∵ TWISTED ∵
|
|
|
|
Pria tampan berwajah tirus tengah membenahi gat dikepalanya dan melangkah memasuki desa dimana tempatnya dilahirkan, langkah kakinya terlihat sangat cepat dan pasti seolah-olah ia yakin ada yang tengah menunggunya saat ini dan dirinya tak ingin terlambat.
Ia sudah menunggu belasan tahun untuk dapat kembali kemari, menemui seseorang, bunga mataharinya yang terpaksa harus ia tinggalkan sedari lama.
Apa yang bisa dilakukan seorang anak kecil saat dirinya harus pergi mengikuti kedua orangtuanya, walau pria itu cinta pertamanya sekalipun dirinya yang begitu berbakti pasti tidak dapat menolak keinginan kedua orangtuanya untuk memiliki kehidupan yang lebih baik, iapun bertekad untuk kembali saat dirinya benar-benar sudah dewasa untuk menemui Bunga mataharinya.
Langkah panjangnya disertai dengan senyum lebar nan merekah tiada henti menghiasi wajah tampannya sedari dirinya berangkat berpamitan dengan kedua orangtuanya, ia bahkan sudah menghafal sejak sebulan yang lalu kalimat apa saja yang harus dikatakan dan diutarakan olehnya pada si bunga matahari.
"Bagaimana kabarmu?"
"Kau tampak tak menua.."
Pria itu terkekeh sendiri karena kalimat yang baru saja keluar dari bibirnya, tentu saja bunga mataharinya tak menua. Hanya dirinya yang semakin bertambah dewasa setiap tahun sedangkan bunga mataharinya akan tetap sama.
Dipersimpangan jalan pria itu berbelok lebih cepat agar segera sampai, ia masih ingat dengan jelas dimana letak rumah yang dicari olehnya.
'MANSION LEE'
Namun, langkah yang awalnya cepat tersebut semakin lama semakin berkurang kecepatannya saat kedua mata tajamnya melihat rumah besar yang dahulu menampung dirinya dan orangtuanya terlihat kosong seperti tak ada kehidupan, pintu pagarnya terbuka separuh bahkan papan yang bertuliskan nama rumah besar itu sudah rusak dan tergantung dengan 1 kaitan.
"Apa yang terjadi?" gumamnya penuh tanda tanya, ia melangkah mendekati rumah besar yang sangat ramai pada masanya itu kemudian berdiri didepan pagar dengan penuh tanda tanya dalam kepalanya.
"Permisi?"
Pria itu menoleh dan melihat seorang wanita paruh baya menghampiri dan menyapanya yang terlihat kebingungan dengan keadaan mansion tersebut.
"Apa kau mencari pemilik tempat ini?"
Dengan cepat kepalanya mengangguk, ia merasa ada yang salah dengan keadaan mansion ini. Ratusan tahun bunga mataharinya tinggal ditempat ini kenapa mereka justru pergi? Pindah kemana mereka?
"Beberapa tahun lalu, permainsuri mengutus bawahannya menangkap seluruh penghuni dan membunuh mereka semua, kudengar Lee Donghae-ssi tertangkap, banyak yang tertangkap dan dibunuh di mansion ini saat itu. Kami ingin menolongpun tak memiliki keberanian."
"Apa? Apa maksudmu dengan permainsuri? Kenapa?"
Wanita itu mendekat dan berbisik "Alasan yang disebar atas penangkapan itu adalah mereka.." wanita ini menunjuk rumah mewah yang kosong tersebut ".. menampung pengungsi Goryeo, padahal itu sudah lama sekali. Tapi rumor yang beredar adalah, pria yang disukai permainsuri menolak cinta permainsuri dan ternyata menjalin hubungan dengan salah satu Lee bersaudara di mansion itu dan membuatnya murka."
Pria itu terdiam, bagaimana bisa kedua alasan tersebut diterima dengan logika. Jika memang hanya karena satu orang yang menolak perasaannya permainsuri tega melakukan hal keji seperti ini.
"Apa kau berasal dari sini?"
Lagi-lagi kepalanya mengangguk, "Diriku pernah tinggal disini. Kang Minhyung namaku Kang Minhyung.."
"Sebaiknya kau pergi menjauh dari tempat ini, mereka masih mencari sisa-sisa dari keberadaan penghuni mansion ini. Sebaiknya kau pergi sejauh mungkin dan jangan pernah kembali.."
Pria bernama Minhyung itu terdiam, namun saat melihat wanita itu hampir pergi ia segera mengajukan sebuah pertanyaan "Katamu Donghae-ssi tertangkap, lalu bagaimana dengan Donghyuk-ssi? Apa dia juga tertangkap?"
Wanita itu tersenyum ia ingat akan pesan seseorang beberapa tahun lalu padanya 'Jika ada seseorang yang mencariku setelah kejadian ini berlalu, katakan padanya aku sudah tiada. Maka dia akan hidup jauh lebih baik.'
"Dia terbunuh dimansion itu."
Bagaikan disambar petir begitu mendengar bunga mataharinya ternyata sudah layu.
Kaki jenjang yang sebelumnya dengan pasti melangkah membawanya kembali ke mansion Lee kini melangkah dengan enggan menjauh dari mansion, bahkan terasa sangat berat.
Seluruh tubuhnya terasa lemas, bunga mataharinya pergi begitu saja meninggalkannya. Bukankah dia sudah berjanji? Bahkan Kang Minhyung tak sanggup lagi kembali berjalan dengan beban berat yang menusuk-nusuk relung hatinya.
Ia menangis dalam diam saat langkahnya memberat hingga membuatnya jatuh berlutut menyentuh tanah ditengah hutan, jemarinya mencengkram erat tanah padat dibawahnya hingga tak terasa kulitnya terluka.
Ah bahkan mungkin luka dihatinya jauh lebih menyakitkan daripada luka di jemarinya.
Haruskah ia mengakhiri hidupnya saja agar bertemu dengan bunga mataharinya yang telah tiada?
Namun bukan hal itu yang disukai oleh bunga mataharinya.
Tidak, Kang Minhyung akan hidup.
Ia akan menghabiskan umurnya di kehidupan ini, ia akan menjalankan kehidupan sebaik yang selalu diinginkan sang bunga terjadi pada dirinya.
"Mari bertemu di kehidupan selanjutnya Lee Donghyuk, aku.... akan menemukanmu.."
"Hatchi!!"
Donghyuk menuang air panas dari dalam termos pada segelas cangkir yang berada dihadapannya, ia menyeduhkan gingseng bubuk yang memang selalu ada didapur mansion. Kemudian mendorong cangkir berwarna putih dengan hiasan keemasan di garis pinggirannya pada Mark. Ia menghela nafas melihat pria tirus itu tidak berhenti bersin sejak mereka kembali masuk kedalam rumah.
"Minumlah, kau akan sakit karena terkena hujan tadi."
"Terima kasih.."
Mark mengambil cangkir tersebut, meniup asap dari gingseng agar panasnya berkurang kemudian meminumnya perlahan-lahan hingga rasa hangat terasa mengalir di tenggorokannya dan menghangatkan bagian dalam tubuhnya yang suhunya menurun akibat terkena hujan.
Netra tajamnya melirik Donghyuk yang tengah mengeringkan rambut basahnya dan duduk dihadapannya, tidak ada rasa canggung atas apa yang baru saja terjadi ditengah taman bunga matahari tadi, bahkan keduanya masih bisa duduk berhadapan dengan tenang, sangat berbanding terbalik dengan keadaan Jeno dan Jaemin.
"Kau tidak minum? Dirimupun kehujanan bukan?"
"Lalu siapa yang bersin sedari tadi? Diriku? Atau dirimu?"
Sakit tidak pernah menjadi bagian dari hidup Lee Donghyuk, ia bahkan tak pernah tahu bagaimana rasanya sakit seperti manusia semenjak dirinya menjadi monster seperti ini.
"Diriku.."
Sebuah senyuman manis terukir dari bibirnya, tangannya terangkat untuk menggunakan handuk yang tersampir pada bahu Mark dan mengeringkan rambut pria tampan itu, dia harus menganti pakaiannya.
"Gantilah pakaianmu, jika kau tidak memiliki pakaian ganti gunakan milikku.." Donghyuk mengoceh terus menerus pada Mark seolah-olah yang baru saja terkena guyuran air hujan hanya Mark saja.
Sentuhan jemari Mark pada punggung tangan Donghyuk kembali membuat keduanya saling menatap, namun kali ini keduanya saling melemparkan senyuman manis. Ada sedikit rona merah yang bisa Mark lihat dari pipi chubby Donghyuk.
Usai menyentuh punggung tangan Donghyuk jemari Mark berpindah pada wajah manis dihadapannya ia mengelus pipi tersebut merasakan suhu dingin yang menjalar di wajah tersebut.
"Kubawa beberapa brosur pariwisata untuk kau lihat, apa kau mau pergi kencan denganku setelah hujan reda?"
"Hari ini?"
"Tentu.. apa kau pikir aku akan menunggu hingga besok untuk mengajakmu berkencan?"
Mengingat bagaimana agresifnya Mark sampai-sampai menciumnya ditengah hujan saat menyadari perasaannya sendiri tadi, sepertinya mengajaknya berkencan setelah hujan berhenti itu memang sangat Mark sekali.
Bahkan Donghyuk masih ingat sebuah kalimat singkat yang diucapkan Mark dibawah hujan usai ciuman panas mereka ditengah taman bunga matahari miliknya "Aku menyukaimu, mulai detik ini kau bunga matahariku."
"Baiklah kita akan pergi kencan jadi sebaiknya kau mandi dan mengganti pakaianmu dengan pakaianku, aku tidak mau berkencan dengan bodyguardku yang basah kuyub."
Dengan cepat Mark menghabiskan gingsengnya lalu mencuci cangkir bekas minumannya, ia menarik Donghyuk agar pergi bersamanya ke kamar.
Tidak, mereka tidak melakukan apapun. Rasanya sangat aneh jika Mark pergi seorang diri kedalam kamar Donghyuk karena memang selama ini ia tidak pernah melakukan hal itu, kecuali Jaemin ia diharuskan untuk membangunkan Jeno setiap pagi.
Usai membersihkan diri dan mengganti pakaian basahnya dengan sebuah hoodie putih dan celana jeans penampilan Mark sangat berubah drastis dan Donghyuk lebih suka Mark yang terlihat casual daripada formal seperti saat ini.
"Mandilah, aku akan menunggumu disini."
Donghyuk mengangguk patuh, ia segera beranjak membawa pakaiannya dan handuk kedalam kamar mandi. Ia biarkan Mark mengelilingi kamarnya mungkin saja bodyguardnya itu penasaran karena tidak pernah memasuki kamar ini sebelumnya.
Dan memang, Mark berkeliling menatap apa saja yang ada dikamar Donghyuk ia menduduki meja yang berada di sudut kamar luas ini dan melihat beberapa kertas yang berserakan diatas meja, garis senyumannya tertarik ia melihat tulisan tangan Donghyuk yang rapi disana.
Sepertinya Donghyuk sangat suka menulis terlihat dari beberapa kertas dihadapannya, iapun menatap bingkai foto yang berada di atas meja, terdapat grid fotonya bersama dengan keempat saudaranya, Donghae, Jeno, Renjun dan Jisung dengan pose berbeda.
Mark mengembangkan senyum dibibirnya saat melihat senyum bahagia Donghyuk disetiap fotonya, ia akan mengambil potret dirinya dan Donghyuk mulai hari ini. Karena dirinyanpun sangat ingin memiliki lembaran foto tawa bahagia Donghyuk bersamanya.
Usai puas melihat potret kekasihnya Markpun kembali berkeliling dan terhenti didepan cermin setinggi tubuhnya kemudian menatap pantulan dirinya sendiri yang memang terlihat sangat tampan.
"Aku tak menyangka diriku setampan ini.." pujinya pada diri sendiri, mungkin Mark bukan tipe seseorang yang tertarik dengan penampilannya sendiri hingga dia tersadar bahwa ia tampan.
Tak lama Donghyuk keluar dari kamar mandi dan sudah menggunakan hoodie putih berwarna sama dengan yang digunakan oleh Mark, hanya saja ada sebuah tulisan di cetak tebal di depan hoodie tersebut.
"Hujan sepertinya sudah reda, kau mau pergi sekarang?" Ajak Mark sambil melangkah ke jendela kamar prianya ia melihat hujan sudah mulai mereda hanya tersisa tetesan-tetesan kecil.
"Kemana kita akan pergi?"
Mark mengulurkan tangannya pada Donghyuk yang berdiri tidak jauh dibelakangnya, begitu tersambut dengan jemari Donghyuk dalam genggamannya Mark kembali menarik Donghyuk agar mereka segera keluar dari kamar.
"Kemana saja, aku ingin kau menginjakkan kakimu diluar rumah mulai hari ini."
Genggaman Donghyuk mengerat pada jemari Mark, terakhir kali ia keluar dengan Mark ke sungai Han saja jantungnya sudah berdebar sangat kencang karena takut terjadi apa-apa lagi pada Jeno. Jika bukan karena permintaan Jisung agar Jeno dan Jaemin berbaikan dirinya tak akan pernah mau keluar.
Menyadari ada yang dipendam dan ditahan Donghyuk, Mark menghentikan langkahnya didekat tangga ia mengenggam kuat jemari Donghyuk meyakinkan pada pria itu bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan diluar sana "Ada diriku, kau tidak perlu takut." Ucapnya meyakinkan, Mark kembali menarik Donghyuk untuk menuruni tangga dan berpapasan dengan Jisung yang baru saja pulang entah darimana.
"O.. Mark Hyung?" Sapa Jisung namun kedua netranya justru menatap genggaman tangan Mark dan Donghyuk "Omoo.." Ia menutup mulutnya sendiri karena dirinya memang hampir berteriak kencang, ia tak menyangka Mark dan Donghyuk sudah jauh melangkah lebih maju daripada Jeno dan Jaemin.
"Kami akan pergi berkencan, jadi diam-diam saja mengerti."
Jisung mengangguk patuh pada Mark, namun ia segera memeluk Donghyuk "Akhirnya kau keluar juga Hyung... Kejadian 20 tahun itu sama sekali bukan salahmu Hyung." Jisung menepuk punggung Donghyuk ia benar-benar merasa senang. Walau keduanya tak sadar kalau Mark mengerutkan keningnya saat ini, ia tidak mengerti apa yang terjadi 20 tahun lalu? Tapi mengapa Jisung tahu hal itu padahal pada saat itupun Jisung seharusnya belum ada. Iya bukan?
⇨ Twisted ⇦
Jisung melangkah memasuki kamarnya sambil memainkan ponselnya seperti biasa ia baru saja selesai mengecek perkembangan saham miliknya hari ini.
Langkah panjangnya hampir memasuki kamar mandi setelah ia melempar ponselnya begitu saja keatas kasur, namun nama seseorang tiba-tiba saja terlintas dikepalanya.
Zhong Chenle
"Ah, aku hampir lupa. Dia pasti menunggu kabar dariku.." Jisung kembali mendekati kasurnya dan meraih ponselnya dan segera menghubungi Chenle kemudian diam mendudukkan diri sambil menunggu panggilan itu terjawab.
"Ya, Jisung-ah?"
"Kau dimana?"
"Dirumah, ada apa Jisung-ah?"
"Besok kau sudah bisa mulai bekerja, apa kau bisa?"
"Tentu saja bisa! Tapi, apakah benar diriku diterima?"
"Tentu..." Jisung tidak bisa menyembunyikan senyum diwajahnya "Kau ingin bertemu? Untuk merayakan diterimanya dirimu."
"Yaa yaa tentu saja, ayo bertemu aku akan mentraktirmu ramen.."
Jisung terkekeh pelan kepalanya mengangguk "Baiklah, aku akan mandi dan bersiap-siap aku akan menjemputmu tunggulah."
"Baiklah.. aku akan menunggumu datang.."
Sambungan terputus Jisung kembali berdiri dan meletakkan ponselnya kali ini dengan perlahan diatas kasur, namun tak lama ia melompat beberapa kali entah apa yang membuatnya merasa amat sangat senang, mungkinkah hanya karena ia bisa makan bersama dengan Chenle?
Mari tinggalkan Jisung dan kebahagiaan kecilnya, Jeno kini tengah berada diruang rias ia akan menjalani pemotretan 2 jam lagi. Sedangkan Jaemin ia tengah duduk dengan tenang dan santai di sofa sambil membaca portal berita dari ponsel milik Jeno karena sang pemilik sedang dirias.
Mengapa Jaemin menggunakan ponsel Jeno hanya demi melihat berita? Tentu saja karena ponselnya tidak secanggih milik atasannya itu, lagipula Jeno tidak pernah tertarik dengan benda dalam genggangannya ini, namun karena perkembangan jaman mau tak mau iapun harus memiliki ponsel, itu yang Jisung paksakan padanya.
Lagipula hubungan Jaemin dan Jeno sudah mengalami kemajuan yang lebih dari kata baik semakin hari semakin baik. Saat ini bahkan para penata rias sudah jarang merasakan aura dingin dari keduanya yang hampir setiap saat saling menempel satu sama lain bahkan mengobrol saja mereka terlihat begitu dekat.
"Lee Jeno-ssi?"
Baik Jeno ataupun Jaemin segera menoleh kearah yang sama bersamaan karena keduanya sangat mengenali suara tersebut, Tuan Oh. Dan kali ini dia datang dengan seorang gadis cantik, lagi.
Jaemin menghela nafasnya ia merasa malas menanggapi Tuan Oh yang selalu menawarkan gadis cantik sebagai manager pribadi Jeno, apa mereka tidak memiliki daftar pria di perusahaannya?
Bahkan dalam berpikirpun Jeno dan Jaemin memikirkan hal yang sama.
Andai saja Jeno tidak sedang dirias saat ini tentu Jaemin akan membawa pria tampan itu segera pergi dari ruangan tersebut namun sayangnya kali ini ia tidak bisa melakukan hal tersebut, Jeno memiliki jadwal sejam lagi untuk fansign dilantai 1 gedung agensi ini jadi dia harus segera bersiap-siap.
"Aku membawa seseorang untuk menemuimu, namanya..."
Jeno mengangkat tangannya meminta Tuan Oh berhenti berbicara ataupun melanjutkan apapun yang ingin disampaikan oleh Tuan Oh yang pastinya berkaitan dengan gadis itu.
"Aku tidak ingin memiliki manager." Sepertinya Jeno mulai lelah terus menghindar dan terus menerus ditawari hal yang baginya tak masuk diakal. Mengapa harus seorang wanita? Dia tidak nyaman dengan hal tersebut.
Walaupun penatas rias dan staff wardrobes nya adalah para gadis namun mereka memiliki aura berbeda, mereka polos dan datang dengan niat untuk bekerja. Sedangkan wanita yang dibawa oleh Tuan Oh seluruhnya terlihat memiliki alasan dibalik wajah cantiknya.
Itu yang membuatnya tak nyaman.
"A-apa maksudmu? Kau harus memiliki manager untuk mengatur jadwalmu Jeno-ssi. Kau tidak bisa seorang diri, lagipula apa yang kurang dari setiap calon manager yang kubawa untukmu hingga kau selalu menolak mereka."
Jeno berdiri dari kursinya setelah memberikan anggukan pada penata riasnya agar berhenti merias wajahnya dan hal tersebut mengundang Jaemin untuk ikut bangkit berdiri dari sofa tempatnya duduk dengan tenang sedari tadi, tidak biasanya Jeno melampiaskan rasa tidak sukanya seperti saat ini, tidak mungkin bukan dia 'haus?'
"Aku tidak suka kau membawa wanita untuk dijadikan managerku, apa kau tidak cukup peka untuk menyadari hal semudah ini Tuan Oh?"
Wanita yang dibawa oleh Tuan Oh itu menatap jengah Jeno yang saat ini terang-terangan menolaknya, karena kesal ia beralih menatap Jaemin yang memang tengah berdiri berjaga-jaga dengan ponsel Jeno berada dalam genggamannya. "Apa seorang bodyguard boleh memegang ponsel atasannya? Atau kau mencuri ponsel atasanmu?"
"Maaf? Apa maksud perkataanmu?"
Jaemin yang merasa dirinya tiba-tiba dibawa-bawa dalam masalah yang sejujurnya tidak ada hanya menaikkan sebelah alisnya dan melempar kembali pertanyaan pada wanita itu dengan nada dingin.
Dia hanya sedang menggunakan ponsel milik jeno, apa itu salah? Hingga wanita ini mempermasalahkan ponsel yang berada ditangannya? Pemiliknya saja hanya diam dan membiarkan Na Jaemin melakukan apapun dengan ponsel tersebut.
"Lihatlah Jeno-ssi, kau butuh seorang manager seperti dia, dia sangat teliti. Bagaimana bisa bodyguardmu dengan lancang menggunakan ponselmu begitu saja. Sangat kurang sopan.."
Gadis itu tersenyum penuh kebanggaan ia bahkan mengerling pada Jeno, sedangkan tuan Oh ia segera berniat menarik paksa ponsel Jeno dari genggaman Jaemin namun gerakan Jaemin lebih cepat ia justru menepis tangan Tuan Oh lalu memelintir tangan tersebut kebelakang tubuh pria tersebut.
"Yak!!" Wanita itu kesal melihat ulah Jaemin bahkan berniat menghubungi polisi atas kekerasan yang dilakukan Jaemin, tapi Jeno memukul ponsel tersebut hingga terjatuh dan rusak.
"Bisakah kalian pergi dan tidak mengangguku dan bodyguardku? Apa kalian ingin mati?" Suara itu penuh penekanan hingga Jaemin terpaksa melepaskan Tuan Oh dan segera menarik lengan Jeno agar sadar dirinya terbawa emosi saat ini.
"Jeno-ya.."
Dan berhasil, Jeno menutup kedua matanya sebentar lalu menghela nafas pelan. Ini karena tadi pagi ia lupa untuk meminum darah hewan yang sudah disediakan oleh Jaemin dikamarnya ia lebih memilih untuk meminum darah tersebut nanti saat pulang dan sepertinya itu menimbulkan masalah.
Perlahan kedua matanya kembali terbuka ia mengambil ponselnya dari genggaman Jaemin lalu melemparkannya pada wanita itu "Kuganti ponselmu. Jadi berhentilah muncul dihadapanku." Jenopun pergi keluar dari ruang rias tersebut sambil menarik Jaemin bersama dengannya ia tidak perduli lagi dengan jadwal fansign yang akan berlangsung sebentar lagi.
Semua orangpun tahu siapa yang salah dan membuat mood Jeno berubah seketika. Jadi tidak ada yang berkomentar saat Jeno melangkah keluar dari ruangan tersebut, hanya menyisakan kekesalan Tuan Oh dan wanita itu tentu saja.
Keduanya kini duduk disudut taman dibelakang gedung agensi, sangat sepi bahkan tak ada satupun orang yang lewat, Jaemin membuka jas yang digunakannya dan menurunkan dasi hitamnya "Sudah kusuruh kau untuk meminum jatah darahmu tadi pagi tapi kau menolak, bagaimana jika mereka melihat matamu memerah seperti saat itu?" Jaemin sangat hafal kalau mata atasannya ini akan berubah menjadi merah saat dirinya tengah emosi, entah sejak kapan namun perlahan Jaemin belajar banyak tentang Jeno dan kehidupannya sebagai penghisap darah.
Bahkan Jaemin yang saat ini menggantikan peran asisten rumah tangga untuk menyiapkan darah segar bagi Jeno setiap 2 hari sekali, pria itupun mulai akrab dengan beberapa pekerja lain yang ternyata begitu ramah padanya.
"Apa yang kau lakukan?" Jeno menatap Jaemin yang kini membuka 2 kancing kemeja teratasnya.
"Kau lapar, kau butuh asupan energi kau bisa meminum darahku, lagipula kau yang mengatakan bahwa darahku istimewa bukan?"
Jeno menatap Jaemin tak percaya, setelah menerima kenyataan bahwa Jeno bukan seorang manusia sekarang bahkan Jaemin mendonorkan darahnya untuk diminum oleh Jeno? "Kau yakin?"
"Tentu saja, daripada kau meminum darah lain. Cepatlah, setelah ini kau harus melakukan fansign bukan? Aku tak ingin kau tiba-tiba menyerang fansmu disana." Jaemin menyingkirkan kerah kemeja yang menutupi lehernya, Jeno bahkan bisa melihat collar bone milik pria manis itu, leher jenjangnya dan setengah bahu putih milik Jaemin.
Ragu awalnya Jeno untuk mendekat, namun rasa hausnya semakin menjadi saat melihat Jaemin justru 'mengundangnya' untuk mencicipi leher jenjang itu. Perlahan Jeno menahan tengkuk Jaemin dan memiringkan kepalanya kedua matanya berubah menjadi merah saat aroma manis itu masuk dalam indera penciumannya.
Taring tajamnya muncul secara perlahan saat Jeno membuka mulutnya lebih lebar dan segera menancapkan taring tajamnyanpada kulit putih Jaemin, menciptakan erangan pelan saat pria itu merasa 2 benda tajam menusuk langsung lehernya tanpa olesan alkohol terlebih dahulu.
Jemari Jaemin terangkat dengan sendirinya ia menyentuh helaian rambut Jeno mencengkram pelan rambut hitam legam diantara jemarinya sebagai tanda bahwa dirinya mulai merasa pening karena Jeno sudah meminum terlalu banyak.
"Hhh Jeno.."
Mau tak mau Jeno segera berhenti, ia tak ingin Jaemin terbaring lemah setelah ini karena kekurangan darah. Jeno menjilat sisa tetesan darah dari 2 lubang dileher Jaemin hingga bersih kemudian mengecupnya beberapa kali, iapun kembali menatap Jaemin dan menempelkan keningnya pada kening Jaemin yang merasa lemas.
"Sebaiknya kau beristirahat di mobil nanti, bagaimana?"
Kepalanya menggeleng sebagai penolakan Jaemin kemudian kembali membenahi kemeja putihnya saat memastikan tidak ada lagi darah yang menetes dari luka dilehernya, ia masih khawatir Jeno akan kehilangan kendalinya jika Tuan Oh muncul lagi dihadapannya bersama dengan wanita lain, kedua manik cokelatnya menatap sisa darah disudut bibir Jeno, ada sedikit rasa penasaran dan pertanyaan dibenaknya 'bagaimana rasa darahnya?' Apa benar manis? Atau hanya bagi Jeno darah tersebut terasa manis.
"Apa darahku masih terasa manis?" Tanyanya penasaran karena biasanya ia akan melihat Jeno meminum darah dari kantung yang sudah disiapkandan tentu saja itu darah hewan, netra coklatnya kini berhadapan dengan netra merah tajam milik Jeno. Seperti yang ia katakan sebelumnya, Jaemin tidak pernah mengerti apa yang dimiliki oleh Jeno hingga dirinya kini selalu merasa nyaman berada disisi Jeno. Bahkan dahulu berdekatan saja dirinya enggan walaupun Jeno adalah atasannya sekalipun.
"Masih.. kau ingin merasakannya?"
Bagi Jeno itu bukanlah pertanyaan apalagi tawaran, itu hanyalah sebuah pernyataan yang keluar dari bibirnya sebelum ia mencium bibir ranum Jaemin membiarkan pemuda Na itu mencicipi sedikit rasa darahnya yang begitu membuat seorang Lee Jeno mabuk.
"Uhmm.." Perlahan Jaemin mendorong Jeno menjauh "Tidak manis, kau membohongiku."
"Pfftt.." Jeno terkekeh melihat ekspresi mengerut di wajah Jaemin setelah mencicipi rasa darahnya sendiri "Bagimu, tapi bagiku darahmu sangat manis.." Jeno tersenyum, dan senyumannya mengundang sebuah senyuman manis dari bibir Jaemin. Jemari lentiknya terangkat dan pria bersurai auburn itu membersihkan sisa darah disudut bibir Jeno kemudian kembali mengecap rasa darahnya sendiri.
Entah sejak kapan, mungkin sejak mereka saling berbicara di sungai Han lebih dalam bahkan kini keduanya tidak segan-segan untuk saling berbagi perhatian bahkan ciuman entah Jeno yang dengan tiba-tiba menarik Jaemin ke sudut ruangan ataupun mereka saling mengecup satu sama lain saat hanya ada mereka berdua dalam satu ruangan yang sama, dengan alasan nyaman kini keduanya bahkan terlalu dekat satu sama lain.
Sepertinya keduanya memang tak sadar kalau mereka memang sudah saling mencandu satu sama lain.
⇨ Twisted ⇦
Jaemin memasuki kamarnya usai membersihkan dirinya sepulang bekerja, beruntung acara fansign hari ini berjalan dengan lancar. Ia tengah mengeringkan rambutnya yang basah sembari duduk di tepi single bed miliknya, disisi satunya adalah ranjang milik Jinhyuk yang belum pulang dari bekerja sejak pagi.
Sesekali ia berhenti mengeringkan rambutnya karena sibuk membaca beberapa notifikasi yang masuk entah dari Mark ataupun dari Jeno.
Ibu jarinya dengan cepat menari diatas layar ponsel membalas setiap pesan tersebut, senyum tidak hilang dari bibirnya terlebih saat tahu kalau sahabatnya tengah menjalin hubungan rahasia dengan Donghyuk. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat bagi Mark mengetahui siapa dan makhluk apa itu Donghyuk.
Jaemin yakin Mark tidak akan pergi begitu saja saat tahu siapa sebenarnya Donghyuk dan keluarganya.
Kenapa dirinya sangat yakin? Karena dirinyapun tak pergi menjauhi Jeno setelah tahu siapa lelaki itu yang sebenarnya.
Netra coklatnya tengah membaca pesan singkat dari Jeno yang mengkhawatirkan keadaannya karena memberikan darahnya tadi, Jaemin tidak segera membalasnya namun dia justru menyentuh leher kirinya.
Sepertinya ini tempat yang sama seperti beberapa waktu lalu Jeno pertama kali mengigitnya, keadaannya jauh lebih baik setelah asisten rumah tangga di mansion Lee memberikannya secangkir gingseng hangat dan makanan penambah darah.
Kembali ibu jarinya mengetik balasan untuk Jeno agar pria itu tidak perlu khawatir dengan keadaannya saat ini, namun belum usai ia mengetik kata-kata yang ada dalam kepalanya tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka dan terdapat Lami disana berdiri di ambang pintu.
Dan seperti sebelum-sebelumnya Jaemin segera meletakkan ponselnya dan tersenyum pada Lami menomor duakan Jeno ketika adik yang disukainya itu muncul, "Lami-ya? Ada apa?"
Jinhyuk yang baru saja datang dan melihat bagaimana cara adiknya itu membuka pintu justru berdehem kesal sembari melewati Lami dan masuk kedalam kamar mendekati single bed miliknya yang bersebelahan dengan milik Jaemin "Seharusnya bukan ada apa, tapi kenapa? Kenapa kau tidak mengetuk pintu, kau tahu ini kamar lelaki bukan?" Omel Jinhyuk, walau ia menyayangi Lami namun jika anak itu salah dia tidak akan memanjakannya.
"Ada apa sebenarnya kau dengan Jeno?"
"Ha?"
"Apa kau baru saja menghiraukan diriku?" Omel Jinhyuk lagi, ia tak percaya adik perempuannya ini baru saja menghiraukannya dengan sengaja.
"Aku tidak sedang berbicara denganmu Oppa!"
"Lami-ya! Ada apa denganmu?! Jinhyuk Hyung bertanya baik-baik padamu."
Lami berjalan mendekati Jaemin menghiraukan omelan Jaemin tentang dirinya yang mengabaikan Jinhyuk "Kau pikir aku tidak melihat kalian tadi?" Gadis cantik itu menarik handuk yang masih tersampir di bahu Jaemin membuat siapapun bisa melihat bekas gigitan Jeno dilehernya karena ia memakai kaus biasa saat ini dan belum berniat menutupnya sebelum pagi datang.
Ditambah lagi dengan spontan Jaemin menyentuh lehernya untuk menutupi bekas lukanya walau pada akhirnya Lami menarik lengannya agar tidak menutupi apa yang dilakukan Jeno pada leher Jaemin.
"Dia yang melakukan ini padamu iya bukan? Tapi kau justru.."
"DIAM LAMI!"
Baik Lami ataupun Jinhyuk cukup terkejut mendengar bentakan Jaemin, karena ini pertama kalinya mereka melihat pria manis itu membentak Lami. Siapapun di panti ini tahu betapa Jaemin menyukai Lami, namun mereka pun tahu bahwa gadis cantik itu selalu menganggap Jaemin hanya sekedar Oppa.
"Aku pernah melihat matanya berubah menjadi merah saat kau terluka dan hampir tertimpa lampu gantung diatas panggung, dan tadi kulihat dengan jelas dia mengigit lehermu Oppa.. Apa kau sudah gila?"
Jaemin terdiam namun wajahnya datar, ia tahu makhluk seperti apa Jeno dan keluarganya dirinya tahu hal tersebut dengan jelas dan Lami tak perlu menjelaskan apapun padanya, dia pun tidak suka keputusannya untuk tetap berada disamping Jeno dan membiarkan Jeno menghisap darahnya justru dijadikan sebuah perkara seperti ini.
"Kenapa kau diam? Kau menyukainya?"
Baik Jaemin ataupun Jinhyuk yang berada disana cukup terkejut mendengar apa yang dilontarkan Lami dengan nada emosi, ia sepertinya tidak terlalu perduli dengan bentakan Jaemin sebelumnya.
"Bisakah kau diam saja Lami.." Pinta Jaemin.
"Iya... Kau menyukai makhluk mengerikan itu.." Dari wajahnya terlihat bahwa gadis tersebut masih terkejut dengan apa yang dilihatnya tadi, salahkan kakinya yang membawanya berkeliling gedung agensi sembari menunggu fansign Jeno dimulai.
Ia justru mendapati keduanya ditaman belakang, dan Jaemin menyerahkan lehernya untuk digigit. Awalnya Lami tidak membayangkan bahwa Jeno akan mengeluarkan taring dari balik bibirnya namun melihat Jaemin meringis sesudahnya dan pembicaraan mereka tentang darah membuatnya yakin bahwa Jeno adalah monster.
Monster yang justru membuatnya melihat Jaemin membiarkan Jeno berkali-kali mengecup bibir tipis pria itu tanpa henti.
"Kau membiarkan monster itu menghisap darahmu.."
Ingin rasanya Jaemin mengatakan tidak atas tuduhan Lami padanya, dia tidak menyukai Jeno, tapi bibirnya begitu kelu untuk bergerak memberi sangkalan, ditambah lagi dengan dadanya yang berdebar sangat kencang saat ini hanya karena pertanyaan tersebut.
Mengingat dan membayangkan wajah Jeno yang dituduh monster karena ucapan Lami benar-benar membuatnya berdebar tak karuan, padahal selama ini ia pikir dadanya bisa berdebar dengaj kuat itu adalah disaat dirinya merasa senang ketika melihat Lami tersenyum padanya.
Namun kali ini, kenapa debaran ini berbeda terasa begitu berbeda.. ia tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan pada Jeno dengan pasti dan jelas, seperti debarannya saat ini. Padahal tak ada Jeno di dekatnya saat ini, hanya ada Lami yang membicarakan tentang keburukan Jeno namun sudah membuat emosinya berada diubun-ubun kepalanya dan membuat dadanya berdebar setiap nama pria itu disebutkan, membuatnya justru teringat akan rupa Jeno yang selama beberapa waktu ini selalu membuatnya tersenyum seperti orang bodoh.
Oh Na Jaemin sudah tahu dengan jelas seberapa buruk Lee Jeno tanpa perlu dijelaskan, ia bahkan tahu kalau Jeno lah pembunuh ayahnya 20 tahun lalu, namun.. sepertinya Jaemin yang lemah dan jatuh pada Jeno dengan mudah sebelum ia bisa membalas dendamnya.
"Dia bukan makhluk mengerikan.. dan dia bukanlah seorang monster. Namanya Lee Jeno, dan akan tetap menjadi Lee Jeno.." Jaemin meraih ponselnya dan segera pergi keluar dari kamarnya dan terus melangkah pergi meninggalkan panti.
Ia hanya mengikuti kemana kakinya melangkah yang pasti telinganya tidak lagi mendengar ocehan Lami tentang Jeno, dan tidak menerima tatapan penuh selidik dari Jinhyuk yang mempertanyakan tentang masalah dirinya dan Lami.
Jinhyuk menghela nafas kasae, ia mungkin lupa kalau dirinya sempat berhenti bernafas tadi karena suasana tegang didalam kamarnya dan Jaemin, ada apa ini? Jaemin dan Jeno?
".... Oppa.."
Mata sipit Jinhyuk menoleh pada Lami yang tiba-tiba terduduk dilantai kamar, dengan sigap Jinhyuk segera menghampiri Lami dan berniat membantunya untuk berdiri namun gadis itu terlihat begitu rapuh saat ini.
"Apa Jaemin Oppa benar-benar pergi barusan? Apa dia benar-benar membentakku?"
"Jangan dipikirkan, mungkin saat ini Jaemin tengah memiliki banyak tekanan saat bekerja.." Kembali Jinhyuk ingin menarik Lami untuk bangkit tapi remasan kuat dilengan Jinhyuk membuat pria itu kembali membatalkan niatnya.
"Apa aku terlambat membalas perasaannya? Apa dia terlalu lama menungguku hingga kini dia menyukai makhluk mengerikan itu?!!"
Jinhyuk tidak bisa berkata apa-apa, ia tidak membenarkan adiknya Na Jaemin tiba-tiba menyukai seorang pria ditambah lagi pria itu ternyata bukanlah manusia normal. Tapi jika melihat bagaimana Jaemin selama ini hanya diam menunggu Lami rasanya tak adil jika menghakiminya atas perasaan yang dirasakannya sekarang, Jaeminpun berhak bahagia.
Langkah kaki panjangnya terhenti saat Jaemin merasakan angin dingin menerpa tubuhnya, ia pergi hanya menggunakan long sleeve putih dan celana training panjang berwarna hitam. Jaemin memutuskan untuk berhenti melangkah ketika ia berada di atas sebuah jembatan, terlihat dari wajahnya pria itu tengah berpikir dengan keras.
Banyak yang dipikirkannya semenjak Lami berbicara panjang lebar didalam kamarnya tadi. Perlahan Jaemin menghela nafasnya ia menepi ketepian jembatan menatap pantulan bulan yang terdapat diatas riak air sungai dibawah jembatan yang bergoyang karena tiupan angin.
Dibelakangnya mobil berlalu lalang sedang didepannya hanya hamparan air yang sangat luas, kepalanya pening saat sadar ia baru saja membentak Lami karena membela seorang Lee Jeno, padahal ucapan gadis itu benar adanya.
Hanya saja...
Jeno bukan makhluk mengerikan, walaupun kedua matanya memerah, walaupun gigi taring tajamnya merobek kulit leher Jaemin dan meminum darahnya sekalipun.
"Hhhh ada yang salah denganmu Na Jaemin..." Gumamnya pelan, ia benar-benar merasa ada yang salah dengan dirinya.. Kenapa ia sampai seperti ini hanya karena Jeno? Kenapa dia tetap bekerja dengan pria itu? Kenapa dia membiarkan Jeno meminum darahnya? Bahkan menawarinya? Kenapa ia dan Jeno bahkan sering berbagi kecupan? Apa itu wajar?
Tidak... itu tidak wajar.
Apalagi setiap debaran yang dirasakannya yang kian memburu sekian hari setiap dirinya tengah bersama dengan Jeno atau saat keduanya berbagi kecupan, debaran ini membuatnya tidak dapat memikirkan hal lain selain Jeno dan Jeno.
"Kenapa kau disini sendirian?"
Jaemin berjengit kaget saat mendengar suara Jeno dari belakang tubuhnya, ia berbalik badan dan benar-benar melihat Jeno berada dibalik tubuhnya berdiri dan tengah menatapnya dari ujung kepala hingga kaki.
"Kenapa kau ada disini?"
"Hyungmu menghubungiku, memintaku untuk mencarimu. Dan GPS diponselmu menunjukkan keberadaanmu."
Mendengar penjelasan Jeno ia yakin Jinhyuklah yang pasti sudah menghubungi Jeno, kepalanya mengintip dari balik bahu Jeno dan melihat mobil sedan hitam milik Jeno dengan Jisung yang merangkap supir didalamnya tengah melambai kearahnya.
Jaemin kembali menghela nafasnya perlahan angin dingin menyadarkanny bahwa dirinya membutuhkan tempat untuk bermalam "Bolehkah aku bermalam di tempatmu?" Hanya kalimat itu yang terlintas dibenak Jaemin saat ini, ia merasa enggan untuk kembali keasrama saat ini, dan tidak memiliki tujuan kemana dirinya akan pergi.
"Tentu.." Jeno tersenyum sambil memakaikan Jaemin jaket tebal yang sedari tadi digenggamnya, Jaeminnya kedinginan terlihat dari bibir yang biasanya ranum namun kini menjadi kebiruan. Bisa ia pastikan kalau Jaemin sudah berada cukup lama diluar tanpa mengenakan jaket. Jeno kemudian menggenggam jemari Jaemin dan menariknya untuk masuk kedalam mobilnya.
Jisung sudah menaikan derajat dari pemanas mobil sebelum Jaemin masuk, ia pun tak tega melihat reinkarnasi kakaknya itu terlihat layu dan kacau seperti ini. Entah ada apa? Tapi Jisung tidak suka melihatnya seperti ini padahal biasanya Na Jaemin terlihat sangat menyebalkan.
"Apa ini cukup hangat untukmu?" Tanya Jisung sambil menoleh pada Jaemin yang duduk dikursi belakang, dan tak lama Jeno masuk dan duduk sebelah kursi pengemudi.
"Cukup.. Terima kasih."
Jisung dan Jeno bertatapan sebentar sebelum akhirnya Jisung mengendarai mobil sedan tersebut kembali ke Mansion Lee.
"Dia baik-baik saja, sekarang dia sudah ada dikediamanku sedang menghangatkan tubuhnya dengan gingseng hangat.." Jeno segera memberikan kabar pada Jinhyuk selepas mereka sampai dirumah dan Jaemin sedang duduk didapur dengan segelas gingseng panas dan jaket tebal ditubuhnya.
"Untuk sementara biarkan saja dia disana, mungkin akan terasa aneh jika dia pulang nanti. Besok aku akan mengantarkan beberapa pakaiannya."
"Baiklah, tidak masalah bagiku."
"Apa ini benar-benar tidak merepotkanmu?"
"Tidak, sama sekali tidak. Aku senang bisa membantu Jaemin, kau bisa menjemputnya lagi saat kau rasa keadaan dipanti sudah lebih baik."
"Tentu, kau bisa kirimkan alamatmu. Besok aku akan datang pagi-pagi sekali untuk memberikan pakaian Jaemin."
"Akan kutunggu."
Panggilan terputus, Jeno segera mengirimkan alamat rumahnya pada Jinhyuk. Ia pun segera melangkah mendekati Jaemin setelah beberapa asisten rumah tangga pamit keluar dari dapur meninggalkan mereka berdua.
"Kau baik-baik saja?"
"Ya.. Terima kasih padamu." Jaemin meminum habis gingseng dalam gelas kemudian menoleh pada Jeno "Aku akan pulang sebentar lagi." Jaemin sepertinya merubah pikirannya, walau hubungannya tak baik dengan Lami tapi dia tak bisa meninggalkan panti begitu saja tanpa kabar.
"Kau tidak akan kemana-mana.." Jeno duduk disebelah Jaemin kemudian meraih jemari pria manis itu dan menggenggamnya perlahan "Hyungmu memintaku untuk menampungmu selama beberapa waktu disini hingga keadaan dipanti sudah lebih baik.."
"............."
"Kau tidak perlu menjelaskan ada apa, dan apa yang terjadi disana. Kau hanya perlu mengistirahatkan dirimu disini."
Mungkin keputusan Jinhyuk memang ada benarnya, Jaeminpun tak tahu apa yang harus diucapkannya jika Jinhyuk bertanya apalagi jika berhadapan dengan Lami. Rasa bersalah masih menghantuinya walau Jaemin merasa ia membela Jeno bukanlah sebuah kesalahan.
"Mereka sedang menyiapkan kamar tamu, tapi mungkin akan lama. Jadi sebaiknya kau bermalam dikamarku malam ini, besok kau sudah bisa menempati kamarmu untuk sementara."
"Kau tidak perlu menyiapkan kamar untukku.."
"Lalu? Apa kau ingin tidur sekamar denganku setiap malam?"
Jaemin terkejut dengan ucapan Jeno walau mereka sesama pria namun mengingat sudah sejauh apa kedekatan mereka pun rasanya sangat janggal untuk berada satu kamar dengan Jeno. Namun untuk malam ini sepertinya ia memang tak bisa menolak.
"Tidak... hanya malam ini saja."
Jeno terkekeh melihat raut terkejut yang sangat jarang dilihatnya dari wajah Jaemin, ia mengelus puncak kepala Jaemin membenarkan surai coklat tersebut. Diamatinya bibir ranum tersebut tidak lagi membiru karena dingin seperti sebelumnya.
"Mulai saat ini, apapun yang terjadi padamu katakan padaku. Jangan keluar lagi seorang diri hanya untuk membiarkan dirimu sendiri terbunuh angin malam seperti tadi."
Jaemin bisa melihat kekhawatiran di tatapan tajam Jeno padanya dan dengan patuh ia menganggukkan kepalanya, namun ia segera memutuskan kontak mata keduanya karena debaran didada kirinya kian kuat. Bahkan Jaemin bisa bertaruh ada rasa hangat yang muncul dalam dadanya dan itu bukan berasal dari gingseng yang diminumnya melainkan dari tatapan Jeno padanya.
Bukan sekali ia merasakannya namun berkali-kali, bahkan perutnya selalu terasa menggelitik setiap bertatapan terlalu lama dengan Jeno, perasaan aneh yang pertama kali dirasakannya. Bahkan ia tak pernah tergelitik sampai seperti itu ketika berhadapan dengan Lami.
"Ayo.."
Netra cokelatnya melirik jemari besar Jeno yang terulur padanya, hingga mengundang Jaemin kembali menatap Jeno "Waktunya kau mengganti pakaianmu dan istirahat. Ini sudah larut."
Melihat tak ada tanggapan Jeno meraih langsung jemari Jaemin dan menarik manusia itu untuk mengikuti Jeno menuju kamarnya, ia ingin Jaemin beristirahat dan tak memikirkan apapun lagi.
Tujuannya berada di Mansion Lee selama beberapa hari adalah untuk menenangkan pikiran bukan?
"Ini pakaian tidurmu dan istirahatlah.." Jeno memberikan satu stel pakaian tidur berwarna putih tulang dengan garis abu-abu samar pada Jaemin ia menunjuk kamar mandi dalam kamarnya agar Jaemin bisa berganti pakaian disana.
Usai pria manis itu mengganti pakaiannya ia segera mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur Jeno, sedangkan pria tampan itu sedang membaca beberapa kontrak pekerjaan yang harus di tangani olehnya langsung karena tak memiliki manager.
Jaemin melirik Jeno yang berada diseberang sisi kasur satunya, tempat tidur ini sangat besar dan lebar sampai-sampai ia merasa jaraknya dan Jeno cukup jauh hanya untuk mengintip apa yang sedang dilakukan oleh Jeno.
Tak berniat menganggu Jeno, Jaemin memasukkan kedua kakinya kedalam selimut tebal diatas kasur dan bersandar nyaman pada kepala tempat tidur namun tidak berbincang sebelum tidur sama sekali bukan kebiasaannya.
"Jeno-ya.."
"Ya?"
Satu panggilan Jaemin berhasil membuat Jeno meninggalkan apa yang tengah dikerjakannya saat ini, ia segera meletakkan berkas kontrak yang harus dibaca olehnya ke meja nakas dan menoleh pada Jaemin yang ternyata sudah berada disebelahnya.
"Apa kau ingat kejadian 20 tahun lalu?"
Jaemin sudah berpikir panjang lebar untuk menanyakan hal ini, Donghyuk bilang Jeno tak mengingat apapun namun ia ingin memastikan seorang diri apa benar pria ini tidak ingat apapun? Pembunuhan yang dilakukannya pada Tuan Na 20 tahun lalu didepan kedua mata Jaemin?
"Donghyuk mengatakan ada sedikit kesalahan yang kau lakukan 20 tahun lalu hingga kau harus pergi dari Korea..."
Perlahan Jeno melepas kacamatanya dan meletakkannya diatas tumpukan berkas di meja nakas, Jeno mengikuti Jaemin untuk memasukkan kakinya kedalam selimut dan menggeser sedikit tubuhnya agar lebih dekat dengan Jaemin.
"Hal terakhir yang kuingat malam itu kami ke Bar karena Donghyuk merengek penasaran dengan bar yang berada diKorea. Kami baru saja kembali dari pelarian di Eropa selama ratusan tahun. Jadi wajar saja begitu kembali kemari rasa penasaran Donghyuk memuncak."
Jeno mencoba untuk mengorek memorinya pada kejadian 20 tahun yang lalu, yang menyebabkan dirinya harus pergi lagi dari Korea "Setelah itu yang kuingat diriku beradu mulut dengan seorang gadis yang entah memasukan apa kedalam minumanku.. tubuhku terasa sangat panas.."
"Setelahnya aku terbangun di tempat tidur dengan mimpi buruk yang menghantuiku beberapa kali."
"Mimpi buruk?"
"Ya... Dimimpiku, aku membunuh seorang pria karena instingku tak bisa kukendalikan, walau jiwaku sudah menjerit untuk berhenti entah mengapa tak ada yang mendengarkan atau mencoba menghentikanku."
Jeno memijit pangkal hidungnya sambil menghela nafas, mengingat mimpi itu membuat kepalanya sakit "Aku bahkan tak tahu kesalahan apa yang sudah kuperbuat hingga Donghae Hyung mengirimku kembali ke Eropa.." Dirinya tersiam sebentar kemudian semakin menundukkan kepalanya.
"Bagaimana jika mimpiku itu benar? Bagaimana jika malam itu ternyata aku membunuh seseorang? Apa yang harus kulakukan?"
Jaemin terdiam, ia bisa menilai Jeno tidak berbohong padanya. Bahkan hanya memikirkan sebuah kemungkinan bahwa dirinya membunuh seseorang saja sudah membuat pria tampan itu frustasi.
Jemarinya terulur untuk menyentuh bahu Jeno dan meremasnya perlahan "Kau hanya melukai seseorang, percayalah pada ucapan mereka."
"Lalu? Apa kau percaya padaku? Bagaimanapun aku ini monster bukan?"
Lagi-lagi Jaemin terdiam, bagaimana bisa ia menyangkal? Padahal Jaemin sendiri yang melihat bagaimana Jeno malam itu menghancurkan hidupnya. Namun ia tak bisa mengatakannya, hhh Na Jaemin bahkan tak bisa menarik pelatuk pistolnya agar salah satu pelurunya bersarang didalam kepala Jeno untuk balas dendam, ia justru kini berada disisi Jeno berusaha menyangkal kejahatan yang pernah pria tampan itu lakukan pada dirinya.
"Kau bukan Monster Jeno-ya.."
Perlahan Jaemin menggeser tubuhnya makin mendekat pada Jeno ia menarik kepala pria tersebut yang menunduk agar bersandar pada bahunya, memeluk tubuh Jeno dan menepuk-nepuk perlahan punggung besarnya.
Ia ingat bagaimana Lami menyebut Jeno monster tadi, dan baru saja Jeno pun menyebut dirinya sendiri monster.
Ya...
20 tahun yang lalu memang Jeno adalah Monster di mata Jaemin, namun sekarang?? Bahkan Jeno terlihat lebih rapuh daripada Jaemin. Walaupun Jeno menghisap darahnya sekalipun namun entah bagaimana Jaemin tidak lagi bisa membayangkan bahwa Jeno adalah monster.
Tidak, dia bukanlah Monster.
"Jika aku bukan monster lalu diriku ini apa? Penghisap darah? Vampire? Makhluk malam yang mengerikan?"
"Lee Jeno... Kau adalah Lee Jeno, cukup ingat itu didalam kepalamu. Kau..." Jaemin menunduk dan mendapati Jenopun tengah menatapnya dengan tatapan tajam miliknya "... bukan penghisap darah, kau bukan vampire.. Kau Lee Jeno.."
"Apa itu diriku dimatamu Jaemin-ah?"
"Ya.. dan akan selalu seperti itu.."
Hening sesaat sebelum Jeno mengangkat kepalanya dari sandaran nyamannya pada bahu Jaemin, keduanya bahkan tidak saling melepas tatapan satu sama lain. Hingga rasa menggelitik itu datang lagi diperut Jaemin, mengusiknya yang benar-benar enggan menghindar dari tatapan Jeno padanya.
Bahkan keduanya pun lupa siapa yang memulai, namun wajah keduanya kini saling mendekat dan menautkan kedua bibir mereka secara perlahan. Ada debaran kuat yang tidak bisa mereka hindari didada kiri mereka ditambah lagi rasa menggelitik diperut keduanya membuat mereka justru enggan saling menjauh.
Keduanya saling ingin menunjukkan apa yang tengah mereka rasakan, dan Jaemin mengalah, kini pria itu akui bahwa dirinya memang jatuh dalam pesona Lee Jeno bahkan mungkin sejak awal. Ia tak perduli dirinya menggantikan Park Jaemin atau siapapun selama dadanya berdetak dan menghangat karena Lee Jeno, itu mungkin berarti dirinya yang menyukai pria itu begitu dalam.
Tautan bibir keduanya kian panas, tidak ada yang ingin mengalah satu sama lain. Saling berbalas ciuman diatas kasur hanya membuat insting keduanya tak ingin berhenti, apalagi saat Jaemin berhasil mendorong Jeno untuk berbaring walau dalam hitungan detik Jeno berhasil membalik keadaan dengan menggulingkan tubuh Jaemin kesamping dan menindih tubuh pria manis itu dibawahnya.
Tautan keduanya terlepas sesaat mereka berlomba menghirup oksigen yang hampir habis dirongga dada keduanya, namun entah mengapa tangan keduanya sibuk melepas piyama satu sama lain.
Jemari Jaemin susah payah meraih lampu meja nakas saat Jeno sudah melepas hampir seluruh pakaian yang mereka gunakan, saat jemarinya mematikan lampu meja nakas seluruh ruangan menjadi gelap, hanya ada cahaya rembulan yang masuk dari cela jendela yang tirainya sedikit terbuka menyinari punggung Jeno yang kini berada diatas tubuh Jaemin dengan sempurna.
Mengiringi malam pertama Jaemin berada di mansion Lee dengan desahan saling bersahutan yang keluar dari sela bibir keduanya menunjukkan bahwa keduanya begitu ingin saling memiliki malam ini.
"Aku mencintaimu Na Jaemin.."
"Hhh hhh sepertinya dirikupun sudah gila karena mencintaimu Lee Jeno.."
Desahan keduanya kembali terdengar saling bersahutan dalam ruang kamar yang menggema dan sesekali menghilang saat bibir mereka saling melumat satu sama lain. Baik Jeno ataupun Jaemin saling mendominasi menunjukkan betapa keduanya saling jatuh dalam pesona masing-masing.
Setidaknya, Tuhan mengijinkan keduanya saling mencintai saat ini.
⇨ To Be Continued ⇦
Tidak ada komentar:
Posting Komentar