* US *
-
-
-
-
-
NEO CITY
2044
Jaehyun memarkirkan motornya diparkiran gedung apartemen Lucas, ia melihat mobil Youngwoon masih berada disana. Tadi pria itu sudah mengabarinya agar menjemput Taeyong dan sisanya diapartemen Lucas untuk dibawa ke tempat rahasia mereka karena sirkus sudah diserang.
Dirinya melangkah mencari nomor kamar yang diberikan Youngwoon padanya lewat pesan chat, begitu ditemukan Jaehyun segera menekan bel dan tak lama Taeyong membukakan pintu dengan dahi berkerut.
Pria itu cukup terkejut melihat Jaehyun berada disini berhadapan dengannya seolah bertanya-tanya mengapa dia tahu mereka berada disini?
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Menjemputmu dan yang lainnya, paman Kim memintaku untuk membawa kalian ketempat yang aman.."
"Apa maksudmu ketempat yang aman?"
"Yang dikatakan Jaehyun benar.." Jungwoo menyela, ia baru saja memutuskan sambungan telepon dengan Lucas "Appa meminta Jaehyun menjemput kita."
Taeyong menatap Jungwoo kemudian ia menatap Jaehyun "Kau.. apa kau juga tahu yang sebenarnya tentang Jung Yunho?"
Diam, Jaehyun tak tahu harus mengatakan apa sebagai jawaban yang tepat pada Taeyong, namun ia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban akhir. Dirinya ingin mengucapkan permintaan maaf atas kebohongan yang dilakukannya namun Taeyong sudah mengangkat tangannya agar Jaehyun diam saja.
"Aku tak membutuhkan penjelasan apapun darimu." ia beranjak masuk dan mendekati Himchan yang sudah sadar dan tengah meminum air hangat yang diberikan Jongup.
"Appa meminta kita pergi dengan Jaehyun ketempat yang lebih aman..."
Himchan mengalihkan tatapannya pada Taeyong dan Jaehyun ia mengalihkan tatapannya pada Jongup "Kita semua bukan? Jika ya maka aku akan ikut.."
"Tentu saja kalian semua.. Tak mungkin kutinggalkan kalian disini." ujar Jaehyun, ia memastikan bahwa jumlah manusia dihadapannya dan mobil yang digunakannya cukup untuk menampung mereka semua.
"Untuk sementara sepertinya kita semua tak dapat berada disini, apalagi berada terlalu dekat dengan ibumu."
Ada denyut sakit didada Himchan saat mendengar ucapan Jaehyun yang seolah-olah menggambarkan betapa ibunya sangat menyeramkan dan harus di hindari, tapi memang begitulah keadaannya saat ini.
"Kubantu Hyung.." Jongup membantu Himchan untuk berdiri sedangkan Taeil sudah menyiapkan barang-barang pentingnya dalam tas, ia memiliki hasil penyelidikan atas Kim Taeyeon dan juga Jongup sudah berhasil meretas data dari tempatnya bekerja jadi ia harus bekerja ekstra malam ini juga.
"Kuharap disana ada tempat yang aman untukku menggunakan koneksi internet."
"Tentu, tempat itu sangat aman.."
Mereka segera beranjak keluar dari apartemen Lucas setelah Jaehyun meraih kunci mobil milik Youngwoon yang berada dimeja ruang tamu. Ia akan meninggalkan motornya disini, atau menghancurkan motornya saja.
Namun ia memutuskan untuk meninggalkan motornya saja daripada menghancurkan hasil jerih payahnya selama ini. Sepanjang perjalanan Himchan dan Jongup duduk dibagian paling belakang mobil, ia bersandar pada bahu Jongup walau ia sudah disembuhkan namun dirinya masih sedikit lemas, mungkin bukan fisiknya yang menderita saat ini namun batinnya.
Sedangkan Taeil ia tengah sibuk menyalin data yang didapatkan Jongup kedalam laptop pribadinya, dan Jungwoo menatap sekeliling selama perjalanan, hamparan jalan terasa gelap dan tak bersahabat. Mereka sibuk dengan kegiatan dan pikiran masing-masing di kursi tengah.
Dan Jaehyun sesekali menoleh pada Taeyong yang hanya diam saja sedari tadi disisinya, mungkin pria itu kecewa karena begitu banyak kebohongan dihadapannya. Bahkan yang benarpun turut berbohong demi kebaikan.
Entah mengapa saat ini menatap Taeyong dari samping membuatnya teringat kapan kali pertama dirinya bertemu dengan Taeyong, benar-benar kali pertama ia menatap pria itu dari samping namun dengan raut wajah yang berbeda dengan saat ini.
"Paman, apa kita akan mampir lama? Bukankah kau berjanji untuk membelikanku mainan?"
Yunho menggaruk keningnya "Aku berjanji tak akan lama, percayalah. Kau bisa berkeliling sambil menunggu paman." Ucap Yunho, dan si kecil Jaehyun pun menurut.
Anak itu melangkah menyusuri koridor dari gedung yang tadi ia baca bernama 'House of Heaven' dirinya tak paham apa maksud dari kalimat itu dijadikan sebuah nama panti, namun nanti Jaehyun akan bertanya pada pamannya makna dari nama tersebut.
Sepanjang kedua tungkainya melangkah netranya menatap keluar jendela hingga langkahnya terhenti ketika ia mendapati seorang anak lelaki berkulit putih dengan helaian silver sebagai mahkotanya tertiup angin ditengah lapangan rumput tengah berlatih menggunakan sebuah tongkat.
"Taeyong-ah!!"
"Eo??"
"Berhentilah bermain dengan tongkat itu temani aku mencari Lay Hyung.."
Anak bernama Taeyong itu tersenyum lebar dan meninggalkan tongkatnya kemudian berlari menghampiri anak lelaki bersurai hitam yang dikenalnya dengan nama Ten dikemudian hari nanti.
Keduanya masuk kedalam gedung melewati koridor yang sama dengan Jaehyun berada dari arah berlawanan, namun hanya Jaehyun yang menatap Taeyong saat anak lelaki itu melewatinya tanpa menyadari kehadirannya karena anak itu tengah sibuk menjabarkan hal yang ingin dilakukannya saat bertemu dengan pria bernama Lay nanti.
"Jaehyun-ah.."
Netranya yang tengah menatap punggung Taeyong teralihkan saat suara sang Paman masuk ketelinganya, ia menatap Yunho tengah berlari menghampirinya "Ayo, urusanku sudah selesai.."
"... O.. Ya Paman, ayo.."
Saat jemarinya diraih oleh Yunho untuk beranjak pergi Jaehyun sempat menoleh sekali kebelakang untuk menatap punggung Taeyong sekali lagi sebelum dirinya beranjak pergi dari panti tersebut.
"Paman.."
"..hm?"
Jaehyun masih menatap keluar jendela melihat gedung panti tersebut yang makin menjauh "Mengapa panti itu dinamakan House of Heaven?"
"Kau tentu tahu apa arti House dan Heaven bukan?" Yunho terkekeh saat melihat keponakannya tersebut menganggukkan kepalanya.
"Paman Siwon ingin memberikan rumah yang membuat mereka bahagia dan melupakan segala kesedihannya mereka yang tak memiliki keluarga ataupun mereka yang dibenci dunia.."
Saat itu Jaehyun tak paham dengan ucapan Yunho, namun kepalanya mengangguk tanda dirinya paham berpura-pura paham sebenarnya dan Yunho kembali terkekeh sambil mengacak surai Jaehyun "Nanti kau akan memahaminya Jaehyun-ah.."
Belasan tahun terlewati, ia tak pernah sekalipun lagi mendatangi House of Heaven karena dirinya diharuskan untuk bersekolah keluar negeri, namun ia kembali 10 tahun lalu tepat saat kakak dan kakak iparnya mengalami kecelakaan.
Ia melewati hari hanya berdua dengan Jisung karena dirinya tak bisa hidup terang-terangan bersama dengan paman yang harus pura-pura ia benci. Hingga, dirinya dipertemukan lagi dengan Taeyong di arena balap.
Jaehyun hampir tak bisa menyembunyikan raut terkejut diwajahnya saat melihat Taeyong melepas helm yang dikenakannya dan menurunkan masker yang menutupi setengah wajahnya. Surai peraknya tertiup oleh angin malam, dan kedua tangannya terangkat diantara kepalanya.
Ia mengenali pria itu dengan jelas... Taeyong yang ia lihat saat dirinya masih kecil, kini sudah dewasa dan berada dihadapannya.
"Lalu kau sengaja jatuh hanya untuk mengetes diriku ingin bertanding atau tidak?"
Bahkan suaranya berhasil membuat Jaehyun hampir tersedak dengan nafasnya sendiri. Sejak itulah, Jaehyun memutuskan untuk berada di Mansion Kim mengikuti kemauan Taeyong sembari menjaga pria itu.
"Sapphire City?"
Suara Taeyong mengalihkan Jaehyun mengembalikannya dari memori masa lampau, ia menatap papan perbatasan kota antara Neo City dan Sapphire City yang baru saja dilewati oleh mobil yang tengah ia kendarai, itu tandanya mereka akan tiba sebentar lagi.
Sapphire City adalah kota yang jauh berbeda dengan Neo City dikota ini terdapat begitu banyak kejahatan bahkan perampok atau pencuri kecil dapat melakukan kejahatan apapun di jalan semau mereka seolah mereka kebal hukum dan tak takut akan hukum, keluar masuk penjara adalah sebuah kebiasaan lumrah bagi para penghuni jalanan dikota tersebut.
Bahkan hampir setiap hari dan setiap malam bunyi sirene mobil polisi akan terdengar sepanjang malam jika terjadi aksi kejar-kejaran antara perampok dengan aparat kepolisian.
Namun disanalah sisi untungnya, Kim Youngwoon dapat membangun fasilitas rahasia dikota ini tanpa bersusah payah, ia bahkan tak perlu mengatakan ijin detail dirinya membangun gedung besar dengan rentetan ruang bawah tanah di kota mereka.
"Apa ini tempat aman yang dimaksud?" Jungwoo bersuara "Apa kau tak tahu seberapa tinggi tingkat kejahatan dikota ini?" Lanjut Jungwoo.
"Kami tahu, karena itu kami membangun fasilitas disini, diriku Johnny dan Ten sering melakukan pertemuan rahasia disini, menyiapkan tempat ini untuk kalian semua tempati.."
Taeyong mendengus sedikit kesal karena kenyataannya Jaehyun justru benar-benar tahu segalanya, bukan hanya sekedar tahu bahwa Pamannya tak pernah bersalah, tapi segalanya, seluruh kebenaran tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Dirinya benar-benar dibohongi mentah-mentah bahkan oleh Ten "Apa saat ini kau sedang pamer dihadapanku Jaehyun-ssi?"
"Apa diriku terlihat seperti itu dimatamu saat ini?"
"Aku hanya melihat dirimu begitu bangga karena menjadi bagian dari proyek yang Appa bangun dikota yang sangat penuh dengan kriminal!"
Ucapan Taeyong mau tak mau memancing emosi Jaehyun, ia mengerem mobil yang dikendarainya secara mendadak membuat yang lainnya dibelakang menoleh secara serempak kearah depan usai terkejut karena mobil yang berhenti secara tiba-tiba, dan kini mereka menatap Jaehyun serta Taeyong yang saat ini tengah saling berhadapan dengan tatapan yang tak bisa dibilang bersahabat sama sekali.
"Kota yang kau sebut penuh dengan kriminal ini jauh lebih baik daripada kota yang kau lindungi itu!"
"Mereka semua kriminal akan mengaku sebagai kriminal dan tidak akan melimpahkan kesalahannya pada orang lain tidak seperti di Neo City, dan selama ini pamanku sudah cukup hidup dalam kesalahan orang lain kau tahu." Kalimat Jaehyun ini membuat Taeyong cukup terkejut, ia bisa melihat ada sorot kekecewaan dan kesedihan di tatapan Jaehyun saat mengatakan hal itu.
Pria itu bahkan selama ini harus berpura-pura membenci pamannya, itu hal yang berat bukan? Mengapa Taeyong justru menyalahkan Jaehyun yang berbohong padanya.
"Kota bersih yang baru saja kau tinggalkan itu tidak jauh lebih baik dari Sapphire City."
Jaehyun memutuskan tatapannya pada Taeyong terlebih dahulu sebelum kembali menjalankan mobilnya setelah ia merasakan aura tegang disekitarnya, bahkan ia bisa melihat Taeyong tak dapat lagi membalas ucapannya dan terdiam begitu saja. Pria itu pasti terkejut karena ucapan panjangnya yang penuh dengan emosi tadi, dirinya harus menenangkan diri sebelum kembali bicara dengan Taeyong lagi, nanti.
Ia yakin bahwa saat ini Taeyongpun sangat kesal padanya, dan dirinyapun sedang tak ingin berdebat. Mereka hanya perlu cepat sampai agar dirinya dan Taeyong bisa menyendiri untuk sementara.
⇨ Us ⇦
Lay baru saja dapat mendudukkan tubuhnya dikursi, ia sangat lelah disepanjang perjalanan dirinya masih berusaha menyembuhkan Renjun setelah Jaemin mengeluarkan peluru dari dalam tubuhnya.
Sedangkan sisanya baik Jayden, Chenle ataupun Winwin mau tak mau mereka harus melakukan pengobatan ditempat ini karena Youngwoon melarang Lay menggunakan kekuatannya secara maksimal demi kebaikan pria itu sendiri.
Akhirnya setelah sekian lama fasilitas yang sering diceritakan Junmyeon selama ini dapat digunakan oleh mereka semua hari ini, entah dirinya harus merasa senang atau sedih karena fasilitas ini dapat digunakan karena sebuah kejadian yang tak mengenakkan.
Ada harga yang harus dibayar ketika mereka semua memindahkan segalanya ke fasilitas rahasia ini bukan?
Sirkus yang dibangun dari Nol oleh Ten hancur begitu saja dalam semalam, sama seperti panti yang dibangun dari Nol oleh Siwon pun hancur begitu saja dalam semalam.
"Kau baik-baik saja?" Junmyeon segera mendudukan tubuhnya disamping Lay, ia berlari dari ruang kerjanya saat tahu rombongan truck yang berisi Lay serta anak-anak spesial tersebut sudah datang.
Namun ia justru mendapati pasangan hidupnya duduk dengan lemas sesampainya mereka di pusat fasilitas.
"Aku tak apa Junmyeon-ah.."
Namun begitu Lay mengangkat kepalanya untuk menatap Junmyeon pria itu justru melihat darah mengalir keluar dari hidung Lay "Kau berdarah!" Junmyeon nampak panik, ia segera membersihkan darah tersebut dari hidung Lay menggunakan sapu tangan miliknya.
"Diriku hanya kelelahan.. Terlalu banyak yang kusembuhkan dan kuserap hari ini."
Dengan cekatan Junmyeon segera menyampirkan lengan Lay dibahunya dan membantu pria itu untuk berdiri kemudian melangkah menuju ruang pemeriksaan yang cukup canggih dengan robot sebagai pembantu perawat.
"Jilin, tolong periksa Lay.." Perintah Junmyeon usai mendudukkan Lay disebuah kursi besar berwarna hitam, kemudian sebuah alat berbentuk persegi panjang menscan tubuh Lay dari atas kepala hingga ujung kaki menggunakan sinar berwarna biru kehijauan.
'Tuan Zhang kelelahan dan dehidrasi, tekanan darahnya pun rendah, berikan minuman manis dan hangat untuknya, Tuan Zhang akan lebih baik..aku akan meresepkan obat penambah darah untuknya'
Mendengar ucapan Jilin sang mesin Junmyeon terduduk lega di samping Lay yang kini terkekeh menatapnya "Apa kau pikir diriku bisa tewas eoh? Diriku hidup sudah lebih lama dari pada kakek buyutmu." Lay mengangkat tangannya dan menepuk puncak kepala Junmyeon agar pria itu tak lagi khawatir akan keadaannya.
"Berhentilah selalu ingin menyelamatkan semua orang, jika semua orang selamat tapi harus mengorbankanmu, lalu siapa yang akan menyelamatkanmu? Apa yang harus kulakukan?"
Lay ingin membuka suaranya untuk mengelak permintaan Junmyeon, namun ia menahan ucapannya sendiri kemudian tersenyum dan mengangguk. Sepertinya memang dirinya perlu beristirahat sejenak dan menuruti kemauan Junmyeon "Baiklah, akan kuturuti kemauanmu.."
Keduanya hanya menghabiskan waktu dalam diam sembari Junmyeon mengenggam erat jemari Lay dan menatap pria tersebut dengan dalam, ia tak akan beranjak sampai kondisi Lay membaik.
Sedangkan diruang lainnya perlahan kedua mata sipit Chenle terbuka, hal pertama yang dilihatnya adalah cahaya lampu dilangit-langit dan aroma menyengat alkohol yang menusuk indera penciumannya yang amat sensitif.
"Kau sudah sadar?"
Dengan cepat Chenle menoleh kesumber suara, dia melihat Jisung sudah duduk di tepi bangsalnya dengan senyum yang tersungging manis dibibirnya, pria tinggi itu masih mengenakan kaos tanpa lengan berlumuran darah miliknya yang tadi dan belum diganti.
"Jisung?" Ia segera bangkit untuk duduk walau setelahnya kepalanya terasa pening karena duduk dengan tiba-tiba, dan Jisung segera menahan Chenle agar tak bergerak.
"Kau kelelahan, dirimu butuh istirahat Chenle-ya.." Perlahan Jisung menyentuh pelipis Chenle yang terpasang perban persegi, dia terluka saat terlempar menghantam tanah ketika ledakan besar terjadi.
"Sudah kukatakan bukan jangan kembali.."
"Apa kau sudah gila?" Chenle terkekeh pelan ia menarik tangan Jisung agar tak menyentuh luka dipelipisnya "Jika diriku tak kembali maka aku tak akan pernah melihatmu lagi Jisung-ah.." Ia menggenggam jemari besar Jisung kedua netranya menunduk hanya untuk melihat jemari Jisung membalas genggamannya.
"Apa kau tahu jantungku hampir berhenti berdetak saat melihat keadaanmu? Kenapa kau begitu bodoh hingga bisa tertembak eoh?"
Jisung tersenyum lembut ia masih menatap Chenle yang menunduk "Mau bagaimana lagi, diriku hanya manusia biasa Chenle-ya.." Tangannya yang lain terangkat dan kembali menyentuh puncak kepala Chenle, membelainya dengan lembut.
Memikirkan sudah berapa banyak hal yang mereka lalui bersama sejak malam pria ini menyelamatkannya.
"Chenle-ya.."
"Ya?" Chenle mengangkat kepalanya untuk menatap Jisung yang masih menatapnya dengan dalam.
"Kuharap, saat ini semua selesai. Diriku bisa menghabiskan nafasku bersamamu..."
"... Jisung-ah.."
"Kau sangat tahu diriku sangat tidak suka menerima penolakan apapun bukan?"
"Baiklah.." Chenle tertawa pelan, segalanya memang belum berakhir tapi setidaknya hal ini adalah kebahagian yang tak akan pernah bisa ditolaknya.
Perlahan Jisung memeluk Chenle membawa pria itu dalam pelukan eratnya "Beristirahatlah, aku akan menjagamu Chenle-ya.." Jemarinya terus menepuk puncak kepala prianya dan tersenyum kala merasakan anggukan kepala Chenle dalam dekapannya.
Berbeda dengan Chenle yang ketika sadar langsung melihat Jisung berada di dekatnya, sedangkan Jayden terbangun dengan kesunyian disekitarnya. Ia hanya menatap langit-langit tempatnya terbangun kemudian menatap sekeliling, berharap menemukan seseorang yang setidaknya dirinya kenal.
Namun nihil, dirinya mencoba bangkit berdiri dan menyentuh kepalanya yang terasa berat, ia ingat kepala dan tubuhnya terbentur benda berat dan keras tadi, namun ia juga ingat banyak hal..
Terlalu banyak..
Jayden bangkit berdiri dan turun dari bangsalnya kemudian mencoba melangkah mengitari ruangan miliknya, kepalanya masih sangat pening saat jemarinya meraih gagang pintu dan membukanya.
Namun begitu membuka pintu yang ia dapati justru lorong yang cukup ramai dilewati beberapa perawat, netranya menatap keseberang kamarnya, pintu tersebut terbuka dan Jayden mendapati siluet Jaemin berada disana dengan segelas air ditangannya yang baru saja dituang kedalam gelas.
Perlahan Jayden melangkah mendekati ruangan tersebut, dan melangkah masuk kedalam sembari mencuri dengar pembicaraan kedua pria didalam yang tengah berbincang, tentang dirinya.
"Bagaimana keadaannya?"
"Seharusnya dia sadar sebentar lagi, paru-parunya kotor dan penuh dengan asap Renjunie, dia akan baik-baik saja."
"Beristirahatlah, walau Lay Hyung sudah menyembuhkanmu namun kau kehilangan banyak darah." Jaemin menaikkan selimut untuk menutupi tubuh Renjun sampai leher.
"Jaemin-ah.."
"Ya?"
Renjun menatap kedepan, ia hanya melihat dinding yang terbuat dari baja disana "Apa dia benar-benar tak akan mengingat kita sama sekali? Dia begitu serupa dengan Jeno, bagaimana caranya dia menjadi orang lain saat ini."
Pertanyaan itu terlalu sulit untuk dijawab olehnya, karena yang dilakukan Jayden hari ini adalah apa yang akan dilakukan oleh Jeno pada mereka. "Jangan pikirkan hal ini, akan kupikirkan cara lain agar dia mengingat masa lalu Renjun-ah.."
Keduanya terdiam dan hening, Jayden yang sedari tadi mendengar ucapan keduanya hanya dapat menghela nafasnya perlahan sebelum ia melangkah masuk dan tangannya terulur untuk menyentuh bahu Jaemin.
Pria bersurai madu tersebut menoleh, ia terkejut melihat Jayden berada di balik tubuhnya, sejak kapan dia sudah berada disana? Apa dia mendengar percakapan diantara dirinya dan Renjun? "Kau sudah sadar Jayden-ssi?"
Renjun melirik dan mencoba menundukkan kepalanya sebagai ucapan terima kasih secara formal pada seseorang yang sudah menolongnya "Terima kasih atas pertolonganmu tadi Jayden-ssi, tanpamu mungkin diriku sudah tiada." ujarnya tulus.
"......Jaemin-ah... Renjun-ah.."
Keduanya terkejut mendengar bagaimana cara Jayden memanggil nama keduanya, terasa familiar dan tidak kaku seperti sebelumnya saat Jaemin berinteraksi dengan Jayden.
Jayden tak dapat menyembunyikan gemuruh didalam dadanya saat melihat bagaimana ekspresi kedua pria dihadapannya, ia tak menyangka begitu seluruh memorinya kembali secara bersamaan ia merindukan kedua sahabatnya itu.
"....Jeno?" Renjun yang pertama mengucapkan nama itu setelah sekian lama karena selama ini dirinya pikir bahwa Jeno sudah tewas 15 tahun lalu karena tertembak. Ia bahkan perlahan bangkit untuk duduk di atas ranjang rawatnya.
"Ya... Aku kembali, maaf membuat kalian menunggu lama.."
Jaemin terduduk ditepi bangsal ia terkejut bahwa Jayden sudah mengingat mereka kembali "Kau... mengingatnya?"
Pria bersurai terang itu mengangguk, ia makin mendekat kearah keduanya kemudian memeluk Renjun dan Jaemin bersamaan, ingatan terakhirnya bersama Renjun hanya ketika ia meninggalkan pria itu bersama Jaemin didalam ruang kelas, dan ingatan terakhirnya dengan Jaemin ketika dirinya tertembak dan ia mengusir Jaemin untuk pergi melarikan diri.
Keduanya segera membalas pelukan Jayden tidak kalah erat, bahkan ini kali pertama Renjun tiba-tiba menangis hingga terisak setelah kejadian lampau, bahkan saat dokter mengatakan tangannya tak dapat diselamatkan Renjunpun tak menangis.
Namun kali ini ia menangis dalam dekapan Jayden, mungkin tangisannya tak akan berhenti andai saja Jaemin tidak menepuk puncak kepalanya untuk menenangkannya. Namun bodohnya mereka bertiga tertawa sembari masih meneteskan air mata, rasa rindu itu benar-benar menumpuk didalam relung dada mereka bahkan terasa hampir meledak tak karuan.
"... Ah.." Jaemin menghapus susah payah air mata yang masih menggenang di matanya "Akan kuambilkan sedikit cemilan untuk kita mengobrol disini, dan mencari bangku untuk kau duduki Jayden.."
"Jeno... Jika kalian tidak keberataan panggil diriku kembali dengan nama itu."
"Baiklah.. Jeno.." Jaemin tampak bergetar mengucapkan nama itu "Kalian mengobrol saja aku akan segera kembali." Pria bersurai madu itu segera beranjak pergi keluar tanpa sempat ditahan oleh Renjun dan Jayden.
Renjun amat paham mengapa Jaemin pergi keluar, walaupun dirinya ditenangkan oleh Jaemin namun sesungguhnya yang ingin menangis meraung tentu saja adalah Jaemin, ia selalu menyalahkan dirinya sendiri sejak hari itu. Dan sekarang hari ini datang, tentu dirinya akan menangis paling kencang.
"Apa yang terjadi dengan lenganmu?"
Pertanyaan Jeno mengalihkan Renjun, ia mengangkat lengan bajanya "Keren bukan?" Canda Renjun, namun Jayden tak menjawab candaannya, karena Renjun justru menangkap tatapan bersalah pada kedua mata Jayden padanya.
"... Tanganku terjepit diantara reruntuhan, mereka harus mengamputasinya agar diriku selamat." Renjun menggerakkan jemari bajanya "Tak apa Jeno-ya, diriku sudah terbiasa dengan tangan ini yang lebih canggih dan tentu saja lebih kuat."
Jayden mau tak mau terkekeh "Kau jauh lebih kuat dari pada terakhir kali kuajarkan cara bermain tolak peluru Renjun-ah.."
Keduanya tertawa bersama, Jayden benar-benar mengingat semuanya, bahkan ia ingat betapa lemah dirinya dahulu. Jika tak ada kejadian tersebut mungkin tak akan ada Renjun yang saat ini. Mereka mencoba mengambil sisi positif dari kesialan yang menimpa mereka dahulu.
"Pergilah mencari Jaemin, kau tahu selama ini dia merasa bersalah karena kau menyelamatkannya.. Jika kau tak melakukannya mungkin dirimu tak akan tertembak, kau dan Donghae Hyung tak akan dibawa dan ingatanmu tak akan dihapus.."
Jayden kembali menunduk ia ingat saat itu dirinya berniat menghampiri Donghae usai gagal menemukan yang lainnya, namun netranya justru menangkap bayangan anak-anak lainnya tengah ditembak didepan gedung panti mereka dan ada Jaemin disana.
Dirinya tak dapat lagi memikirkan hal lain, yang ada dikepalanya hanyalan menolong Jaemin. Dirinya segera berlari mendekati bagian depan gedung panti dan segera menyerang siapapun yang berniat melubangi kepala Jaemin, yang ia pikirkan hanyalah menyelamatkan sahabatnya.
"... Apa menurutmu Na Jaemin tengah menangis saat ini?"
Renjun tertawa pelan "Tentu saja, dia tak akan pernah mau menangis dihadapan kita bukan?"
Jeno membuka pintu kamar milik Jaemin dan Renjun, ia mengintip dari balik pintu dan mendapati Jaemin tengah duduk di sudut kamar menelungkupkan kepalanya sambil memeluk kedua kakinya dan menangis.
Ia masuk perlahan dan menutup pintunya pun dengan perlahan agar tak ada suara sama sekali, lalu menghampiri Jaemin dan berjongkok didepannya, tangannya menepuk puncak kepala Jaemin tanpa mengatakan apapun hingga sahabatnya itu berhenti menangis dan mendongak menatap Jeno.
"Kelincimu sudah kukuburkan, dia akan segera berada disurga, kau tak perlu menangisnya lagi, dia sudah bahagia sekarang.."
"Benarkah Jeno?"
"Tentu, kapan diriku berbohong padamu eoh?" Jemarinya membantu Jaemin menghapus sisa air mata diwajahnya "Hapus air matamu, mari kita keluar Donghyuk dan Renjun khawatir padamu."
Dan pada kenyataannya yang Renjun katakan dan Jayden pikirkan memang benar adanya, langkah pria bersurai terang itu terhenti saat menemukan sosok Jaemin berjongkok di koridor yang cukup sepi memeluk kakinya sendiri dan menangis seorang diri.
Dia selalu meluapkan kesedihannya sendirian, bahkan enggan berbagi. Tapi sayang, semua sahabatnya amat sangat tahu jika dirinya bersedih dan hanya Jayden kecillah yang akan menghampiri dan mencoba untuk menenangkan Jaemin disaat yang lainnya selalu gagal dalam mencoba.
Jayden melangkah mendekat dan berjongkok dihadapan Jaemin ia menepuk puncak kepala Jaemin, merasakan surai madu itu bersentuhan kembali dengan jemarinya. Rasanya masih sama ternyata, tak ada yang berubah, bahkan dadanya masih bergemuruh dengan kencang setiap ia menyentuh surai madu milik Jaemin.
"Apa yang kau tangisi eoh? Bukankah diriku sudah kembali? Kau tak ingin..." Jayden mengangkat dagu Jaemin agar menatapnya kemudian menghapus air mata diwajah manis yang tak berubah sedikitpun sejak mereka kecil ".. Memelukku? Diriku sangat merindukanmu Jaemin-ah.."
Jaemin segera memeluk Jayden, sudah sejak ia pertama kali bertemu dengan pria itu saat dijalan dirinya sangat ingin memeluk Jayden dan meluapkan kerinduannya, namun nyatanya pria itu tak mengenalinya. Bahkan Jaemin sempat yakin bahwa pria itu hanyalah memang seseorang yang hanya mirip dengan Jeno.
"Maaf.. Butuh waktu lama untuk mengingatmu.." Jayden mengeratkan pelukannya pada Jaemin, ia membiarkan kini Jaemin menangis sembari memeluk dan mengumpat sesuka hatinya.
"Namun... Yang kurasakan padamu tidak pernah berubah Jaemin-ah.."
Berbanding terbalik dengan Jaemin yang tengah menangis kini Donghyuk sudah duduk dibangsalnya dan menerima segelas air putih hangat dari Mark yang sedari tadi menjaganya bersama dengan Lolly yang sudah pulih, bahkan harimau betina itu berada diatas bangsal tengah duduk didekat kaki Donghyuk menemani pria itu agar cepat sembuh.
"Apa masih ada yang sakit?"
"Selain ini?" Donghyuk menunjuk perban yang melingkar di lengan dan bahunya, ia mengalami patah tulang bahu kanan hingga kini bergerak pun sulit. "Tidak ada lagi.. Bagaimana dengan hewan-hewan yang lainnya?"
"Hewan lainnya dilepas oleh Yangyang dan Somi, hanya Lolly, Ryan dan Kimi yang tersisa.." Jelas Mark, ia tersenyum pada Lolly yang sudah terlihat lebih sehat. Ia tadi juga sudah memberi makan Ryan si Gorilla dan Kimi si berang-berang sebelum kemari menjaga Donghyuk.
"Apa ada terapi khusus untuk menyembuhkanku lebih cepat? Perban ini menganggu gerakanku." Protes Donghyuk, mengingat keadaannya masih seperti ini pasti Lay sudah sangat kelelahan hingga tak dapat menyembuhkan dirinya.
Tadipun Mark mengatakan tak semuanya disembuhkan secara menyeluruh oleh Lay, karena pria itu harus membagi kekuatannya untuk semua yang terluka. Jayden, Winwin, Chenle dan Donghyuk ditangani oleh medis begitu mereka sampai karena Lay sudah terlalu lelah dan pucat sehingga Youngwoon melarang Lay untuk menggunakan kekuatannya lagi.
Pria itu tak ingin diomeli oleh sang adik karena membuat pasangan hidupnya kelelahan, Lay bisa tertidur hingga seminggu jika dirinya amat lelah seperti kejadian lampau ketika House of Heaven masih berdiri, sepulangnya mereka dari karyawisata bus mereka berpapasan dengan bus lain yang tiba-tiba saja mengalami kecelakaan.
Disanalah Lay dan Siwon bergegas menolong para korban, dan Lay menggunakan seluruh kekuatannya. Usainya pria itu pingsan tak sadarkan diri hingga seminggu lamanya.
"Bersabarlah, mereka pasti akan menawarimu melakukan terapi setelah dirimu benar-benar pulih.." Sahut Mark, ia mengacak gemas surai merah Donghyuk.
"Apa Lay Hyung baik-baik saja?"
"Tenang.. Dia tak sampai pingsan, kulihat dirinya sedang berada diruang laboratorium tengah di obati agar tak terlalu lelah."
Donghyuk menghela nafas dan menghabiskan air dalam gelasnya "Tolong isikan lagi Mark, yang lebih panas.."
"Baiklah.."
Sepeninggal Mark yang pergi membawa gelasnya, Donghyuk menatap telapak tangannya dan mengeluarkan api dari sana, Lolly segera menatapnya dan Donghyuk pun membalas tatapan Lolly.
"Jika suatu saat energiku terlalu besar, dan diriku menghilang.. Kau harus menjaganya Lolly-ya.. Berjanjilah padaku.." Ucapnya dengan senyum lembut pada harimau betina tersebut, dan Lolly segera meletakkan kepalanya diatas kaki Donghyuk dengan tatapan sayu menatap pria yang amat berarti bagi majikannya tersebut.
⇨ Us ⇦
Winwin terpojok ia hampir tertusuk andai saja dirinya tak melihat Ten berlari kearahnya dengan membawa sebuah tongkat dan menyerang beberapa prajurit yang menyerangnya bersamaan secara membabi buta.
Dirinya bangkit dan kembali mencoba melawan walau dirinya sudah babak belur, ia bahkan yakin bahwa tulang rusuknya patah saat ini namun ia harus membantu Ten.
"Winwin!"
Suara Ten mengalihkan pandangan Winwin, ia melihat pria itu berlari kearahnya dan memeluk tubuhnya sebelum kemudian merosot jatuh ketanah bersamaan dengan kayu balok yang dibuang oleh salah satu prajurit.
"....Ten?" Winwin hendak meraih tubuh Ten namun tubuhnya ditarik menjauh dan dipukuli hingga pandangannya menjadi buram, yang terakhir ia lihat hanyalah sebuah van hitam datang bersama seorang wanita berpakaian serba hitam turun dari dalam Van.
Wanita itu memerintahkan prajurit tersebut membawa Ten yang terluka masuk kedalam Van "... T-Ten.." Tangannya masih berusaha bergerak mengarah pada Ten namun tendangan kuat diwajahnya membuat Winwin tersentak dan tak sadarkan diri.
"Haahh!!!"
Winwin terbangun dengan tubuh tersentak seperti baru saja bermimpi buruk, ia bahkan langsung mendudukkan tubuhnya walau usainya ia meringis karena rasa sakit luar biasa didekat perut atasnya.
Melihat tubuhnya kini dibalut oleh perban ia semakin yakin bahwa tulang rusuknya memang patah tadi saat berkelahi..
Tunggu..
Jika dirinya benar-benar terluka maka Ten...
Winwin segera hendak beranjak bangkit dari kasurnya, ia bahkan tak tahu dimana dirinya berada saat ini, setelah kedua kakinya menapak pada lantai Winwin segera meraih kemejanya dan memakai pakaiannya yang terletak di kursi.
"Kau mau pergi? Apa kau tahu dirimu baru saja menjalani operasi karena tulang rusukmu patah?"
Langkah Winwin tertahan, ia mendengar suara Yuta. Kepalanya menoleh kearah bangsal lain yang tertutup tirai di bagian pojok kamar. Mau tak mau ia melangkahkan kakinya menghampiri bangsal tersebut dan menyibak tirai yang menutup bangsal tersebut.
"Yuta?"
Yuta mengukirkan senyum ramahnya pada Winwin, walau ia merasa miris dengan keadaan keduanya yang bisa dibilang mengenaskan, mereka sama-sama menggunakan perban yang melilit sebagian luka di tubuh mereka.
"Sangat lucu terlihat seperti sekarang, namun bersyukurlah kita masih hidup."
"Kau masih bisa tertawa? Apa kau tahu mereka membawa Ten? Apa kau tahu dimana kita saat ini?"
"Aku tak tahu kita dimana tapi kita ditempat yang aman, Mark tadi datang dan membawakan makanan. Dan soal Ten, mereka pasti akan membantu untuk mencarinya, tugasmu saat ini hanyalah istirahat."
Winwin hampir kembali membantah namun Yuta menarik lengan pria tinggi itu hingga secara spontan Winwin memajukan tubuhnya mendekat pada Yuta dengan jarak yang begitu amat sangat dekat.
"Bisakah sekali saja kau menjadi penurut Dong SiCheng?"
"Cih.." Winwin menyentak cengkraman Yuta pada lengannya "Sudah kukatakan padamu jangan pernah memanggilku dengan nama itu lagi.. Baiklah aku akan beristirahat."
Ia beranjak dari bangsal Yuta menuju bangsal miliknya yang bersebelahan hanya karena tirai yang menghalangi dan menutupi bangsal Yuta ia pikir dirinya hanya sendiri di tempat ini, Winwinpun kembali merebahkan tubuhnya keatas tempat tidur secara perlahan.
"Apa kau melihat siapa yang membawa Ten?"
Perlahan pria tinggi itu menoleh dan terlihat Yuta yang memang tengah menatapnya dengan rasa penasaran, ini kali pertama dirinya melihat keseriusan terpancar diwajahnya selain ketika pria itu tengah memegang seluruh koleksi senjata tajamnya.
Ia kembali menerawang menatap langit-langit dan berusaha mengorek memorinya tentang rupa para prajurit yang membawa Ten, namun ia justru mengingat dengan jelas sepatu boots wanita yang keluar dari dalam van hitam "Mereka semua berpakaian hitam, serba hitam.. Namun ada satu yang mencolok dari semua laki-laki disana, kulihat seorang wanita dengan boots merah maroonnya turun dan memerintahkan mereka membawa Ten.."
Yuta kembali bersandar dan menghela nafas pelan, ia sedikit banyak paham mengapa Ten dibawa oleh mereka semua. "Tujuan mereka hanya satu.. Menyerang kita sekali lagi dengan mengorek isi memori Ten tentang kelemahan kita semua.."
"Bukankah itu sama saja menjadi jalan buntu bagi kita Yuta?"
Pria keturunan Jepang itu terdiam, ia tengah memutar otaknya yang amat sangat jarang bekerja selama ini. "Ya.. Jika kita tetap menjadikan kelemahan kita sebagai kelemahan.."
"Maksudmu?"
"Apa kelemahanmu Winwin?"
Pria itu hampir menjawab namun Yuta menempelkan telunjuk pada bibirnya sendiri "Sssshhh"
"Mulai hari ini kau dan yang lainnya tidak memiliki kelemahan." Yuta tersenyum dan memutuskan untuk meneruskan istirahatnya. Meninggalkan Winwin yang masih berpikir, mungkin dirinya memang harus melepaskan kelemahannya.
"Mulai saat ini..
.... Diriku tak memiliki kelemahan.."
⇨ To Be Continued ⇦
Tidak ada komentar:
Posting Komentar