myCatalog

Jumat, 18 September 2020

UNTIL YOU - PART EIGHT



UNTIL YOU

|

|

|

***









Suara langkah kaki Jeno memenuhi seluruh koridor yang tengah sepi, ia bahkan melewati Donghyuk yang hampir melambai padanya fokusnya benar-benar ada pada Na Jaemin ia tidak ingin terlambat sampai disana.

Jeno hampir menabrak Junmyeon dan Lucas dipersimpangan koridor menuju gudang utama andai saja dirinya tidak cepat-cepat menahan langkahnya sendiri "Kalian datang?"

"Tentu saja kau pikir aku akan membiarkan temanku terluka karena si gila itu?" Lucas menghardik dengan kasar, ia masih ingat bagaimana Jeno membuang Jaemin. "Ini semua karenamu Lee Jeno, jika Jaemin terluka kau akan membayarnya dengan nyawamu."

Ia sama sekali tidak bisa menyalahkan Lucas yang memojokkannya saat ini, namun beruntung Junmyeon segera menengahi baginya keselamatan Jaemin yang terpenting saat ini.

"Tujuan utama kita menemukan Jaemin, apapun masalah kalian berdua selesaikan setelah ini." Junmyeon melangkah terlebih dahulu meninggalkan Jeno dan Lucas, keduanya pun mengikuti Junmyeon dengan langkah cepat menuju gudang.

'Braaakk'

Langkah ke-3nya berhenti mereka bisa mendengar suara benda berjatuhan dan perkelahian dari dalam, Jeno bahkan bisa mendengar erangan Jaemin didalam sana.

"Jaemin-ah?!"

"Jeno!! Tung..." Junmyeon gagal menahan Jeno untuk berlari masuk namun suara teriakan Jaemin pun membuatnya ikut segera masuk bersama Lucas dengan tergesah-gesah.

"J-jangan kesana.." Lucas berlari ingin menarik Jeno karena melihat Junshik sudah mengangkat sebuah bangku untuk menyerang Jaemin namun dirinya terlambat, jemarinya tidak sempat meraih Jeno dan ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Jeno melindungi Jaemin dengan tubuhnya.

Jaemin terpaku ditempatnya, ia mendengar suara hantaman bangku yang kuat kedua matanyapun melihat bagaimana bangku itu rusak menjadi beberapa bagian setelah menghantam siapapun yang kini menjadi pelindungnya.

Ia berharap dirinya salah mendengar suara siapa yang tadi terdengar digendang telinganya, perlahan Jaemin mendongak melihat siapa yang memeluk tubuhnya dengan erat melindunginya dari maut yang seharusnya sudah mengambil nyawanya saat ini.

Dadanya terasa sangat sesak begitu ia melihat wajah yang dikenalinya kini menunduk menatapnya dengan sebuah senyuman tipis. Tanpa sadar kedua matanya memerah, Jeno justru menjadi tameng untuk dirinya "Apa yang kau lakukan Jeno-ssi?" Cicitnya, ia bahkan tidak bisa bersuara sama sekali saat ini hanya ada rasa takut yang menyelimuti dadanya hingga Jaemin melihat darah perlahan mengalir dari kepala Jeno hingga menetes keatas seragamnya.

Jeno tidak menjawab protes kecil dari bibir Jaemin, ia justru sibuk menggunakan jemarinya mengusap darah disudut bibir Jaemin "Kau baik-baik saja bukanhh..." Tubuh Jeno tiba-tiba terjatuh lemas menindih Jaemin yang dengan sigap memeluk dengan erat tubuh Jeno setelah Jaemin gagal menyentuh jemari Jeno dibibirnya.

"J-Jeno? Jeno-ssi?" Cicitnya lagi, ia memeluk dengan kuat tubuh Jeno bahkan airmatanya sudah menggenang dipelupuk mata, tubuhnya pun melemas nafasnya tersengal-sengal menahan sesak luar biasa didadanya.

"Ck, menyusahkan saja. Apa kita harus membakar 2 tubuh sekarang?" Tanpa merasa bersalah atas apa yang baru saja terjadi Junshik justru mengambil salah satu kaki bangku yang tadi hancur menghantam tubuh Jeno, dia sepertinya siap menyingkirkan kedua pria yang dengan bodohnya saling melindungi satu sama lain dihadapannya ini.

"Kalian akan saling menyapa diakhirat nanti."

Jaemin semakin memeluk tubuh lemah Jeno, jantungnya berdebar dengan cepat pandangannya yang menatap Junshik perlahan mengabur ia tidak boleh hilang kesadaran jika ia hilang kesadaran bagaimana dengan Jeno, siapa yang melindungi Jeno?

Namun perlahan tubuhnya pun ikut merosot dan melemas, pelukannya pada tubuh Jeno mengendur hingga perlahan tubuh keduanya tersungkur dilantai gudang.

Junshik kembali mengangkat kaki kursi tersebut dan berniat menyerang keduanya tanpa ampun, namun Lucas tiba-tiba saja mendorongnya dari samping hingga terjerembab dan menghajar Junshik membabi buta.

Beberapa teman Junshik berniat menolong Junshik namun Junmyeon sudah berdiri menghalangi ia mengambil sebuah balok dan siap menyerang teman-teman Junshik andai saja Yixing dan Jungwoo tidak datang dengan aparat kepolisian.

Mereka yang takut berlari pergi meninggalkan Junshik yang masih berkelahi dengan Lucas sedangkan mereka yang masih berada dibawah pengaruh obat-obatan terlarang dengan bodohnya justru menyerang aparat kepolisian tersebut.

"Yixing?"

"Kau memintaku untuk diam? Apa kau gila? Kau bisa mati Kim Junmyeon!!" Omel Yixing ia bahkan menghiraukan Junmyeon yang ingin memberikan penjelasan padanya dan segera menghampiri Jaemin serta Jeno yang tergeletak lemas bersimbah darah di lantai.

"Jaemin? Jaemin-ah.. ya ireona!" Yixing menepuk-nepuk wajah Jaemin setelah memindahkan tubuh Jaemin dari atas tubuh Jeno.

"Jeno-ya? Je..." Junmyeon terkejut tangannya yang menyentuh bahu Jeno penuh dengan darah segar, "Jeno-ya!!!" Junmyeon segera meraih ponselnya dan menghubungi Donghae dengan tangan gemetar penuh dengan darah.

Aparat kepolisian berhasil menangkap 3 dari 7 teman Junshik yang kabur, mereka juga berhasil memisahkan Lucas yang memukuli Junshik karena melampiaskan amarahnya walau sebagaian besar itu karena Jungwoo yang menarik Lucas dari belakang dengan susah payah.

"Lucas.. kumohon sudah.." Jungwoo menahan dan memeluk punggung Lucas dengan kuat, kekasihnya itu masih ingin memukuli Junshik walaupun polisi sudah memborgolnya dan akan membawanya.

"Biarkan polisi yang mengurusnya.."

Emosi Lucas mereda saat Junshik benar-benar diseret keluar dari gudang sambil berteriak-teriak karena tidak terima permainannya yang belum selesai dirusak. Lucas segera berbalik dan memeluk Jungwoo dengan erat kedua tangannya gemetar ini pertama kali dalam hidupnya Lucas melihat manusia segila Junshik, ia tidak bisa membayangkan berada diposisi Jungwoo yang melihat sahabatnya terbunuh dihadapannya sendiri.

"Semuanya sudah berakhir Lucas.." Kali ini Jungwoo yang mengelus punggung Lucas perlahan, ia bisa merasakan ketakutan dan getaran ditubuh kekasihnya, pelukan padanya semakin erat ia tahu Lucas terkejut dengan kegilaan Junshik.

"Jaemin dan Jeno sudah dibawa kerumah sakit, mereka akan baik-baik saja. Kau berhasil menyelamatkan mereka Lucas.."

"Kau juga menyelamatkanku Jungwoo-ya. Kau sudah menyelamatkanku."

Lucas menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Jungwoo dan makin mengeratkan pelukannya, jika tidak ada Jungwoo mungkin ia sudah memukuli Junshik hingga tewas. Rasa takut dan amarahnya membuat dirinya tidak dapat mengontrol perbuatannya tadi.

Until You

Bau alkohol yang pekat menganggu indera penciuman Jaemin ketika dirinya tersadar, kedua matanya terbuka perlahan dan menatap langit-langit berwarna putih diatasnya. Saat melihat sekeliling ia hanya melihat uap panas dari mesin penghangat yang berhembus didekat kepalanya.

"Hhhh..."

Tangannya bergerak namun ia merasa ngilu luar biasa di punggung tangannya, perlahan Jaemin meringis sambil mengangkat tangannya dan melihat jarum infus terpasang disana.

"Akhh!!"

Rasa sakit luar biasa menjalar ditubuhnya saat ini ketika Jaemin mencoba untuk bangkit duduk diatas tempat tidur yang ditidurinya, punggungnya terasa panas dan pegal.

Sekali lagi Jaemin menatap sekeliling, ia akhirnya sadar kalau dirinya berada di dalam kamar rumah sakit. Siapa yang membawanya?

Dalam mimpinya ia melihat Jeno menjadi tamengnya saat Junshik akan menyerangnya. Mimpi? Jaemin kembali menatap sekeliling dan melihat seragamnya yang penuh dengan bercak darah terlipat diatas sofa.

"Sial itu bukan mimpi."

Dengan tergesah-gesah Jaemin berusaha bangkit dan turun dari atas bangsalnya, dengan paksa ia menarik jarum infus yang terpasang ditangannya hingga membuat telapak tangannya berdarah karena cara yang salah dalam melepas jarum infus.

Jaemin mengambil beberapa lembar tissue dan menutup lukanya kemudian perlahan melangkah keluar walau kepalanya terasa sangat pening dan tubuhnya masih terasa sangat lemas dan sangat sakit.

Ia membuka pintu kamarnya dan menoleh kearah kanan dan kiri mencari dimana perawat ataupun meja perawat, ia ingin bertanya dimana Jeno berada.

Namun baru ia melangkah beberapa langkah seseorang menahan langkahnya, saat ia menoleh Jaemin melihat Yixing tengah mencengkram tangannya erat-erat.

"Kau mau kemana? Ini tengah malam, beristirahatlah."

"Jeno? Dia juga ada disini bukan?"

"Apa kau harus menanyakan keadaannya? Dirimupun terluka sama parahnya dengan dirinya. Kau tahu berapa banyak memar ditubuhmu? Kau tahu jika dia memukulmu lebih lama lagi organ vitalmu bisa hancur eoh? Kau sudah gila Na Jaemin!"

Ia menghela nafas dan bersandar di dinding rumah sakit, kepalanya benar-benar pening mendengar omelan Yixing padahal dirinya baru saja sadar.

"Kembali ke kamarmu." Yixing menarik Jaemin untuk kembali kekamar namun Yixing seperti menarik sebuah patung karena Jaemin sama sekali tidak bergeming.

"Beritahu saja diriku dimana dia berada aku hanya akan melihatnya dari luar lalu kembali ke kamar." Pintanya, begitu sadar yang ada dikepalanya hanyalah Jeno. Ia masih ingat berapa banyak darah yang menetes dari kepala Jeno saat menolongnya, walaupun saat ini Jaemin tidak bisa bergerakpun ia akan menanyakan keadaan Jeno.

Mendengar permintaan Jaemin yang terlihat sangat putus asa hanya untuk mengetahui keadaan Jeno membuat Yixing mengalah, ia akhirnya membantu Jaemin berjalan perlahan menuju kamar Jeno kelas VVIP berbeda dengan kamar Jaemin yang hanya kelas 1.

Jemari Jaemin menyentuh handle pintu kamar Jeno yang terasa sangat dingin, ia sudah mengintip dari kaca yang terdapat di pintu kamarnya. Yixing menunggu di ruang tunggu yang ada di koridor kamar VVIP ia membiarkan Jaemin melihat keadaan Jeno dari luar.

Yixing berkata dia dan Jeno tidak sadarkan diri selama 2 hari, jika dirinya saja baru sadar sekarang bagaimana dengan Jeno? Kedua mata bulatnya bisa melihat Jeno terbaring didalam, bahkan terlihat dengan jelas perban yang membabat kepala Jeno didalam sana.

Jaemin meremas handle pintu yang disentuhnya sedari tadi, ia hampir membukanya andai saja matanya tidak mengangkap siluet seorang pria keluar dari kamar mandi pribadi didalam ruangan Jeno.

Matanya memperhatikan gerak gerik pria yang baru saja kembali dari kamar mandi itu dan segera mendudukkan dirinya di kursi yang berada di sebelah bangsal Jeno.

Pria itu, Donghyuk. Tengah mengenggam jemari Jeno sambil merebahkan kepalanya ditepi bangsal. Melihat apa yang terjadi didalam perlahan jemarinya melepas handle pintu kamar Jeno dan mundur satu langkah.

Walau Donghyuk terlihat jahat dimatanya, tapi setidaknya dia tidak pernah membuat Jeno berada dalam bahaya seperti dirinya. Jaemin memutuskan angkat kaki dari sana dan kembali menghampiri Yixing.

"Kau sudah melihatnya?"

"Melihat dari depan saja sudah cukup Hyung, aku tidak ada muka untuk bertemu dengannya setelah membuatnya jadi seperti ini."

Yixing ingin berbicara lebih tapi melihat air wajah Jaemin ia menutup kembali bibirnya "Kutemani kembali ke kamar." ia kembali membantu Jaemin melangkah kembali ke kamarnya.

"Apa ibuku tahu aku dirawat disini?"

"Tentu saja tidak, aku berkata kau pergi mengikuti kegiatan sekolah. Ibuku membantuku berbohong untuk hal ini, kau harus berterimakasih padaku."

Yixing membantu Jaemin kembali duduk diatas bangsalnya "Akan kupanggil perawat untuk mengobati luka di tanganmu." tanpa menunggu jawaban Jaemin ia segera pergi keluar untuk memanggil perawat, Jaemin hanya menghela nafas sambil menatap punggung tangannya yang terdapat bercak darah, ia tidak tahu bagaimana menghadapi hari esok apa seharusnya dia pura-pura tidak sadar saja?

Jaemin mendengar Yixing mengoceh panjang lebar saat dirinya tengah di obati, setelahnya perawat memasang jarum infus baru dipunggung tangan kanannya dan memintanya untuk beristirahat dan jangan mencabut selang infus lagi sembarangan. Perlahan matanya terasa sangat berat hingga dirinya tertidur sambil tetap mendengarkan segala ocehan Yixing yang terasa seperti dongeng sebelum tidur baginya.

Dalam mimpinya Jaemin melihat sungai Han berada dihadapannya terlihat indah disore hari menjelang petang, ia merasa hembusan angin disana sama seperti terakhir dirinya pergi kesana dengan Jeno sebelum kesalahpahaman itu terjadi.

Ketika ia tengah menikmati indahnya matahari sore hari ia merasa jemarinya digenggam oleh seseorang, Jaemin mengerutkan keningnya dan menoleh kearah kirinya.

"Ireona.."

Ia melihat dan mendengar Jeno berbisik ditelinganya memintanya untuk segera bangun dari tidurnya tapi Jaemin menggeleng ia lebih menyukai mimpinya daripada realita kehidupannya.

Jemarinya yang saling bertautan dengan Jeno saling mengenggam dengan sangat erat seakan-akan tidak akan terlepaskan lagi selamanya, mimpi ini yang ia inginkan terjadi dalam hidupnya.

Sambil tersenyum Jaemin bersandar pada pohon besar dibelakang, kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Jeno mengapa rasanya sangat nyaman seperti ini? Atensinya teralihkan ketika dagunya ditarik oleh Jeno agar menghadap kearah pria itu.

Perlahan Jaemin menutup kedua matanya saat wajah tampan Jeno menghalau sinar matahari yang menerpa wajahnya dan mengikis jarak diantara kedua bibir mereka, ia bisa merasakan bibirnya dan Jeno bersentuhan walau ini hanya mimpi mengapa terasa sangat nyata?

"Ireona Jaemin-ah.."

Ia bisa mendengar suara Jeno yang masih memintanya untuk bangun saat tengah mengecup bibirnya. Apa dirinya harus bangun dan meninggalkan mimpi indahnya?

"Jaemin-ah.."

Jaemin terpaksa membuka kedua matanya kembali ia bukan melihat langit-langit berwarna putih seperti kemarin malam, dirinya bisa merasakan ruangannya terang dengan cahaya matahari namun cahaya itu terhalang dengan wajah seseorang yang kini berada dihadapannya, sangat dekat dengannya.

Kedua mata bulatnya berkedip beberapa kali menatap kedua mata tajam yang tengah menatapnya sangat dekat seperti tengah menyadarkan Jaemin bahwa dirinya tidak lagi bermimpi, Jeno kini benar-benar berada dihadapannya.

"Jeno-ssi?" suaranya masih parau dan serak karena Jaemin benar-benar baru bangun dari tidurnya.

"Apa aku harus menciummu dahulu baru kau bangun?"

Jeno akhirnya menjauhkan wajahnya dari Jaemin dan membiarkan pria yang baru bangun dari mimpi indahnya mungkin, berpikir tentang maksud ucapannya. Sejak pagi saat dirinya tersadar Jeno sudah duduk di tepi kasur Jaemin menatap pria tersebut tidur sangat tenang seperti seorang bayi.

"Menci-..." wajah Jaemin memanas ia bahkan segera bangun dari tidurnya dan menghiraukan rasa sakit dipunggung dan seluruh tubuhnya karena duduk dengan tiba-tiba. Ia menatap Jeno sambil menutup mulutnya, apa tadi benar-benar bukan mimpi?

"Terkejut? Aku baru tahu kau benar-benar memimpikanku? Bahkan berciuman denganku, bayangkan jika bukan diriku yang bersamamu? Siapa yang akan mencium bibirmu itu?"

"Yaak!" Jaemin hampir melayangkan kepalan tangannya untuk memukul lengan Jeno tapi rasa sakit ditubuhnya justru membuatnya mengaduh sakit.

"Kau tidak apa-apa? Bagian mana yang sakit? Katakan padaku." Jeno segera menggeser posisi duduknya makin mendekat pada Jaemin dan mengecek lengan pria itu, jika digerakan saja sakit mungkin ada luka dalam yang tidak terlihat oleh peralatan medis.

"Aku baik-baik saja."

Jaemin menarik lengannya yang tengah diperiksa oleh Jeno ia menatap Jeno dari atas hingga kebawah selain perban yang melilit dikepalanya tidak ada lagi luka yang terdapat ditubuhnya. "Apa kau baik-baik saja? Apa ada lagi yang terluka selain kepalamu? Mengapa kau disini? Kenapa tidak beristirahat dikamarmu."

"Aku sudah tertidur selama 2 hari lamanya, kau ingin aku bagaimana? 2 hari sudah cukup untukku beristirahat. Lagipula aku ingin melihat keadaanmu.."

Jaemin menghela nafas pelan ia sudah berniat untuk menjauh dari Jeno setelah tubuhnya sudah membaik tapi pria ini justru malah sudah menungguinya dipagi hari "Apa kau sudah sarapan? Bagaimana kepalamu jawab aku."

"Kepalaku baik-baik saja hanya luka robek dan ya beruntung tulang tengkorakku tidak retak. Pukulannya mengenai tulang bahuku, hanya retak sedikit selebihnya diriku baik-baik saja." Jeno mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Jaemin, ia ingat terakhir kali yang dilihatnya sebelum kesadarannya menghilang adalah wajah Jaemin yang penuh memar dan terluka karena ulah Junshik dan teman-teman gilanya.

Jemarinya mengelus wajah Jaemin dengan lembut, ibu jarinya kembali menyentuh sudut bibir Jaemin yang kini memar membiru "Mengapa kau membiarkan seseorang memukulmu begitu saja."

"Aku tidak membiarkannya, aku hanya tidak sanggup lagi melawan mereka aww.." Jaemin meringis karena memarnya tersentuh jemari Jeno, tapi ia segera menyentuh tangan besar Jeno dan meremasnya pelan, merasakan bagaimana hangatnya jemari Jeno yang sempat lolos dari genggamannya saat Jeno hilang kesadaran.

"Lalu? Apa kau sudah sarapan?"

Jeno mengangguk ia menatap jemarinya yang kini berada dalam genggaman Jaemin "Tapi sepertinya aku masih lapar, sarapan singkatku sama sekali tidak membuatku kenyang."

"Memang kau sarapan apa Jeno-ssi?"

"Jika kukatakan apa aku boleh memakan sarapanku lagi?"

Jaemin menatap wajah Jeno dan kedua matanya dengan tatapan polos, kepalanya mengangguk dengan cepat "Tentu saja." tidak mungkin Jaemin akan menghalangi Jeno untuk memakan sarapannya jika ternyata dia masih lapar.

"Sarapanku..."

Jeno tersenyum dan semakin mendekati Jaemin yang justru memundurkan kepalanya, namun jemari Jeno dengan cepat menahan tengkuknya membuat Jeno dan Jaemin kini saling berhadapan sangat dekat bahkan kedua ujung hidung mereka sudah saling menempel saat ini.

"Manhi mokgo, Jaemin-ah.." bisik Jeno tepat di depan bibir Jaemin, ia menempelkan bibir tipisnya pada bibir tebal Jaemin sama seperti yang dilakukannya tadi saat ingin membangungkan Jaemin dari mimpinya, mengecupnya berkali-kali.

Jaemin terkejut, namun ia tidak menolak saat Jeno mengecup-ngecup bibirnya. Ini terasa sangat nyata seperti dalam mimpinya tadi.

"Jeno-ssi." Jaemin menahan dada Jeno agar tidak semakin maju menghimpit tubuhnya "Apa maksudmu sarapanmu itu aku?"

Jeno menatap Jaemin sambil menggeleng "Bukan, bukan dirimu tapi bibirmu."

Rasanya Jaemin ingin protes, bukankah bibirnya sama saja dengan dirinya? Tapi ia justru tidak bisa menyembunyikan semburat merah diwajahnya saat ini dan senyum manis diwajahnya yang tertahan, membuat Jeno gemas dan mengelus wajah pria yang dicintainya itu.

"Kau tahu aku hampir mati berdiri saat Junmyeon Hyung bilang padaku bahwa Junshik menargetkanmu."

"Aku hampir mati saat melihatmu terluka demi diriku, jangan ulangi hal itu lagi Jeno-ssi atau kau akan menyesalinya."

"Apa sekarang kau mengancamku Na Jaemin?"

Dengan sekali anggukan Jaemin mengangguk, ia menunjuk Jeno dengan telunjuknya "Ya, aku mengancammu jadi jangan macam-ma..."

Jeno segera mengenggam telunjuk dan jemari Jaemin menarik pria itu mendekat padanya membuat Jaemin berhenti mengoceh dipagi hari menjelang siang tersebut. Ia kembali mencium bibir tebal milik Jaemin yang sangat mengundangnya, keduanya saling mengecup dan melumat perlahan seolah tengah melampiaskan apa yang selama ini mereka tahan.

Ciuman panjang itu terhenti ketika keduanya membutuhkan pasokan oksigen, kening keduanya saling bersentuhan walau dengan mata yang masih tertutup keduanya saling melemparkan senyum manis bahkan Jaemin sampai mengigit bibirnya sendiri karena tidak bisa berhenti tersenyum pada Jeno.

"Saranghae Na Jaemin.."

"....... Nado Jeno-ssi, Nado saranghae."

Dan kedua bibir itu kembali menempel dan saling melumat disertai dengan ucapan 'saranghae' yang saling bersahutan antara Jeno dan Jaemin.

Until You

Langkah kaki bergema disepanjang koridor yang terisi dengan puluhan sel untuk narapidana, penjaga penjara membuka salah satu pintu sel dan meminta seseorang yang mendekam sejak seminggu didalam sana untuk keluar karena seorang keluarganya datang untuk menjenguk.

Dengan langkah malas ia keluar dari dalam sel mengarahkan kedua tangannya kedepan untuk diborgol oleh penjaga yang menjemputnya, ia kemudian melangkah bersama dengan para penjaga menuju ruang berkunjung, begitu dirinya masuk kedalam ruangan itu kedua matanya melihat seorang pria yang dikenal seumur hidupnya, kakaknya.

"Ju Junshik waktumu hanya setengah jam."

Pria tersebut, Ju Junshik melangkah mendekati meja yang di pisahkan oleh kaca tebal yang tinggi berhadapan langsung dengan sang kakak, Ju Kangshik.

"Bagaimana kabarmu?"

"Itu pertanyaan atau sindiran?"

Kangshik menghela nafas pelan "Kenapa kau bermain-main dengan Lee Jeno? Seharusnya kau menjauhi masalah dengannya."

"Aku tidak sepertimu Hyung, menyerah hanya karena Lee Donghae menggertakmu."

Kangshik hanya diam, yang diucapkan adiknya tidak sepenuhnya benar. Dirinya bukan menyerah karena gertakan Donghae sahabatnya namun dirinya terkejut, dan.. Merasa bersalah, jika bisa dikatakan seperti itu.

"Kapan aku akan keluar?" Sambung Junshik, ia merasa dirinya hanya menginap didalam penjara bukan menebus kesalahannya karena hampir membunuh dua orang.

Satu hal yang disesalinya dalam sel adalah kenapa dia tidak cepat-cepat menghabisi keduanya, melihat targetnya masih hidup benar-benar mengusik dirinya.

"Kau pikir aku bisa mengeluarkanmu begitu saja? Pihak sekolah sudah mendrop out dirimu, keluarga Lee melaporkanmu, dan keluarga Zhang juga melakukan hal yang sama."

Junshik tidak perduli jika dirinya dikeluarkan dari sekolah itu, namun ia terusik saat mendengar nama keluarga yang tidak dikenal olehnya justru ikut melaporkan dirinya "Keluarga Zhang? Siapa mereka?"

"Anaknya yang melapor dan membawa polisi untuk menangkapmu hari itu, dari penyelidikanku dia teman dekat Jaemin."

"Jadi dengan kata lain kau tidak bisa mengeluarkanku?"

Kangshik menggelengkan kepalanya, dirinya juga gila seperti adiknya sangat suka membully tapi ia tidak menyangka bahwa sang adik terkadang melewati batas. Bahkan baginya penjara adalah tempat terbaik untuk adiknya itu saat ini "Kau baik-baik saja bukan didalam sini?"

"Aku baik.. Jika kau tidak bisa membuatku keluar sebaiknya kau tidak perlu menjengukku Hyung." Junshik bangkit berdiri dari duduknya ia melangkah pergi dari hadapan Hyungnya itu namun langkahnya terhenti, ia seperti mendapat permainan baru.

"Siapa tadi yang menjebloskanku kedalam penjara?"

Kangshik menghela nafas ia melirik adiknya "Yixing, Zhang Yixing. Dia putra tunggal keluarga Zhang."

Mendengar nama tersebut Junshik mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian tersenyum pada Kangshik "Sampai bertemu lagi Hyung.." Ia kembali pergi dari ruang berkunjung, dengan senyum lebar dirinya tidak akan pernah melupakan nama itu, Zhang Yixing.

Kangshik kembali menghela nafas dan beranjak bangkit berdiri, ia melangkah keluar menemui sipir penjara yang tadi sudah membicarakan tentang rencana pemindahan Junshik kerumah sakit jiwa untuk diperiksa kewarasannya.

"Lakukan yang terbaik." Ucapnya setelah menandatangi berkas persetujuan pemindahan, ia menoleh sekali kebelakang kemudian kembali pergi meninggalkan penjara.

"Maaf Junshik-ah, hyung harus melakukan ini."

 ⇨ Until You

Pagi itu sekolah dihebohkan dengan kedatangan Jeno dan Jaemin bersama-sama, mereka tidak datang dengan salah satu koleksi mobil milik Jeno melainkan dengan kendaraan umum.

Para murid terkejut melihat keduanya berjalan sepanjang jalan dari pintu gerbang hingga lobby bukan hanya melihat keduanya berjalan bersama di jalur pedestrian tapi keduanya juga saling berpegangan tangan, dan tentu saja seantero sekolah segera menggosipkan kedua manusia tersebut setelah sampai disekolah.

Tidak ada yang tidak tahu tentang Jeno yang menyelamatkan Jaemin di gudang, semua murid memuji Jeno atas tindakan heroiknya, tapi yang tidak mereka habis pikir adalah hubungan diantara Jeno dan Jaemin yang sudah berada ditingkat yang tidak pernah mereka bayangkan.

"Apa kau risih?"

Jaemin melirik Jeno yang kini berdiri di loker milik Jungwoo dan meyandarkan lengannya disana, Lee Jeno sedang sibuk memperhatikan Jaemin yang tengah mengambil beberapa buku untuk pelajaran nanti.

"Sedikit.." Sesekali Jaemin menoleh kebelakang dan mengintip dari balik pintu loker, ia bisa melihat hampir setiap orang yang berpapasan dengan mereka akan menatap dirinya penuh tanda tanya.

"Hei.." Jeno meraih dagu Jaemin agar menoleh padanya "Kau hanya perlu menatapku, tidak perlu memikirkan hal lainnya."

Mau tidak mau Jaemin menganggukkan kepalanya, ia berusaha tersenyum pada Jeno lalu menutup resleting tas nya dan lokernya, namun ia dikejutkan dengan keberadaan Renjun dibalik pintu lokernya.

"Omo! Kau mengagetkanku."

Jeno dan Renjun terkekeh "Akhirnya kalian kembali kesekolah, banyak yang merindukan kalian.."

"Merindukanku? Mungkin maksudmu banyak yang merindukan Lee Jeno?"

"Kalau dia jangan ditanya, seluruh gadis merindukannya." Renjun hampir tertawa melihat Jaemin langsung melempar tatapan tajam pada Jeno yang mengangkat kedua tangannya tanda ia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Renjun.

"Tapi Jaemin-ah ucapanku tidak mengada-ada memang benar banyak yang merindukanmu, ikut aku."
Melihat Renjun pergi terlebih dahulu mau tidak mau Jeno menarik Jaemin untuk nengikuti sahabatnya itu. Hingga mereka tiba diruang siaran dan saat pintu terbuka tiupan terompet dan teriakan "Kejutaaaan..." menggema dari dalam keluar.

Jaemin terkejut melihat seluruh temannya dari klub siaran berada disana, ditambah Yixing, Junmyeon, Jungwoo, Lucas dan... Donghyuk yang tengah ikut bertepuk tangan atas kesembuhannya. Sangat sulit rasanya tersenyum pada Donghyuk namun dirinya tentu harus merasa senang dengan kejutan ini, ada sedikit perasaan yang mengganjal di dadanya saat melihat Donghyuk saat ini.

Hyukjae dan Donghae perlahan membawakan kue dan meletakkannya diatas meja, mereka merayakan kesembuhan Jaemin "Sunbaenim apa kau tidak melakukan ini juga pada Jeno?" Tanya Jaemin penasaran, Donghae menggeleng.

"Lee Jeno memiliki banyak nyawa, lagipula dia tidak suka kue manis Jaemin-ah."

"Yang kusuka dirimu.." Bisik Jeno tiba-tiba ditelinga Jaemin namun terdengar oleh Renjun.

"Oh, Lee Jeno menggelikan." Renjun sangat anti dengan sesuatu yang berbau romantis.

Acara diruang siaran hanya kegiatan singkat penyambutan kembalinya Jaemin, hampir semua anggota sudah kembali kekelas masing-masing karena jam pelajaran sudah dimulai, Junmyeon sampai harus menyeret Yixing yang masih ingin berpesta agar kembali kekelas.

Sedangkan Jungwoo bersama Donghae mempelajari tentang bagaimana menjadi penyiar seperti Lee Hyukjae, sedangkan Jeno ia mengobrol dengan Lucas serta Renjun mereka memutuskan untuk membolos di jam pertama.

Atensi ke-3nya teralihkan saat melihat Donghyuk menghampiri Jaemin yang sedang membereskam beberapa barang yang terjatuh tadi. Jeno hampir berdiri dari kursinya saat melihat Jaemin keluar dari ruang siaran mengikuti Donghyuk tapi Lucas menahannya.

"Biarkan mereka berbicara, masalah mereka adalah dirimu jadi kau duduk saja disini."

Jaemin mengikuti Donghyuk menuju Sky bridge ia berhenti saat melihat cinta pertama Jeno itu berhenti dan berpegangan pada pagar besi sky bridge, dirinya pun ikut menyandarkan punggungnya disana, menunggu apa yang ingin dibicarakan oleh Donghyuk padanya.

"Aku mengenal Jeno sejak kecil, saat kami berumur 10 tahun. Walau dia lebih tua beberapa bulan dariku tapi sifatnya jauh lebih kekanakan daripada diriku." Jaemin menoleh saat ia mendengar Donghyuk mulai menceritakan tentang pria yang sudah kekasihnya, Lee Jeno.

"Dia sangat berisik dan bawel dirumah, sampai-sampai ibunya harus memanggilku datang untuk menemaninya bermain. Saat itu Donghae Hyung sudah disibukkan dengan pelajaran dan kegiatan klub jadi dia tidak bisa lagi menemani Jeno bermain." Donghyuk tersenyum sendiri saat mengingat kilasan-kilasan kejadian lampau itu muncul dalam ingatannya satu per satu walau ia rasa dirinya melupakan sesuatu.

"Jeno selalu mengikutiku kemanapun diriku pergi, dia selalu tertawa dengan matanya yang sipit itu jika diriku protes karena dia selalu berada didekatku. Tapi aku menyukainya karena hal itu membuatku merasa nyaman."

Donghyuk menoleh kearah Jaemin yang tengah menatapnya, mendengarkan baik-baik setiap cerita yang keluar dari mulutnya "Hingga kami memasuki Junior High School dan aku tahu dia menyukaiku, rasanya itu adalah hari yang paling membahagiakan bagiku. Tapi... kupikir diriku tidak cukup pantas untuknya sehingga kuputuskan untuk mengejar cita-citaku seorang diri tanpa mengajaknya."

"Saat itu diriku hanya berpikir bagaimana menjadi setara dengannya? Bagaimana diriku bisa membuat Jeno bangga dengan posisi yang kumiliki. Namun, sepertinya aku sadar, aku melakukan itu bukan sepenuhnya untuk Jeno tapi untuk diriku sendiri."

"Kau menyesalinya?"

Donghyuk mendengus pelan lalu mengangguk, mengiyakan pertanyaan Jaemin padanya "Karena keegoisanku sendiri aku tidak tahu Jeno terpuruk saat kutinggalkan, ketika dia bisa menerima siapa diriku tapi diriku sendiri tidak bisa menerima kenyataan bahwa Lee Donghyuk hanya seorang penerima dana bantuan."

"Mungkin jika saat itu aku tidak meninggalkannya kejadiaannya akan berbeda, Jeno tidak akan membenciku seperti sekarang." Donghyuk menghela nafas dan memutar tubuhnya menyandarkan punggungnya pada pagar seperti yang dilakukan Jaemin.

"Bagaimanapun nasi sudah menjadi bubur, aku tetap meninggalkannya dia tetap membenciku dan akhirnya dia menemukan kembali cinta untuk dirinya." Donghyuk menunjuk Jaemin dengan telunjuknya "Jadi jangan coba-coba untuk meninggalkannya mengerti, jika kau membutuhkan apapun kau bisa mencariku. Jangan pernah sekalipun kau melangkah pergi dari hadapan Lee Jeno dan membuatnya menderita seperti yang pernah kulakukan dahulu."

Jaemin mengembangkan senyum dibibirnya "Apa ini ancaman?" pertanyaannya disambut anggukan oleh Donghyuk membuatnya tertawa pelan, jangankan meninggalkan Lee Jeno, dirinya pun sudah tidak bisa melangkah pergi dari Jeno. Dirinya sudah terlanjur jatuh dalam pesona Lee Jeno sedari awal.

"Dan kuharap kita bisa menjadi teman, aku bagian dari masa lalunya dan sekarang kau lah masa depannya. Kau bisa bertanya apapun tentangnya padaku, berjaga-jaga jika dia macam-macam denganmu kau bisa membocorkan aibnya dihadapan semua orang."

Ucapan Donghyuk mengundang tawa dari bibir Jaemin dia sangat setuju dengan saran Donghyuk, mungkin mulai hari ini ia akan mengorek perlahan aib apa saja yang dimiliki oleh Jeno.

"Baiklah, tawaranmu tidak akan kutolak. Mulai ceritakan aib pertama tentang Lee Jeno yang kau ketahui padaku."

Donghyuk dan Jaemin sama-sama tidak bisa menahan tawa dari bibir mereka saat sadar ternyata mereka menyepakati hal yang sama 'Aib Lee Jeno.'.

"Apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Mereka bahkan tertawa tanpa mengajakku.." keluh Jeno yang mengintip keberadaan kekasihnya dari kejauhan bersama dengan Donghyuk.

'Drrrttttt'

Jeno menghela nafas pelan sambil meraih ponsel di saku celananya, keningnya berkerut saat melihat nomor yang tidak di kenalnya menghubunginya.

"Ya? Halo?"

"........... Lee Minhyung?" Jeno terdiam dan berpikir sebentar bahkan hingga keningnya berkerut, suara diseberang sana menyapanya sangat akrab bahkan terkekeh pelan karena tahu Jeno tidak mengingat siapa yang tengah menghubunginya saat ini.

"Bodoh, ini aku Mark. Apa kau masih lupa juga?"

Jeno melebarkan kedua matanya bahkan mulutnya menganga sangat lebar saat ini "Mark Hyung?"

"Ya, apa kabarmu? Aku akan kembali ke korea hari ini. Bagaimana kabar si bulat itu?"

Jika bisa digambarkan saat ini wajah Jeno benar-benar terlihat seperti orang bodoh yang baru saja mengingat kilasan masa lalunya, bukan hanya ada dirinya dan Donghyuk disana namun... Mark.

"Dia akan terkejut saat bertemu denganmu Hyung.."

"Aku akan kembali besok, pastikan kau memiliki kursi lebih dikelasmu."

Sambungan terputus, Jeno menatap ponselnya sesaat. Kenapa dia bisa melupakan Mark dalam masa lalunya? Ia baru ingat jika dulu dirinya dan Mark selalu memperebutkan perhatian Donghyuk, bahkan jika disuruh memilih pasti Lee Donghyuk itu akan memilih untuk bersama dengan Mark bukan dirinya.

"Kau pergi terlalu lama Hyung, aku sampai melupakanmu. Entah dengan dirinya." Jeno kembali menatap kearah Sky Bridge tempat dimana Jaemin dan Donghyuk tengah berbincang dan tertawa terbahak-bahak, batinnya mengatakan hal itu berhubungan dengan dirinya.

Until You

Malam itu suasana dalam penjara tiba-tiba berubah menjadi sedikit ricuh suara-suara yang saling bersahutan meneriaki kata-kata kasar dan provokasi dari sel-sel yang berisi tahan yang sibuk memperhatikan perkelahian kedua narapidana tersebut.

"Bunuh!"

"Lenyapkan dia!"

Dua narapidana terlibat perkelahian seseorang diantaranya terluka cukup parah karena terkena tusukan sebuah garpu yang dibawa diam-diam oleh narapidana lain, narapidana yang terluka itu segera dibawa keluar dari rutan dengan ambulance ke rumah sakit terdekat.

Selama perjalanan mereka mengemudi dengan terburu-buru karena darah segar tidak mau berhenti mengalir dari perut narapidana tersebut, "Bisa kau lebih cepat lagi?" pinta salah seorang sipir yang mengikuti mereka menuju rumah sakit, namun tiba-tiba saja ban bagian depan ambulance tersebut pecah dan membuat pengemudi tidak bisa membawa mobil ambulance tersebut dengan benar sehingga menabrak pembatas jalan dan terlempar terguling di jalan yang sepi.

Ambulance tersebut berhenti terguling dalam keadaan terbalik, bensin menetes keatas aspal hanya menunggu waktu hingga mobil tersebut meledak dan menewaskan semua orang yang terluka parah didalamnya.

Namun tidak berapa lama sebuah mobil sedan hitam berhenti didekat ambulance itu, beberapa orang berbaju hitam segera keluar dan membuka pintu ambulance bagian belakang mereka perlahan menarik narapidana yang terluka tersebut keluar dari mobil tersebut.

Narapidana yang sebelumnya terlihat kesakitan saat dibawa keluar dari rutan kini justru berdiri sambil memegang perut yang terluka karena perkelahian sebelumnya dan kepalanya yang terluka akibat kecelakaan kecil tadi.

"Apa Hyungku yang mengirim kalian?" tanyanya disertai dengan ringisan pelan, ia menunduk dan memegang kuat perutnya yang terluka karena perkelahian tak berguna tadi.

"Bukan tuan muda Junshik, tapi tuan besar yang mengirim kami."

"Ah Hyungku sudah tidak ingin membantuku lagi ternyata." Narapidana itu mendongak dan tersenyum mentertawakan dirinya sendiri yang masih berharap dibantu oleh kakaknya.

Junshik melangkah menjauhi ambulance tersebut "Bakar mereka." ia memasuki mobil sedan hitam yang menjemputnya dan melihat sang ayah ternyata sudah berada didalam mobil, keduanya menyaksikan bagaimana bawahan mereka menyiram mobil tersebut dengan bensin dan melemparkan pemantik keatas api disana hingga ambulance tersebut terbakar.

"Terima kasih Appa."

"Jika kau ingin bermain-main lain kali lebih berhati-hati lagi Junshik-ah."

Junshik tersenyum, ayahnya memang selalu bisa di andalkan "Ya, Appa.."

Suasana di bandara tidak terlalu ramai, mungkin karena sangat jarang ada yang melakukan perjalanan malam hari kecuali jam kedatangan. Langkah kaki seorang pria tinggi membuat beberapa pramugari menatap pria tampan tersebut yang baru saja melewati mereka sambil menarik koper dan menggendong tas nya.

Tubuhnya tinggi semampai dibekali dengan wajah tegas namun terlihat tampan, surai coklatnya membingkai wajah tampan tersebut membuat beberapa mata menatapnya yang baru saja datang tanpa berkedip, ia tengah menatap sekeliling mencari siapa yang akan menjemputnya hingga bibirnya tersenyum riang saat melihat adik sepupunya Lee Jeno sudah berdiri melambai padanya.

"Jeno-ya.."

"Mark Hyung... Selamat datang kembali."

Mark segera berlari pelan menghampiri Jeno sembari melepas kacamata hitam dari wajahnya lalu memeluk sepupunya tersebut dengan erat, membuat seluruh mata semakin memandang kedua remaja yang terlihat bagaikan dua dewa yang turun dari atas langit, keberadaan kedua pemuda itu benar-benar menarik perhatian wanita yang berada disekitarnya.

"Sebaiknya kita segera pulang, kau harus beristirahat bukan? Besok hari pertamamu di sekolah."

Mark mengangguk dengan patuh kemudian melangkah bersama dengan Jeno yang membantunya membawakan beberapa barang yang dibawanya "Apa kau membawa oleh-oleh untukku?"
"Tentu saja, kau bisa mengacak tas dan koperku nanti."

Keduanya terus berbincang dan mengoceh tentang hal-hal lalu ketika mereka berdua menghabiskan waktu untuk memperebutkan perhatian seorang Lee Donghyuk, hingga Mark berhenti berkata-kata saat mengingat kejadian di masa lalu ketika tanpa sengaja membuat Donghyuk terjatuh dari tangga.

Jeno masih terus mengoceh sepertinya anak itupun lupa dengan kejadian tersebut, apa Donghyuk masih mengingat kejadian itu? Mark menatap cincin berwarna hitam dengan ukiran garis debaran jantung yang melingkar di jari manis tangan kanannya sesaat sebelum kembali menyahuti semua cerita tentang Jeno dan kekasihnya serta teman-teman barunya.

"Aku tidak menemukannya apa mungkin tertinggal?" Donghyuk tengah mengoceh dengan siapapun yang menjadi temannya mengobrol via ponsel.

"Carilah perlahan Donghyuk-ah, kau terkadang pelupa.."

"Baiklah-baiklah aku akan mencarinya lagi... Bye Taeil Hyung.." Pasrah karena dirinya harus rela panggilannya dihentikan, managernya itu harus segera tidur karena pekerjaan menunggunya esok pagi.

"Dimana kutinggalkan gelang favoritku itu?"

Masih penasaran dengan keberadaan gelangnya Donghyuk membuka lemari pakaiannya dan mencoba untuk membongkar bagian bawah lemarinya, namun jemarinya justru menemukan sebuah kotak.

Donghyuk menarik kotak tersebut keluar, dan melihat sebuah kotak permen dari kaleng berukuran 10x8cm dengan tinggi 5cm. Dengan kening berkerut Donghyuk menatap kotak itu mengapa dirinya lupa dengan kotak ini? Apa ini miliknya? Ia pun membuka kotak tersebut dan mengeluarkan isinya, ia mengingat beberapa barang didalamnya yang sering ia gunakan dahulu ketika bersama dengan Jeno.

Tangannya mengangkat tumpukan kertas paling akhir didalam kotak itu namun sesuatu terjatuh dan bergelinding diatas lantai hingga menuju kakinya, Donghyuk mengambil benda yang ternyata adalah sebuah cincin berwarna hitam dengan ukiran beberapa garis yang terlihat seperti garis detak jantung pada mesin yang sering dilihatnya dalam drama.

"Milik siapa ini?" Donghyuk mengecek cincin itu sekali lagi hingga ia melihat ukiran nama di dalamnya dan dalam sekejap dirinya terdiam.

'Mark'

Namanya terasa tidak asing, tapi entah mengapa Donghyuk tidak bisa mengingat siapa dia? Dan denyut apa yang kini dirasakan dalam dadanya, terasa sakit.

'Drrrtttt Drrtttt'

Suara getaran ponsel mau tidak mau membangunkan Kangshik dari tidur lelapnya, tanpa melihat dimana keberadaan ponselnya tangan Kangshik menjelajah tepi kasur dan meja nakasnya hingga ia menemukan ponselnya.

Tanpa melihat siapa yang menghubunginya ditengah malam seperti ini Kangshik menerima panggilan tersebut "Ya?"

Hening sesaat, kedua matanya yang sebelumnya tertutup rapat tiba-tiba saja terbuka lebar bahkan dirinya sampai duduk diatas kasurnya "Melarikan diri?"

"Apa maksudmu Junshik melarikan diri??"

Kangshik menatap ponselnya, bagaimana bisa adiknya lolos? Bukankah seharusnya besok Junshik dipindahkan kerumah sakit jiwa.

Hanya satu nama yang terlintas dalam kepalanya siapa yang membantu Junshik untuk melarikan diri.

"Appa..."



To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar