myCatalog

Senin, 31 Agustus 2020

US - THIRTY


* US *

-

-

-

-

-








NEO CITY

2044

Langit mulai menghitam, mendung menyerang langit Neo City bahkan rintik air hujan ringan sudah mulai membasahi bumi, namun terdapat 2 orang ditengah berada ditengah reruntuhan House of Heaven yang sama sekali tak terganggu dengan tetesan air hujan di sore menjelang malam itu, salah satunya kini tengah menggunakan payung untuk memayungi seseorang lainnya yang kini sibuk menggali tanah keras yang berada dihadapannya dengan sekop yang berasal dari bagasi mobil yang mereka naiki.

Setelah menggali cukup dalam akhirnya ujung sekopnya menyentuh sebuah kotak yang terkubur disana, ia mengetuk-ngetuk kotak tersebut dengan ujung sekop untuk memastikan yang dicarinya benar-benar terkubur didalam.

"Kau menemukannya Hyung?"

".... Sepertinya.." Pria bersurai perak itu melempar sekop ke sisi lubang ia mengorek sisa tanah tersebut dengan jemarinya hingga ia menemukan kotak persegi panjang berukuran lumayan besar dan menariknya keluar dari sana.

Ia biarkan kotak tersebut tersiram derasnya air hujan bersamanya agar sisa tanah menghilang dari plastik yang membungkus kotak tersebut. Perlahan ia membuka plastik pembungkus kemudian segera beranjak saat memastikan isinya memang kotak yang dicari olehnya.

".... Itu?"

"Barang peninggalan ibuku.." pria itu masih menunduk tanpa menoleh kearah pria satunya yang bertanya padanya "Terima kasih Jaemin-ah kau sudah mau menemaniku mengambilnya.."

"Tak masalah Hyung hal ini bukan apa-apa hanya sebuah hal kecil.. Jika kau sudah selesai sebaiknya, kita segera pergi dan kembali ke Sapphire City bagaimana?"

Pria itu, Lee Taeyong menganggukkan kepalanya, ia mengikuti Jaemin untuk memasuki mobil usai psikiater tersebut menyimpan sekop dan payung kembali ke bagasi, mereka segera beranjak meninggalkan reruntuhan House of Heaven setidaknya walau mereka dapat berada di Neo City dengan leluasa karena tidak termasuk buronan yang sedang dicari bukan berarti mereka dapat terlihat berada di reruntuhan tersebut.

Disepanjang perjalanan Jaemin hanya fokus pada rute jalan yang ada dihadapannya sedangkan Taeyong menunduk, jemarinya menyentuh bagian atas kotak kayu tersebut dan perlahan membuka kotak dalam pangkuannya itu. Netranya menemukan amplop cokelat dibagian atas secara perlahan ia mengambil dan mengeluarkan amplop cokelat yang menyimpan beberapa lembar foto didalamnya.

Netranya kembali menatap isi lain di dalam kotak, terdapat kain pembungkus dan selimut serta pakaian yang digunakannya ketika datang kemari saat masih bayi, jemarinya mengelus pakaian yang terlihat kecil tersebut dalam genggamannya sudah berapa tahun?

Dua puluh lima tahunkah?

"Taeyong-ah.."

Siang itu Taeyong yang tengah menggambar dibuku mewarnainya menoleh ketika mendengar suara Taemin yang memanggilnya dari luar kamar. Ia menatap Ten yang tengah tidur siang dengan mulut terbuka saat melihat gesture tubuh Taemin yang memanggilnya agar keluar.

"Ada apa Hyung?"

"Kau ingat apa janjiku saat kau sudah menginjak 10 tahun?"

Sepersekian detik Taeyong tampak berpikir, ia menatap Taemin dengan kedua mata bulatnya saat pria itu berjongkok dihadapannya. Lee Taemin terkekeh "Kau pasti sudah lupa, tapi aku akan tetap menepati janjiku Taeyong-ie.."

Taemin kembali bangkit berdiri sambil mengacak surai milik Taeyong "Ayo ikut denganku."
Keduanya melangkah menjauh dari kamar menuju halaman belakang berdekatan dengan sebuah pohon mapple yang sudah tumbuh besar dan tinggi, bisa ia katakan satu-satunya pohon mapple terbesar di bangunan ini.

Taeyong kecil hanya menatap Taemin yang menghampirinya dengan membawa sebuah sekop "Apa ada yang ingin kau gali?"

"Ya.." Taemin mulai menggali tanah yang terdapat disebelah pohon mapple tersebut "Tunggulah disitu, jangan mendekat.." Ia terhenti saat melihat Taeyong ingin mendekat karena rasa penasaran yang amat tinggi.

Pria dewasa itu kembali menggali hingga ujung sekop yang digunakannya menemukan apa yang dicarinya, dengan cepat ia menyingkirkan sisa-sisa tanah disekitar kotak yang di tanamnya 10 tahun lalu tanpa sepengetahuan siapapun.

Begitu dirinya berhasil mengeluarkan kotak tersebut ia menarik Taeyong untuk mendekat padanya sembari meletakkan kotak tersebut diatas rerumputan yang kini menjadi alas duduk mereka. Dengan telaten Taemin membuka plastik pembungkus kemudian membersihkan sisa-sisa debu dari bagian atas kotak tersebut.

"Kau siap Taeyong-ie?"

Si kecil Taeyong mengangguk walau dirinya tak paham ia harus siap untuk apa? Namun apapun itu ia bersiap untuk menerima apapun "...Ya Hyung.."

Perlahan Taemin membuka kotak yang tak terkunci tersebut, yang pertama kali ia ambil dari dalam sana adalah sepasang pakaian bayi atasan dan bawahan berwarna kuning dan memberikannya pada Taeyong.

"Ini adalah pakaian yang kau gunakan ketika tiba disini.."

Dengan ragu Taeyong meraih pakaian kecil itu dan mengenggamnya dengan kuat, ia datang dengan pakaian ini? Apa dirinya sengaja dibuang disini? Kedua netranya kembali menatap Taemin, perlahan ia mengingat apa yang ditanyakannya pada Taemin 5 tahun lalu 'Apa diriku dibuang Hyung?'

'Tentu saja tidak, tidak ada satupun orangtua yang akan membuang anak sebaik dan sepintar dirimu Taeyong-ie..'

Melihat Taeyong yang bersedih Taemin memeluk tubuh Taeyong kecil dan menepuk-nepuk puncak kepalanya 'Tunggu kau berumur 10 tahun, akan Hyung ceritakan yang sebenarnya..'

'Tunggulah dirimu menjadi lebih dewasa dan memahami segalanya, maka diriku akan menceritakan segalanya..'

"Kau mengingatnya?"

Taeyong mengangguk dan kembali menatap pakaian dalam genggamannya "Jadi? Bagaimana diriku bisa berada disini?"

"Ibumu meninggal sesaat setelah melahirkanmu Taeyong-ie.."

Anak itu terdiam, ia meremas kuat pakaian bayi dalam genggamannya dan menunduk, jadi bukan hanya dirinya yang tak pernah melihat sang ibu, ibunyapun mungkin tak pernah melihat dirinya disaat terakhir nafasnya "....Lalu ayahku?"

Taemin sempat melirik kearah gedung dimana terdapat koridor yang terhubung dengan taman lainnya menuju danau ia melihat Kim Jaejoong tengah melangkah dengan Jung Yunho, keduanya adalah staff pengajar relawan sejak 2 tahun yang lalu sebelum menjawab pertanyaan Taeyong.

"Dia..." Netranya tak lepas dari pria yang tengah melangkah sambil tertawa dengan Yunho tersebut "Dia orang baik yang harus ibumu lindungi, demi melindungi kalian berdua maka kalian tidak pernah dipertemukan."

"Apa maksudnya Hyung? Aku tak paham.."

Taemin menepuk puncak kepala Taeyong, ia mengambil sebuah amplop cokelat dan mengeluarkan isinya, ia berikan lembaran foto tersebut pada Taeyong "Ini ibumu.."

"Dia cantik bukan?"

"....ya Hyung.. Ibuku sangat cantik.."

Kedua sudut bibir Taeyong tertarik membentuk sebuah senyum tulus yang amat terlihat sangat merindukan ibunya saat ini. "Apa kau mengenalnya Hyung?"

"Hmm.. Tidak, tapi begitu melihat fotonya dan mendengar sedikit cerita tentangnya aku tahu bahwa ibumu begitu cantik dari dalam dan luar.. Sama sepertimu Taeyong-ie.."

".....aku merindukannya.. Walaupun belum pernah bertatap wajah dengannya.."

Kembali Taemin menepuk puncak kepala Taeyong "Ingatlah, ibumu begitu baik.. Ia mengorbankan hidupnya demi melahirkanmu dan melindungi ayahmu. Tuhan begitu menyayangi orang-orang baik hingga membawanya terlebih dahulu agar mereka tidak perlu menderita didunia yang keras ini Taeyong-ie.."

Taeyong kembali menatap Taemin dengan binar bertanya-tanya, surai keduanya yang berbeda warna berkibar tertiup angin sepoi-sepoi "...kau mengenal ayahku?"

"Sejujurnya, tidak. Namun, orang itu mungkin pernah bertemu denganmu namun kalian tidak saling mengenali satu sama lain."

Dengan dagunya Taemin meminta Taeyong melihat lembaran foto lainnya, anak itu menurut dan kembali menunduk guna menatap lembaran foto yang lain. Ia mengerutkan kening saat dirinya melihat seorang anak kecil pria yang terlihat berfoto dengan sang ibu "Siapa dia Hyung?"

"Ah.." Taemin memejamkan kedua matanya berusaha mengingat siapa nama anak kecil itu, "Young.. Ck Younho? Youngjo? Youngho? Ah aku lupa siapa namanya, namun dia adalah adik ibumu, secara tak langsung umurmu dan pamanmu tak jauh berbeda."

Taeyong terlihat tersenyum ia senang bahwa dirinya memiliki paman walau mungkin mereka hanya berbeda 5/6 tahun. "Apa dia masih hidup?"

"Masih.. Dia hidup dengan baik dan juga cukup berat untuk anak seumuran dirinya kehilangan kakak satu-satunya. Dia pun masih terlalu kecil saat ibumu meninggal dan tak bisa merawatmu.."

Dirinya tak menyalahan paman kecilnya itu, ia justru kembali membuka dan melihat lembaran lain sembari tersenyum lebar melihat betapa bahagia sang ibu dan adiknya di setiap lembaran foto, hingga di lembaran terakhir senyum di bibirnya perlahan meredup begitu melihat siapa yang berada di dalam foto tersebut bersama dengan ibunya, seorang pria yang tengah memeluk sang ibu dari belakang dan keduanya terlihat tersenyum begitu riang bahagia sembari menatap kamera.

Namun bukan itu yang jadi pokok masalahnya, yang membuat senyumnya meredup adalah... pria dalam potret lawas itu adalah...

"Kim Songsaeng?" Ucapnya ragu, ia menatap Taemin meminta jawaban atas pertanyaannya yang hanya menyebutkan sebuah nama. Namun karena Taemin hanya diam maka Taeyong membuat penilaian dan hipotesisnya sendiri. "Apa dia ayahku?"

Taemin tersenyum ia mengacak surai lembut Taeyong yang berwarna perak, entah rambut siapa yang ditirunya namun jelas wajahnya dari sang ayah dan sifatnya dari sang ibu "Jika ya.. Maka kuharap kau tak akan pernah marah padanya."

"Kenapa? Bukankah dia meninggalkanku?"

"Bukan..." Taemin menggeleng pelan "Dia bahkan tak tahu kau hadir di dunia ini Taeyong-ie.. Demi melindungimu dan ayahmu terpaksa ibumu bahkan harus menyembunyikan keberadaanmu dari ayahmu sekalipun."

Ia meraih pakaian bayi yang tadi mereka keluarkan dan melipatnya kembali untuk dimasukkan kedalam kotak kayu "Jika tiba saatnya nanti, ucapkanlah padanya bahwa kau adalah anak yang dilindungi oleh Seohyun.."

"..........."

"Kau paham Taeyong-ie?"

".....ya Hyung.."

Taeyong mengeratkan pegangannya pada lembaran terakhir potret ayah dan ibunya saat Taemin akan mengambilnya untuk dikembalikan kedalam amplop cokelat, "Bolehkan aku menyimpannya? Bagaimana jika diriku melupakan wajahnya Hyung?"

"Maafkan aku Taeyong-ie, kau tak dapat menyimpannya. Jika seseorang tahu kau sudah mengetahui segalanya maka akan berbahaya bagimu dan ayahmu." Sekali lagi Taemin menepuk puncak kepala Taeyong dan membenahi surai perak tersebut "....kuharap kau paham Taeyong-ie.."

Dengan enggan Taeyong akhirnya melepaskan lembar potret tersebut dan menatap 2 wajah itu lekat-lekat sebelum Taemin memasukkan potret tersebut kembali kedalam amplop berwarna coklat.

"Apa suatu saat diriku boleh menggalinya Hyung?"

"Tentu.." Taemin menutup kembali kotak tersebut dan membalutnya menggunakan plastik berwarna hitam "Ini milikmu kau tentu boleh menggalinya.." Ia melihat Taemin kembali meletakkan kotak tersebut kedalam tanah dan menguburnya.

Taeyong hanya dapat menatap kosong tanah yang sudah tertutup tersebut "Taeyong-ie?"

"Ya?"

"Berjanjilah..." Ia mengulurkan kelingkingnya pada Taeyong sambil tetap berjongkok "...kau akan merahasiakan apa yang kukatakan hari ini hingga hari tersebut tiba.."

Awalnya anak kecil itu hanya diam ia tidak paham dengan kehidupan orang dewasa yang terlihat amat sangat rumit, mengapa dirinya harus diam setelah tahu siapa kedua orangtuanya?

"...Taeyong-ie?"

Namun perlahan kepalanya mengangguk iapun mengulurkan kelingkingnya untuk mengikat janji dengan Taemin "...aku berjanji Hyung.."

Taeyong membuka kedua matanya perlahan, kedua netranya terlihat memerah karena menahan tangis, rasanya ia ingin berlari dan memeluk Jaejoong saja tadi saat melihatnya berada di depan altar Seohyun tengah berlutut untuk meminta maaf.

Dirinyapun hampir lupa dengan rupa sang ayah, yang diingatnya hanya 'Kim Songsaeng adalah ayahku' ia bahkan tak tahu siapa nama lengkapnya. Ia bahkan lupa bagaimana bentuk wajah sang ayah setelah sekian lama Taeyong tak lagi melihat potret milik ayahnya dan ibunya.

Andai ia tak melihat nama Seohyun yang tertera di kertas pemberian Johnny mungkin Taeyong tak akan sadar bahwa ia akan mengunjungi altar sang Ibu. Dan beruntungnya ia menemukan Komisaris Kim disana dan melihat potret yang sama seperti yang saat ini ia lihat dan baru didapatnya dari dalam amplop.

Potret Jaejoong bersama dengan Seohyun.

Yang mengorek kembali seluruh memorinya tentang siapa kedua orangtuanya.

"Kau baik-baik saja Hyung?"

"...hmm.." Ia kembali menyimpan foto tersebut kedalam amplop dan memasukkannya kembali kedalam kemudian menutup kotak yang baru di bawanya "Bisakah kau merahasiakan ini dari yang lainnya? Aku, belum siap mengatakan hal ini pada siapapun.."

Jaemin melirik Taeyong, jangankan Taeyong, dirinyapun terkejut bahwa Kim Jaejoong adalah ayah dari Lee Taeyong ia tidak bisa untuk berpura-pura tak mendengar bahwa tadi Taeyong memanggil Jaejoong dengan panggilan 'Appa' Jaemin menganggukkan kepalanya tanda mengerti "Aku tak akan mengatakan apapun Hyung.. Tapi kau yakin dirimu baik-baik saja?"

Tak ada jawaban apapun yang keluar dari bibir Taeyong ia justru terlihat menunduk dan hampir menangis, Jaeminpun menepikan mobil yang dibawanya dan menepuk punggung Taeyong berusaha untuk menenangkan pria yang selama ini hampir tak pernah meneteskan air matanya.

"Menangislah Hyung.. Aku tahu kau tidak baik-baik saja. Menangislah sampai kau tidak lagi merasa ada batu yang mengganjal di dadamu.."

Dan malam itu tangisan kerasnya pun bersahutan dengan derasnya hujan yang menyelimuti Neo City, seolah-olah langitpun tahu betapa sakit dan sesak dada Lee Taeyong saat ini.

Us

Jaejoong melangkahkan kakinya di koridor gedung keamanan milik negara, ia tengah berjalan menuju ruangannya dengan Hendery di belakang tubuhnya "Aku ingin kau mencari tahu tentang Lee Taeyong, segalanya tanpa terkecuali.."

"Siapa dia?"

Begitu tiba di ruangannya Jaejoong menghela nafasnya "....keluarga? Bisakah kusebut seperti itu untuk saat ini.." Ia mendudukkan dirinya di atas kursi kerjanya, "Dan... Cari keberadaan Yunho, aku ingin berbicara dengannya.."

"Bukankah kau tahu dia saat ini sedang bersembunyi? Sekarang dia adalah buronan, masih bagus identitas sesungguhnya belum terbongkar.. Mencari Jung Yunho adalah hal tersulit saat ini."

Jaejoong diam ia menggaruk keningnya, ucapan Hendery memang tidak ada salahnya karena Yunho memang sudah tak terlihat di gedung ini sejak kemarin hingga berita tentang dirinya yang menjadi dalang atas penyerangan sirkus serta bekerja sama dengan para freak untuk menyerang pemerintahan tersebar dimedia massa.

"Aku tahu itu.. Tapi diriku benar-benar ingin menemuinya, ada yang harus kutanyakan padanya."

Hendery mendekat dan duduk berhadapan dengan Jaejoong, mereka hanya terpisah oleh meja kerja pria itu "Akan kuusahakan untuk menemukannya Paman.. " ia terdiam sebentar sebelum kembali membuka mulutnya "Kau tidak lupa bukan dengan bayaran atas informasi yang kau dapatkan dari wanita itu..."

Lagi, Jaejoong benar-benar merasa pening luar biasa dikepalanya saat mengingat apa yang harus dia berikan pada Taeyeon atas informasi yang sesungguhnya tidak diminta olehnya. Namun demi menemukan subjek miliknya dan milik Yunho sepertinya dia memang harus melakukan apapun yang Taeyeon minta.

"Infomasi yang kau berikan.. Aku tahu ada harga untuk segala ucapan yang keluar dari bibirmu..."
Taeyeon tersenyum "Untuk mengatakan siapa Taeyong kurasa aku hanya perlu kau berhenti melindungi Jung Yunho, namun untuk keberadaan X-88..." Ia menggantungkan kalimatnya, sengaja wanita itu menanti reaksi Jaejoong dan Hendery dihadapannya. Dan dirinya senang mendapat reaksi terkejut tersebut.

"Aku ingin kau bersekutu denganku, maka aku akan mengembalikan X-88 dengan selamat. Setidaknya aku tahu kau tidak menyukai para freak, kau juga tidak menyukai sistem pemerintahan kota ini, bukankah kita seharusnya membangun segalanya dari awal, bersama?"

Jaejoong meremas udara kosong dalam jemarinya, ia merasa terjepit saat ini. Walaupun dirinya tak pernah menyukai keberadaam freak di muka bumi ini, namun menyingkirkannya adalah hal yang tak akan pernah terlintas oleh otaknya.

"Jika diriku menolak?"

"Maka ucapkan selamat tinggal pada X-88, ah... Xiao DeJun maksudku.."

Taeyeon tersenyum dan melangkah keluar meninggalkan kedua pria yang tengah terbakar api amarah didalam sana dengan senyum nan lebar.

"Kumohon, jangan pernah lakukan itu Paman.."

"........"

"... Paman?"

"Kau ingin Xiaojun kembali bukan? Dirikupun ingin hal yang serupa, walau dia hanyalah subjek tapi diriku tak pernah ingin menempatkannya di situasi seperti saat ini."

"Tapi..." Hendery terpaksa menghentikan ucapannya karena Jaejoong mengangkat tangannya agar pria bersurai legam itu berhenti membantah, ini sudah keputusan bulat Jaejoong. Maka dari itu, sebelum dirinya benar-benar berdiri disisi Taeyeon untuk membasmi para freak ia ingin bertemu dengan Yunho untuk yang terakhir kalinya.

"Cari saja apa yang kuminta tentang Taeyong tadi, dan... carilah Yunho, aku berjanji padamu akan mengembalikan Xiaojun padamu."

"Jika diriku menemukan Jung Yunho apa yang akan kau lakukan?"

Ia ingin mengatakan bahwa dirinya sangat berterima kasih karena selama ini mungkin Yunho menjaga Seohyun dan anaknya secara diam-diam, mungkin juga Yunho tak mengatakannya karena sebuah alasan dan ia ingin tahu apakah alasan yang membuatnya merahasiakan hal itu dari Jaejoong.

Namun diatas itu semua yang paling ingin Jaejoong sampaikan pada Yunho adalah...

"Aku ingin meminta maaf.."

Keduanya diam, saat ini mereka benar- benar berada dalam keadaan yang sangat terjepit. "Aku akan mencarinya.." Hendery memutuskan untuk segera beranjak, ia tak bisa hanya duduk dan membiarkan Jaejoong melakukan segalanya seorang diri.

Setidaknya jika dirinya menemukan Yunho terlebih dahulu, ia bisa mengatakan tentang apa yang terjadi dan mungkin saja pria itu bahkan bisa membantunya.

Us

Hasil pengobatan kesehatan untuk Doyoung sudah keluar, dirinya dinyatakan sembuh dari tekanan depresi yang dialaminya berkat kenangan dan memori baru yang tertanam didalam kepalanya, dirinya bahkan selalu tersenyum lebar ketika ia baru saja disuapi makanan oleh Taeil, dan segera meminum obatnya tanpa protes.

"Kau sudah jauh lebih baik sekarang, istirahatlah, Hyung akan keluar sebentar.." Ujar Taeil setelah dirinya usai memberikan obat pada Doyoung, pria kelinci itu bahkan terlihat jauh lebih sehat daripada saat terakhir mereka bertemu di cafe.

Dengan patuh Doyoung menganggukkan kepalanya, ia kembali menidurkan tubuhnya diatas bangsal dan membiarkan Taeil menyelimutinya sampai leher, namun saat ia melihat pria itu akan pergi Doyoung segera menahan tangan Taeil dan berhasil membuat pria itu kembali menoleh kearahnya.

"Ada apa?"

"Sesungguhnya.. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu Hyung.." Ujarnya, jujur saja Doyoung tak bisa berbohong ia merasa ada yang aneh dengan dirinya, saat dirinya terbangun dirinya merasa amat sangat canggung berada di dekat Taeil padahal pria itu adalah kakak angkat yang bersama dengannya sedari kecil.

Dan lagi, dirinya tak tahu mengapa dia berada disini? Tempat ini terlihat berbeda dengan rumah sakit dalam ingatannya, bahkan Doyoung kadang bertanya-tanya mengapa dia ada disini? Mengapa dirinya berbaring disini? Apa yang terjadi? Mengapa dia tak mengingatnya sama sekali.

"Tanyakan saja, aku akan menjawabnya.."

Doyoung terlihat bangkit dari posisi tidurnya dan ia duduk diatas kasur seperti sebelumnya, tangannya masih menahan Taeil untuk tidak pergi kemanapun "Tapi aku ragu akan jawabanmu Hyung.." ujarnya sembari menatap Taeil yang kini terlihat terkejut.

"Kau memberikan jawaban yang sama terus menerus seolah-olah dirimu tengah menghafal sebuah naskah.."

"..........."

"Mengapa diriku berada disini? Apa yang terjadi padaku?" tanyanya lagi, ya lagi, karena Taeil yakin ia sudah 10x mendengar pertanyan yang sama masuk ke telinganya.

Bahkan setelah menanam ingatan palsu saja Doyoung tetap merasa canggung, bahkan dengan mudah merasa keanehan atau merasa ada sesuatu yang tengah ditutup-tutupi darinya, mungkin karena basic militer yang dimiliki olehnya jadi pria ini peka dengan keadaan sekitarnya.

"Jangan jawab diriku seperti jawaban yang kau berikan sebelumnya, diriku sudah menghafalnya dengan baik. Bahkan intonasi berbicaramu."

"Lalu... Jawaban apa yang kau inginkan? Kebenaran?"

Bibir Doyoung kelu, ia bahkan tak tahu jawaban apa yang harus ia berikan atas pertanyaan singkat Taeil. Ia bertanya akan rasa penasarannya, namun dirinyapun seolah membatasi diri akan kebenaran yang ditutupi darinya.

"Terkadang kau tidak perlu mengetahui kebenaran apapun jika itu hanya akan merusak dan menyakitimu Doyoung-ah.. Percayalah padaku, keadaan dirimu saat ini itu semua yang terbaik.."

"Jadi... Kau memang bukan kakak angkatku bukan?"

Taeil kembali diam, ia ingin mengatakan iya namun dirinya takut bahwa Doyoung akan sakit hati akan hal itu, "Baiklah Hyung tak perlu dijawab.." perlahan Doyoung melepas cengkramannya dari lengan Taeil namun justru jemarinya ditahan oleh Taeil saat ini yang berbalik justru mengenggam jemarinya dengan erat.

"Cukup percaya saja denganku, apa kau bisa? Aku tak akan pergi kemanapun.."

Keduanya terdiam namun Doyoung tersenyum dan terkekeh pelan "Bagaimana bisa diriku pergi tanpamu jika ingatanku saat ini tergambar jelas wajahmu Hyung.. Walau itu rekayasa.. Tapi, terima kasih.. Mungkin kau memang sudah menyelamatkanku dari hal yang tak perlu kuingat."

"Jadi sekarang menurutlah, istirahat Doyoung-ah.."

"Aku tak mau.. Ini waktunya kau untuk mengajakku berkeliling Hyung, mau tak mau kau harus menjelaskan apa yang terjadi disini, ditempat ini.."

Dan Taeil kembali menghela nafasnya, sepersekian detik ia merindukan Doyoung yang penurut seperti sebelumnya ketika dia belum bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan yang mungkin sudah berputar didalam kepalanya sejak awal.

"Baiklah.." ia mendekati sebuah laci meja dan mengeluarkan sepasang pakaian untuk Doyoung gunakan, sebuah tshirt putih, dengan kemeja kotak berwarna biru dan celana jeans berwarna hitam "Ganti pakaianmu maka akan kuajak kau berkeliling.."

Dengan senyum lebar Doyoung segera bangkit dari kasurnya "Baik Hyung.."

"Penurut, baiklah Hyung akan menunggumu diluar.." gemas, Taeil mengacak surai Doyoung kemudian beranjak keluar dari kamar rawat pria kelinci itu dan menunggu didepan kamar hingga Doyoung keluar dari dalam sana.

Keduanya berkeliling dikoridor gedung, Doyoung menatap sekeliling dengan perasaan takjub ia merasa seperti berada di dalam sebuah adegan film Sci-fi jika seperti ini, dirinya bahkan tak perduli bahwa saat ini ia masih bertelanjang kaki saat melangkah menyusuri setiap lorong.

"Tempat apa ini? Mengapa sangat besar?"

"Dirikupun kurang paham tempat apa ini, namun untuk saat ini hanya disini kita aman, kau paham?" Taeil menunduk usai melihat anggukan Doyoung, ia menatap kedua tungkai telanjang pria itu "Akan kucarikan alas kaki untukmu, tunggulah disini."

"O.. Iya Hyung.." Doyoungpun berhenti melangkah ia berpindah menuju bagian tepi koridor agar tak menghalangi jalan orang lain ketika Taeil pergi meninggalkannya.

Kedua tangannya ia masukkan kedalam saku celana sembari bersandar pada dinding, Doyoung menunduk dan menatap jemari kakinya yang bergerak karena udara dingin, ia terkekeh melihat jemari-jemari kakinya hingga ia merasa seseorang melangkah memasuki koridor tempatnya berada, ia pikir Taeil sudah kembali.

Begitu dirinya mendongak ia beradu tatap dengan seorang pria berwajah kelinci yang tengah menatapnya, dengan sopan Doyoung membungkuk pada pria itu dan menyapanya dengan senyum lebar nan ramah "Selamat siang.."

"S-sedang apa kau disini?"

"Ah.. Maaf, mungkin kau tidak mengenalku. Tapi diriku disini bersama dengan Taeil Hyung.. Namaku Doyoung.. Aku sudah sembuh dan terima kasih sudah membawaku dan Taeil Hyung ketempat aman ini.." ujar Doyoung panjang lebar dengan senyum yang tak kalah lebar juga.

Namun mungkin dirinya tak tahu dan tak sadar bahwa pria dihadapannya itu kini benar-benar terkejut karena Doyoung saat ini memang sama sekali tidak mengingatnya sebagai kakak. "...y-ya.. lalu, apa yang kau lakukan disini?"

"Aku menunggu Taeil Hyung, dia mencari alas kaki untukku.."

"..oh.." pria itu menganggukkan kepalanya, ia tak tahu harus memulai pembicaraan darimana? Ia tak tahu harus mengatakan apa pada adiknya yang terlihat tersenyum menatapnya saat ini. Raut wajah yang amat sangat jarang dilihatnya selama dirinya menjadi seorang kakak bagi Doyoung.

"..... Doyoung-ssi?"

"Ya?"

"Apa kau bahagia?"

"...?"

"Maksudku.." Himchan berdehem pelan, entah mengapa rasanya salah mengajukan pertanyaan seperti itu, namun ia tak tahu lagi bagaimana caranya bertanya pada Doyoung tentang keadaannya saat ini. Adiknya... Bahkan menatapnya dengan antusias berbanding terbalik dengan dirinya yang begitu malu walau hanya untuk beradu pandang dengan sang adik.

"Aku bahagia.."

Jawaban Doyoung membuat Himchan segera mendongak menatap adiknya tersebut, ia tak yakin akan pendengarannya, karena seharusnya Doyoung tak paham dengan maksud pertanyaannya.

"Aku tak tahu bagaimana cara kalian menanamkan ingatan palsu itu didalam kepalaku, tapi.. Aku berterima kasih karena kalian meninggalkan kenangan indah antara diriku dan Taeil Hyung. Mungkin yang di ucapkan oleh Taeil Hyung memang ada benarnya.."

Doyoung membungkukkan tubuhnya di hadapan Himchan sebagai ungkapan hormat dan terima kasih terbesarnya, dirinya kembali mendongak dan tersenyum lebar pada Himchan.

"Mungkin diriku yang dahulu, ingatanku yang lalu begitu menyakitkan bagi orang lain dan diriku sendiri. Terima kasih kau sudah menghapusnya.." lanjutnya, dan tentu saja itu berhasil membuat Himchan dengan susah payah menahan cairan yang ingin mengalir di pelupuk matanya.

"Dan.." Doyoung kembali menatap kedua mata Himchan yang terlihat berkaca-kaca ia tak tahu karena apa. Namun dirinya tetap tersenyum hangat pada Himchan "Diriku bahagia.. Terima kasih.." ia melirik diujung koridor Taeil datang dengan sepasang sepatu di tangannya "Permisi.." dirinya segera berlari menghampiri Taeil dan meninggalkan Himchan "Hyuuung.."

"Aku tidak tahu ukuranmu.. Kau coba dulu sepatu ini.."

Sambil mengangguk dan menurut Doyoung mendudukkan dirinya di lantai kemudian mencoba sepatu tersebut, sedangkan Himchan hanya menatap dalam diam kegiatan yang dilakukan oleh Doyoung dan Taeil, hal yang pernah dilakukan oleh mereka dahulu.

"Sepertinya tidak muat.."

"Naikan satu nomor, akan muat untuknya, mintalah yang berwarna hitam itu lebih cocok untuknya.." ujar Himchan atas ucapan Taeil, ia melihat Doyoung memaksakan kakinya untuk memakai sepatu tersebut.

Taeil yang sadar bahwa Himchan juga berada disana segera menundukkan kepalanya untuk menyapa Himchan, pria itu hanya membalasnya dengan senyuman sebelum melihat Taeil membawa Doyoung pergi untuk mengganti sepatu yang digunakannya.

Himchan masih tetap berada dikoridor tersebut, kali ini walau hatinya terasa cukup sakit karena adiknya sudah tak mengingatnya sama sekali namun melihat senyum bahagia yang terukir dari bibir dan wajahnya Himchan merasa bahwa melepaskan Doyoung dari keluarga mereka memanglah untuk kebahagiaan adiknya tersebut.

"Hyung?"

Panggilan dari sisi koridor yang lain membuat Himchan menoleh, ia segera tersenyum dan beranjak menghampiri Jongup, dan merangkul pria yang lebih pendek darinya itu kemudian pergi menuju tempat dimana dirinya dan yang lainnya diminta untuk berkumpul.

"Apa yang kau lakukan disana? Kau hanya berdiri saja.."

"Tak ada.. Hanya ada yang kupikirkan.." Himchan mengacak surai milik Jongup "Kau sudah siap?"

"Tentu... Sudah sudah siap.."

Keduanya sampai diruang rapat dan disana sudah ada yang lainnya, mereka sudah siap dengan tugas masing-masing. Termasuk Himchan dan Jongup yang menerima beberapa lembar berkas yang diberikan oleh Kun sebelum pria itu kembali melangkah ketengah ruangan.

"Jadi... Ini yang akan kita lakukan.." ucap Kun sembari berbalik badan menatap semua orang yang kini menunggu arahan darinya.

Us

Kantor polisi Detroit siang itu kedatangan 3 orang yang bagaimanapun mengundang perhatian dari beberapa orang yang mengenal dengan baik salah satu dari mereka ketiga tamu tak diundang tersebut. Nakamoto Yuta, siapa yang tidak kenal dengan mantan residivis tersebut? Mereka berbisik membuat Yuta yang sebelumnya melangkah dengan kepala terangkat kini sedikit menundukkan pandangannya.

Namun tepukan di bahunya dari Aiden membuatnya menoleh "Jika mereka menilaimu sebagai pembunuh maka biarkanlah, mereka hanya berani membicarakanmu dibelakang namun mereka tak akan berani mendekatimu." ucapan Aiden dibenarkan oleh Johnny.

"Saat ini, buatlah mereka takut padamu."

"Apa mereka akan takut padaku?"

Johnny melirik pada orang yang tengah berbisik tak jauh dari arahnya, dengan lirikan matanya saja ia berhasil membuat 2 wanita itu menutup kedua mulutnya agar berhenti berbicara dan menggosipkan seseorang yang sudah menjadi bagian dari mereka.

"Cobalah.. Kau akan tahu hasilnya setelah mencoba.."

Dorongan Aiden dan Johnny membuat Yuta perlahan menghela nafasnya dengan berat, ini kali pertama dirinya diharuskan berani mengangkat pandangannya agar sejajar dengan orang lain. Sejujurnya Yuta takut, namun ucapan keduanya benar, setidaknya jika mereka menganggap bahwa dirinya adalah seorang pembunuh berdarah dingin yang membunuh seluruh anggota keluarganya dengan keji, seharusnya mereka merasa takut akan kedatangannya.

Pria itu akhirnya meluruskan pandangannya menatap beberapa petugas yang tengah menatapnya dengan pandangan menilai, namun tak seberapa lama keduanya justru menunduk karena menerima tatapan tajam nan menusuk milik Yuta "Apa yang kau lihat?" ucap Yuta dengan nada tak bersahabat.

Sebuah kalimat saja yang meluncur dari bibirnya saja bisa membuat  beberapa orang menyingkir dari jalannya, melihat beberapa orang yang sebelumnya memandang Yuta dengan tatapan penuh penilaian kini menjauh dengan sendirinya membuat Aiden dan Johnny mau tak mau terkekeh.

"Kau memiliki bakat mengintimidasi orang lain Yuta-ssi.." ucap Aiden, entah itu pujian atau bukan tapi Yuta menerima hal tersebut sebagai bakat lain miliknya.

Johnny mengikuti Aiden yang baru saja menunjukkan identitas dirinya yang masih aman untuk digunakan pada penjaga yang berada didepan ruang kepala polisi di kota tersebut, membuat tak ada yang bisa menghalanginya untuk masuk kedalam dan memergoki kepala polisi tersebut tengah merokok didalam sana bahkan hingga terbatuk.

"Uhuuukk!!" pria paruh baya itu terkejut dan segera mematikan rokok yang dihisapnya "Siapa kalian?! Berani-beraninya memasuki ruanganku?!"

Sekali lagi Aiden menunjukkan kartu identitas dari balik sampul kulit miliknya, ia adalah seorang pemimpin di pusat keamanan milik negara, harap di ulang NEGARA, kebetulan saja kantor tersebut dibangun di Neo City.

Pria itu segera bangkit berdiri dan membungkuk hormat "Aku tak tahu bahwa kau akan melakukan kunjungan Tuan Lee.."

"Tidak perlu berbasa basi.." Aiden menggerakkan dagunya agar Johnny masuk bersama dengan Yuta. Begitu melihat Yuta kepala polisi Detroit  segera menghela nafasnya.

"Untuk apa dia ada disini?"

"Kudengar pria ini berasal dari kota ini, bahkan catatan kriminal terbesarnya berasal dari kota ini. Karena dia meretas sistem keamanan negara maka kami berniat melakukan penyelidikan atas dirinya. Kuharap kau membantu kami.." ujar Johnny tanpa terbata meminta hal tersebut.

"Ah.. Bukankah sudah kukirimkan kemarin?"

"Kami butuh seluruh data dari para saksi yang pernah berkaitan dengan kasus yang pernah di lakukan oleh pria ini, kali ini kami pastikan dia tak akan pernah keluar dari penjara..."

Pria itu ragu sebenarnya, untuk apa seorang pemimpin sampai harus turun tangan hanya demi kasus kecil "Bukankah ini hanya kasus kecil? Mengapa..."

Braaak!!

"Kasus kecil katamu? Meretas sistem keamanan katamu adalah kasus kecil? Apa harus kulaporkan ucapamu ingat agar jabatanmu diganti dengan seseorang yang lebih loyal pada pemerintahan?" ujar Aiden setelah memukul meja dengan kedua tangannya.

"Tapi..."

Ziiing!

Sebuah pisau melayang melewati sisi kiri wajah pria paruh baya yang menjabat sebagai ketua polisi di kota tersebut, dan menancap tepat pada bingkai foto yang terdapat di atas meja nakas dibelakang tubuh pria bernama August tersebut.

"Berikan.. Atau lemparan selanjutnya tidak akan meleset.." ujar Yuta dengan nada mengintimidasi dan tatapan tajamnya, membuat Johnny dan Aiden kini juga turut menatap pria itu dengan pandangan menutut.

"B-baiklah.."

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar