* US *
-
-
-
-
-
SAPPHIRE CITY
2044
Keadaan panic attack yang dialami Yuta cukup membuat mereka khawatir, Winwin dan Jaemin memutuskan untuk menemaninya didalam kamar sekaligus Jaemin melakukan terapi dadakan pada Yuta agar pria tersebut jauh lebih tenang.
Awalnya Jungwoo berniat menggunakan kekuatannya agar Yuta melupakan rasa takutnya, namun Jayden menahannya. Ia berkata bahwa jika memorinya akan Kim Taeyeon dihapus mereka tak akan pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Sedangkan mereka memutuskan agar rapat dihentikan sementara, dengan keadaan seperti ini bagaimanapun mereka paham bahwa Youngwoon butuh waktu untuk menenangkan diri dan seseorang yang seharusnya menjadi saksi kunci kini justru terkena serangan panik dengan kenangan masa lalunya.
Dan di lain tempat Jisung yang ditemani Chenle di kamar mereka menerima kotak yang diberikan oleh Yunho, ia tak pernah sekalipun bermimpi kotak yang dimiliki dan pernah diceritakan oleh ayahnya ternyata masih bisa ia lihat bahkan kini ada dalam genggamannya.
"I-ini milik ayahku?"
Yunho menganggukkan kepalanya dan tersenyum "Sudah lama diriku ingin bertatap muka langsung denganmu.. Dan kotak ini ternyata menjadi perantaranya.." Ia bahkan ingin memeluk Jisung, bagaimana cara menyebutnya? Cucu keponakan? Iyakan?
"... Kau?" Jisung menatap Yunho bingung sembari mengambil kotak tersebut dari tangan Yunho, dirinya penasaran siapa pria dihadapannya. Terlihat familiar seperti pernah mengenalnya namun dirinya lupa dimana?
"Paman..."
Pembicaraan Jisung dan Yunho terinterupsi karena kedatangan Jaehyun yang langsung menghampiri adik alias keponakannya. "H-Hyung?" Jisung bahkan sampai terkejut 2x hari ini.
Pertama, ia mendapatkan kotak milik ayahnya dan kini ia melihat Jaehyun muncul dihadapannya dirinya amat sangat merindukan kakak sepupunya ini.
"Hyung? Kau baik-baik saja?"
"Bagaimana caranya kau berada disini?"
Bukan hanya Jisung, bahkan Chenle pun terkejut melihat kedatangan Jaehyun dihadapan mereka. "Terima kasih kau sudah menjaga Jisung dengan baik Chenle-ya.." Pria itu mengacak surai milik Chenle hingga berantakan. "Sepertinya kau bisa bertanya saja pada Jungwoo atau Taeyong, karena diriku tak bisa menjelaskannya.."
"Lalu? Pria ini? Apa kau mengenalnya?" Tanya Jisung dengan wajah polosnya, kedua tangannya sudah memeluk kotak yang diberikan oleh Yunho ada rasa rindu mendalam dalam dirinya pada sosok sang ayah.
"Kau bisa memanggilnya paman seperti diriku. Dia Jung Yunho, kerabat dekat ibumu.."
"Ah? Benarkah?" Jisung segera membungkuk hormat pada Yunho yang hanya dibalas dengan tatapan hangat, dirinya tak pernah sebahagia ini ketika akhirnya ia bisa mengklaim anggota keluarganya sendiri. "Senang bertemu denganmu Paman, dan terima kasih sudah mengantarkan ini padaku.."
"Kau layak untuk memilikinya.."
Jaehyun terpaksa menginterupsi percakapan Yunho dan Jisung yang terlihat tengah saling ingin mengenal satu sama lain, Jaehyun membisikkan sesuatu pada Yunho tentang keadaan Youngwoon yang mungkin saja tengah tertekan saat ini karena rentetan kenyataan yang diterimanya dalam 2 hari terakhir.
"Kita akan lanjut berbincang lagi nanti Jisung-ah, Paman harus mengerjakan sesuatu. Beristirahatlah, kau harus segera pulih.."
Yunho menepuk puncak kepala Jisung yang terlihat hampir melewati tinggi tubuhnya, kemudian mengacak pelan rambutnya, surai Jisung halus dan berwarna kelam seperti milik Jessica dan Jungsoo.
Ia pun tersenyum hangat sebelum beranjak keluar dari kamar milik Jisung dan Chenle yang berbentuk sama seperti kamar lainnya di dalam bangunan bawah tanah ini, mereka seperti tinggal di dalam bunker.
Sepeninggal Yunho, Jaehyun segera melirik kotak dalam pelukan Jisung "Apa itu?"
"Paman Yunho memberikannya, itu milik ayah Jisung." Chenle memberikan jawaban atas pertanyaan Jaehyun yang terlihat penasaran, pria tinggi itu terlalu asik tersenyum sendiri sambil memeluk kotak tersebut dan lupa bagaimana cara menjawab.
"Haruskah kubuka kotak ini dan melihat isinya?"
"Tentu saja... Aku tak mau melihatmu tidur memeluk kotak itu nanti malam." Celetuk Chenle sembari memberikan cengiran khasnya pada Jisung. Ia kemudian melangkah kearah pintu "Akan kuambilkan minuman untuk kalian, duduklah Hyung kau sudah lama bukan tidak bertemu dengan Jisung.."
Chenlepun pamit, dirinya sengaja meninggalkan Jisung dan Jaehyun bersama di kamar karena ia paham bahwa keduanya butuh waktu untuk saling melepas rindu. Sudah berapa lama mereka tak bertemu? Lagipula kotak itu adalah peninggalan ayah Jisung, biarlah hal itu menjadi urusan keluarga bagi keduanya.
"Chenle amat pengertian.." Ujar Jaehyun sembari mendudukkan bokongnya di tepi kasur. Beruntung Jisung mengenal Chenle, anak itu sudah menjadi temannya, selalu bersama Jisung bahkan menolongnya. Dirinya tak pernah berpikir bahwa Chenle akan nekat menggunakan kekuatannya untuk menolong Jisung saat itu.
Jisung berjongkok didepan kasurnya dan meletakkan kotak tersebut diatas kasur, perlahan ia membukanya dan melihat beberapa surat yang terlipat didalamnya ada beberapa lembar foto serta beberapa gantungan kunci berbentuk hewan yang ingin dimiliki Jisung ketika pria itu masih kecil.
Ia mengambil salah satu gantungan kunci berbentuk gorilla dan meremasnya perlahan.
"Appa, lihat! Apa itu Gorilla?"
"Bukan Jisung-ah, itu Orang Utan.." Jungsoo melangkah bersama Jisung yang berada dalam gendongan bahunya anak kecil itu duduk dalam diam di bahu Jungsoo sembari berpegangan erat dengan kepala sang ayah sedangkan sang ibu mengikuti dari belakang.
Jungsoo melangkah menuju kandang lain terlihat sebuah keluarga kecil Gorilla berada disana dengan seekor anak Gorilla yang tengah berjalan kearah kaca pembatas dengan cepat meninggalkan kedua orangtuanya.
"Apa ini Gorilla?"
Perlahan Jessica membantu Jungsoo untuk menurunkan Jisung kecil, anak itu melangkah tak sabar menuju kaca pembatas dan menyentuh kaca tersebut dengan telapak tangan kecilnya sedangkan anak Gorilla tersebut pun ikut menempelkan telapak tangannya di pembatas kaca berhadapan dengan telapak kecil Jisung.
Anak itu tersenyum girang kemudian menatap anak Gorilla tersebut yang tengah menatapnya juga.
"Kajja Jisung-ah. Sudah siang waktunya makan siang.." Jessica mengusak rambut Jisung membuat anak itu tersadar dari pekatnya bola mata sang anak Gorilla.
Iapun melepas sentuhannya pada pembatas kaca dan melambai "Bye Bye Gorilla Aegi.."
Jisung kecil melangkah sembari menggenggam tangan kedua orangtuanya dikanan dan kiri sembari melompat-lompat kecil menyamakan langkahnya dengan mereka.
"Apa besok diriku bisa datang lagi Appa, Eomma?"
"Tentu, selesaikan hafalan abjadmu maka Appa dan Eomma akan membawamu lagi kemari."
Dengan senyum lebar dan penuh semangat ia ingin cepat-cepat pulang menghafal deretan abjad di buku kotak-kotaknya dan bertemu lagi dengan anak Gorilla tersebut esok hari.
Seperti janji sang ayah, Jisung yang dapat menghafal abjad pun diantarkan kembali menuju kebun binatang namun hanya satu kandang yang dihampirinya, kandang Gorilla.
Rutinitas tersebut berlangsung selama 5 tahun lamanya, hampir setiap hari Jisung kecil akan datang kesana dan membayar tiket masuk dengan uang saku yang dikumpulkannya.
Hanya menghabiskan hari dengan duduk bersandar pada pembatas kaca atau berhadapan dengan kandang Gorilla bersama dengan anak Gorilla yang kinipun juga sudah tumbuh besar namun belum segagah sang ayah Gorilla.
"Lihat? Apa gambarku bagus?" Jisung memamerkan gambar pemandangan yang digambarnya di buku gambar, ia sudah kelas 5 SD saat ini. Dirinya terkekeh girang saat Gorilla tersebut menunjukkan jempolnya. Walau ia tahu bahwa gambarnya tak terlalu bagus namun pujian tulus dari Gorilla tersebut benar-benar penghibur bagi dirinya.
"Jisung-ah..."
Kepalanya menoleh kebelakang bersamaan dengan anak gorilla yang tersenyum lebar sembari menggerakkan tangannya melambai pada ibu dari sahabat manusianya ini.
Dan dengan sopan Jessica menundukkan kepalanya membalas sapaan dari gorilla remaja itu sembari tersenyum hangat, ia tak pernah membayangkan bahwa anaknya akan tertarik dengan hewan yang cukup pintar tersebut.
"Sudah sore Jisung-ah ayo pulang."
"Baiklah Eomma.." Jisung membereskan alat tulis dan bukunya kemudian memasukkannya kedalam tas. Ia sudah memakai tasnya dan menatap Gorilla tersebut yang menatapnya selalu dengan tatapan hangat.
"Aku pulang, besok lusa aku akan kemari lagi.." Ujarnya sembari melambaikan tangan, ia melangkah menghampiri sang ibu namun langkahnya terhenti.
"Eomma.."
"Ya?"
Jisung menoleh dan masih melihat sahabat primatanya duduk didekat pembatas kaca. "Bolehkah diriku memberikannya nama?"
Mendengar ucapan sang anak Jessica terkekeh dan mengangguk, Jisung segera berlari kembali menghampiri sahabat primatanya "Mulai hari ini aku akan memberikanmu nama.. Namaku.." Jisung menunjuk dirinya 2x "Jisung, Park Jisung. Dan namamu.." Jisung menunjuk Gorilla tersebut hingga telunjuknya menempel di pembatas kaca, telunjuk itu disambut dengan gerakan Gorilla tersebut yang menunjuk dirinya sendiri.
Jisung tersenyum ".... Ryan... Namamu Ryan.."
Keduanya tersenyum lebar hingga Jessica tak tahan untuk tidak mengabadikan moment berharga tersebut.
Klik.
"Baiklah Jisung-ah, Ryan-ssi. Besok lusa kalian akan bertemu lagi, ayo Jisung-ah.."
Pemuda Park tersebut melangkah menjauh sembari melambaikan tangannya terus menerus sampai kandang Ryan si Gorilla tak lagi terlihat.
Namun...
Hari belum mencapai lusa, Jisung dan keluarganya menonton berita bahwa kebun binatang tempatnya selalu datang terbakar sejak malam dan baru dapat padam pagi hari. Berita mengatakan bahwa seluruh hewan didalam sana tewas terbakar.
Dunia Jisung seakan-akan runtuh seketika, ia kehilangan sahabat pertamanya. Pemuda itu menangis semalaman hingga suhu tubuhnya naik dan deman selama beberapa hari.
Sesekali Jisung masih melewati reruntuhan kebun binatang yang tersisa dari bekas kebakaran, hingga dirinya menginjak sekolah menengah pertama disaat ia kehilangan kedua orangtuanya itulah kali terakhir dirinya menapakkan kakinya di reruntuhan kebun binatang tersebut karena Jaehyun membawanya berpindah-pindah tempat di Neo City.
"Kau tak apa?"
Pertanyaan Jaehyun membuat Jisung meletakkan kembali gantungan kunci gorilla tersebut dan tersenyum kikuk, kenangan yang hampir terlupa itu tiba-tiba saja kembali pada ingatannya. Sahabat pertamanya adalah seekor primata, setelahnya ia berpindah-pindah bersama Jaehyun. Sangat sulit memiliki teman hingga dirinya mengenal Chenle.
"Tak apa Hyung... Hanya teringat akan.." Jemarinya menemukan foto dirinya dan kedua orangtuanya di depan kandang Gorilla, ia melihat foto lainnya dan mendapati potret punggungnya yang tengah memunggungi kamera bersama sahabat primatanya yang menghadap kearahnya tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya yang besar karena senang dirinya memberikan nama untuk Gorilla tersebut.
Namun keningnya perlahan berkerut saat melihat potret tersebut, wajah dan bentuk Gorilla itu...
".... Ryan.."
Jisung segera bangkit berdiri, membuat Jaehyun mendongakkan kepalanya bingung karena reaksi milik Jisung "Ada apa Jisung-ah? Kau menakutiku kau tahu?"
Namun pria tinggi itu tak menjawab, ia melangkah keluar dari kamarnya dan berpapasan dengan Chenle yang datang dengan 3 botol minuman soda didekapannya "Mau kemana kau Jisung-ah?"
"Mark Hyung, dimana dia? Dimana hewan-hewannya?"
Ini kali pertama Chenle melihat bagaimana raut panik Jisung mencari Mark beserta hewan-hewannya. Ia bahkan hanya bisa menunjuk kearah ujung koridor dimana Mark berada sejak pagi bersama ke-3 hewannya yang tersisa.
Tubuhnya segera berbalik dan melangkah cepat kearah yang ditunjuk Chenle, mengundang perhatian Jaehyun yang hanya menatap Jisung berlari menjauh darinya meninggalkan dirinya, Chenle dan kotak kenangannya.
"Ada apa dengannya?"
"Aku tak tahu, Jisung hanya melihat selembar foto kemudian dia langsung beranjak pergi.."
Suara gema dari langkah panjang Park Jisung mengisi kesunyian di koridor, beberapa orang membungkuk menyapanya hingga dirinya tiba di penghujung koridor dengan pintu tertutup. Perlahan Jisung membuka pintu tersebut, terlihat halaman belakang luas dimana Mark tengah berada disana bersama dengan Lolly, Kimi dan.... Ryan.
"... Ryan.."
Gorilla hitam besar itu menoleh ia melihat Jisung berdiri disana menatap kearahnya dengan nafas tersengal-sengal, kini pria itu terlihat melangkah kearahnya dan secara tiba-tiba memeluk tubuh besar Ryan dengan erat dan mengundang tanda tanya di dalam kepala Ryan bahkan Mark.
Mereka tentu masih ingat bagaimana Jisung berteriak saat pertama kalo bertemu Ryan, walau selama berada disirkus keduanya mulai berinteraksi, namun siapa yang mengira bahwa Jisung akan sangat merindukan Ryan hingga seperti ini?
"Kami menemukannya di sirkus terdahulu, sebelum Ten mengambil alih sirkus. Kata pemilik sirkus ia menemukan Ryan hampir tewas karena terlalu banyak menghirup racun dari asap kebakaran saat kebun binatang terbakar." Mark melipat kedua tangannya di depan dada kemudian menoleh pada Jisung yang sedari tadi menatap Ryan bersama dengan Lolly dan Kimi.
"Dulu dirinya bernama Panko, sirkus lama yang memberikannya nama seperti itu. Namun saat diriku mengenalnya dia memintaku memanggilnya Ryan, alasannya, hanya nama itu yang ia ingat dari masa lalunya. Kebakaran besar tersebut sepertinya membuat Ryan trauma dan melupakan banyak hal kecuali nama tersebut."
"Kau yang memberikannya nama itu?"
"Ya.. Sudah sangat lama tapi dia masih mengingatnya itu sudah cukup. Diriku bahkan tak pernah bermimpi untuk dapat bertemu dengannya lagi.."
Mark tertawa pelan "Mungkin itu alasannya mengapa Ryan sangat penasaran denganmu dan selalu ingin berada didekatmu." Ia menepuk pundak Jisung "Bagaimana jika mulai saat ini setelah kau usai berlatih datanglah kemari, bantu aku bermain dengan mereka."
"Tak masalah, sepertinya Ryan butuh waktu untuk mengenalku lagi.."
⇨ Us ⇦
Youngwoon berdiri diatas rooftop, netranya memandang sekeliling kota, hari sudah menjelang siang ia bisa melihat asap hitam dari pusat kota yang terdapat cukup banyak pabrik. Keadaan dikota ini benar-benar tak sebaik di kota tempatnya tinggal.
Drrrtttt
Ia meraih ponselnya dan melihat siapa nama penelpon yang tertera di layar ponselnya. Youngwoon menarik nafas berat sebelum menghembuskannya perlahan, ia mencoba untuk menenangkan hatinya sendiri sebelum menerima panggilan tersebut.
".... Ya?"
"Kapan kau akan pulang? Aku akan memasakkan makanan kesukaanmu Oppa.."
Terdengar suara minyak yang tengah menggoreng sesuatu dari seberang sana, mengapa tak hanya sisi ini yang diperlihatkan sang istri padanya? Mengapa harus ada sisi lain? Ia bahkan masih sulit mempercayai setiap kenyataan yang diterima secara bertubi-tubi.
"Aku akan pulang nanti sore.. Berhati-hatilah dalam memasak Taeyeon-ah.."
"Apa kau ingin dibuatkan yang lain?"
Tubuh Youngwoon merosot hingga berjongkok, wanita itu benar-benar lembut padanya, dadanya benar-benar sesak. Ia bahkan hampir menangis karena hal sekeji ini menimpa keluarga kecilnya.
"...Temani diriku makan nanti.."
"Baik Oppa.."
Panggilan terputus, Youngwoon menunduk dan memeluk lututnya. Tangannya meremas dengan kuat ponsel yang masih berada dalam genggamannya sangat sesak rasanya didalam dada, ia bahkan merasa hampir mati karena sesak saat ini.
"Aarrghh!!!"
Pria kuat dan tegas itu meruntuhkan pertahanannya selama ini, ia bahkan menjerit dan menangis amat sangat kuat saat ini, tak perduli lagi jika ada yang memergoki dirinya menangis seorang diri diatas atap. Karena pada kenyataannya memang Yunho tengah berdiri dalam diam diambang pintu menuju rooftop, pria itu hanya bisa diam menatap punggung Youngwoon yang bergetar karena menangis dengan kuat disana.
Bahkan saat Jungsoo tewas dalam kecelakaanpun Youngwoon tak pernah menangis hingga terdengar amat sangat memilukan seperti sekarang, ini adalah kali pertama Yunho melihat Youngwoo menangis sampai seperti itu.
1 jam Yunho hanya berdiri didekat pintu menunggu Youngwoon berhenti menangis dan menenangkan diri, ia perlahan bergerak menghampiri pria itu dan berdiri disisi kanannya kemudian menunduk dan menatap sang Hyung. "Kau baik-baik saja Hyung?"
"....Hm.." Pria gagah itu kembali berdiri, sesekali ia masih membersihkan sela kelopak matanya yang terasa basah karena airmata. "Ada apa?"
"Jaehyun mengkhawatirkan keadaanmu, dia memintaku melihat keadaanmu."
"Aku sudah lebih baik. Seharusnya rapat tadi tak perlu dihentikan hanya karena diriku membawa perasaan disini."
Walau Youngwoon mengatakan dirinya merasa tak enak akan sikapnya yang menghentikan rapat secara tiba-tiba namun Yunho paham mengapa hal tersebut terjadi. Dirinya yang seorang freak pun akan terpuruk jika masalah yang terjadi semuanya berawal dari satu-satunya orang yang sudah hidup puluhan tahun bersama dengannya.
"Yang kau rasakan adalah hal yang manusiawi Hyung, diriku paham akan hal tersebut, tak perlu merasa bersalah."
Yunho menepuk bahu Youngwoon "Kau sudah bertemu dengan Jisung? Dia benar-benar terlihat seperti Jungsoo Hyung dan Jessica."
"...Ah.." Youngwoon kembali menunduk "Aku sempat melihatnya saat mendatangi sirkus dengan Johnny, dia tengah terluka saat itu. Diriku belum melihatnya lagi, mungkin aku akan menyapanya nanti." Ada rasa tak enak untuk menyapa anak itu, entah bagaimana walau belum pasti namun ia sedikit merasa yakin bahwa kecelakaan yang terjadi pada kedua orangtua Jisung mungkin saja ulah istrinya juga.
"Kau.. Tak perlu memikirkan masa lalu Hyung, apa yang perlu kau pikirkan adalah masa kini. Jisung butuh sosok dewasa untuk menjadi sandarannya, kau, diriku, Jaehyun. Dia membutuhkannya."
Pria tan itu meremas bahu Youngwoon yang masih disentuh olehnya, baru saja sebuah pesan singkat masuk keponselnya dan itu berasal dari Johnny "Kurasa kau harus kembali memakai topeng kuatmu lagi Hyung.." Ucapannya mengundang perhatian Youngwoon.
".... Anakmu Kim Doyoung, Johnny membawanya kemari. Dia dalam keadaan tidak baik."
Aiden dan Johnny mendudukkan Doyoung di ruangan yang terlihat seperti kantor, kedua tangannya terpaksa diikat agar pria itu tidak memukulkan kepalanya lagi dengan kepalan tangannya atau benda apapun yang dapat dijangkaunya.
"Apa yang terjadi dengannya?"
Suara Jungwoo masuk ketelinga Aiden dan tentu saja itu membuat kedua matanya melotot tak percaya, bagaimana? "J-Jungwoo? Ba-.."
Sebelum Aiden menyelesaikan pertanyaannya Jungwoo sudah mengangkat tangannya berusaha untuk menginterupsi, karena ia sudah tahu kemana arah pertanyaan Aiden dan dirinya tak dapat menjelaskannya. Jungwoo melirik pada Lucas yang masuk kedalam ruangan bersama dengannya dan pria tan itu segera paham apa maksud dari lirikan prianya tersebut, ia menarik Aiden menyingkir dari ruangan itu untuk menjelaskan apa yang terjadi diluar ruangan, meninggalkan Jungwoo bersama dengan Johnny dan Taeil yang baru saja masuk kedalam ruangan tersebut.
Ia melihat seorang pria dengan kepala tertutup kain hitam duduk di atas sofa dengan gelisah berusaha melepas kain penutupnya dan berteriak-teriak dibalik kain hitam tersebut.
"Kurasa Hyungmu ini.. Bagaimana aku mengatakannya.."
Jungwoo segera membuka penutup kepala Doyoung dan terkejut melihat keadaan pria tersebut, matanya merah karena terus menangis, suaranya bahkan sudah terasa hampir hilang karena terus berteriak karena kesal. Dirinyapun tak paham mengapa Doyoung sampai seperti ini, hanya Jaemin yang paham namun pria itu sibuk dengan keadaan Yuta yang sepertinya tak jauh berbeda dengan keadaannya.
"Bagaimana bisa dia jadi seperti ini?"
Tubuh Jungwoo tertarik ia menoleh saat melihat Doyoung kini meraih tangannya dan meremasnya dengan kuat "Jungwoo-ya.. Apa kau datang menjemputku? Aku ingin mati, cepat bawa diriku, rasanya diriku sangat ingin mati.." Jerit Doyoung sembari berteriak-teriak tak karuan menarik-narik lengan Jungwoo agar segera membawanya untuk mati saja.
Namun Jungwoo menepis cengkraman Doyoung padanya "Apa kau sudah gila Hyung, sadarlah!!" Ia menangkup wajah Doyoung agar menatapnya baik-baik dan sadar bahwa dirinya masih hidup saat ini.
".... Eomma.." Ucapnya dengan nada putus asa "... Eommaaaa!! Mengapa kau membuatku mengatakan apa yang tengah Jungwoo kerjakan?" Doyoung justru kembali melantur, wajahnya terlihat penuh dengan penyesalan "...jika saat itu diriku tak menjawab pertanyaanmu mungkin saat ini... Jungwoo adikku masih hidup.."
"..Hyung?!!!" Jungwoo masih berusaha memanggil Doyoung agar sadar.
"...aku yakin Jungwoo-ya, ada yang mendengar percakapanku dengan Eomma.. Eomma tak akan berbuat jahat padamu, tidak.. Tidak padamu, tidak pada Himchan Hyung.. Tidak padaku, percaya padakuuu.." Doyoung bahkan menangis mengucapkan kalimat tersebut, seolah-olah dirinya sadar bahwa ucapan yang keluar dari mulutnya sangat berbeda dengan kenyataan yang ada, dan Doyoung masih terus menyangkal mungkin dirinya akan terus menyangkal sampai ia benar-benar gila akan segala hal.
Jungwoo menoleh pada Johnny, ".. Aku harus menghapus ingatannya, jika tidak dia akan benar-benar gila."
Taeil yang sedari tadi berada didalam ruangan tersebut hanya bisa berdiri dalam diam dan tak tahu apa yang harus dilakukannya, dalam 1 hari ia harus melihat 2 orang mengalami hal seperti itu hanya karena 1 orang yang sama.
Ia sempat tidak menyukai Doyoung sejak tahu bahwa Himchan disekap oleh pria itu, namun sekarang? Ia yakin ada alasan dibalik itu semua, dan ia akan mencari tahunya, Taeil akan membaca ulang berkas penyelidikan tentang Kim Taeyeon.
Kakinya segera melangkah berbalik untuk melangkah keluar dari ruangan, namun ternyata Youngwoon dan Yunho sudah berada disana dan mendengar apa yang terjadi didalam sana.
"... Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, anakmu jelas-jelas tengah mengalami depresi yang cukup berat saat ini. Dan itu semua karena Kim Taeyeon, percayalah padaku, semua yang dilakukannya tak mungkin atas hasil keinginannya sendiri." Taeil mengutarakan pendapatnya tanpa diminta, iapun menundukkan kepalanya sebentar sebelum beranjak dari sana.
"... Hyung, kau dengar yang Taeil dan Jungwoo katakan bukan?"
Youngwoon diam ia kembali menghela nafasnya perlahan "Jangan lakukan apapun.. Berikan diriku satu kesempatan sebelum kalian menghapus seluruh ingatannya."
"Apa yang kau rencanakan?"
Tetapi pria itu tak menjawab dan hanya beranjak pergi begitu saja ia melihat jam yang melingkar di tangan kanannya. Yunho mencoba untuk mengejar dan menahan Youngwoon, ia harus tahu apa yang dipikirkan dan direncanakan oleh pria itu saat ini.
Sekilas, hanya sekilas, Yunho bisa melihat bahwa Youngwoon masih sangat ingin rumah tangganya yang kacau balau ini dapat diperbaiki, namun tidak sekarang. Semuanya sudah terlambat, wanita itu tidak lagi dapat diberi kesempatan apapun.
"Hyung?!!" Ia berteriak dan berlari mengejar Youngwoon yang sudah melaju dengan mobilnya keluar dari fasilitas rahasia milik mereka.
⇨ Us ⇦
Taeyeon baru saja usai merapikan meja makan, setiap dirinya memasak untuk kepala rumah tangga dimansiom Kim maka tak ada satupun asisten rumah tangga yang akan membantunya. Wanita itu akan mengerjakannya sendiri, terlebih ia senang saat melihat betapa suaminya selalu memuji dan menyukai masakannya.
"Tuan besar.."
Suara sapaan dari ruang tengah membuat Taeyeon melihat jam yang tergantung di ruang makan, sudah menunjukkan pukul 5 sore, Youngwoon kembali sesuai dengan janjinya. Wanita itu segera melepas apron merah yang digunakannya dan berlari kedapur untuk mengambil satu menu makanan terakhir.
Youngwoon dan Taeyeon tiba di meja makan bersamaan, hanya mereka berdua tak ada kedua anak mereka dan tak ada para maid disana, keduanya saling melempar pandangan.
Wanita itu tersenyum sembari meletakkan menu terakhir sedangkan Youngwoon susah payah menahan denyut kuat di dadanya saat ini dan membalas senyum manis dari istrinya tersebut.
"Duduk Oppa.."
Seolah paham, keduanya sama sekali tak berniat untuk membahas keberadaan kedua anak mereka yang tak berada dirumah saat ini. Bahkan Jaehyunpun tak berada dirumah sejak kemarin malam entah kemana anak itu pikir Taeyeon.
Sang kepala rumah tangga duduk dibangku tengah, dimana dirinya biasa duduk disana sedangkan sang ibu rumah tangga berada di sisi kirinya.
Acara makanpun dimulai dalam diam, mereka hanya berdua dimeja makan dengan jumlah lauk yang cukup banyak. Youngwoon menunduk setiap ia usai menyuapkan sesendok makanan kedalam mulutnya, rasanya airmatanya sudah kembali menggenang saat ini.
Ia merindukan masa-masa dimana mereka ber-4 duduk sebagai keluarga, bukan sebagai musuh dalam selimut seperti ini.
Sendokan terakhir hampir masuk kedalam mulutnya, namun Youngwoon menatap istrinya tersebut "Taeyeon-ah.."
"...Ya?"
Pria itu meletakkan tangannya yang terbuka lebar diatas meja makan, telapak tangan besarnya menunggu jemari Taeyeon untuk masuk dalam genggamannya, dan wanita itu paham. Jemari kecil dan lentiknya kini berada dalam genggaman hangat jemari besar Youngwoon.
".... Hentikan.. Bagaimana jika kita berhenti dan memulainya lagi dari awal?"
Sepersekian detik Taeyeon terdiam, jujur dirinya terkejut akan ucapan suaminya itu.
".. Jadilah ibu bagi anak-anakku dan istri yang manis untukku.. Kumohon padamu Taeyeon-ah.."
Wanita itu menunduk, ia menganggukkan kepalanya namun perlahan jemarinya ia tarik keluar secara paksa dari genggaman Youngwoon. Perlahan Taeyeon mengangkat kepalanya dengan tawa kecil dari bibirnya dan semakin lama semakin kencang.
"Apa kau bilang? Istri yang manis?"
Youngwoon akhirnya hanya meremas udara kosong begitu jemari kecil itu menghilang dari dalam genggaman eratnya.
"Bukankah diriku selalu menjadi istri yang manis untukmu? Apa itu tak cukup selama ini? Apa kau baru saja mengatakan bahwa selama ini dirimu tak pernah melihatku, Oppa?"
Taeyeon bangkit dari duduknya dan memukul meja dihadapannya hingga suara piring berdentang dengan kuat "... Apa setelah diriku menyingkirkan Park Jungsoo dirimupun masih belum bisa melupakannya? Apa diriku harus menyingkirkan Park Jisung juga agar kau tak dapat melihat bayang-bayang pria itu didalamnya?! Eoh!!"
Benar..
Apa yang dipikirkan dan ditakutkannya jadi kenyataan, wanita ini benar-benar menjadi orang yang bertanggung jawab atas kematian orangtua Jisung "... Oleh karena itu, hentikan." Youngwoon tak bisa melampiaskan amarahnya, karena apa yang diucapkan wanita itu benar adanya.
Selamanya, ia tidak akan pernah bisa melupakan Jungsoo begitu saja, namun itu bukan berarti dirinya tak pernah memandang Taeyeon didalam matanya. "Kedua anak kita membutuhkanmu Taeyeon-ah, kumohon padamu."
Taeyeon meraih pisau yang tersusun sebagai alat makan diatas meja ia mengarahkannya pada Youngwoon tepat ke matanya, namun tak sedikitpun pria itu bergeming untuk menghindar ataupun menahan serangannya, dia justru tetap menatap Taeyeon dengan tatapan memohonnya.
Beruntung reflek seorang Kim Taeyeon dapat dipuji, ia menghentikan pisaunya tepat sebelum ujung mata pisaunya menyentuh kornea milik Youngwoon. Wanita itu mengalihkan tatapannya dan membuang pisaunya, hidup cukup lama bersama keluarga Nakamoto cukup untuk membuatnya mahir dalam menggunakan pedang ataupun pisau.
Namun tetap saja ia tidak dapat melukai Youngwoon dengan tangannya sendiri. "Pergilah sebelum diriku berubah pikiran. Terima kasih untuk menemaniku makan hari ini Oppa.."
Youngwoon bergerak untuk berdiri, ia mendekati Taeyeon yang membelakanginya tangannya terangkat untuk menepuk puncak kepala wanita itu sebelum melangkah keluar dari ruang makan dan terus menjauh hingga keluar dari mansion Kim.
Perlahan..
Keduanya terduduk dan menangis, sang pria menangisi keadaan dan kenyataan dan sang wanita menangisi takdirnya yang tak bisa lagi melangkah mundur, sudah cukup baginya selama ini menjadi orang yang tak terlihat.
Tungkai Youngwoon membawanya untuk masuk kedalam mobilnya, ia menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk menetralkan emosinya. Jemarinya meraih ponsel miliknya yang ditinggalkannya dengan sengaja di mobil, Youngwoon menghidupkan ponselnya dan menghubungi Yunho sembari menghidupkan mesin mobilnya.
"Hyung?! Dimana kau? Apa yang kau lakukan? Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?"
"Hapus.."
"Eoh? Apa yang kau maksud?"
Pria itu menjalankan mobilnya perlahan dan keluar dari pelataran mansion Kim yang bukan menjadi kediamannya lagi mulai kini "Hapus ingatan Doyoung, aku tak ingin anakku menjadi gila."
Yunho yang berada disana tepat didepan kamar Doyoung kini terkejut, ia tahu memang itu satu-satunya cara. Namun menghapus ingatannya? Seluruh ingatannya? Bukankah hanya akan membuat Doyoung melupakan ayahnya?
"Kau yakin Hyung? Doyoung mungkin akan melupakanmu..."
Kim Youngwoon sekali lagi menatap pantulan mansion Kim dari kaca spion didalam mobilnya, kini wanita didalam sana bukan lagi istri manisnya, keluarga kecilnya sudah hancur sejak awal.
"Tak apa.. Bukan keluarga seperti ini yang harus diingat olehnya.. Jadi, hapus ingatannya Yunho-ya.. Aku akan sampai 2 jam lagi disana, kuharap dia sudah tak mengingatku lagi...
"... Sebagai ayahnya.."
⇨ To Be Continued ⇦
Tidak ada komentar:
Posting Komentar