myCatalog

Jumat, 25 September 2020

TWISTED - 7



∵ TWISTED ∵


|


|


|


|


Jeno dan Jaemin duduk saling berhadap-hadapan didepan kursi mini market cukup lama setelah Jeno memutuskan membeli 2 minuman dan keduanya kembali terdiam, lagi-lagi mereka tak tahu harus memulainya darimana. Karena memang Jaemin tak tahu harus bersikap apa dan bagaimana setelah tahu bahwa Jeno adalah seorang penghisap darah alias vampire bahasa modernnya walau ia sudah tahu hal itu sejak 20 tahun lalu, namun saat ia harus tahu kenyataan tersebut secara terang-terangan tentu saja hal tersebut membuatnya terkejut.

"Aku sudah hidup sangat lama, sangat-sangat lama hingga tak tahu lagi bagaimana cara menghitung umurku ini."

Akhirnya Jeno membuka suaranya terlebih dahulu setelah ia menghela nafasnya dan mengumpulkan keberanian, ia tahu Jaemin tengah dilanda kebingungan karena mendengar segalanya dari Donghyuk secara tiba-tiba.

"Aku bahkan lupa bagaimana caranya diriku sampai menjadi seperti ini, yang kuingat hanya diriku terbangun diantara para mayat yang bergelimpangan.. " Jeno melanjutkan kisahnya saat melihat Jaemin perlahan kembali menatapnya, kemudian Jeno kembali menerawang, ia teringat pada hari dimana ia terbangun kedua netranya melihat langit hitam dengan kilat yang menyambar kesegala arah dengan rasa haus yang sangat membakar di tenggorokannya.

"Donghae Hyung dan Renjun yang menolongku saat itu. Dan saat diriku tiba di Mansion Lee, aku bertemu dengan Donghyuk."

"Lalu Jisung?"

Terdiam, kemudian Jeno menghela nafas sebentar, cukup terkejut sejujurnya saat pria itu tiba-tiba bersuara dan mengajukan pertanyaan. Jeno menatap Jaemin yang kini menatapnya dengan rasa penasaran, tidak ada raut takut seperti saat pertama kali Jaemin melihat mata merahnya atau mungkin karena memang matanya tidak berubah merah saat ini.

"Setelah 200 tahun lebih diriku menjadi penghisap darah kami baru bertemu dengan Jisung." Jeno memutuskan untuk tidak menceritakan tentang Park Jaemin pada pria manis dihadapannya. Jeno tidak ingin ada kesalahpahaman apapun tentang 2 orang berwajah serupa dan memiliki nama yang sama, ia sudah bisa membayangkan kalau Jaemin akan menganggap bahwa Jeno tengah memanfaatkan kemiripan wajah mereka berdua untuk dekat dengan Jaemin.

Tidak..

Itu sama sekali tidak benar...

Walau memang wajah mereka serupa, namun sifat mereka sangat berbeda bahkan sangat bertolak belakang. Jeno menyukai Jaemin yang terlihat acuh padanya namun terkadang menatapnya penuh khawatir jika Tuan Oh sudah datang menghampirinya untuk menawarkan seorang manager padanya.

Jaemin yang menanyakan apakah dirinya sudah makan atau belum, walaupun hanya akan berakhir dirinya makan seorang diri karena pemuda Na itu malas menemani Jeno untuk makan bersama.

Jaemin yang selalu datang dipagi hari untuk membangunkan Jeno padahal seorang penghisap darah sama sekali tidak pernah benar-benar tertidur dengan lelap, walau hanya akan berakhir dengan Jaemin memilih keluar dari kamar setelah melihat Jeno sudah benar-benar bangun.

Jaemin yang selalu berdiri didekatnya saat ini dalam setiap acara atau kegiatan apapun walaupun tidak pernah mengajaknya berbicara sepatah katapun.

Jaemin seperti itulah yang membuatnya jatuh hati pada Na Jaemin... dan perlahan melupakan Park Jaemin.

"Lalu... apa kau membunuh seseorang untuk meminum darahnya?" Pertanyaan ini sejujurnya hanya untuk menegaskan kejadian 20 tahun lalu yang diceritakan Donghyuk padanya tadi sebelum dirinya memutuskan untuk tetap diam ditempat dan membiarkan Donghyuk pergi kembali seorang diri.

"Alasan Jeno pergi 20 tahun yang lalu adalah, dia tidak sengaja membunuh seseorang. Saat itu seorang gadis dengan bodohnya memasukkan obat perangsang dalam minumannya, namun bagi kami obat itu tentu saja justru membangkitkan insting kami sebagai penghisap darah."

"Jeno tidak bisa mengontrol emosinya dan membunuh seorang pria hingga tewas. Saat ia sadar dirinyapun tidak ingat apapun atas apa yang sudah dilakukannya pada malam itu, Donghae Hyung memintanya pergi dari Korea dan jangan kembali hingga keadaan aman. Kami hanya ingin melindunginya, melindungi kaum kami karena diapun dijebak saat itu."

Mungkin Donghyuk tidak tahu Jaemin sudah mengepal kuat tangannya hingga merah karena menahan sakit didadanya. Jeno... Pembunuh ayahnya, bahkan tidak pernah tahu dirinya adalah seorang pembunuh.

"Tidak, aku tidak pernah membunuh.." Pertanyaan itu tentu saja membuat Jeno cukup terkejut, pertanyaan yang diajukan Jaemin padanya terlalu ekstrim untuk dijawab olehnya.

"5 tahun pertamaku sangatlah sulit belajar untuk tidak meminum darah manusia, walau diriku memiliki pendonor darah setiap minggu. Namun tidak selamanya ada manusia yang rela mendonorkan darahnya bagi makhluk seperti kami. Maka dari itu Donghae Hyung mengajarkanku untuk meminum darah hewan."

"Darah manusia terakhir yang kuminum adalah darahmu." Jeno kembali menatap Jaemin ia bisa lihat dengan jelas pria itu saat ini tengah mencerna apa yang sebenarnya terjadi diantara dirinya dan Jeno.

Penghisap darah, vampire, bahkan immortal. Apa hal tersebut masuk akal? Jeno mengerti jika Jaemin tidak mengerti akan hal tersebut.

"Darahku? Kau yakin akan hal itu?"

Jeno mengangguk dengan cepat dan pasti, insting berburunya hampir ratusan tahun sudah tak digunakan olehnya hanya kemarin saja ia lepas kendali dan justru menghisap darah Jaemin yang terasa sangat manis baik aroma ataupun rasanya.

"Kau tahu, darahmu.. beraroma sangat manis bagiku, dan sangat sulit untuk menahannya. Apalagi saat darahmu benar-benar berada di hadapanku dan aromanya tercium sangat jelas dipenciumanku."

Hening..

Mendengar bagaimana Jeno mendeskripsikan aroma darahnya membuat Jaemin terdiam tidak dapat melanjutkan pertanyaan lain, ia pun secara spontan menyentuh lehernya sendiri yang sudah tidak lagi memiliki tanda bekas gigitan dilehernya.

Baik Jeno ataupun Jaemin kembali diam. Keduanya tidak ada yang berbicara, padahal Jeno setidaknya menanti reaksi Jaemin padanya, apa yang akan dikatakan pria ini padanya? Apa seharusnya mereka memang saling mendiamkan saja seperti biasanya daripada seperti ini? Jaemin terlihat seperti tidak bisa menerima kenyataan akan siapa Jeno sebenarnya.

"Jaemin-ssi.."

Jeno memberanikan diri meraih jemari Jaemin dan mengenggamnya perlahan dengan erat, ternyata jemari itu masih sedikit gemetar.

Pria ini mungkin masih takut padanya.

"Kau tidak perlu takut, aku tidak akan pernah menyakitimu, tidak akan pernah.. kau bisa memegang ucapanku."

Mungkin Jeno tidak tahu apa yang saat ini dipikirkan oleh Jaemin, bagaimana bisa dirinya percaya pada Jeno jika pria ini pernah membunuh ayahnya dengan brutal dihadapannya sendiri.

Namun entah dorongan dari mana genggaman dijemarinya ia balas seolah-olah Jaemin percaya pada apa yang dikatakan Jeno padanya. Ia takut pada pria itu jika ingat kejadian 20 tahun lalu, namun ia juga percaya pria itupun tidak akan pernah menyakitinya, entah bagaimana namun ucapan Jeno membuatnya percaya. Anggaplah ini hanyalah sugesti, itu pemikiran terbaiknya.

"Aku tak tahu harus bersikap seperti apa padamu dan keluargamu."

Jeno tersenyum ia perlahan melepaskan genggamannya pada Jaemin lalu berpindah posisi dengan duduk disebelah kanan pria manis tersebut. Sang pemuda Na hanya menatap Jeno sekilas saat pria itu pindah lebih dekat dengannya sebelum dia kembali sibuk menatap meja putih dihadapannya tempat kedua tangannya berada.

"Bersikaplah seperti biasa... Sikapmu berubah atau tidak tetap saja tidak akan merubah apapun.."

Jaemin kembali terdiam, ia kembali menatap kedua tangannya yang saling menggenggam satu sama lain, ada perasaan lain selain kebingungan dan kesal saat tahu segalanya.

Dirinya ingat, saat setiap pagi datang ke Mansion dan langsung menghampiri kamar Jeno untuk membangunkannya setelah dirinya mulai kembali bekerja, ada perasaan ingin membunuh pria itu dalam tidurnya saja setelah tahu bahwa pria dihadapannya memang pembunuh ayahnya.

Berapa kali dirinya sudah menyiapkan benang nylon dalam sakunya untuk mencekik Jeno diam-diam, ia bahkan sudah duduk di tepi kasur dan bersiap mengeluarkan benda itu dari dalam saku, namun tetap saja dirinya tidak sanggup melakukannya.

Yang Jaemin lakukan hanya duduk diam ditepi kasur menatap Jeno hingga pria itu terbangun dengan sendirinya, setelah itu Jaemin akan beranjak keluar dari kamar.

Ditambah dengan kenyataan yang diterimanya hari ini, tak bisa dipungkiri munculnya rasa iba dari dalam lubuk hati terdalamnya saat tahu selama ini Jeno tidak bisa mati, bahkan pria ini tidak tahu dia pernah membunuh oranglain karena keisengan oranglain yang sengaja meletakkan obat bodoh itu dalam minumannya.

"Lalu..." Akhirnya Jaemin mengeluarkan suaranya kembali, ia menoleh pada Jeno yang masih menatapnya "Mengapa darah ku terasa manis? Apa semua darah terasa sama bagimu?"

Jeno menggeleng, ini bagian yang disukainya dari pria ini. Sama seperti Jaeminnya, mereka penasaran mengapa darah mereka terasa manis bagi Jeno. Haruskah Jeno menjelaskannya lagi?

Ah, pria dihadapannya ini bukan Park Jaemin tapi Na Jaemin.

"Tidak semua darah terasa manis di mulut dan penciumanku, mungkin kau tidak akan percaya tapi hanya darah pasanganku yang terasa manis di mulutku bahkan aromanya saja terasa sangat manis.."

"Maksudmu?"

"Kau..." Jeno mendekat pada Jaemin ia bahkan mengunci kedua mata bulat itu dengan tatapan tajamnya yang perlahan berubah menjadi merah "Kau adalah pasanganku, kau dilahirkan untuk menjadi asupan darah manusiaku. Itulah mengapa kau terasa sangat manis bagiku."

Kedua netra coklat yang berbinar itu membulat terkejut saat mendengar bahwa dirinya disebut 'Pasangan' oleh Jeno, entah pasangan atau hubungan macam apa yang dimaksudkan akan terjalin diantara dirinya dan Jeno.

Jaemin sangat ingin memalingkan wajahnya dari tatapan Jeno, bukan hanya mengintimidasinya dan membuatnya teringat akan kejadian lampau namun, kedua mata merah itupun juga seperti memiliki daya tariknya sendiri hingga pemuda Na tersebut bahkan tak bisa berpaling walau hanya sedetik saja.

Sentuhan lembut jemari Jeno pada pipi kiri Jaemin justru membuatnya memejamkan kedua matanya, entah bagaimana pria penghisap darah itu justru membuatnya jauh lebih tenang saat ini bahkan tanpa ragu Jaemin menyandarkan wajahnya pada telapak tangan besar itu ibu jari Jeno bahkan kini tengah mengelus wajahnya dengan lembut.

Haruskah ia melupakan mata merah itu sebagai pembunuh ayahnya? Haruskah ia menerima perasaan tenang saat bersama dengan Jeno yang selama ini ia sangkal?

Haruskah Jaemin menyerah akan dendamnya sendiri? Ia bahkan tak pernah sanggup membunuh Jeno selama ini.

Jaemin bahkan tidak bisa berbohong bahwa terkadang dirinya merasa kesal saat melihat Tuan Oh mengenalkan seorang gadis pada Jeno untuk dijadikan sebagai manager pria tampan itu dihadapannya.

Kedua netra coklat itu kembali terbuka dan saling beradu tatapan dengan Jeno, kedua mata merah itu masih mengunci pandangannya. Bagaimana ini, jika Jaemin sudah melangkah maju meninggalkan dendamnya bukankah dia tidak bisa kembali lagi?

Pemuda Na itu tidak bisa memutuskan apapun, banyak hal yang membuatnya ragu akan Jeno dan keluarganya.. lagipula ini hanya rasa nyaman semata bukan? Walau dada kirinya berdebar tak karuan saat ini, Jaemin yakin rasa nyaman ini akan menghilang seiring dengan waktu.

Iya bukan??

Namun tak ada jawaban yang ia dapat selain bibir Jeno yang kini sudah kembali menempel pada bibirnya, meruntuhkan pemikiran Jaemin akan segala hal.

Membuat pria itu mungkin menyerah tanpa sadar pada Lee Jeno, karena ia justru menyukai bagaimana bibir tersebut terasa begitu sempurna dan pas saat bersentuhan dengan bibirnya.

Saat tautan keduanya terlepas sekali lagi kedua netra cokelat Jaemin beradu dengn netra merah nan tajam milik Jeno, namun ia tidak lagi merasa takut akan mata itu.

"Aku tidak akan pernah menyakitimu Jaemin-ssi, kau percaya padaku itu sudah cukup.. "

Dan Jaemin mengangguk mengiyakan, ia akan percaya pada Jeno. Ia tidak akan menolak perasaan nyaman itu datang menghampiri dirinya kali ini.

Mungkinkah Jaemin ingin berdamai dengan masa lalu tanpa ia sadari.

Twisted


Hari masih pagi tapi Jungwoo sudah dihadapkan dengan atasan yang baginya sangat berlebihan saat ini, setelah menemui seseorang yang mirip dengan Eunhyuk hampir setiap hari ia habiskan 2 jam untuk mengawasi cafe milik pria tersebut.

"Ah lihat sudah berapa lama tidak kulihat Lee Donghae sebodoh ini?" Celoteh Jongwoo dari balik kemudinya ia tidak perduli atasan yang ada disebelahnya saat ini mendengar dirinya tengah mengumpat terang-terangan.

Pasalnya ia harus bersiap dipagi hari dan meninggalkan beagle kesayangannya hanya karena atasannya ini ingin berangkat di jam 8 pagi. Padahal biasanya mereka akan pergi dari rumah ke kantor pukul 11 siang.

"Yak! Daripada kau menghinaku apa kau tidak bisa mencari ide bagaimana caranya aku kembali dekat dengannya?"

Jungwoo menghela nafas pelan ia bersandar pada kursi kemudi lalu menatap kearah cafe dimana mereka melihat si pemilik dan salah satu karyawannya tengah berdiri didepan pintu menunggu pintu yang tengah dibuka kuncinya oleh Lee Hyukjae si pemilik Jewel's Cafe.

"Belikan saja mereka sarapan, jika kau ingin menarik simpatinya berbuat baiklah padanya. Jeno sepertinya lebih pintar daripada dirimu dalam hal seperti ini."

Donghae berdecak kesal karena selama beberapa hari selalu diledek oleh asisten pribadinya ini bahkan dijadikan bahan lelucon bersama dengan Donghyuk dirumah. Ditambah baru saja ia dibandingkan dengan Lee Jeno yang memang terlihat sangat agresif mendekati Jaemin dengan berbagai cara.

Dan ia akui itu Jeno lebih pintar dalam menarik perhatian walaupun itu membuat kesal Jaemin sekalipun.

"Sarapan? Haruskah?"

"Dia manusia dan dia butuh makanan jangan samakan dia dengan dirimu Lee Donghae-ssi..."

Namun sepertinya Jungwoo menyesal dengan idenya tersebut karena saat ini dirinyalah yang berada didalam cafe membawakan sarapan 2 kotak bento dengan 2 jus buah dengan senyum yang dipaksakan, dan setengah mati menghiraukan tatapan penuh tanya dari Hyukjae dan pengawai yang tengah berada disana.

"Jungwoo-ssi?"

"Ini sarapan untuk kalian.." ucapnya.

"Ini makanan untuk kalian berdua..."

"...... Makanlah ini untuk kalian..."

"Sarapan datang... Untuk kalian.."

Hal tersebut berlanjut hingga berhari-hari, bukan Donghae namun Jungwoo yang harus terus menerus datang kecafe untuk membawakan sarapan untuk Hyukjae dan seorang pegawai lain yang selalu datang bersama dengan Hyukjae dipagi hari, ia dengar namanya Lucas kalau tak salah.

Pagi ini Jungwoo datang dan langsung duduk disalah satu kursi yang baru diturunkan oleh Lucas yang setiap pagi memberikan senyum ramah padanya "Sarapan lagi?"

"Ya... dimana Hyukjae-ssi?"

Lucas menunjuk keluar dan diikuti oleh tatapan Jungwoo yang sedari tadi menatap sekeliling cafe namun hanya menemukan Lucas seorang diri yang tengah bersiap-siap untuk membuka cafe, ia melihat Hyukjae yang tengah memakai hoodie abu-abu berjalan menghampiri mobil hitam yang didalamnya terdapat Donghae yang selalu menyuruhnya setiap hari.

"Rasakan itu Lee Donghae.." Umpat Jungwoo senang ia akhirnya bisa melihat bagaimana kalang kabutnya Donghae nanti saat Hyukjae mendekatinya.

"Apa aku bisa memakan sarapanku?"

Jungwoo mengalihkan atensinya lagi pada Lucas ia tersenyum dan mengangguk dengan cepat, setelah beberapa hari akhirnya ia bisa menunjukkan wajah tersenyumnya pada Lucas bukan wajah kesalnya karena ulah Donghae.

"Makanlah, kubawakan ini memang untukmu." Jungwoo membantu Lucas membuka ikatan kantung plastik berwarna putih bening tersebut dan memberikan satu kotak bento pada Lucas yang sudah duduk dihadapannya.

Pria berkulit tan itu memperhatikan bento dihadapannya dan Jungwoo bergantian, ini pertama kalinya pria dengan senyum lebar nan manis ini tidak segera pergi setelah membawakan makanan bahkan sempat membukakan plastik serta menyiapkan bento itu untuk disantap oleh Lucas.

"Kau mau makan bersamaku?" Tawar Lucas sembari mendorong kotak bento yang tersisa.

"Itu punya Hyukjae-ssi."

"Bosku itu berniat mengajak Donghae-ssi untuk sarapan bersama diluar daripada menerima sarapan terus setiap hari, sebagai ucapan terima kasih katanya. Jadi sebaiknya kau temani saja diriku makan, bagaimana?"

Jungwoo kembali menoleh kearah luar sebentar kemudian kembali menatap Lucas yang terlihat masih menunggu keputusannya untuk sarapan bersama. "Baiklah, akupun sudah lupa bagaimana rasanya sarapan bersama.."

Dengan semangat Jungwoo membuka kotak bento dan menatap isinya, daging katsu dengan saus teriyaki dan beberapa jenis sayuran. Kalau dia manusia makanan ini tentu akan mengugah selera makannya, namun karena ia vampire maka makanan ini hanya terasa melewati tenggorokannya saja, namun karena dia sarapan bersama seseorang tentu saja ia tidak melupakan moment tersebut.

"Selamat makan Jungwoo-ssi.."

"Ya.. Selamat makan Lucas-ssi.."

Keduanya mulai memakan sarapan mereka dalam diam, berbeda dengan Donghae yang kini tengah mencari segala benda didalam mobil untuk menutupi wajahnya karena melihat Hyukjae melangkah menghampirinya.

"Bagaimana ini bagaimana??!!"

Ia mengumpat seorang diri bahkan mengacak-acak seisi mobil seorang diri, ia tidak perduli Jungwoo akan murka melihat mobilnya berantakan seperti ini.

'Tok tok tok'

Donghae terdiam ia bisa merasakan bulu roma ditengkuknya meremang, perlahan ia menoleh dan mendapati Hyukjae mengetuk kaca jendelanya, matilah dia.

"Donghae-ssi?" Panggil Hyukjae sambil mengetuk pelan kaca jendela mobil Donghae, ia bisa lihat pria didalam sana memang tengah memunggunginya. Tidak mungkin bukan dia tidur didalam?

"Donghae-ssi?"

Perlahan kaca mobil terbuka dan turun perlahan, Hyukjae bisa melihat Donghae mengerjap-ngerjapkan matanya yang terlihat sangat segar seolah-olah dirinya baru saja terbangun dari tidurnya.

"Ahh... Hyukjae-ssi, ada apa?"

Ada apa??

Lee Donghae memberikan cengiran khasnya saat pertanyaan itu terlontar keluar dari mulutnya. Seharusnya Hyukjae bukan yang mengajukan pertanyaan itu padanya bukan sebaliknya.

Namun Hyukjae hanya terkekeh pelan, betapa lucunya Lee Donghae dihadapannya ini "Mau sarapan bersamaku Donghae-ssi?"

"Ha?"

"Sarapan bersamaku, selama ini kau hanya mengirimkan sarapan tapi tidak pernah mengajakku untuk sarapan bersama. Jadi diriku saja yang mengajakmu untuk sarapan, bagaimana dengan kedai bubur didepan jalan sana? Kurasa Jungwoo-ssi bisa membantu Lucas untuk menjaga cafe sementara kita berdua pergi untuk sarapan.."

Hyukjae mungkin tidak sadar kalau selama ia berbicara sedari tadi yang Donghae lakukan hanyalah menatapnya tanpa berkedip, bahkan gummy smile milik Hyukjae ia rekam baik-baik dalam memorinya saat ini.

"Bagaimana? Donghae-ssi?"

"Ya?"

Hyukjae menghela nafas pelan, dirinya baru sadar Donghae tidak mendengarkan ucapannya dan hanya sibuk memperhatikan wajahnya. Apa dirinya sangat tampan?? Ia pikir Jinhyuklah yang paling tampan didalam panti.

"Sarapan? Denganku? Bagaimana?"

"Ya, tentu saja.." Donghae segera bergerak secepat kilat kembali menutup kaca mobil lalu turun dari mobil dan menguncinya lalu berdiri dengan senyum polos dihadapan Hyukjae.

"Pfftt, kau sangat bersemangat sekali. Berapa umurmu eoh? Kau terlihat sangat menggemaskan jika bersikap seperti barusan." Hyukjae tanpa sadar mengangkat jemarinya dan mengelus serta mengacak perlahan surai hitam Donghae yang sangat halus saat tersentuh oleh jemarinya. Hyukjae tak bisa menahan rasa gemasnya pada Donghae walaupun pria ini terlihat lebih kaya daripada dirinya.

Donghae menahan tangan Hyukjae agar berhenti mengacak surainya yang sudah sangat berantakan, namun justru jemarinya saling bersentuhan dengan Hyukjae.

Untuk sepersekian detik keduanya bisa merasakan ada denyutan kuat didalam dada mereka, bahkan saat kedua mata mereka saling mengunci satu sama lain dengan tatapan yang tak bisa Hyukjae mengerti, mengapa Donghae menatapnya sedalam itu?

Tatapan itu hanya membuatnya berdebar, dan debaran itu kian terasa. Bukankah dirinya masih normal beberapa hari yang lalu? Kenapa saat ini Hyukjae merasa dirinya justru rela melangkah keluar dari zona normalnya hanya karena berdebar tak karuan menerima tatapan dalam dari Lee Donghae.

Ada apa dengannya?

Apa ini juga yang dirasakan Jaemin hingga anak itu terlihat sedikit berubah setelah kembali bekerja dengan Jeno?

Apa dirinya juga akan seperti itu??

Twisted


Mata bulat nan coklat, gummy smile yang menampilkan deretan gigi putih, suara yang lembut saat berbicara bahkan suara tawa yang terdengar renyah saat Donghae memberikan jokes tidak lucu miliknya namun mengundang tawa Hyukjae, hal itu saja membuat Lee Donghae terngiang-ngiang tentang pria kurus itu berhari-hari.

Kini rutinitas paginya berubah, ia akan menjemput Hyukjae untuk makan bersama lalu membiarkan Jungwoo menemani Lucas di cafe, keduanya bahkan terlihat cocok menjadi partner kerja. Terpikirkan dikepalanya haruskah Donghae membuka sebuah cafe untuk Jungwoo saat ulang tahunnya nanti?

Ck...

Tapi rasanya tidak perlu, Jungwoo selalu meledeknya jadi Donghae memutuskan tidak akan memberikan apapun pada Jungwoo dihari ulang tahunnya sebagai balasan atas setiap ledekannya.

"Yak Hyung..."

Lamunan Donghae akan Hyukjae dan rencananya dimasa depan hilang saat mendengar suara Jisung yang memanggilnya dengan semangat bahkan ketika dirinya tersadar Jisung sudah duduk berhadapan dengannya.

"Ada apa Jisung-ah?"

"Aku butuh bantuanmu.."

"Bantuan apa?"

Jisung menunjukkan cengiran khasnya sebelum mulai bercerita panjang lebar tentang rencananya meminta bantuan Donghae untuk berpura-pura menjadi bos di restoran sushi miliknya, karena tentu saja tak akan ada yang percaya bahwa pria semuda Jisung adalah seorang pemilik beberapa kedai sushi.

Dan hari yang dimaksudpun tiba, Chenle sudah tiba di depan kedai Sushi yang lebih cocok disebut restoran daripada kedai. Tempat ini sangat besar, ingin melangkah masukpun Chenle ragu. Ia sekali lagi melihat alamat yang diberikan oleh Jisung di ponselnya, namun dirinya tidak salah alamatnya sesuai.

"Apa sebaiknya kuhubungi saja Jisung??" Chenle masih dilanda keraguan.

Sedangkan didalam restoran lebih tepatnya ruang kantor milik Jisung ia tengah melihat Jeno mendudukkan Jaemin yang sejak tadi menolak untuk dijadikan bos pura-pura kedai sushi milik Jisung "Yak Lee Jeno, apa yang harus kulakukan??"

"Lakukan apapun, aku yakin kau bisa.."

"Bisa?? Aku bahkan dapat nilai terbawah saat kelas drama." Ocehnya lagi dan kembali berdiri, namun Jenopun kembali menekan bahunya agar duduk lagi diatas kursi pemimpin kedai sushi tersebut.

"Kenapa tidak kau saja Jeno-ya?" Omel Jaemin lagi, kali ini tangannya menarik Jeno agar duduk diatas kursi yang baru saja diduduki olehnya.

"Aku tidak pandai berbohong.." Jeno kembali berdiri dan akhirnya kursi itu kosong, keduanya kini menatap Jisung yang menghela nafas.

Inilah mengapa dia meminta bantuan Donghae bukan Jeno, tapi sayangnya Donghae tidak bisa membantunya untuk ke kedai dipagi hari karena sibuk dengan pekerjaannya sendiri yang entah apa.

Ponsel Jisung berdering, ia awalnya menatap malas ponselnya namun begitu melihat siapa yang menghubungi kedua mata sipitnya segera membulat "Tentukan siapapun diantara kalian yang menduduki bangku itu dia sudah menghubungiku pasti dia sudah sampai." Jisung segera beranjak pergi tanpa menoleh lagi.

Jaemin menoleh menatap Jeno yang merogoh sakunya untuk mengambil ponsel "Apa yang kau lakukan?"

"Meminta Renjun datang dan biarkan dia yang melakukannya."

"Ah.." Walau Jaemin tidak terlalu suka dengan pria bernama Huang Renjun itu tapi daripada dirinya yang berada dikursi itu, maka Jaemin menyetujui cara Jeno. Mari mereka korbankan saja Huang Renjun untuk menghadapi hal berat itu.

Pintu ruangan tersebut terbuka membuat Jeno dan Jaemin berjengit kaget bersamaan, mereka kira Jisung sudah kembali dengan temannya. Namun ternyata itu adalah Renjun, Jeno mendudukan dirinya ditepi meja kerja Jisung sambil menghela nafas ia sempat lemas karena merasa takut tadi yang masuk adalah Jisung dan temannya itu.

Berhadapan dengan hal seperti ini kenapa lebih menakutkan baginya.

"Aku belum menghubungimu kenapa kau sudah datang?"

Renjun belum menjawab ia memakai jas biru yang sedari tadi dibawa saja olehnya kemudian mendudukkan dirinya dikursi yang terasa sangat panas di bokong Jaemin ataupun Jeno.

"Donghae Hyung memintaku kemari, entah kenapa dia yakin kalian berdua hanya akan saling mendorong satu sama lain untuk menduduki kursi ini." ucapan Renjun mendapat respon cengiran polos dari Jeno karena prediksi Hyungnya itu sangat tepat sasaran.

"Dimana Jisung dan temannya?"

"Mereka masih berada diluar, Jisung-ssi berkata bahwa temannya itu baru saja menghubunginya."

Renjun menoleh pada Jaemin yang menjawabnya dan melihat Jeno yang duduk ditepi meja "Kalian bisa duduk di sofa yang berada di ujung sana, dan hilangkan kegugupan di wajah kalian. Aku yang akan menghadapi ini.."

"Kau selalu bisa di andalkan Renjun-ah.." Jeno tersenyum lebar hingga kedua matanya menghilang menjadi sebuah eye smile indah yang hanya membuat siapapun dengan mudah jatuh dalam pesonanya kemudian menarik Jaemin untuk duduk bersamanya di sofa.

"Chenle? Kau sudah datang?"

Chenle menoleh pada sumber suara, ia sudah panik karena panggilannya tidak diangkat oleh Jisung. Hampir ia pikir kalau teman bermain game nya itu menipu dirinya. "Aku pikir kau mempermainkanku, kenapa tidak mengangkat panggilanku?"

"Panggilan?" Jisung menepuk keningnya sendiri, karena panik begitu melihat nama Chenle yang tertera di layar ponselnya bukan mengangkat panggilan tersebut ia justru cepat-cepat keluar untuk mendatangi Chenle.

"Maaf aku lupa kalau harus mengangkat panggilanmu daripada langsung menghampirimu."

"Cih... Kau ini.." Chenle kesal tapi ia tidak bisa menyembunyikan ketakjubannya saat melihat restoran sushi dihadapannya. Ia merasa salah memakai kostum saat ini, karena dirinya pikir ini hanya kedai biasa jadi Chenle hanya menggunakan hoodie abu yang dibalut dengan kemeja flanel berwarna hijau, dan celana jeans serta sepatu sneakers.

Terlalu santai untuk melamar pekerjaan disini, bahkan ia tidak membawa berkas lamaran. Karena berpikir dirinya hanya akan bekerja part time.

"Bagaimana bisa kau menyamakan restoran ini dengan kedai apa kau memang berniat menipuku? Ini restoran Jisung-ah bukan kedai."

"Aish, bagaimana dengan pakaianku? Terlihat sangat kumuh bukan? Aku bahkan tidak membawa berkas lamaranku."

Jisung hanya diam memperhatikan sambil tersenyum, melihat Chenle panik benar-benar membuat dirinya sendiri terhibur. Asal pria ini tahu, apapun penampilannya Jisung akan menerima Chenle bekerja sekarang juga.

"Sudahlah, ayo masuk." Jisung menarik pergelangan tangan Chenle untuk masuk kedalam restoran yang masih berbenah tersebut, sepertinya mereka akan buka 1 atau 2 jam lagi.

Jisung menghela nafas sebelum membuka pintu ruang kerjanya sendiri "Hyung... Dia sudah... O! Renjun Hyung?" Entah mengapa Jisung tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat Renjun yang akhirnya duduk dikursi miliknya tersebut, namun ia benar-benar lega bukan salah satu dari mereka (Jeno Jaemin) yang duduk di kursi itu.

"Kau terkejut melihat Hyungmu sendiri?"

"Ah.. Um, dia tadi tidak memakai jas biru. Aku terkejut.." Alasan macam apa itu? Semoga Chenle tidak curiga akan keterkejutannya barusan, ia membuka pintu lebih lebar dan menarik Chenle untuk masuk kemudian melepaskan genggamannya, membiarkan Chenle maju sendirian menghampiri Renjun sedangkan dirinya mendekati Jeno dan Jaemin yang sudah duduk dengan patuh di sofa menunggu proses interview dimulai.

Kedua mata Jisung dan Jeno sama menyipit dengan tubuh yang sedikit mencondong kedepan mereka berdua berusaha untuk mencuri dengar apa saja yang dibicarakan antara Renjun dan Chenle namun nihil, bagaimana bisa mereka berbicara dengan suara sepelan itu.

Keduanya baru memundurkan tubuh mereka kembali setelah melihat Chenle berdiri dari kursinya, Jisungpun turut bangkit dari sofa dan menunggu kata-kata 'Kau diterima, mulailah bekerja besok.' dari mulut Renjun.

"Aku sangat menyukaimu Zhong Chenle, kau sangat pintar. Kenapa kau bisa berteman dengan Jisung?"

Chenle tertawa mendengar pujian Renjun padanya "Terima kasih, kau memujiku berlebihan.." Chenle membungkuk sebagai bentuk hormat, namun sebuah kalung berbentuk panah dan busur yang keluar dari balik hoodie abu-abu yang digunakan Chenle berhasil membuat Renjun menghentikan tawanya perlahan, dan hal itu disadari betul oleh Jaemin.

"Hyung, kau jangan menjelekkanku terus menerus.. bagaimana? Kau menerimanya?"

Jawabannya tentu saja harus iya.

Renjun berdehem sebentar, "Aku akan menghubungimu beberapa hari lagi, Jisung punya nomormu bukan?"

"Iya, dia punya nomorku."

Baik Jisung ataupun Chenle menanggapi keputusan Renjun dengan cara yang berbeda, hanya Jeno yang menatap bingung ke-3 orang didepan sana.

"Baiklah, kalau begitu aku permisi.."

Renjun mengangguk dan membiarkan Chenle pergi sambil memperhatikan anak itu cepat-cepat memasukkan lagi bandul kalungnya kedalam hoodie.

Jisung menatap Renjun penuh tanya ia bahkan terlihat kesal karena hyungnya ini tidak mengikuti apa kemauannya, padahal ini restorannya. "Aku akan mengantarkanmu Chenle.." Ia segera menyusul Chenle dan berjalan bersama pria berambut pink itu sampai didepan restoran sushi miliknya.

"Maafkan aku, hyungku seharusnya langsung menerimamu saja." Ucap Jisung penuh penyesalan namun lengannya justru segera di pukul oleh Chenle.

"Kau ini bicara apa? Mencari pekerjaan memang tidak mudah, Hyungmu memang butuh pertimbangan dan aku mengerti. Berharaplah dalam beberapa hari kedepan kau akan menghubungiku dan mengatakan bahwa diriku diterima."

Jisung mau tak mau tersenyum, Chenle benar-benar orang yang baik dan selalu berpikiran positif. Padahal ia mengira kalau nantinya Chenle akan marah padanya karena Renjun justru tidak langsung menerimanya "Kau ingin kuantar pulang?"

"Tidak usah, aku akan ketoko buku setelah ini.."

"Kau sangat suka berada disana, nanti aku akan menyusulmu jika urusanku sudah selesai."

"Baiklah, kabari aku saja."

Lagi, Jisung tidak bisa menahan tangannya untuk tidak mengacak surai pink dihadapannya. Salahkan dirinya yang lebih tinggi dari Chenle walaupun ia berhenti bertambah tua di umur 18 tahun.

"Ekhm.. Aku masuk ya? Hati-hati dijalan." Jisung segera kembali masuk kedalam dan meninggalkan Chenle yang menatapnya bingung dengan rambut pinknya yang berantakan, sial. Ia kesal kenapa dirinya sangat ingin memperlakukan Chenle seperti seorang wanita ataupun pria lemah, dia tidak menyukai Chenle bukan?

Jisung menggelengkan kepalanya menjauhkan pikiran aneh tentang dirinya dan Chenle, ia segera masuk kedalam ruangannya dan melihat Renjun sudah berdiri dan bersandar didepan meja kerjanya.

"Hyung, kenapa kau tidak langsung menerimanya?"

"Kenapa tidak kau sendiri yang menginterviewnya dan menerimanya?" Renjun mengembalikan pertanyaan tersebut pada Jisung dan membuat pria tinggi itu terdiam sesaat.

"Aku bukan tidak menerimanya.." Sejujurnya tadi Renjun sangat ingin menerima Chenle, anak itu pintar dan sangat ramah, namun lambang bandul tersebut sangat dikenalnya.

Renjun menghela nafas sesaat, ia seharusnya membantu Jisung tapi bandul itu....

"Kau tahu itu termasuk strategi dalam interview kerja, hubungi dia beberapa hari lagi dan katakan bahwa dia diterima bekerja. Mengulur waktu penerimaan untuk bekerja tidak salah Jisungie."

Renjun menepuk bahu Jisung ia lalu melepas jasnya "Aku akan kembali pulang.."

"Akan kuantarkan..."

Jaemin yang sedari tadi hanya diam pun memperhatikan tingkah Renjun yang berubah drastis dalam sesaat, ia pun tidak mengerti apa yang dilihat oleh Renjun hingga mengubah keputusannya dalam waktu singkat.

Ia mengikuti Renjun keluar dari ruangan Jisung dan berjalan kearah belakang restoran menuju pintu belakang tempatnya tadi datang. "Kau tahu, kau tidak perlu mengantarkanku. Aku bisa menjaga diriku sendiri itulah mengapa diriku tak perlu memiliki seorang asisten."

Jaemin tersenyum "Akupun mengantarmu bukan untuk menjagamu, aku hanya ingin tahu ada apa dengan anak itu hingga kau tidak menerimanya.. padahal kuperhatikan kau sangat bersemangat sekali berbincang dengannya."

Langkah panjang Renjun terhenti, ia menoleh pada Jaemin yang juga berhenti di belakangnya "Apa yang kau lihat dari anak itu?"

"Kau tahu tentang mansion Lee dan seluruh rahasia kami bukan berarti kau bisa ikut campur dalam segala hal Jaemin-ssi.."

"Kau tentu tahu diriku pengawal pribadi Jeno, aku harus tahu apa ada hal yang bisa mengancamnya dari anak itu. Jika kau tidak bisa mengatakannya aku bisa mencari tahunya langsung dari anak itu."

"Bukan anak itu..." Terpaksa Renjun menjawab, ia tidak ingin Jaemin menghampiri Chenle. Ia bisa menilai bahwa anak tersebut baik, Jisungpun tidak salah memilih teman. Hanya saja takdir mungkin mempermainkan persahabatan Jisung dan Chenle.

"Maksudmu?"

"Anak itu menggunakan kalung dengan lambang seorang pemburu.. aku hanya ingin melindungi keluargaku dari pemburu.."

Jaemin terdiam, ia tidak mengerti pemburu apa yang dimaksud oleh Renjun namun melihat bagaimana reaksi Renjun pada sebuah lambang sepertinya Jaemin akan mencari tahunya sendiri.

"Jika kau sudah siap menceritakan tentang pemburu yang kau maksud itu, kau bisa mendatangiku." Jaemin menundukkan kepalanya sesaat sebelum kembali lagi masuk kedalam, ia harus mengantarkan Jeno setelah ini ke sebuah pemotretan.

Renjun menatap punggung Jaemin yang sudah melangkah menjauhinya. Pria itu terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang mengetahui bahwa mereka semua bukan keluarga normal. Apa Renjun harus menyelidiki Jaemin?

"Siapa sebenarnya kau Na Jaemin? Sepertinya kaupun berbahaya untuk Jeno.."

Twisted


Sebuah sedan hitam berhenti di pekarangan luas tepat didepan mansion Lee, Mark keluar dari pintu kemudi dengan senyum lebar ia membawa beberapa lembar brosur perjalanan wisata yang bisa didatangi di Seoul.

Sejak terakhir ia membawa Donghyuk ke sungai Han ada dorongan tersendiri dari dalam dirinya untuk kembali membawa pria itu keluar rumah.

Sudah berapa umurnya? Tapi masih betah hanya berdiam diri dirumah sedangkan saudaranya yang lain sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, meninggalkan Donghyukpun dirumah seorang diri.

"Mark-ssi?"

Mark yang sudah melangkah secepat kilat terpaksa harus mengerem langkahnya dan kembali mundur untuk melihat siapa yang memanggilnya dan ia mendapati pengurus kebun di bagian depan menyapanya.

Namun Mark tidak begitu saja pergi setelah membalas sapaan pria paruh baya itu, Mark meletakkan brosur yang dibawanya diatas meja kemudian menghampiri pria paruh baya itu dan membantunya untuk membawa selang panjang menuju taman dipekarangan depan.

"Kau membawa ini sendirian diumurmu yang sudah sangat tua, lain kali panggillah diriku aku akan membantumu."

"Aigoo, kau sangat baik Mark... Masih muda dan sangat baik, seseorang yang akan menjadi istrimu kelak akan sangat bahagia.."

Mark terkekeh pelan sambil menggaruk pipi tirusnya "Tapi aku tidak menyukai perempuan Ahjushi."

Pria paruh baya itu menatap Mark kaget sangat jarang ada yang dengan terang-terangan mengatakan ketertarikannya pada seseorang seperti pemuda dihadapannya saat ini "Apa kau sudah menemukan priamu?"

Mark hanya menggeleng sebagai jawaban, ia belum menemukan seseorang yang membuatnya benar-benar berdebar hingga rasanya itu adalah debaran terakhirnya. Ia belum bertemu dengan seseorang yang kata oranglain akan membuat perutnya tergelitik seolah-olah ada ribuan kupu-kupu berterbangan didalam sana.

Mark masih mencari sosok itu.

"Kau akan menemukannya cepat atau lambat.. Kau akan melihatnya bersinar diantara cahaya matahari, bahkan dia akan terlihat sangat terang digelapnya malam."

Pria tua tersebut terkekeh pelan "Pemuda baik sepertimu akan mendapatkan seseorang yang baik juga, aku yakin itu."

"Terima kasih ahjushi.."

"Kau sudah membantuku, lanjutkan pekerjaanmu. Kulihat kau membawa beberapa brosur tadi ditanganmu."

"Ah iya.." Mark memukul tangannya kirinya dengan kepalan tangan kanannya sendiri "Brosur pariwisata lokal, untuk Donghyuk-ssi."

"Benar-benar, bawalah dia keluar untuk melihat dunia. Dia seperti bunga dalam pot hanya berdiam sendirian didalam rumah tanpa berani melangkah keluar, yang dilihatnya selama 20 tahun ini hanya pekarangan pribadinya, tembok, pagar dan kursi kendaraan yang membawanya dan Renjun ke supermarket lalu kembali lagi kemari."

Senyum lebar di wajah Mark menghilang perlahan, ia tidak menyangka untuk melangkah keluar saja Donghyuk enggan.

"Kau orang pertama yang dipilihnya menjadi pengawalnya sejak 20 tahun berlalu, kau pasti sangat istimewa."

"20 tahun waktu yang lama untuk memutuskan tetap berada didalam rumah tanpa keluar sedikitpun, kau bisa bukan membuat Lee Donghyuk kembali lagi melihat dunia luar? Tanpa merasa bersalah lagi."

Bersalah?

Raut penuh tanya diwajah Mark membuat pria tua itu kembali terkekeh, ia menepuk bahu pemuda tersebut "Cepatlah temui Donghyuk, dia ada di taman bunga mataharinya. Ajaklah dia keluar sebelum hujan.." pria paruh baya itu menatap langit yang mendung sekilas sebelum mulai menyiram tanaman seperti rutinitas awalnya.

Markpun kembali mengambil brosur yang tadi diletakkannya diatas meja kemudian segera memasuki rumah besar tersebut melewati dapur menuju pintu belakang, satu-satunya pintu menuju taman bunga matahari milik Donghyuk.

Kedua netra tajamnya melihat Donghyuk tengah berdiri ditengah-tengah ladang bunga mataharinya, pria itu tengah membelakanginya karena terlalu asik dengan pemandangan hamparan bunga matahari disekelilingnya.

Mark hampir melangkah menyusul Donghyuk ditengah taman sana namun melihat langit mulai menghitam ia mengurungkan niatnya, akhirnya Mark meletakkan brosur yang ingin diperlihatkannya pada Donghyuk di meja nakas didalam rumah lalu mengambil sebuah payung berwarna putih bening dari sudut ruangan dimana terdapat wadah penyimpanan payung disana.

Ia perlahan melangkah menghampiri Donghyuk sambil membuka pengait payung besar tersebut, berjaga-jaga jika tiba-tiba saja hujan besar turun.

"Donghyuk-ssi..."

"Donghyuk-ssi??" panggilnya lagi, tak ada jawaban dari pria berkulit tan itu, tidak mungkin bukan dia tidur sambil berdiri?

Tes tes....

Setetes dua tetes air dari langit turun, membuat Mark menadahkan tangannya ia merasakan air hujan membasahi telapak tangannya.

"Omo.. Hujan??" Donghyuk tersadar dari lamunannya, ia sangat suka berada ditengah taman berdiri dan menutup mata sambil mendengarkan lantunan lagu ditelinganya, wajar saja ia sama sekali tidak mendengar panggilan Mark padanya.

Melihat Donghyuk akhirnya bergerak Mark segera melangkah semakin cepat untuk mendekat sambil membuka payung digenggamannya kearah kanannya sebelum ia menutup kepalanya dengan payung bersamaan dengan Donghyuk yang berbalik badan tepat dihadapannya dan berada dalam satu payung bersamanya.

Rambut keduanya sempat basah dan meneteskan air dari hujan yang tiba-tiba sangat deras mengguyur bumi, namun bukan itu yang menjadi pokok permasalahan disini.

Dibawah payung yang sama keduanya justru terdiam dan saling melemparkan tatapan satu sama lain, baik Donghyuk ataupun Mark sama-sama terkejut saat mereka berdua saling berhadapan dan terpaku dalam sebuah tatapan nan dalam secara tiba-tiba.

Entah keberanian darimana, Mark mengangkat tangannya dan membersihkan percikan air hujan yang membasahi wajah bulat Donghyuk, jemarinya bisa merasakan betapa lembut dan kenyal pipi pria berkulit tan itu yang masih menatapnya saat ini.

Saat kedua mata bulat Donghyuk teralihkan dan menatap jemari Mark diwajahnya, pria berwajah tirus itu justru menurunkan tatapan matanya pada hidung mancung Donghyuk, dan semakin turun hingga ke bibir tebal Donghyuk yang sedikit terbuka.

Deg!

Mark merasakan ada yang bergejolak diperutnya, ia tak tahu apa tapi rasa itu membuat dada kirinya berdebar semakin kuat, semakin kuat dan semakin kencang.

"Donghyuk-ssi?" Mark perlahan melepaskan eaephone yang masih terpasang ditelinga Donghyuk membuat pemuda Lee itu kembali menatap Mark yang sedikit lebih tinggi daripada dirinya.

"Donghyuk-ssi..."

"Ya?"

"Kau akan menemukannya cepat atau lambat.. Kau akan melihatnya bersinar diantara cahaya matahari, bahkan dia akan terlihat sangat terang digelapnya malam."

Mark menemukannya..

Donghyuk selalu bersinar diantara hamparan bunga matahari ditamannya, bahkan saat kini langit gelap dan hujan turun sekalipun kedua matanya tidak bisa lepas dari wajah bulat dihadapannya.

Perlahan ia menyingkirkan payung yang menutupi kepalanya dan Donghyuk, melepaskan genggamannya pada payung tersebut hingga kini keduanya basah terkena tetesan air hujan.

Mark, menangkup wajah Donghyuk yang tengah mendongak menatapnya dan tiba-tiba mencium bibir pria dihadapannya. Bibir ranum itu kini menempel dengan bibir tipisnya. Ia tidak perduli kalau Donghyuk kebingungan setelah ini, Mark hanya ingin mengutarakan apa yang dirasakannya tanpa harus menunggu.

Karena ia sudah menemukan bunga mataharinya.

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar