UNTIL YOU
|
|
|
***
Siang itu usai jam istirahat Hyukjae mengumpulkan anggotanya dalam ruang siaran, termasuk Lee Donghae yang sibuk menggambar di buku sketsanya tanpa mendengarkan sedikitpun celotehan yang keluar dari bibir Hyukjae, bukan karena ia tak perduli tapi karena memang dirinya tidak paham apapun yang diucapkan oleh Hyukjae.
"Sunbaenim, maaf aku tidak bisa membantumu hari ini."
Hyukjae menghela nafas beberapa anggotanya menolak membantunya untuk mengumpulkan beberapa alat yang kurang agar club mereka bisa mulai berjalan esok lusa.
"Jaemin-ah? Kau bisa bukan?"
Jaemin memberikan cengiran khasnya "Maaf Sunbaenim, aku harus pergi bekerja hari ini." Terpaksa dirinya harus berbohong dan tidak bisa membantu Hyukjae, semua karena Lee Jeno yang memaksa Jaemin untuk menemaninya setelah pulang sekolah nanti.
Dan Hyukjaepun tidak bisa memaksa Jaemin untuk membantunya, ia menoleh pada Junmyeon namun melihat wajahnya yang sejak kemarin terlihat suntuk saja membuat Hyukjae mengurungkan niatnya tanpa mencoba terlebih dahulu.
Hanya tersisa satu manusia disini yang mungkin akan menolongnya dan terlihat pasti akan menolongnya bahkan tanpa diminta "Lee Donghae-ssi?"
Donghae mendongak ia hampir tidak sadar bahwa yang baru saja memanggilnya adalah Hyukjae karena terlalu sibuk menggambar siluet wajah Hyukjae dikertasnya. "Ya Hyu- kau memanggilku??" Tanyanya dengan raut terkejut dan tidak percaya ketika mendongak wajah Hyukjaelah sumber suara yang memanggilnya.
"Ya aku memanggilmu, hari ini apa kau bisa menolongku? Yang lain tidak bisa membantuku, apa ka-..."
"Tentu, tentu aku bisa. Apa yang kau perlukan?"
Hyukjae menutup mulutnya rapat-rapat ia menghela nafas semakin berat dan kasar kenapa Donghae harus seantusias itu hanya karena dirinya meminta bantuan? Ia bisa mendengar anggota lainnya tengah mentertawakan betapa konyolnya Donghae hanya karena Hyukjae meminta bantuannya.
"Pergi denganku, kau bisa?" Tanyanya lagi setelah mengatur kekesalannya atas sikap Donghae yang berlebihan.
Dengan rasa antusias yang semakin tinggi Donghae menutup buku sketsanya dan tersenyum lebar pada Hyukjae "Tentu saja, apa kau ingin kita pergi sekarang saja?"
"Yaak!! Apa kau sudah gila? Ini masih jam sekolah.. Nanti, saat jam pulang sekolah." Ujarnya menahan kesal yang sudah berada di ubun-ubun kepalanya.
Namun keningnya semakin berkerut karena melihat Donghae tersenyum lebar tanpa henti memperlihatkan deretan gigi putihnya "Berhenti bereaksi berlebihan Lee Donghae-ssi, bubar. Rapat selesai, terima kasih kalian sudah datang, kembalilah kekelas masing-masing."
Sambil kembali menahan rasa kesal Hyukjae menutup rapat mereka. Ketika seluruh anggotanya keluar Hyukjae memijat keningnya sendiri yang terasa sangat pening, terlalu banyak hal yang dipikirkan olehnya saat ini untuk klub siarannya.
"Kau tak apa Hyukie?"
'Hyukie?'
Ia pikir semuanya sudah keluar namun nyatanya tersisa Donghae didalam ruangan ini hanya berdua dengannya. Seharusnya panggilan itu tidak pernah masuk lagi ketelinganya, kenapa Donghae memanggilnya dengan sebutan itu lagi?
"Kembalilah kekelasmu Lee Donghae-ssi." Hyukjae membereskan meja dibagian tempatnya duduk tadi dan membawa kertas serta buku yang tadi berantakan sebelumnya, ia segera melangkah keluar terlebih dahulu.
Namun Donghae yang masih duduk ditempatnya menahan lengan Hyukjae yang lewat disisi kanannya, bibir Donghae terbuka ia ingin mengatakan sesuatu namun entah mengapa ucapannya tersangkut di tenggorokan "Kita akan bertemu lagi disini setelah pulang sekolah Hyukie." Menyimpang dari apa yang ingin diucapkannya, namun jika ia memulai lagi membahas masalah lalu Donghae takut Hyukjae akan menghindar lagi dan benar-benar berhenti berbicara dengannya.
Mendengar Hyukjae meminta bantuannya saja walau terpaksa ia sudah amat sangat senang tak terkira.
Donghae melepas cengkramannya pada lengan Hyukjae lalu bangkit berdiri dan melangkah terlebih dahulu keluar dari ruang siaran tanpa berkata apapun lagi.
Hyukjae mengepalkan tangannya, mengapa dia masih saja merasakan debaran di dadanya, Hyukjae membatalkan niatnya untuk keluar dari ruang siaran ia baru saja berbalik dan ingin duduk di kursi yang didudukinya tadi namun pandangannya teralihkan pada buku sketsa milik Donghae yang tertinggal.
Kedua sudut bibirnya menarik sebuah senyuman "Apa dia masih suka membuat sketsa tidak jelas?" Gumamnya pelan. Susah payah Hyukjae mencoba untuk menghilangkan rasa penasarannya terhadap buku sketsa itu tapi jemarinya justru mengambil buku sketsa tersebut dan membukanya lembar per lembar, jemarinya bergetar saat membalik setiap halaman begitu tahu sketsa wajah siapa yang digambar oleh Donghae disetiap lembar kertas dalam buku tersebut.
Dirinya.
Wajahnya.
Sejak kapan Donghae menggambar semua sketsa ini?
Tidak!
Hyukjae menutup buku sketsa milik Donghae dan meletakkannya kembali diatas meja. Dirinya tidak ingin terlibat apapun lagi dengan Donghae. Bangkit dari rasa sakit terdahulu dilakukannya dengan susah payah, dan Hyukjae tidak ingin merasakan hal itu untuk yang kedua kalinya.
⇨ Until You ⇦
Jeno dan Jaemin berjalan beriringan disebuah toko buku mereka harus mencari sebuah buku referensi fiksi ilmiah untuk tugas dikelas bahasa korea yang diambil oleh keduanya.
"Kau sudah menemukan yang kau cari?" Jeno mengambil asal sebuah buku kemudian meletakkannya lagi karena merasa judulnya tidak sesuai dengan kapasitas kepalanya, ia melirik Jaemin yang tengah menatap sederetan buku dihadapannya.
"Aku hanya tinggal mengambil asal buku apapun asalkan itu buku fiksi ilmiah, aku bisa membacanya dirumah."
"Cih, apa kau tengah menyombongkan dirimu?"
"Apa kau merasa lebih bodoh dariku?"
"Ya-... ck, jika aku tidak menyukaimu sudah kucakar wajah manismu itu."
Jaemin cukup terkejut dengan ucapan Jeno yang sekarang sangat terang-terangan mengucapkan tentang perasaannya terhadap sipemuda Na, padahal mereka berdua pun sama sekali belum memiliki hubungan apapun.
Jaemin mengambil buku asal di rak yang ada dihadapannya "Aku sudah mendapatkan bukunya." Ia beranjak pergi dengan wajah gugup, entah mengapa dadanya berdebar kuat setiap berada di sisi Jeno.
"Kau sudah mendapatkannya? Mengapa cepat sekali?"
Sambil menghela nafasnya dengan perlahan ia mengikuti jejak Jaemin dengan mengambil salah satu buku dengan asal kemudian menyusul Jaemin yang meninggalkannya menuju meja kasir "Ada yang masih ingin kau lakukan?"
"Aku ingin makan, apa kau akan mentraktirku makan?" Jaemin melirik Jeno yang mengeluarkan black card nya dan membayarkan buku yang tadi diambilnya "Akan kuganti nanti setelah diriku menerima gaji bulan ini Jeno-ssi."
"Kau cukup jadi asistenku saja." Jeno mengambil plastik belanja dari toko buku tersebut "Apa yang ingin kau makan? Aku akan membelikan apapun untukmu."
Kedua mata Jaemin menyipit sambil melangkah sejajar dengan Jeno di pusat perbelanjaan Dongdaemyun, ia sudah lama tidak makan odeng jadi jemarinya menunjuk kearah food street yang tidak jauh berada dari sana "Hanya itu?"
"Aku takut menghabiskan uangmu jika memintamu mengajakku makan di restoran mahal. Aku hanya ingin odeng saat ini."
Jeno terkekeh lalu merangkul Jaemin "Baiklah, kau sangat pengertian sekali dengan keuanganku. Tapi jika uangku habis yang pertama kali kulakukan adalah meminta orangtuaku mencabut beasiswamu terlebih dahulu." Ucapnya menggoda Jaemin yang saat ini terlihat kesal.
"Yak, kau benar-benar sangat menyebalkan.."
Ini kali pertama Jeno kembali menyicipi makanan dipinggir jalan, walaupun dirinya sering datang kemari namun bukan untuk menyicipi makanan dipinggir jalan. Hal itu hanya akan membangkitkan kenangan pahitnya saat masih duduk di awal bangku SMP dahulu.
Menghapus kenangan itu dan menggantinya dengan yang baru itu tujuannya dan Jaemin kini berada di sini bersamanya, menemani si manis itu memesan 2 porsi odeng dan memakannya didalam tenda sambil membicarakan tugas bahasa yang sudah pasti tidak bisa dikerjakan oleh Jeno.
"Kau ingin kemana?"
"Diriku?" Jeno menunjuk dirinya sendiri, usai mengisi perut mereka dengan odeng keduanya kini melangkah bersama tanpa tahu arah ingin menghabiskan hari dimana karena petang masih sangat lama.
"Ya, kau ingin kemana? Kau tinggal sebutkan, aku akan membawamu kesana."
"Apa ini mulai terdengar seperti kencan?"
"Apa??"
Melihat wajah panik Jaemin membuat Jeno tertawa, apa mungkin Jaemin memang tengah mengajaknya berkencan tanpa sadar? Telinga itu memerah dihadapan Jeno, membuat dirinya hanya semakin merasa gemas pada Na Jaemin.
"Sungai Han."
"Kupikir kau akan mengatakan Namsan."
"Puncak Namsan akan terlihat indah pada malam hari, apa kau berniat menghabiskan malam denganku? Bukankah kau harus segera pulang sebelum jam 8 malam?"
Jaemin memutar otaknya dan menggaruk pipinya yang tidak gatal, ternyata Jeno mengingat ucapannya sebelum mereka berangkat tadi bahwa ia membatasi dirinya agar sudah berada dirumah sebelum pukul 8 malam.
"Kita bisa duduk di sungai Han sampai jam 7 malam dan kembali membahas bagaimana kukerjakan tugas ini." Jeno menggoyangkan plastik belanjaannya didepan wajah Jaemin.
"Kau hanya perlu membacanya Lee Jeno-ssi.."
"Aku sangat malas membaca kau tahu itu."
"Pantas kau bodoh."
"Yak.." Jeno menarik Jaemin masuk dalam rangkulannya "Jika diriku bodoh maka aku membutuhkan orang pintar untuk membantuku yaitu dirimu." Ia segera menarik Jaemin untuk mengikuti langkahnya menuju tempat dimana mobilnya terparkir, mereka akan menuju sungai Han.
Sepintas terlintas dalam benaknya untuk meminta Jaemin menjadi kekasihnya, namun Jeno tidak terlalu yakin bahwa Jaeminpun merasakan hal yang sama seperti dirinya. Mengingat sikapnya yang biasa saja setelah ciuman yang terjadi diantara mereka beberapa waktu yang lalu, apa Jeno harus mencium Jaemin lagi sebelum mengajak pria itu berkencan dan menjadi kekasihnya?
Terdengar berat bagi Jeno, lidahnya bahkan kelu saat ingin mengucapkan 'aku menyukaimu' lagi usai mengantarkan Jaemin pada malam itu.
Mungkin sebaiknya ia menjalani dulu keadaan seperti ini, lagipula mereka terlihat baik-baik saja saat ini tanpa status apapun.
Desiran angin meniup rambut aubrun Jaemin yang kini tengah duduk diatas rumput menikmati indahnya sore hari ditepi sungai Han, ia membiarkan wajahnya tertiup angin sepoi-sepoi dan wajahnya tersorot sinar matahari sore. Serta membiarkan seorang Lee Jeno selama beberapa menit menahan nafasnya hanya karena mengagumi keindahan seorang Na Jaemin di sebelah kanannya, dadanya bahkan berdebar dengan kencang saat ini.
Ia tidak berniat sama sekali menganggu moment disaat Jaemin tengah menikmati sore dengan sebuah panggilan ataupun obrolan, karena dirinyapun sibuk memperhatikan ukiran indah yang diciptakan Tuhan mungkin untuk dirinya.
"Jeno-ssi?"
"Hmm?"
"Bukankah kau ingin membahas tugasmu?"
Dan... Na Jaemin merusak suasana indah yang tengah dirasakan Jeno, dadanya yang berbunga-bunga langsung layu dalam sekejap karena mengingat tugas bahasa yang menantinya bagaikan mimpi buruk.
"Kau menghancurkan sore indahku."
"Berhenti menatapku seolah-olah aku ini aktor tampan dan kau fans wanita, aku tahu aku tampan tapi... sudahlah, mana bukumu kita bahas tentang bukumu terlebih dahulu."
Dengan malas Jeno mengeluarkan buku yang dibelinya dan masih tersegel lalu memberikannya pada Jaemin, dengan telaten pria itu membuka segel lalu mulai membaca buku tersebut, bab 1 tapi terasa seperti sebesar kamus bahasa inggris didalam kamar Jeno.
"Bisakah kita hanya menikmati sore tanpa membahas tugas?"
"Kau yang mengajakku kemari untuk membahas tugas."
Jeno kembali mengingat-ingat ucapannya saat mengajak Jaemin ke Sungai Han "Ck, lupakan. Renjun bisa membantuku dengan ini." Jeno mengambil buku yang tengah dibaca oleh Jaemin, membahas tugas hanyalah alasannya agar bisa menikmati sore berdua dengan Jaemin.
"Hhh hari ini hanya berakhir tanpa diriku melakukan apapun." gumam Jaemin saat melihat buku itu masuk kembali dalam tas milik Jeno, bahkan dilempar masuk tanpa perasaan "Kasihan Hyukjae Hyung.." ia tiba-tiba mengingat Hyukjae yang ia tolak permintaan tolongnya karena Jeno memaksanya untuk mengerjakan tugas dan membeli buku referensi bersama.
"Siapa?" Jeno segera menoleh saat mendengar Jaemin bergumam.
"Hyukjae Hyung, sunbaeku di klub penyiaran."
"Kau masuk klub itu?"
"Ya, Hyungmu juga ada disana."
"Hyungku?" Jeno benar-benar meninggalkan tasnya dan menoleh sepenuhnya pada Jaemin, bagaimanapun ini kali pertama ia tahu bahwa Hyungnya tertarik dengan hal seperti, klub siaran "Donghae Hyung?"
"Memang kau punya berapa Hyung eoh?"
"Satu."
"Ck... tak heran mengapa kau bodoh."
"Cih.." Jaemin selalu protes setiap kali Jeno mengancamnya atau membuatnya kesal, padahal dirinya sendiri sangat suka mengatakan Jeno 'bodoh'. Namun saat ini dirinya penasaran kenapa Hyungnya masuk kedalam klub penyiaran? Dia sama sekali tidak ada bakat dalam hal itu, lagipula nama Hyukjae terdengar familiar ditelinganya.
"Katakan padaku kau dekat dengan Jaemin bukan untuk menyakitinya seperti yang hyungmu lakukan pada Hyukjae Hyung.."
Ah, ia ingat.. Hyukjae adalah nama yang disebutkan oleh Lucas padanya malam itu di theme park "Apa Hyungku dekat dengan pria bernama Hyukjae itu?"
Jaemin mendongak ia mengingat-ingat sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya, Hyungmu tadi sangat bersemangat saat Hyukjae Hyung meminta tolong untuk menemaninya. Mungkin karena selama ini Hyukjae Hyung selalu menghiraukan Hyungmu."
"Menghiraukan?" Jeno kembali berpikir keras, kenapa Hyungnya dihiarukan? Apa yang sebenarnya dimaksud oleh Lucas? Apa dirinya harus bertanya? Isi kepalanya benar-benar penuh dengan pertanyaan tentang hyungnya dan seseorang bernama Hyukjae saat ini.
"Ada apa?"
"Tidak ada, aku hanya ingin bertanya saja."
Hening sebentar hingga dengan tiba-tiba Jaemin menepuk kedua tangannya "Tiba-tiba saja terpikirkan, bagaimana jika akhir pekan nanti kuajak Jungwoo dan Lucas kemari?" Jaemin memandang sekitar ia bisa melihat banyak pasangan yang tengah duduk dan berbincang tidak jauh dari posisi tempat mereka kini sedang duduk, tepat berada dibawah sebuah pohon besar dan menghadap langsung pada sungai Han.
"Mereka pasti senang ber.... ada disini." kalimat yang diucapkan Jaemin semakin lama terdengar semakin menghilang saat ia merasakan kepala Jeno kini berada di bahunya.
"Biarkan aku tidur sebentar Jaemin-ssi. Aku mengantuk."
Saat Jaemin menoleh ia sudah melihat Jeno menutup kedua matanya sambil bersandar padanya, Jaemin tidak menjawab ataupun menolak permintaan Jeno, ia justru perlahan bersandar pada batang pohon dibelakangnya dan membiarkan Jeno tertidur di bahunya.
Hening beberapa saat sampai Jaemin menoleh pada Jeno memastikan bahwa si bungsu Lee itu memang sudah tidur terlelap. Jemarinya terangkat membereskan helaian poni Jeno yang berantakan karena tiupan angin.
Jika sejak tadi Jeno yang sibuk memperhatikan Jaemin, kini sebaliknya. Kedua mata bulat Jaemin yang tidak bisa berpaling dari wajah Jeno, kedua matanya yang tertutup, hidung mancungnya, bibir tipisnya, garis rahangnya, dan rambut hitamnya.
Entah sejak kapan Jeno terlihat sangat tampan di mata Jaemin, mungkin sejak mereka pertama kali bertemu. Ia terkekeh pelan mengingat pertemuan pertama keduanya, saat itupun Jaemin sudah berbisik dalam hati bahwa Jeno begitu tampan walaupun dengan wajah angkuhnya, dan saat ini ia pun terlihat begitu tampan terlebih ketika cahaya matahari menyinari wajah itu saat ini.
Jemari Jaemin bergerak untuk menutupi wajah Jeno dengan telapak tangannya saat melihat pria itu berjengit karena silau ditidurnya, Jaemin menghalau cahaya yang menganggu tidur Jeno menggunakan jemari panjangnya.
"Sejak kapan aku mulai tertarik padamu Jeno-ssi? Bukankah sangat menyebalkan saat menyadari bahwa diriku pun juga menyukaimu?" gumamnya pelan memastikan Jeno tidak mendengar ucapannya, lalu menghela nafas perlahan.
Suatu saat ia yakin Jeno akan pergi melangkah keluar dari hidupnya jadi sebaiknya Jaemin menyimpan saja perasaannya dan bersikap seolah-olah tidak akan terjadi apa-apa diantara mereka dan belum terjadi apa-apa diantara keduanya, itu sepertinya lebih baik.
Jaemin menurunkan tangannya yang menutupi wajah Jeno, ia ingin mengambil buku milik Jeno dan membantu mengerjakan tugasnya walau hanya sedikit. Tapi tiba-tiba saja gerakan tangannya tertahan karena Jeno meraih jemarinya dan mengenggamnya menyilangkan setiap jemari mereka menjadi sebuah genggaman erat.
Jaemin menoleh dengan wajah terkejut menatap Jeno yang masih bersandar di bahunya namun kali ini dengan mata terbuka dan menatap langsung pada kedua mata bulat Jaemin yang makin membulat karena tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"K-kau belum tertidur?"
Tapi Jeno sama sekali tidak menjawab pertanyaan Jaemin, ia menegakkan kepalanya namun tetap menatap Jaemin yang terlihat bingung menatapnya, seolah-olah banyak hal yang ingin diutarakan Jeno setelah tanpa sengaja mendengar ucapan Jaemin padanya.
"Aku belum tertidur sepenuhnya dan hanya bersandar pada bahumu."
Jaemin menelan liurnya dengan susah payah, apa barusan Jeno mendengar ucapannya? "K-kau mendengar apa yang kuucapkan?" Jeno mengangguk, tentu saja ia mendengar apa yang diucapkan Jaemin walau suara itu sangat pelan tapi terdengar dengan jelas ditelinganya.
Genggaman Jeno semakin mengerat, ia menunjukkan pada Jaemin genggaman kedua tangan mereka "Apa kau tidak ingin bersamaku, Na Jaemin? Sehingga, kau tidak mengatakan apapun saat diriku mengatakan bahwa diriku menyukaimu?"
Jaemin diam, lidah dan bibirnya kelu. Ia tidak bisa mengatakan apapun, sejujurnya ia hanya takut semuanya tidak akan seindah yang dibayangkan olehnya saat dirinya dan Jeno bersama seperti saat ini.
"Bagaimana kau bisa membiarkanku selama ini berpura-pura tidak mengingat apa yang terjadi di theme park hanya karena takut bahwa dirimu tidak menyukaiku dan menjauhiku."
"Apakah aku harus melepaskanmu saja, Na Jaemin?" ucap Jeno ragu, namun entah mengapa kata-kata itu yang seharusnya keluar dengan situasi seperti ini.
Ia masih mencari jawaban dari kedua mata Jaemin, apa Jaemin terlalu meragukan perasaannya? Apa dia tahu bagaimana sakit yang dirasakan Jeno setiap dirinya harus berpura-pura
Berpura-pura tidak terjadi apa-apa diantara mereka selama ini..
Haruskah ia melepaskan Na Jaemin?
Haruskah?
Keduanya saling melempar tatapan dengan pemikirannya masing-masing, Jeno menunggu jawaban Jaemin atas pertanyaannya ia masih berharap Jaemin menginginkan sebuah hubungan dengannya.
Karena ia lelah menahan perasaannya seolah-olah selama ini tidak pernah terjadi apapun diantara keduanya, bahkan Jaemin pun tadi menghindarinya saat Jeno mengatakan bahwa Jaemin adalah orang yang disukainya dan itu sesungguhnya sangat menyakitkan.
Sedangkan Jaemin, ia berkutat dengan pemikirannya sendiri akan apa yang terjadi setelahnya. Dirinya dan Jeno... tidak ada sesuatu yang berakhir bahagia seperti dalam drama.
Berpura-pura adalah hal terbaik yang bisa dilakukannya saat ini, berpura-pura tidak menyukai Jeno selama dia masih berada didekatnya bagi Jaemin itu tidak masalah.
"Haruskah?" Jeno kembali mengulang pertanyaannya, ia ingin mendengar Jaemin berkata 'tidak' walaupun hanya kebohongan sekalipun, namun hanya kebisuan yang menyambut pertanyaannya.
Karena Na Jaemin sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.
Terpaksa Jeno memutuskan kontak matanya dengan Jaemin, ia menunduk dan menatap genggaman erat kedua jemari mereka, dan perlahan Jeno melepaskan genggamannya pada jemari Jaemin seolah-olah dirinya melepaskan Jaemin dan berhenti berharap pada Jaemin "Baiklah, aku mengerti."
Tanpa menatap Jaemin lagi, Jeno segera bangkit berdiri sambil menarik tasnya dengan gontai kemudian pergi meningalkan Jaemin di Sungai Han. Ia mengepal kuat tangan kanannya yang tadi mengenggam erat jemari Jaemin. Genggaman yang ia harapkan akan berlangsung lebih lama daripada tadi, apa seharusnya Jeno pura-pura tidak mendengarnya saja tadi? Dadanya terasa sangat sakit sekarang, bagaikan ribuan palu besar menghantamnya berkali-kali tanpa henti.
Ya, seharusnya ia pura-pura tidak mendengarnya saja. Mungkin rasanya tak akan sesakit ini.
Kedua tungkainya berhenti melangkah dadanya benar-benar sesak, Jeno memukul dadanya sendiri ia berharap denyut sakit itu akan segera hilang tanpa bekas, namun itu adalah hal mustahil yang tidak mungkin terjadi sesak itu tidak akan bisa hilang.
Sedangkan disisi lain Jaemin masih terdiam, air wajah dan matanya masih menampakkan rasa terkejut. Apa baru saja Jeno pergi? Apa Jeno benar-benar melepaskannya begitu saja?
'Bukan seperti ini.'
Tanpa ia sadari setetes air mata menetes dari salah satu matanya, tangannya yang terasa hangat tadi kini mulai dingin tertiup angin. Dadanya berdenyut sakit bahkan sangat sesak hingga bernafaspun terasa sulit, ia menunduk menghindari tatapan beberapa orang yang mungkin menyadari bahwa dirinya sudah meneteskan air mata sedari tadi.
Apa dirinya salah dengan hanya berpura-pura tidak menyukai Jeno?
Mungkinkah, dirinya justru menyakiti Jeno?
".....maafkan aku.."
⇨ Until You ⇦
Susah payah Donghae membawa sebuah kardus berukuran lumayan sedang menaiki tangga gedung 3 menuju ruang siaran yang terdapat dilantai 2 dan di susul oleh Hyukjae yang hanya membawa sebuah kantung belanjaan.
"Mau kubantu? Kau terlihat kesulitan Donghae-ssi?"
"Tidak apa, sebentar lagi sampai."
Hyukjae menghela nafas tidak enak, ia segera melangkah lebih cepat mendahului Donghae lalu membukakan pintu ruang siaran agar Donghae bisa dengan mudah masuk kedalam.
"Terima kasih Hyukie." Donghae segera meletakkan kardus yang dibawanya diatas meja yang selalu mereka gunakan untuk rapat "Argh beratnya." keluh Donghae sambil bersandar di tepi meja dan menggerakkan kedua tangannya yang terasa kebas karena kardus berat itu.
"Kau lelah?" Hyukjae segera mengambilkan sebotol air mineral dari kulkas mini yang berada di dalam ruang siaran, bayangkan ada kulkas didalam sana. Ruang siaran memang diistimewakan oleh Choi Siwon karena itu di bangun khusus oleh penerima beasiswa dan tentu saja karena ada adiknya disana.
"Minumlah."
"Terima kasih, lagi, Hyukie." sekali lagi Donghae mengucapkan terima kasih sambil mengambil air yang diberikan Hyukjae dan segera meminum isinya dengan rakus seolah-olah ia kehilangan banyak mineral dalam tubuhnya.
"Jika tidak ada dirimu aku yakin besok lusa kita tidak akan bisa on air Donghae-ssi."
"Ini bukan apa-apa, kau bisa meminta bantuanku lagi kapanpun kau butuhkan. Kau tahu bukan tenagaku bisa kau manfaatkan."
Hyukjae terkekeh ia ingat ucapan itu pernah didengarnya dahulu saat hubungan mereka jauh lebih baik dari saat ini "Akan kubagikan jadwal siaran bergantian untukmu dan yang lainnya besok."
"Jangan-jangan, kau tidak perlu memasukkan diriku. Kau sangat tahu bukan diriku tidak bisa berbicara untuk banyak orang seperti itu." penolakan Donghae kembali membuat Hyukjae tertawa pelan, ia tidak menyangka Donghae masih sama seperti dahulu.
"Ini sudah 2 tahun Donghae-ssi, mengapa kau masih belum berkembang?"
Donghae hanya terkekeh malu sambil menggaruk kepalanya "Ya aku tahu itu, berbicara dengan orang banyak hanya akan membuatku gugup."
"Tapi mereka tidak terlihat Donghae-ssi?"
"Tapi mereka mendengarku."
"Baiklah-baiklah, aku tidak akan memaksa mungkin kau harus belajar dahulu." Hyukjae mengalah, ia tahu akan ketakutan terbesar Donghae 'menjadi perhatian' banyak orang. Iapun mengambil buku sketsa milik Donghae yang tertinggal tadi dan memberikan buku itu kembali pada pemiliknya.
"Ini milikmu, tertinggal."
"O!" Donghae segera mengambil buku itu dengan semangat "Kupikir ini hilang, buku ini sangat berarti untukku." ucapnya sedikit berlebihan, namun memang benar adanya.
Buku sketsa ini adalah pelampiasan atas kerinduannya dengan seseorang, hanya dengan menggambar sketsanya Donghae bisa melihat seseorang itu sedari dekat. "Apa kau melihat dalamnya?"
Hyukjae yang menghiraukan bagaimana Donghae bersyukur buku itu tidak hilang, terpaksa berpura-pura tersenyum dan menggeleng "Tidak, memang apa isinya? Mungkin hanya coretan tangan sama seperti 2 tahun yang lalu." ejeknya dengan menahan denyut sakit didadanya, Hyukjae tahu dengan jelas didalamnya adalah sketsa wajah dirinya, bahkan halaman paling akhir yang terdapat gambar sketsa wajah itu adalah wajahnya hari ini.
"Yak, perkembangan melukisku sudah berkembang pesat Lee Hyukjae." Donghae menatap buku dalam dekapannya lalu kembali menoleh menatap Hyukjae dihadapannya "Tapi kau memang benar, ini hanya sebuah coretan wajah tentang seseorang yang tidak bisa kudekati dan kumiliki."
Kembali Hyukjae menatap buku dalam dekapan Donghae tersebut "Aku mengenalnya?"
"Tidak.. Tentu saja tidak.." Donghae tertawa ia bahkan sampai menggerakkan tangannya, berdekatan dengan Hyukjae saja ia sudah bersyukur tidak perlu ditambah dengan wajah siapa yang digambar olehnya. "Kau tidak mengenalnya Hyukie, dia terlalu jauh untukku jangkau."
Hening sesaat, entah mengapa Hyukjae prihatin melihat Donghae yang seperti ini. Apakah ia harus memaafkan apa yang dilakukan Donghae padanya 2 tahun lalu? Tapi.. Ia lebih suka keadaan yang seperti ini, tanpa Donghae.
"Pulanglah, aku akan membereskan ini sebentar lalu pulang."
Donghae mengangguk "Tubuhku benar-benar lelah, hubungi aku jika kau butuh sesuatu Hyukie." Ia tersenyum menatap Hyukjae sekali sebelum beranjak pergi dan menutup pintu ruang siaran.
Senyum yang sebelumnya terukir di bibir Donghae perlahan menghilang saat ia bersandar pada pintu ruang siaran. Kepala dan dadanya terasa akan meledak sebentar lagi, entah sampai kapan ia harus berpura-pura sudah melupakan Hyukjae.
Kesalahannya.
Perasaannya.
"Begitu jauh lebih baik Donghae-ya. Teruslah berpura-pura, dan diriku tidak akan merasa bersalah menghiraukanmu selama ini." gumam Hyukjae ketika ia hanya ditemani keheningan dalam ruang siaran.
Susah payah Hyukjae menarik nafas kemudian menghelanya perlahan dadanya terasa sangat sesak Hyukjae mendongak menatap langit-langit ruang siaran menahan sesuatu yang berlarian ingin keluar dari kelopak matanya. Usai menenangkan dirinya sendiri Hyukjae mulai membereskan beberapa barang didalam ruang siaran ia menghabiskan 2 jam disana dan terpaksa pulang hingga langit mulai menggelap.
"Ya aku akan segera pulang.." Hyukjae menjawab panggilan telepon yang berasal dari keluarganya, ia melangkah keluar dari sekolah yang sudah sepi bahkan tidak terlihat siapa-siapa lagi dihalaman, apa benar-benar hanya dirinya yang berada disini?
Hyukjae melangkah meninggalkan Lobby utama namun cahaya lampu mobil yang tiba-tiba menyorotnya membuat Hyukjae menutup wajahnya dengan tangan.
Ia bisa mendengar suara pintu mobil yang terbuka dan melihat siluet seseorang keluar dari mobil dan melangkah menghampirinya, dan betapa terkejutnya Hyukjae ketika ia melihat Donghae yang berdiri di hadapannya.
"Do-Donghae?"
"Sebentar? Ini sudah 2 jam lebih, kuantar kau pulang."
"Kau masih disini?"
"Ya, aku menunggumu. Kau berkata hanya sebentar membereskan barang-barang itu diatas." Donghae meraih lengan Hyukjae lalu menariknya "Kuantar."
"S-sebentar Lee Donghae-ssi." Hyukjae menahan langkah Donghae "Yak!" ia bahkan sampai menarik tangannya dengan kasar dari cengkraman Donghae yang sangat kuat.
"Ada apa lagi Hyukie, hari sudah gelap."
"Bisakah kau berhenti? Jangan berbuat baik padaku, jangan berkeliaran dihadapanku, bisakah kau terus berpura-pura seperti dahulu saja?"
"Hyukie.."
"Berpura-puralah kau tidak mengenalku sama sekali seperti dahulu, itu jauh lebih baik untukku." Hyukjae segera pergi meninggalkan Donghae dirinya terlalu takut untuk kembali menerima kebaikan Donghae 'lagi'. Rasa takut dan kecewanya jauh lebih besar daripada perasaannya pada Donghae.
Rasanya Donghae seperti tertampar dengan kuat, jika Hyukjae tahu dirinya selama ini berpura-pura apa memang hal itu yang sebaiknya terus dilakukan olehnya? Apa Hyukjae akan lebih baik dengan kepura-puraannya dari pada mendengar permintaan maaf darinya?
Mungkin, tapi Donghae yang tidak bisa terus menerus berpura-pura.
'Drrrttttt'
Getaran ponsel dari sakunya mau tidak mau mengalihkan Donghae dari Hyukjae sementara, ia melihat layar ponsel panggilan itu berasal dari rumah.
"Ya, ahjumma?" Donghae memijat pangkal hidungnya sesaat, sebelum dirinya terkejut dengan apa yang diucapkan oleh sang kepala pelayan dirumahnya.
"Siapa yang kau bilang kembali?" Donghae sampai meminta sipenelpon mengulang kalimatnya sekali lagi. Bukan karena ia tidak mendengarnya, tapi ia berharap dirinya memang salah mendengar nama siapa yang disebutkan diseberang sana.
Masa lalu Jeno.
⇨ Until You ⇦
Sebuah mobil sport berwarna merah metalik memasuki pelataran rumah yang sangat besar dan mewah, dalam sekali belokan mobil tersebut terparkir rapi bersebelahan dengan mobil yang bentuknya hampir serupa dengan mobil merah metalik tersebut, hanya saja warnanya yang berbeda.
Lee Jeno keluar dari mobil itu, ia menatap mobil biru disebelahnya dan bisa ia tebak sang kakak sudah berada dirumah padahal biasanya Donghae tidak akan pernah berada dirumah sebelum jam 9 malam tiba.
'Memastikan keadaan seseorang' itu alasannya selalu pulang malam.
Tungkai panjangnya melangkah masuk kedalam rumah besarnya, dua pintu utama terbuka saat dirinya akan melangkah masuk dan beberapa pelayan sudah menyapanya, Jeno hanya melangkah masuk menghiraukan para pelayan tersebut. Kepalanya sudah cukup pening karena masalah miliknya sendiri dengan Jaemin.
Ia tidak pernah sesakit ini sebelumnya, ini terlalu sakit untuk dikatakan bahwa dirinya patah hati. Mengapa sakit kali ini jauh lebih sakit saat dahulu dirinya ditinggalkan oleh seseorang?
"Jeno-ya."
Langkahnya terhenti, ia menoleh dan melihat Donghae memanggilnya dari arah ruang tamu yang terletak dibagian barat rumahnya, ruang tamu utama "Ya Hyung?"
"Kau sudah pulang?" Donghae menghampiri Jeno yang terlihat sangat kusut terbaca jelas diwajahnya.
"Ya.." Jeno hampir melangkah lagi namun ia teringat dengan yang diceritakan Jaemin padanya tentang Hyukjae dan Donghae "Hyung, ada yang ingin kubicarakan."
Donghae mengangkat tangannya agar Jeno menahan apapun yang ingin dikatakannya "Tahan, apapun itu. Ada seseorang yang harus kau temui."
"Seseorang?"
Penasaran dengan siapa yang dimaksud Donghae, mau tidak mau Jeno mengikuti Donghae yang mengajaknya menuju ruang tamu utama. Ia melihat seseorang duduk membelakanginya dengan rambut pendek berwarna auburn. Hampir dirinya pikir itu Jaemin.
Senyum dibibirnya merekah jika itu Jaemin mungkinkah dia ingin memberikan penjelasan atau apapun tentang kejadian tadi.
"Jae-..."
Namun begitu pria itu berdiri dan berbalik menatap Jeno dan Donghae, panggilan yang hampir dikeluarkan Jeno tersendat di tenggorokannya, bahkan senyum diwajahnya memudar saat tahu yang ada dihadapannya bukan Jaemin melainkan cinta pertamanya yang pergi meninggalkannya.
"Lee Donghyuk?"
"Jeno-ya."
"Aku sudah kembali."
Jeno melempar tas yang dibawanya keatas tempat tidur dengan kasar, Donghae berdiri dibelakangnya ia tahu dengan jelas mengapa Jeno sekesal ini mengapa Jeno semarah ini sekarang.
"Jeno-ya."
"Kenapa kau membiarkannya masuk kemari Hyung? Kenapa kau mempertemukan diriku dengannya? Kau tahu aku membencinya."
"Aku tahu." Donghae mendekati Jeno dan memeluk adiknya itu, ia tahu bagaimana menderita dan sakitnya Jeno saat Donghyuk meninggalkannya dan memutuskan untuk mengejar mimpinya sebagai musisi muda.
Alasan besar mengapa Jeno membenci murid beasiswa, mereka menikmati sekolah gratis lalu pergi begitu saja meninggalkan siapapun yang sudah menolong mereka dibelakang bahkan tanpa mengatakan apapun.
Tepukan pelan di punggungnya membuat Jeno justru perlahan mulai menangis di pundak Donghae, ia kehilangan Jaemin hari ini dan kini Donghyuk kembali dengan membawa luka lama yang kembali terbuka dadanya benar-benar sangat sesak, Jeno tidak bisa menanggung semuanya sekaligus.
Jeno bahkan tidak tahu airmata yang keluar dari kedua matanya ini untuk siapa, dadanya benar-benar berdenyut begitu sakit ketika ia mengingat rasa sakit didadanya karena Donghyuk pergi meninggalkannya dan mengingat bagaimana Jaemin berpura-pura dihadapannya selama ini.
"Jeno-ya, jangan menangis. Kau tahu Hyung sangat mudah ikut menangis jika kau menangis?"
"Dadaku sesak Hyung, Donghyuk kembali dan Jaemin.. dia berpura-pura tidak menyukaiku. Ini sangat sakit Hyung dadaku benar-benar sakit." tubuh Jeno bahkan sampai merosot terduduk di lantai bersamaan dengan Donghae yang masih berusaha memeluk tubuh adiknya yang kini memukul-mukul dadanya, tangisannya kian kuat seperti anak kecil yang kehilangan segalanya dalam hidupnya.
⇨ Until You ⇦
Pagi itu hampir seluruh siswa ChoiShin HighSchool terlihat heboh karena melihat siapa yang datang dengan Jeno, tentu bukan sipenerima beasiswa seperti biasanya namun oranglain.
Seorang musisi ternama yang namanya melejit 2 tahun lalu, mereka sama sekali tidak menyangka kalau musisi itu adalah seseorang yang dikenal oleh Jeno, walaupun keluarga Jeno sangat terpandang sekalipun.
Lucas menatap beberapa murid yang berlarian keluar "Ada apa diluar sana?"
Tidak ada yang menjawab pertanyaannya hanya terdengar teriakan histeris para gadis yang seperti melihat artis, Jungwoo dan Jaemin yang penasaran pun ikut berdiri dibalik tubuh Lucas setelah menutup loker mereka.
Pandangan pertama yang mereka lihat adalah dua pria tinggi masuk kedalam dari lobby sekolah menuju ruang loker. Dan salah satunya tentu saja mereka kenal, itu Jeno. Namun siapa pria yang berada disisi kirinya?
"Dengan siapa Jeno datang? Kau mengenalnya Jaemin-ah?" tanya Lucas penasaran, sebenarnya ia juga penasaran mengapa Jaemin datang seorang diri hari ini dan juga dia menjadi pendiam sejak tadi mereka bertemu.
"Tidak." Jaemin menjawab singkat, tapi kedua mata bulatnya masih menatap lurus kedepan, apa Jeno akan menghampirinya? Jujur saja Jaemin ingin meluruskan masalah kemarin, bukan berniat terus berpura-pura dihadapan Jeno.
Usai mengambil beberapa buku yang dibutuhkannya untuk pelajaran hari ini Jeno menutup lokernya, ia berniat untuk segera pergi menghindari rentetan pertanyaan-pertanyaan mengapa ia bisa datang dengan Donghyuk namun kedua matanya justru beradu pandang dengan kedua mata Jaemin yang memang tengah menatapnya.
Denyut didadanya kembali terasa, bahkan jauh lebih sakit daripada kemarin. Dengan kesadaran penuh jemari Jeno meraih jemari Donghyuk dan mengenggamnya membuat Donghyuk dan beberapa siswa terkejut dan semakin bertanya-tanya.
"Omoooo!!"
"Mungkinkah kalian??"
Dengan cepat Jeno menarik Donghyuk agar tidak menjawab apapun, dirinya dan cinta pertamanya ini tidak ada hubungan apapun dan tidak akan pernah ada. Yang dibawanya hanya luka lama, sedangkan saat ini seluruh hati dan kepalanya hanya dipenuhi oleh Na Jaemin.
"Kau tidak perlu menjawab apapun." Ucap Jeno pada Donghyuk dengan ketus, ia mencoba menghiraukan tatapan Jaemin padanya dan terus melangkah melewati Jaemin yang sejak tadi melihat bagaimana jemari yang kemarin mengenggamnya kini mengenggam pria lain.
'Deg!'
Denyut sakit itu semakin terasa saat Jeno menghiraukan keberadaan Jaemin seperti mereka selama ini tidak pernah saling mengenal satu sama lain. Pria itu benar-benar melangkah pergi begitu saja tanpa berpaling lagi padanya.
"Tunggu sebentar...Ada apa ini? Jaemin-ah?" Jungwoo bertanya-tanya karena Jeno melewati Jaemin begitu saja dengan menggandeng seseorang.
"Lee Jeno!" Lucaspun segera memanggil Jeno, dengan terpaksa Jeno kembali menoleh namun yang ia lihat hanya Lucas, sedangkan Jaemin memunggunginya.
"Na Jaemin, bukan milikku lagi. Aku tidak perduli apapun yang akan terjadi padanya." Jeno bahkan tidak membiarkan Lucas berbicara sepatah katapun, ia segera beranjak pergi tanpa perduli perkataannya kini menyakiti Jaemin.
"Ada apa Jaemin-ah? Ada apa diantara kau dan Jeno?" Lucas benar-benar terkejut, namun Jaemin tidak menjawab apapun hanya kedua matanya yang kini kian memerah.
"Jangan menangis Jaemin-ah." Jungwoo segera memeluk Jaemin erat-erat ia bisa merasakan bahu Jaemin bergetar hebat menahan tangisan yang ingin keluar dari bibirnya.
Melihat sahabatnya seperti ini Lucas kembali mengejar Jeno, ia menarik lengan Jeno yang mengenggam jemari Donghyuk "Aku tidak tahu siapa dia yang kau bawa hari ini, aku pun tidak perduli siapa orangtuamu Lee Jeno-ssi. Tapi aku masih mengingat ucapanmu tentang Jaemin hari itu apa k-..."
"Lupakan ucapanku, mungkin diriku saat ini lebih jahat daripada Donghae Hyung. Tapi itu yang harus kulakukan, menyakitinya."
⇨ To Be Continued ⇦
Tidak ada komentar:
Posting Komentar