa yang kau cari?"
"Seragam?"
"Kau memakainya."
"Bukan, bukan seragam yang kupakai kau pikir diriku sangat bodoh? Aku mencari seragam yang tadi kupesan."
"Kau memesan seragam lagi? Apa kau tidak terlalu boros Lee Jeno-ssi?"
Jeno menghiraukan Jaemin yang tengah mengomentarinya "Apa tertinggal? Sial." Jeno menutup pintu bagasinya lalu menarik Jaemin agar masuk kedalam mobilnya bahkan Jeno sampai membukakan pintu untuk Jaemin agar anak itu masuk tanpa mengoceh apapun.
"Masuklah."
Walaupun bingung Jaemin akhirnya masuk kedalan mobil ia menatap seisi mobil dengan pandangan takjub, ia tidak menyangka Jeno dan keluarganya sangat kaya hingga Jeno bisa memiliki mobil sebagus ini, padahal dia baru kelas 1 SMA.
"Mobilmu bagus sekali Jeno-ssi."
"Terima kasih, pakai seat beltmu." Jeno segera memakai seat belt begitu masuk kedalam mobil, ia melirik Jaemin yang terlihat bingung karena tidak tahu bagaimana cara menggunakan seat belt, menaiki mobil pribadi saja ini pertama kali dalam hidupnya.
"Ck kau ini benar-benar.." Jeno mendekat pada Jaemin hingga mereka saling bertatapan sebentar sebelum Jeno menunduk sambil menarik tali seatbelt untuk dipasangkan pada tubuh Jaemin yang sebenarnya terlihat terkejut barusan.
Jika diperhatikan baik-baik Jeno memang sangat tampan, jika tidak sedang marah-marah wajahnya benar-benar terlihat sangat polos. Tapi jika sedang marah? Jaemin rasanya ingin memecahkan kepalanya dengan tangan.
"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Jeno usai memasang seat belt namun posisi tubuhnya masih belum berpindah dari sebelumnya.
"Aku berpikir kau sangat tampan." Jawabnya to the point, jawaban itu hanya membuat Jeno diam sesaat tanpa ekspresi apapun dihadapan Jaemin.
"Oh." Jawabnya singkat lalu menjauhkan tubuhnya dari Jaemin, ia segera menstarter mobilnya dan meninggalkan pelataran sekolah. "Diriku memang tampan sejak lahir." Puji Jeno pada dirinya sendiri membuat Jaemin menyesal memuji ketampanannya itu.
Mereka tiba di sebuah butik terkenal yang terdapat di tengah pusat perbelanjaan Gangnam, karena Jaemin sangat bisa membedakan mana tukang jahit sederhana didalam gang rumahnya dengan butik mewah didepan sana. "Apa yang kita lakukan disini?"
"Ikut saja." Jeno melepas seat beltnya dan hampir keluar begitu saja andai ia tidak ingat Jaemin tidak tahu cara memakai seat belt apalagi melepaskannya.
"Begini caranya." Jeno membukakan seat belt untuk Jaemin, ia lalu keluar terlebih dahulu dan menunggu Jaemin untuk keluar dari mobilnya.
Begitu ia keluar Jaemin segera mengekori Jeno masuk kedalam butik besar dan mewah tersebut. Jeno terus masuk kedalam sedangkan Jaemin mengerem langkahnya agar tidak mengikuti Jeno, ia pun memutuskan untuk melihat beberapa setelan jas, gaun serta seragam sekolah elit yang berada disana termasuk seragam sekolahnya saat ini.
"Wahh." bibirnya tanpa sadar menggumamkan kekaguman, dengan berbekal keberanian ia melangkah mendekati salah satu patung manekin dan mengintip harga seragam sekolahnya dari pricetag yang tergantung.
Ekspresi penasaran Jaemin berubah seketika ia menjadi shock, karena harga di butik ini 10x jauh lebih mahal daripada yang ditawarkan oleh pihak sekolah.
Jeno kembali dari urusannya dengan sebuah paper bag di tangannya, ia pun mendekati Jaemin yang sibuk menatap pricetag satu per satu dari setiap manekin pakaian seragam dihadapannya, pria itupun hanya melihat pricetag tanpa berani menyentuh seragam tersebut.
"Sedang apa kau?"
"Melihat betapa mahalnya pakaian dihadapanku ini, lihatlah, tanpa menyentuhnya saja diriku tahu betapa lembutnya bahan pakaian ini Jeno-ssi? Ini berbeda dengan yang ada disekolah."
"Tentu saja, ada harga ada barang." Jeno memberikan paper bag yang baru saja diambilnya pada Jaemin "Ini untukmu."
Jaemin menunduk melihat paper bag yang disodorkan begitu saja oleh Jeno "Apa itu?"
"Seragam untukmu, bukankah kau ingin membelinya?"
Jaemin segera menyambar paper bag tersebut dan melihat isinya, matanya yang sudah bulat makin membulat karena kaget, ia menatap Jeno kemudian dengan tidak percaya.
"Ya, kau gila? Aku mana bisa membeli seragam semahal ini. Bagaimana aku membayarnya?"
Jeno hampir membuka suaranya namun ia berpikir sejenak dan tersenyum hingga kedua matanya menghilang menjadi bentuk bulan sabit terbalik "Kau bisa melayaniku."
"Omo." Jaemin memeluk tubuhnya sendiri dan paperbag dalam dekapannya "Kenapa kau sangat mesum dan jahat Lee Jeno?"
"Cih, apa yang kau pikirkan?" Jeno ingin memukul kepala Jaemin andai saja ia tidak melihat betapa bulat mata Na Jaemin yang tengah menatapnya. "Melayaniku, jadi pelayanku penuhi kebutuhanku disekolah, hanya disekolah dan setiap kau berada didekatku itu saja."
"Apa kau artis? Aku tidak berminat menjadi asisten pribadimu Lee Jeno-ssi."
"Jadi kau lebih memilih untuk membayar seragam itu saja?"
"Tentu saja tidak, aku mana punya uang sebanyak itu." Jaemin membuka lagi paper bag dalam dekapannya, itu adalah seragam mahal dari sekolah impiannya "Apa mereka tidak punya seragam bekas saja?"
"Yak!"
Mendengar teriakan kesal Jeno didepannya Jaemin hanya terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuknya "Baiklah, baiklah. Aku akan menjadi pelayanmu, ah tidak, tidak, pelayan terlalu kejam untukku, aku akan menjadi asistenmu. Tapi bersikaplah layaknya manusia bukan dewa. Atau aku akan menendang kepalamu."
"Apa kau bos nya sekarang?"
Jaemin menelan salivanya sendiri mendengar ucapan Jeno lalu tersenyum tanpa dosa, "Tentu saja
bukan." Jaemin membungkuk berusaha bersikap hormat sambil melirik Jeno dengan senyuman lebar dari bibirnya, apa dia sedang mengejek Jeno saat ini?
"Tidak perlu membungkuk apa diriku terlihat sangat tua?" Jeno segera menarik lengan Jaemin agar kembali berdiri dan mengikutinya keluar butik. "Kuantarkan kau pulang."
"Aku tidak pulang Jeno-ssi." Jaemin menahan langkah Jeno ia lalu menunjuk kearah depan dekat dengan pusat perbelanjaan di pusat Gangnam. "Aku bekerja disana, jadi aku akan langsung kesana untuk bekerja."
"Oh.. Baiklah." Jeno terpaksa melepas cengkramannya pada lengan Jaemin, ia baru ingat tadi pria ini membahas tentang pekerjaan sambilan.
"Ah, terimakasih banyak Jeno-ssi akan kugunakan seragam ini besok." Jaemin membungkuk sebentar lalu beranjak pergi meninggalkan Jeno dan mobilnya sambil memeluk paperbag dalam dekapannya begitu erat.
Sepeninggal Jaemin yang sudah melangkah sangat jauh meninggalkannya dengan berjalan kaki, Jeno terkekeh seorang diri lalu menghela nafas pelan "Kau membuang uangmu lagi Lee Jeno, apa yang sebenarnya kau lakukan?" Omelnya pelan pada dirinya sendiri, kemudian Jeno memutuskan untuk masuk kedalam mobil dan pergi meninggalkan Gangnam pergi kembali kerumah pribadinya.
Ya, tak salah, rumah pribadi.
Lee Jeno dan Lee Donghae sama-sama memiliki apartment pribadi bukan dari pemberian orangtuanya melainkan dari uang yang mereka hasilkan sendiri dari uang jajan mereka dengan bermain saham diperusahaan sahabat kecil mereka Choi Junmyeon.
Jika dikatakan Lee Jeno manja itu memang benar adanya, dia sangat manja pada keluarganya, namun diluar itu dia sangat mandiri. Dia menghasilkan uang untuk dirinya sendiri sejak kelas 2 SMP seperti kakaknya.
Jaemin dan Jeno sama-sama pekerja keras, mereka mengumpulkan pundi-pundi uang dari hasil kerja mereka sendiri namun sayangnya takdir dan status sosial yang membedakan keduanya dimata masyarakat.
⇨ Until You ⇦
Sama seperti pagi sebelumnya, Jaemin datang sambil berjalan kaki dari pelataran depan tempat dimana terakhir bus green line berhenti mengantarnya ia berjalan perlahan dari sana hingga ke gedung utama CHOISHIN High School, ia terbiasa berjalan ratusan meter dalam hidupnya, dari seluruh murid sekolah elite ini mungkin hanya dirinya yang menikmati fasilitas jalan setapak disekolah dari ujung pintu gerbang hingga lobby gedung utama.
Ia sibuk membaca bukunya sambil memakai earphone yang terpasang ditelinga, hari ini Jaemin sudah memakai seragam baru pemberian Jeno padanya, dan ternyata sangat pas ditubuhnya. Entah darimana Jeno bisa tahu ukuran tubuhnya.
'Tiiiiin tiiiiin'
Jaemin menoleh karena merasa ada suara klakson berada didekatnya, dan benar saja ada sebuah mobil yang melaju lambat disamping kirinya "Pagi Jaemin-ssi?"
"Oo, Jungwoo-ssi? Lucas-ssi?"
"Naiklah, berjalan sampai disekolah sangat jauh." Ajak Jungwoo dengan senyum ramahnya, ajakannyapun mendapat persetujuan dari Lucas.
"Naiklah, kami tidak tega membiarkan teman kami berjalan kaki."
Mendengar kata 'teman' membuat Jaemin tersenyum lebar, bayangan menakutkannya bahwa dirinya akan dibully habis-habisan seperti rumor diluaran sana terbantahkan. Ia bisa mendapatkan teman ternyata, Jaemin pun mengangguk dan segera naik kedalam mobil sedan biru metalik yang dikendarai oleh Lucas.
Begitu masuk kedua mata Jaemin segera fokus pada tangan Lucas dan Jungwoo yang tengah saling menggenggam satu sama lain.
Tunggu, apa dirinya tidak salah lihat???
"Heee??"
⇨ To Be Continued ⇦
Tidak ada komentar:
Posting Komentar