myCatalog

Jumat, 25 September 2020

TWISTED - 5



∵ TWISTED ∵


|


|


|


|


Hari sudah menjelang siang, Donghae baru saja kembali dari pulau Jeju bersama dengan Jungwoo, mereka baru saja selesai menandatangani kontrak baru dengan perusahaan tekstil Donghae tak henti-hentinya melebarkan bisnisnya, terkadang ia yang akan pergi, namum terkadang Renjun yang akan menjalakan pekerjaannya sebagai yang tertua kedua di Mansion.

Sedangkan Donghyuk dan Jisung mereka memiliki pekerjaan mereka masing-masing walaupun terlihat hanya berada didalam rumah dan tidak melakukan apapun.

Begitu tiba dipelataran Mansion Lee kaki panjang Donghae segera melangkah masuk dengan cepat dan menaiki tangga untuk mencari keberadaan adiknya yang pulang kemarin.

"Lee Jeno.." Panggilnya tanpa mengetuk pintu, dan nyatanya sang adik sudah duduk di tepi kasur dengan rambut setengah kering, sepertinya dia baru saja selesai mandi.

"Hyung!"

Jeno spontan berdiri dan segera berlari menghampiri Donghae, keduanya saling berpelukan erat satu sama lain. 20 tahun adalah waktu terlama mereka tidak saling bertemu satu sama lain rasanya seperti berabad-abad karena keduanya selalu terbiasa bersama dalam keadaan apapun.

"Kau baik-baik saja selama ini?" Donghae melepaskan pelukan mereka lalu menangkup wajah Jeno ia melihat ada sedikit perubahan diwajah adiknya, Jeno tidak sesuram 20 tahun lalu. Melihat adiknya mengangguk Donghae menghela nafas lega namun tak lama ia kemudian memukul puncak kepala Jeno dengan telapak tangannya.

"Yaaak Hyung?!"

"Kusuruh kau bersembunyi tapi kau justru menjadi model disana, bahkan kembali kemari saja kau membuat heboh setengah gadis Korea. Apa kau sudah gila eoh?!" Omel Donghae ia hampir memukul kepala Jeno lagi andai adiknya itu tidak kabur naik keatas kasur dan berdiri disana.

"16 tahun itu lama hyung aku bosan, lagipula mereka menawarkanku menjadi model mana bisa kutolak kau tahu aku ini tampan."

"Kemari kau Lee Jeno akan ku patahkan lehermu." Donghae mengejar Jeno hingga ikut menaiki kasur adiknya tanpa melepas sepatu yang masih di gunakan olehnya.

"Yak Hyung, lepaskan sepatumu!" Omel Jeno sebelum melompat turun dari kasur dan berlari keluar dari kamarnya karena dikejar oleh Donghae.

"Yak!! Berhenti kau Lee Jeno!!"

Sedangkan di bawah Renjun dan Jisung hanya melihat malas kejadian lama yang terulang kembali, kapan terakhir mereka melihat ini? Oh saat masih hidup di jaman Jeoseon, saat Jeno mengacak-acak seisi kamar Donghae karena kesal hyungnya itu sibuk berpacaran dengan Lee Eunhyuk.

"Apa yang harus kukatakan? Waktu berjalan sangat lama atau waktu berjalan sangat cepat?"

Mengingat kejadian tersebut sudah lama tak terjadi tentu saja waktu terasa lambat berjalan tapi saat melihatnya terasa seperti kejadian tersebut baru saja ia lihat kemarin, Renjun masih bisa melihat Jeno berlarian di seluruh koridor lantai 2 menghindari Donghae yang masih mengejarnya bahkan sambil melepas sepatunya dan melemparkannya pada adiknya itu, walau tidak mengenai Jeno sama sekali.

Salahkan mansion ini yang sangat besar, walaupun besar bukan berarti tidak ada penghuninya. Para pekerja mereka masih tinggal dengan mereka, bahkan sama sekali tak ada yang beranjak.

"Kau seperti terlempar ke masa lalu Hyung.."

Ucapan Jisung membuat Renjun kembali menekuni buku yang tengah dibacanya, ia tersenyum simpul menanggapi ucapan penghisap darah termuda dalam kaumnya tersebut.

Namun Renjun kembali menghentikan kegiatan membaca buku yang sudah dibaca puluhan kali olehnya, ia menoleh menatap di bungsu termuda dikeluarga ini. Jisung dijadikan keluarga inti oleh Donghae karena mengingat betapa dekatnya Jisung dan Jeno, belum lagi demi mengenang Jaemin serta Eunhyuk yang tewas malam itu. Maka Donghae menjadikannya keluarga inti dan tidak lagi menjadi pekerja seperti yang lainnya.

"Sudah lama tidak melihat mereka berlarian seperti itu, mereka tidak akan berhenti sampai salah satunya mengalah." Renjun menjelaskan karena kejadian seperti itu sering terjadi sebelum Jisung dan Jaemin masuk dalam kehidupan Lee Jeno.

Jisung menganggukkan kepalanya pertanda bahwa dirinya paham namun ia melirik sedikit kelantai 2 "Tidak akan ada yang mengalah, Donghae Hyung benar-benar terlihat ingin mencekik leher Jeno Hyung.." Ucapnya sambil tertawa, jika dirinya adalah Donghae mungkin ia akan melakukan hal yang sama.

"Sebenarnya kemana kalian pergi kemarin?" Ia memutuskan mengganti topik pembicaraan lawas yang bahkan Jisung tak tahu sama sekali.

"Ke panti asuhan.." Jawab Jisung singkat sambil kembali memainkan game diponselnya, ia tengah keranjingan game tersebut dari teman virtualnya yang dikenalnya dari dunia maya.

"Panti asuhan? Untuk apa?"

"Ah.." Jisung mempause gamenya "Menemui Hyungku.." Lanjutnya dengan senyum lebar di bibirnya, namun Renjun segera menutup bukunya yang masih terbuka walau tidak dibacanya.

"Maksudmu?"

"Jaemin, pria kemarin. Si bodyguard itu, aku dan Jeno Hyung pergi ketempatnya tinggal untuk mengembalikan tasnya yang terbawa oleh Jeno Hyung.."

"Kau menemuinya di panti asuhan? Apa dia tinggal disana?"

Jisung mengangguk dan memutuskan untuk melanjutkan game nya "Kau harus lihat bagaimana cara Jeno Hyung berhadapan dengan sikap dinginnya kemarin." Ucapnya sambil terkekeh ia hampir membicarakan tentang gadis yang sepertinya disukai oleh reinkarnasi Hyungnya itu dan hampir membuat Jeno menggila kemarin malam namun sebuah ketukan di pintu masuk membuat Jisung dan Renjun mau tak mau menoleh kearah pintu yang terbuka.

"Ya?"

"Tuan Na dan Tuan Lee sudah datang.."

Renjun mengerutkan keningnya, siapa mereka? Apa hari ini mansion Lee kedatangan tamu. Namun pertanyaannya terjawab saat Jisung kembali mempause game nya dan berdiri "Suruh mereka masuk akan kupanggilkan Jeno Hyung dan Donghyuk Hyung.."

Benar-benar, ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Melihat Jisung pergi berlarian menaiki tangga untuk memanggil Jeno iapun ikut bangkit berdiri setelah meletakan bukunya di atas meja dan menghampiri pekerja yang menyampaikan kabar tersebut "Dimana mereka?" Pertanyaannya dijawab dengan sebuah tunjukan menuju kearah taman kecil tidak jauh dari pintu masuk mansion.

Netra tajam Renjun menyipit, jadi Tuan Na dan Tuan Lee yang dimaksud adalah bodyguard kemarin. "Akan kutemui mereka." Renjun segera melangkah menghampiri Jaemin dan Mark yang berdiri ditengah taman dengan setelan jas hitam-hitam layaknya bodyguard pada umumnya.

"Aku tak menyangka akan bertemu lagi dengan kalian secepat ini." Sapa Renjun saat menghampiri kedua orang asing tersebut yang membelakangi dirinya.

Mark dan Jaemin berbalik bersamaan kemudian membungkuk sebagai sapaan "Mulai hari ini kami akan bekerja disini, mungkin kau tidak tahu."

"Bekerja?"

"Ya, Jeno-ssi sudah menghubungi atasan kami agar kami berdua dapat bekerja disini. Jeno-ssi berkata bahwa diriku akan menjadi pengawal pribadi Lee Donghyuk-ssi, sedangkan temanku akan..." Mark menahan kalimatnya yang membenarkan ucapan Jaemin sebelumnya diragukan oleh salah satu saudara Jeno tersebut karena Renjun mengangkat tangannya tanda agar Mark berhenti berbicara.

"Kupikir kau sudah menolaknya kemarin?" Pertanyaan tersebut Renjun lontarkan langsung pada Jaemin yang sedari tadi hanya menunjukkan senyum simpul dan bagi dirinya sikap ramah Jaemin sangat berbanding terbalik dengan sikapnya kemarin yang sangat dingin.

"Kuubah pikiranku kemarin malam.."

Jaemin kembali tersenyum simpul lebih tepatnya hanya menarik salah satu sudut bibirnya saat ini "Apa itu menganggumu?"

"Jaemin-ssi??"

Pertanyaan Jaemin pada Renjun tidak terjawab sama sekali karena panggilan Jeno, keduanya menoleh pada Jeno yang tengah melambai dari pintu masuk menuju mansion.

Namun sebuah pukulan telak dari belakang kepalanya membuatnya menoleh horor pada Hyungnya yang tega memukulnya didepan Jaemin "Yak Hyuung!!"

"Akhirnya kupukul juga kepalamu itu, hanya kurang mencekik lehermu saja anak na..." Ucapan Donghae tertahan, nafasnya cukup tercekat karena kelelahan mengejar Jeno dan tentu saja karena apa yang dilihatnya saat ini berdiri tidak jauh dari dirinya dan Jeno tengah tersenyum dan membungkuk pada mereka.

Bukankah itu Park Jaemin?

Donghae dan Jeno duduk berhadapan diruang kerja kepala rumah tangga di mansion Lee ada Jungwoo dan Jisung juga didalam sana, ia tidak akan memarahi Jeno karena memperkerjakan Jaemin secara tiba-tiba namun ia hanya terkejut.

"Bagaimana reaksimu? Reaksi kalian berdua, karena diriku benar-benar terkejut saat ini." Donghae menatap tak percaya pada Jeno dan Jisung yang terlihat biasa saja padahal jantung Lee Donghae hampir turun menuju lambung karena terkejut saat bertatapan dengan pria tersebut.

"Aku hampir pingsan berdiri kemarin saat melihatnya Hyung, hanya saja setelah mengenal Jaemin yang ini dia terlihat sangat berbeda dengan Jaemin Hyungku.."

"Apa itu yang membuatmu biasa aja melihatnya??"

Jisung menganggukkan kepalanya, setidaknya dia tidak segila Jeno yang perkerjaannya hanya memikirkan reinkarnasi Hyungnya itu sejak kemarin "Dia terlihat seperti Hyungku, namun 50%nya dia bukan Hyungku..." lanjutnya lalu melipat kedua tangannya didepan dada, ada yang ingin Jisung lakukan dengan gamenya daripada berada disini mendengarkan Donghae yang tengah terkejut-kejut karena melihat reinkarnasi Jaemin.

Pandangan Donghae teralihkan pada Jeno, ia bisa melihat dengan jelas bahwa Jisung baik-baik saja dengan pria yang sangat mirip dengan Jaemin bahkan bernama sama seperti Jaemin, arrghh kepalanya terasa sakit karena memikirkan 2 orang yang sama tersebut. Dirinya saja pusing apalagi Jeno? "Kau? Bagaimana?"

Jeno menunjukkan senyum simpul miliknya pada Donghae ia bahkan hampir memeluk Jaemin di tengah bandara andai saja Mark tidak tiba-tiba datang membantu Jaemin untuk bangkit berdiri.

"Seperti katamu Hyung, Jaemin kembali."

Twisted


Donghyuk melangkah bersama Mark dan diikuti oleh Jaemin dibelakang mereka, karena Jeno tengah dipanggil oleh Donghae si pemilik Mansion maka mau tak mau Jaemin harus mengelilingi rumah besar ini dan mengenali berbagai ruangan dirumah ini bersama dengan Donghyuk dan Mark.

"Ini taman yang sering kugunakan saat sedang suntuk, jika kau tak menemukanku dimanapun kau pasti menemukanku disini." Hampir setengah dari isi taman adalah bunga matahari yang ditanam sendiri oleh Donghyuk.

"Bunga matahari disini, kau yang menanamnya?"

Donghyuk menganggukkan kepalanya dengan semangat saat Mark kembali bertanya hal-hal yang menyangkut tentang dirinya, sedangkan Jaemin hanya berjalan dalam diam tidak tertarik dengan pembicaraan apapun atau hal apapun yang ada dihadapannya.

Menjadi pengawal pribadi jauh lebih membosankan daripada menjadi bodyguard disaat ada event atau acara penting, lihatlah saat ini ia hanya mengekor dibelakang Donghyuk didalam rumahnya sendiri.

"Apa kau bosan Jaemin-ssi?"

Jaemin menoleh pada Donghyuk yang sepertinya mendapatinya terdiam dan terlihat bosan dengan aktivitasnya, habis mau bagaimana? Berkeliling kebun sama sekali bukan dirinya sama sekali.

"Maaf, aku hanya melamun.."

Walau Jaemin sudah memberikan alasannya namun Donghyuk sangat mengerti kalau pengawal baru Jeno itu bosan, mau bagaimana lagi?  Terakhir kali dirinya memiliki pengawal itu sudah 20 tahun lalu saat mereka semua belum pindah kembali ke Korea, lalu karena kejadian yang terjadi 20 tahun lalu maka dirinya sendiripun memutuskan untuk tidak mencari pengawal dan tidak pergi kemana-mana kecuali pergi berbelanja dengan Renjun.

Hanya taman ini dan tumbuhan-tumbuhan didalamnya yang menjadi temannya selama 20 tahun terakhir, Mark adalah pengawal pertamanya setelah 20 tahun berlalu. Jadi hanya rumah dan taman ini saja yang bisa ia perkenalkan pada kedua orang ini.

"Jangan di ambil hati, Jaemin memang orang yang sangat cepat bosan. Tapi aku menyukai taman bunga mataharimu.."

"Benarkah?"

Anggukan cepat Mark membuat Donghyuk tersenyum sangat lebar, sepertinya ia tidak salah pilih pengawal pribadi. Namun pemandangan dihadapan Jaemin justru membuat kedua matanya berputar malas, ia tidak pernah melihat Mark berlebihan seperti ini. Apa dia tertarik pada 'pria' sekarang?

Sambil mengedarkan pandangannya kesekeliling taman Jaemin memasukkan kedua tangannya kedalam saku, hazelnya beradu tatap dengan seseorang yang sedari tadi ia sadari tengah memperhatikannya.

Entah mengapa Jaemin merasa harus lebih berhati-hati dihadapan Renjun, pria itu tidak mudah percaya pada orang yang baru dikenalnya apalagi diapun menyadari bahwa sikap Jaemin berubah hanya dalam hitungan jam. Sepertinya halangan terbesarnya untuk menyelidik Jeno adalah pria itu.

"Renjun-ah.." panggilan Donghyuk pada Renjun membuat Jaemin mengalihkan atensinya, ia menatap Donghyuk yang terlihat sangat kekanakan pada saudaranya walaupun ia terlihat sudah dewasa. Lihat saja bagaimana caranya melambai-lambai pada Renjun padahal Jaemin yakin mereka bertemu setiap hari didalam rumah.

"Berapa perbedaan umur diantara kalian, kulihat baik dirimu ataupun Jeno-ssi memanggil Renjun-ssi tanpa embel-embel Hyung atau apapun.."

"Oh, akupun tak tahu. Kami hanya merasa perbedaan umur kami tidak terlalu jauh saat Donghae Hyung menampung kami."

"Menampung?" kali ini Mark yang  membeo penasaran, apa maksud dari menampung? Dan satu kata itupun menarik perhatian Jaemin yang tidak pernah menyangka kalau mereka semua yang disebut saudara oleh Jeno di dalam Mansion Lee bukanlah saudara kandung. Apa pada dasarnya Mansion ini seperti panti atau semacamnya?

"Ya Donghae hyung menampung kami, pertama Renjunie, lalu diriku, dan terakhir Jeno..."

"Lalu Jisung-ssi?"

"Ah.. dahulu Jisung adalah pengawal pribadi Jeno, setelah kakaknya meninggal Donghae Hyung dan Jeno mengangkatnya menjadi bagian keluarga Lee."

Mungkin Donghyuk tidak sadar bahwa cerita panjang lebarnya yang jujur itu kini berhasil membuat kening Jaemin dan Mark berkerut seketika, terutama bagian dimana Jisung menjadi seorang pengawal pribadi.

Bahkan jika diperhatikan dengan seksama Jisung terlihat seperti remaja berusia 18 tahun, jika dia saja memanggil Jeno yang berumur 22 tahun dengan sebutan Hyung. Lalu, kapan Jisung menjadi pengawal pribadi Jeno?? Terlalu banyak berpikir membuat kepala Jaemin berdenyut sakit ia butuh sedikit penyegaran.

"Maaf Donghyuk-ssi, dimana aku bisa menemukan dapur? Kurasa diriku membutuhkan minum."

"Dapur? Kau bisa melewati pintu belakang begitu kau masuk dapur akan terlihat di sebelah kiri.."

"Terima kasih Donghyuk-ssi..." Jaemin membungkuk sedikit sebelum beranjak meninggalkan Donghyuk dan Mark yang begitu ditinggalkan oleh Jaemin justru saling terdiam dan tidak bersuara sama sekali.

Keadaan canggung menyerang keduanya dan ini pertama kali dirasakan baik oleh Mark ataupun Donghyuk "A... kau tidak ingin mengambil minum juga?"

"Tidak, aku sedang menemanimu." Sahut Mark, namun sepersekian detik sepertinya ia sadar sudah memakai kalimat tidak baku dengan kalimat yang tidak seharusnya ia lontarkan "Maaf Donghyuk-sii, maksudku tidak, aku tidak haus.."

Donghyuk terkekeh sebentar melihat bagaimana Mark terlihat canggung dihadapannya "Tidak apa-apa, tidak perlu terlalu formal padaku. Umur kita tidak terpaut jauh bukan?" Donghyuk ingat ia menggunakan umur 24 tahun sebagai identitas palsunya ia hanya perlu tahu berapa usia pria dihadapannya.

"Umurku 27 tahun, aku hanya lebih tua 1 tahun dari Jaemin."

"Umurku 24 tahun.." Ada keraguan sebenarnya saat Donghyuk mengucapkan umurnya, ia sendiri sudah tidak bisa menghitung berapa sebenarnya umur miliknya "Sepertinya aku harus memanggilmu Hyung.."

"Hyung?"

Mark tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya, ia terlihat lebih kekanakan daripada Donghyuk yang berumur lebih muda daripadanya "Jika kau tidak keberatan.."

"Tentu saja tidak.. Mark Hyung."

Jaemin membenarkan jas hitam yang dikenakannya sambil melepas earpiece yang digunakan ditelinga kirinya karena jengah mendengar pembicaraan Mark dan Donghyuk, bagaimana Mark bisa sampai lupa mematikan saluran penghubung mereka dan membiarkan Jaemin mendengar pembicaraan keduanya, benar-benar.

Sepertinya temannya itu memang sudah tidak waras dengan mulai menyukai seorang pria.

Kedua kaki jenjangnya hampir berbelok menuju dapur andai saja pembicaraan asisten dapur didalam sana tidak mengusik rasa ingin tahunya dan keinginannya untuk menguping.

"Kejadian lalu tidak akan terulang lagi bukan?"

"Apa yang kau bicarakan? Jaemin tidak membawa kesialan untuk kita."

"Mansion Lee dulu terbakar dan kita menjadi terkena banyak masalah sejak Jaemin muncul, dan sekarang seseorang sepertinya muncul lagi."

"Ssst pelankan suaramu, jika Jisung mendengar ucapan yang keluat dari mulutmu menjelekkan Hyungnya dia akan memisahkan kepala dan lehermu tanpa ragu."

"Jaemin tidak membawa sial, memang kita yang sedang sial, ingatlah dia selalu baik pada kita bukan? Lagipula, menyukai Park Jaemin mungkin satu-satunya kebahagiaan yang Jeno-ssi miliki saat itu." Suara lain menambahkan diantara 2 suara wanita yang sedang berbisik tersebut.

'... Park Jaemin?' Jaemin membatin, siapa Park Jaemin apa hubungannya dengan Jisung? Ia pikir mereka tengah membicarakan dirinya.

"Kau benar... diapun tewas karena menyelamatkan Jeno-ssi bukan?"

'Tewas??' Kening Jaemin semakin berkerut, baru satu hari ia mulai bekerja kepalanya benar-benar berdenyut sakit, mengapa pembicaraan yang keluar dari penghuni Mansion benar-benar tidak dapat dicerna olehnya.

"Tapi aku benar-benar tidak menyangka kalau selain wajah mereka yang serupa bahkan nama merekapun serupa.."

"Na Jaemin Park Jaemin... mungkin mereka reinkarnasi orang yang sama.. sama-sama pria yang dicintai Jeno-ssi..."

'Deg!'

Jaemin melangkah mundur beberapa langkah, keputusannya menguping sepertinya salah. Ia bahkan semakin pusing memikirkan ucapan asisten rumah tangga yang bergosip ria didalam dapur membuat dirinya enggan masuk dan justru malah mencuri dengar hal yang seharusnya tidak ia dengar.

Semakin mencoba mengerti, semakin kepalanya terasa sakit. Jaemin benar-benar tidak mengerti tentang apa yang mereka bicarakan tentang dirinya dan Park Jaemin. Bahkan ucapan Donghyuk tadi tentang Jisung yang sebelumnya adalah pengawal pribadi Jeno pun berputar-putar dalam kepalanya.

Kakinya melangkah kembali keluar namun ia tidak pergi menghampiri Mark ataupun Donghyuk, ia melangkah kearah lain menuju ruang tengah mendudukkan dirinya di sofa dan menyandarkan tubuhnya berusaha untuk melupakan apa yang didengarnya daripada mencernanya.

Jaemin berusaha menutup matanya dan menfokuskan pikiran dan tujuan utamanya bekerja disini, menyelidiki Jeno bukan untuk memikirkan siapa itu Park Jaemin? Semirip apa dirinya dan orang yang disebut tadi? Bagaimana hubungan Park Jaemin dan Lee Jeno...

Namun pertanyaan yang selalu berputar-putar dalam kepalanya sejujurnya bukan rasa penasaran atas siapa itu Jaemin..

Namun...

'Apa dia menunjukkan ketertarikan padaku karena wajahku serupa dengan Park Jaemin?'

Pertanyaan itu berputar-putar dikepalanya bahkan membuat dadanya berdenyut hanya karena memikirkan dirinya dibandingkan dengan seseorang yang tak dikenalnya bahkan seseorang yang sudah tidak ada di muka bumi ini.

Ini kah alasan mengapa Jeno terkejut melihatnya saat dibandara? Inikah alasan mengapa Jeno tidak berhenti menatapnya? Inikah alasan Jeno memperkerjakannya? Apa karena dia terlihat serupa dengan Park Jaemin?

Oh, dada dan kepalanya semakin berdenyut memikirkan hal itu. Tanpa sadar bahkan jemarinya meremas kuat sandaran tangan sofa yang didudukinya saat ini.

Perasaan apa ini?

Marah?

Atau..

"Jaemin-ssi?"

Suara Jeno masuk dalam indera pendengarannya kedua kelopak mata yang sebelumnya tertutup untuk menetralisir pening dikepalanya kembali terbuka, ia menoleh pada Jeno yang memanggilnya.

Ah...

Bukan, dia memanggil nama yang sama dengan seseorang yang pernah ada dikehidupannya dahulu.

Iya bukan?

Memikirkannya saja semakin membuat dadanya berdenyut menahan panas yang kian membara.

"Kau baik-baik saja?"

Melihat Jaemin hanya diam saja justru membuat Jeno khawatir, ia segera menghampiri Jaemin dan berniat untuk menyentuh pundak pria tersebut yang menatapnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan olehnya, namun Jaemin sudah bangkit terlebih dahulu membuat Jeno akhirnya hanya meremas udara kosong.

"Aku baik-baik saja." Jaemin membungkuk sedikit sebelum beranjak dari hadapan Jeno, kali ini ia akan benar-benar pergi kedapur dan menjernihkan pikirannya, perduli setan dengan para asisten dapur yang tengah bergosip ria disana.

Jeno berbalik badan dan menatap punggung Jaemin yang melangkah kian menjauh meninggalkannya, ia bisa merasakan aura tidak bersahabat dan rasa kesal seperti kemarin saat mereka pertama kali berjumpa.

Ada apa lagi dengan Jaemin?

Kenapa sikapnya kembali dingin seperti sebelumnya.

Twisted


Para pekerja staff tengah sibuk menyusun beberapa meja ditengah sebuah ruang auditorium yang cukup besar, hari ini tepat 14 hari setelah kepulangan Lee Jeno, agensi modeling yang sudah mendapatkan kontrak kerja sama selama setahun penuh dengannya tengah mempersiapkan acara fanmeeting pertama Jeno di Seoul.

Tiket online terjual habis hanya dalam waktu kurang dari 5 menit, beberapa bodyguard dan penjagaan ketat dilakukan mengingat insiden kecil yang pernah terjadi di bandara saat itu dan Jeno berkali-kali menekankan ia tak ingin kejadian tersebut terulang lagi, baik terhadap Jaemin ataupun yang lainnya.

Dan kini Jeno tengah menunggu diruang ganti bersama dengan beberapa staff, ia tidak terlalu mudah berbaur dengan staff baru karena dulu saat dirinya berada di Perancis semua yang mengurus apapun yang harus dilakukannya adalah managernya, dan managernya tersebut adalah salah satu pekerja dari Mansion Lee yang sudah hidup mandiri di Prancis selama 60 tahun lebih. Namun saat Jeno harus kembali ke Korea tentu saja managernya tersebut tidak bisa mengikutinya karena dia sudah memiliki keluarga disana, apa yang harus dilakukan olehnya? Tentu saja tak bisa memaksakan kehendaknya sendiri, itu yang di ajarkan Donghae padanya.

Sejak ia tiba kembali ke Korea dirinya sudah tidak memiliki manager yang mengatur jadwalnya sehingga ia memutuskan untuk beristirahat, namun baru seminggu ia tenang dengan kehidupannya sebuah agency model menawarkannya kontrak dan berjanji akan menemukan manager yang cocok untuk bekerja dengan Jeno.

Namun 3 hari lewat setelah penandatanganan kontrak Jeno tetaplah pendiam ia bahkan tidak menyahut saat agensi model mereka mengenalkannya dengan seorang calon manager untuknya, wanita cantik tinggi semampai yang selalu disodorkan kehadapannya.

Menatap wanita itu saja tidak apalagi tahu namanya, mengenali ataupun mengingat wajahnya saja pun tidak. Hanya dalam waktu 3 hari Jeno sudah mendapat gelar 'pria dingin' karena hanya berbicara dengan bodyguard pribadinya saja itupun sesekali. Karena selain Jeno yang dingin pada setiap orang ternyata bodyguardnyapun memiliki sifat sama, keduanya sama-sama dingin dan hemat dalam bersuara.

Entah bagaimana keduanya bisa bekerja sama selama ini, karena selama 14 hari ini seluruh pekerjaan yang Jaemin tangani semuanya sesuai dengan apa yang diminta oleh Jeno, tanpa cacat tanpa ada kekurangan bahkan secuilpun.

Seolah bodyguard itu memang sudah menghapal betul apa yang disukai dan tidak disukai oleh Jeno, padahal Jaemin hanya mendengar tanpa sengaja sesekali asisten rumah tangga di Mansion Lee mengatakan apa yang Jeno sukai dan tidak ia sukai, namun ingatan itu melekat dalam ingatannya.

"Dia suka Americano, sebaiknya kau ganti kopinya." Ujar Jaemin pada asisten yang baru datang dengan segelas cappuccino ditangannya.

Sesungguhnya Jeno tidak pemilih, ia akan memakan dan meminum apapun yang diberikan namun karena Jaemin tahu apa yang disukai dan tidak disukainya maka pria itu yang lebih sering mengkoreksi segala hal yang berhubungan dengan Jeno.

"Jeno-ssi, sebelum acara dimulai bagaimana jika kita membicarakan tentang Soonmi-ssi agar menjadi managermu."

Ini sudah kesekian kalinya ia ditawari manager seorang wanita, apa tidak ada seorang pria di managemen mereka yang bisa menjadi manager sementaranya? Atau setidaknya satu saja nama seorang pria yang terlintas dikepala mereka untuk diucapkan dihadapannya?

"Bagaimana jika kita bicarakan setelah acara saja?" Tolak Jeno dengan halus pada pria yang menjabat sebagai wakil dari pemilik agensi tempatnya bernaung.

Jemarinya sedari tadi sudah menspam Jaemin dengan pesan singkat secara berkala setiap 1 menit sekali, berharap bodyguardnya itu datang untuk menyelamatkannya, setidaknya ajaklah Jeno berbicara atau keluar dari ruangan ini ia sudah lelah dengan pembicaraan 'Bagaimana jika.... ' dan rentetan nama wanitapun terlontar dari mulut pria paruh baya ini.

Lagipula kemana Jaemin? Biasanya pria itu akan selalu berada di sisinya walaupun hanya diam saja tapi kali ini dia menghilang setelah melihat layar ponselnya bahkan tanpa pamit, ini bahkan kali pertama Jeno menghubungi Jaemin.

Entah percaya atau tidak, semenjak 2 minggu mereka bekerja bersama, Jaemin bahkan tidak pernah memberikan nomor ponselnya pada Jeno walaupun sesungguhnya Jeno sudah tahu nomor Jaemin.

Namun selamapun ini Jeno belum pernah menghubungi Jaemin karena tidak ada satu kesempatanpun pria itu terlihat harua di hubungi kecuali hari ini.

"Kenapa kau ada disini? Bukankah kau harusnya bekerja?"

Jaemin menahan kesalnya saat melihat Lami justru ternyata ada diantrian luar fanmeeting Lee Jeno, jika tadi dirinya tidak melihat account sns milik Lami mungkin dia tidak akan tahu keberadaan gadis itu saat ini "Aku meminta cuti, aku tidak bisa melewatkan acara fanmeetingnya begitu saja."

"Kau membeli tiketnya?"

Lami menganggukkan kepalanya dengan senang, tentu saja dia membeli tiket untuk melihat idolanya dari dekat. Padahal jika Jaemin mau dia bisa menyeret Lee Jeno kepanti tempatnya tinggal dan menyodorkannya pada Lami, namun jika itu dilakukannya Jaemin bisa mati cemburu karena melihat adik yang disukainya sejak kecil itu menatap Jeno dengan penuh rasa suka.

Rasanya Jaemin ingin mengambil tiket tersebut lalu merobeknya bahkan kalau perlu didepan wajah tampan Lee Jeno, namun yang bisa ia lakukan hanyalah menghela nafas malas. Masalah Lami yang membolos dan mengambil cuti belum usai tapi getaran dari ponselnyapun tidak kian berhenti sejak tadi.

Siapa orang kurang kerjaan yang menghubunginya terus menerus tanpa jeda??

Ia merogoh saku celananya dan menatap pesan notifikasi yang terdapat dilayar ponselnya, alisnya mengerut tanda bingung sejak kapan dirinya menyimpan nomor ponsel 'Lee Jeno Tampan' diponselnya.

Tangannya reflek mengepal kesal melihat hampir puluhan pesan dari Jeno yang memanggil dan memintanya untuk keruang ganti menolongnya lepas dari tawaran manager-manager cantik dari atasannya.

"Segera pulang jika kau sudah mendapatkan tanda tangannya, ck ada-ada saja kau ini." Jaemin mengacak sayang surai hitam Lami ia lalu menepuk puncak kepala gadis cantik itu sebelum beranjak pergi dari sana, pekerjaan memanggilnya.

Walaupun enggan menyahuti Jeno tapi ia sendiripun tidak tega melihat atasannya tersebut di pojokkan dengan rentetan nama gadis cantik untuk dijadikan manager, apa mereka benar-benar berniat mencarikan manager atau mencarikan pasangan?

Jaemin mengetuk pintu ruang ganti dan masuk, ia berjalan lurus langsung menuju dimana Jeno berada dan tengah mendengarkan ocehan pria paruh baya yang selalu menawarkan manager cantik pada Jeno, ingin rasanya Jaemin berkata...

'Secantik apapun gadis yang kau bawa tidak akan pernah membuat Lee Jeno tertarik'

Mengapa?

Bukankah Jeno hanya mencintai Park Jaemin seorang? Dan... walau enggan mengakui tapi dengan yakin Jaemin bisa mengatakan 'Yang disukainya hanya diriku seorang' namun harga dirinya sebagai Na Jaemin lebih tinggi.

Lagipula apa Park Jaemin dahulu pun tidak sedang kehilangan kewarasan saat tahu Lee Jeno menyukainya?

"Jeno-ssi..."

Panggilan tersebut bagai siraman surgawi bagi Jeno, dia bahkan langsung berdiri sebelum Jaemin mengatakan apa niatnya untuk memanggil Jeno. Tapi setidaknya pria tua itu berhenti berceloteh ria tentang kualifikasi si wanita yang ditawarkan padanya.

"Jaemin-ssi, ayo.."

Kening Jaemin berkerut ia tidak mengerti maksud ajakan Jeno "Bukankah kau bilang ingin makan siang bersama sebelum acara dimulai.. Ayo.." Jeno segera meraih jemari Jaemin mengenggamnya perlahan lalu menariknya "Aku akan kembali sebelum acara dimulai." Iapun segera pergi keluar sambil menyeret Jaemin bersamanya.

"Yak, Lee Jeno-ssi." Jaemin menarik tangannya dari genggaman Jeno saat mereka tengah berjalan di koridor "Acara akan mulai 45 menit lagi, bagaimana kau akan pergi untuk makan lalu kembali lagi?"

Jeno tak habis akal, Jaemin menarik tangannya ia tinggal menarik lagi tangan pria manis tersebut lagi dalam genggamannya "Temani saja aku, tidak akan lama. Aku bisa mati lama-lama berada di dalam sana dengan Tuan Oh."

"Mati saja sana kalau begitu." Jaemin kembali menarik tangannya dari genggaman Jeno dan melangkah menjauhi Jeno walau ia tahu si tampan itu tentu akan mengikutinya dari belakang bahkan kembali menyentuh lengannya kali ini bukan jemarinya lagi seperti sebelumnya.

"Temani aku saja ya, kau hanya perlu duduk disebelahku.... ah di depanku saja." Jeno meralat ucapannya sendiri karena lirikan Jaemin padanya.

Selalu seperti ini, Jeno dan Jaemin terlihat berbanding terbalik 360 derajat daripada Donghyuk dan Mark. Mereka berdua sama sekali tidak terlihat seperti atasan dan bawahan mereka bahkan hampir selalu beradu argument setiap memulai pembicaraan, atau mereka akan saling mendiami satu sama lain jika tidak beradu mulut.

Dan disinilah keduanya berada di kantin belakang auditorium duduk bersebelahan sambil memakan sup jeroan dengan nasi panas. Makanan yang sudah sangat lama tidak Jeno cicipi semenjak pelariannya.

Keduanya makan dalam diam, bagaimanapun perut Jaemin pun merasa lapar karena terlalu banyak hal yang harus diurus olehnya sehingga ia hampir lupa mengisi perutnya sejak pagi. Beruntung sebenarnya Jeno memanggil dan mengajaknya untuk makan siang bersama, walaupun ia sempat menolak tawaran makan namun pria itu tetap saja dipaksa makan oleh Jeno.

"Bisakah kau makan dengan perlahan? Jika riasanmu luntur kau harus masuk lagi keruangan ganti itu dan kau pasti tahu Tuan Oh pasti masih menunggumu didalam sana."

"Tanpa diriaspun diriku sudah tampan.." Sahut Jeno tanpa menoleh ataupun perduli dengan peringatan Jaemin ia sibuk mengisi perutnya sendiri, memasukkan daging kedalam mulutnya. Dan Jaemin hanya merotasikan kedua bola matanya malas mendengar ucapan Jeno sambil terus mengunyah makanannya.

"Jaemin-ssi.."

"Ya?" Jaemin menoleh dan terdiam saat Jeno menyuapinya sepotong daging dengan sumpit yang tengah digunakan Jeno.

"Kau harus makan lebih banyak, pekerjaan hari ini cukup berat.." Jeno kemudian memindahkan beberapa daging ke mangkuk sup milik Jaemin, ia lalu kembali memakan sisa supnya tanpa tahu kini Jaemin tengah menatapnya dengan pandangan bingung, terkadang ia merasa penilaian buruknya pada Jeno berbanding terbalik dengan segala kebaikan yang Jeno tunjukkan padanya sejak mereka pertama kali bertemu.

'Mungkinkah ini yang membuat Park Jaemin itu menyukai Jeno dan rela mengorbankan nyawanya untuk Jeno..'

Untuk sesaat Jaemin tersenyum sambil memakan daging yang diberikan Jeno padanya namun sepersekian detik kemudian ia tersadar bahwa ada yang salah dengan isi kepalanya. Apa baru saja Jaemin mengutarakan perasaan seorang Park Jaemin?

Berusaha melupakan apa yang baru saja terlintas dikepalanya, Jaemin segera menghabiskan nasi dalam mangkuknya dengan cepat sebagai pengalihan, usai makan ia akan meminta Jeno untuk cepat menghabiskan makan siangnya dan kembali ke acara.

"Apa kau sangat lapar? Pelan-pelan saja Jaemin-ssi."

"Bukan urusanmu."

Jeno menghela nafasnya, hampir setiap hari selain senyuman Jaemin sudah dipastikan Jeno akan mendapat kejutekan pria manis itu. Awalnya ia terkejut, karena Jaeminnya dulu tidak pernah bersikap tidak ramah padanya namun seiring berjalannya hari Jeno seperti sudah terbiasa dengan sikap tidak ramah Jaemin masa depan padanya.

"Jika kau masih lapar, kupesankan lagi."

"Tidak... kita harus kembali ke auditorium acaramu akan mulai sebentar lagi." Jaemin meletakkan mangkuknya lalu hampir beranjak berdiri namun Jeno menahan lengannya agar pria manis tersebut kembali duduk disebelahnya.

"Bisakah kau berada di sampingku saat acara berlangsung?"

"Kenapa? Kau takut? Bukankah kau sudah terbiasa melakukan fanmeeting di Perancis?" Jaemin menepis genggaman Jeno kemudian kembali beranjak bangkit berdiri. "Cepatlah, walaupun kau idolnya tapi kau tidak boleh mengulur-ulur waktu."

Jaemin melangkah keluar dari kantin, ia memutuskan untuk menunggu Jeno saja diluar. Mengapa Jeno sangat kekanakan sangat berbeda dengan kejadian lampau, siapa sebenarnya dia? Apa yang membuatnya memiliki 2 sifat berbeda seperti itu? Dirinya masih ingat dengan jelas betapa mengerikannya pria berparas tampan itu 20 tahun lalu dihadapannya.

'Drrttt'

Getaran ponselnya mengalihkan apa yang tengah Jaemin lamunkan, ia menerima panggilan di ponselnya tanpa melihat siapa yang menghubunginya terlebih dahulu "Ya?....." Hening sesaat sebelum air wajah Jaemin berubah kemudian ia segera pergi kembali ke auditorium dan meninggalkan Jeno yang masih berada didalam.

Berbeda dengan Jaemin, Jeno justru menatap kosong meja dihadapannya. Ia bukan takut, dirinya hanya ingin ditemani. Jaemin memang bodyguard pribadinya namun siapapun tahu pria itu terlihat menjaga jaraknya dari Jeno. Jika tidak terlalu penting maka Jaemin tidak akan terlalu dekat dengan Jeno, usai menghela nafas pelan Jenopun membayar makanan yang dimakannya berdua dengan Jaemin.

Begitu ia melangkah keluar kedua netranya tidak menemukan dimana keberadaan Jaemin, apa bodyguardnya itu benar-benar meninggalkannya? Kejam sekali..

Sambil menaikkan penutup hoddienya untuk menutup kepala Jenopun melangkah kembali ke auditorium, ia memutuskan untuk segera keruang fanmeeting berlangsung semakin cepat acara dimulai semakin cepat juga acara tersebut selesai, lagipula daripada kembali keruang rias dan bertemu dengan tuan Oh memulai fanmeeting lebih awal jauh lebih baik.

Jaemin berlarian menuju ruang auditorium ia mendengar dari kejauhan teriakan beberapa gadis yang ketakutan dari dalam sana, yang terlintas dalam benaknya saat ini hanya keadaan Lami, apa adiknya ada didalam atau sudah berlari keluar.

Dia dihubungi oleh salah satu Juniornya yang berkata bahwa ada seorang pria berusia 25 tahun datang dan mulai membuat keributan didalam ruang auditorium, mengacaukan barisan dan yang terparah merusak meja dan peralatan yang sudah tertata rapi diatas panggung mini sebagai tempat diadakannya fanmeet nanti.

"Evakuasi semuanya perlahan." titah Jaemin pada beberapa bodyguard yang tengah berjaga-jaga sedangkan dirinya memasuki ruang auditorium tersebut bersama dengan beberapa sisa bodyguard yang lain.

Begitu masuk ia melihat seorang pria berteriak-teriak memaki Lee Jeno diatas panggung tersebut sambil menyandera seorang gadis dalam dekapan lengan besarnya yang menahan leher gadis tersebut agar tubuh kecil gadis tersebut tidak bisa pergi kemana-mana.

Betapa terkejutnya Jaemin saat melihat siapa yang disandera oleh pria gila itu "Kenapa kalian tidak bilang kalau dia memiliki sandera?!" kakinya bahkan hampir lemas saat tahu Lami berada didalam kungkungan pria bertubuh besar tersebut.

"M-maaf.."

"Mana pria itu! Mana Lee Jeno!! Akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri!!"

Pria tersebut berteriak-teriak dengan emosi bahkan hampir tidak perduli dengan keadaan sanderanya yang hampir kehilangan nafasnya karena lehernya tercekik sangat kuat.

"Tuan, kuharap kau lepaskan sandera dan akan kami pertimbangkan untuk 'mempertemukanmu' dengan Jeno-ssi." tawar Jaemin sambil melangkah mendekat dengan hati-hati, ia bahkan tidak menggunakan senjatanya sama sekali. Pistol dalam sakunya sangat jarang digunakan oleh Jaemin, kemampuan bela dirinya sudah cukup sangat membanggakan baginya.

"Bertemu? Aku ingin membunuhnya!! Gadisku membangkang padaku semenjak mengidolakannya!!"

Rahang Jaemin mengeras mendengar alasan pria ini ingin membunuh Jeno, hanya karena seorang gadis yang membangkang? Apa dia tidak tahu Jaemin sangat ingin mematahkan leher pria itu saat ini karena berani mencekik leher gadis yang disukainya itu.

"Kau ingin membunuhnya? Kau bahkan menyandera seorang gadis untuk melihatnya."

Tersulut karena ucapan Jaemin pria itu justru mendorong Lami menjauh darinya hingga tubuh gadis tersebut menghantam sisi meja dan terjatuh "Lami!" Jaemin segera menghampiri Lami dan berusaha membantu gadis itu untuk duduk.

Pria tersebut mengeluarkan pisau lipat dari balik sakunya kemudian menghujamkan pisau tersebut pada Jaemin dari belakang. Namun bukan bodyguard pekerjaannya jika ia tidak peka pada serangan tersebut. Ia masih sibuk melihat Lami menahan sakit di punggung dan pinggangnya belum lagi terbatuk-batuk karena bekas tercekik tadi.

Tapi dengan mudah tangan Jaemin justru juga menahan serangan pisau itu menggunakan telapak tangan kirinya. Ia mengenggam bagian mata pisau tersebut dengan cengkramannya kemudian bangkit berdiri dan menendang pria tersebut sebelum merebut dan membuang pisau tersebut bertepatan dengan Jeno yang baru saja tiba di dalam auditorium dan melihat kekacauan terjadi.

Pria tersebut bangkit lagi berdiri dan menyerang Jaemin namun setiap serangan tak ada satupun yang mengenai Jaemin, pria tersebut terlalu gesit untuk diserang secara sembarangan oleh penyerang tersebut, usaha yang hanya menghasilkan serangan balasan telak dari Jaemin terhadap pria tersebut.

"Jeno-ssi? Anda jangan berada disini."

Suara salah satu bodyguard mengacaukan konsentrasi Jaemin, untuk apa Jeno berada disini? Pria ini sangat ingin membunuhnya. Namun karena Jaemin teralihkan pria tersebut justru berhasil menarik dan mendorong Jaemin hingga menghantam salah satu tiang panggung yang menahan lampu diatas sana.

"Oppa!!"

"Jaemin-ah!!"

Jeno dengan mudah mendorong beberapa orang yang menahan tubuhnya, ia bahkan menabrak bahu Lami yang berniat sama berlari kearah Jaemin ketika melihat lampu diatas sana akan terjatuh menimpa Jaemin dibawahnya.

Dengan cepat Jeno memeluk Jaemin kedalam dekapannya dan menarik tubuh pria itu untuk berguling menjauh dari lampu tersebut yang seketika hancur saat menghantam lantai panggung. "Kau tak apa-apa?" Jeno segera mengecek tubuh Jaemin namun ia melihat luka robek ditelapak tangan Jaemin.

"Aku tak apa-apa.."

Jaemin menghela nafas lega dirinya selamat walaupun yang menolongnya saat ini adalah.....

'Deg!'

Mata merah itu...

Jaemin melihat kedua mata Jeno berubah menjadi merah ditambah raut khawatir dan marah bercampur diwajahnya, tubuhnya bergetar rasa takut 20 tahun lalu tiba-tiba muncul lagi dalam benaknya kedua mata itu membuat Jaemin ingat bagaimana cara ayahnya tewas di hadapannya.

Jadi, Jeno benar-benar pembunuh ayahnya 20 tahun yang lalu..

Jeno bangkit berdiri ia menoleh pada pria yang menyerangnya tadi, dengan langkah perlahan dan pasti ia menghampiri pria tersebut yang tidak lepas dari menatap kedua pupil matanya yang memerah.

"Kau ingin mati?" satu kalimat singkat dari Jeno yang penuh dengan penekanan membuat pria itu tiba-tiba beringsut terduduk berlutut, bagaimanapun juga kedua mata merah itu terlihat sangat mengintimidasi baginya, bertekuk lutut adalah satu-satunya hal yang terlintas dikepalanya saat mata merah itu terasa menghujam ratusan anak panah ketubuhnya.

"Bawa dia.." perintah Jeno tanpa menoleh pada bodyguard yang lain, ia kembali berpaling pada Jaemin yang masih terduduk disana tanpa tahu ada seseorang yang melihat kedua mata merahnya.

Jeno menyentuh lengan Jaemin, dan menarik pria itu untuk bangkit berdiri membantu Jaemin yang terlihat lemas untuk berjalan bersamanya melewati Lami yang akhirnya mengekor dari belakang.

"Bisa kau katakan pada Lami untuk segera pulang saja, jangan mengikutiku." pinta Jaemin dan dituruti oleh Jeno, beruntung ia sudah bisa menguasai emosinya kembali jadi kedua mata merahnya kembali berubah menjadi onyx coklat yang sangat ramah seperti sebelumnya.

"Lami-ssi, sebaiknya kau pulang. Aku yang akan mengobati Jaemin kau tenang saja."

Mau tak mau Lami menganggukkan kepalanya, walau ia mengerutkan keningnya sendiri bingung. Namun ia menurut dan segera beranjak pulang, sedangkan Jeno membawa Jaemin menuju ruang ganti yang digunakannya tadi, hanya dengan tatapan dan gerakan kepalanya Jeno berhasil membuat semua orang keluar dari dalam sana termasuk Tuan Oh yang masih menunggunya dan tak tahu menahu akan keributan yang baru saja terjadi.

"Duduk disini.." Jeno mendudukan Jaemin disofa yang berada dibagian tengah ruangan tersebut, dan bergegas mencari kotak p3k ia akan melakukan pertolongan pertama sebelum memaksa Jaemin untuk pergi kerumah sakit dengannya.

Dalam sekejap Jeno sudah kembali dengan sebuah kotak dan baskom kecil untuk diletakkan dilantai "Apa yang kau lakukan?"

"Menolongmu tentu saja, apa yang ada diotakmu hingga membiarkan tanganmu terluka?"

Jaemin menutup mulutnya, ia bahkan tidak membalas tatapan Jeno padanya, dirinya masih takut akan melihat mata merah itu di onyx Jeno "Kemarikan tanganmu." Jeno menarik pergelangan tangan Jaemin sambil berdehem, entah bagaimana aroma darah Jaemin benar-benar mengusik instingnya. Darahnya benar-benar beraroma seperti buah plum yang sangat manis.

Demi menghilangkan pikiran aneh yang melintas dikepalanya Jeno menyiramkan alkohol pada telapak tangan Jaemin dan mencengkram erat pergelangan tangan Jaemin agar tidak bergerak, "Argh!"

"Tahan sakitnya.." Ujarnya, dirinya ingin mengumpat kesal. Jaemin lagi-lagi terluka karena dirinya, kemarin fansnya sekarang pembencinya, apa mereka semua berniat untuk mencari mati?

Jeno masih menyiramkan alkohol tersebut hingga merasa luka tersebut sudah bersih. Beruntung baskom yang ia letakkan dilantai menampung air alkohol tersebut sehingga tidak ada darah yang tercecer kemana-mana.

"Maaf.. Tapi jika kau terinfeksi akan lebih berbahaya." perlahan Jeno mengenggam telapak tangan Jaemin yang terluka, tidak erat hanya ingin berbagi rasa sakit dengan pria itu.

Jemarinya bergetar menahan sakit dan perih bersamaan karena luka robeknya disiram alkohol oleh Jeno, rasanya seperti akan mati perlahan.

"Kau akan baik-baik saja setelah ini."

Jaemin menatap tangannya yang sama besarnya dengan jemari Jeno, ia ingat betapa kecil jemarinya 20 tahun lalu saat tanpa sengaja bersentuhan dengan jemari pria tersebut. Bahkan jemari ini tak terlihat berubah sedikitpun.

"Siapa kau sebenarnya.."

"...? Hah?"

Jaemin memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan menatap kedua onyx coklat milik Jeno yang tengah menatapnya bingung, tadi kedua mata itupun menatapnya sama seperti ini hanya saja dengan warna mata yang berbeda.

"Mata merahmu... siapa kau sebenarnya?"

Sejak ia mengenal Jaemin, inilah pertama kali ia mendengar Jaemin berbicara tanpa rasa kaku, tanpa rasa kesal, tidak ada kemarahan disana hanya rasa penasaran seperti yang pernah dilakukan Park Jaemin dikehidupan lampau.

Perlahan kedua mata Jeno kembali berubah menjadi merah, bagaimana warna asli dari mata penghisap darah seharusnya. Kedua mata merah menyala itu menatap Jaemin yang tetap menatapnya seolah-olah mencari sesuatu dibalik tatapannya.

Namun bisa Jeno rasakan getaran dari jemari Jaemin yang berada dalam genggamannya, perlahan Jeno mengeratkan genggamannya pada jemari pria manis itu dan memberanikan dirinya sendiri untuk mendekat pada Jaemin.

Semakin dekat hingga jarak terkikis dan kedua belah bibirnya kini sudah berada diatas bibir ranum Jaemin yang terasa sangat manis dan pas di bibirnya.

Rasa yang sama seperti milik Jaeminnya dahulu, yang membuatnya seperti kembali terlempar ke masa lalu.

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar