myCatalog

Jumat, 21 Agustus 2020

US - SEVEN



* US *

-

-

-

-

-






NEO CITY

2044


Latihan kuda-kuda yang dijalani Jaehyun akhirnya selesai, Himchan menjanjikan besok akan meneruskan latihan hari ini padahal kedua kaki dan paha Jaehyun saja rasanya sudah hampir ingin patah setelah dirinya usai berlatih.

"Kau berjanji akan mentraktirku bukan? Aku akan mandi sebentar." Jaehyun hampir melangkah meninggalkan Taeyong yang sudah mengangguk mengiyakan.

"Kau yakin akan bisa pergi keluar? Melangkah menuju kamarmu saja rasanya kau tak sanggup, apa kau perlu bantuan anak baru?"

Ucapan Doyoung benar-benar membuatnya geram, ia hanya berbalik badan sebentar kemudian menatap si pria kelinci kedua yang nampaknya tak menyukai kehadirannya, namun apa perdulinya.

"Jika diriku berkata akan pergi dengan Taeyong-ssi maka diriku akan pergi dengannya walau kedua kakiku patah sekalipun."

Keduanya berdiri saling berhadapan diantara Taeyong yang merasa seperti ada kesalahpahaman disini diantara kedua orang yang berdiri dihadapannya. Doyoung tak biasanya sekurang bersahabat ini pada orang lain? Lagipula mengapa Jaehyun juga tak biasanya tidak dapat mengontrol emosinya.

"Sebaiknya kau segera mandi Jaehyun-ssi.." Taeyong segera mengakhiri ketegangan diantara keduanya dan mendorong Jaehyun agar segera beranjak saja menuju kamarnya "Aku akan menemaninya, nanti kita berbincang lagi Doyoungie." ucap Taeyong sebelum beranjak pergi sambil mendorong Jaehyun yang sesungguhnya sangat tidak terima dirinya sampai harus mengalah terlebih dahulu.

"Ck.. Sekali Jung, tetap saja Jung."

Keduanya memasuki kamar Jaehyun, Taeyong segera mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang berada didalam kamar pria tersebut dekat dengan jendela, ia memandang keluar jendela dan mendapati halaman luas dari mansion Kim, dan meninggalkan Jaehyun dibelakangnya.

"Seharusnya kau tidak perlu membuatku terlihat tengah menghindar tadi, pria tadi jelas-jelas tidak menyukaiku."

"Mau bagaimana lagi?" pria itu sama sekali tidak menoleh untuk mendengar protes yang keluar dari bibir Jaehyun, kedua netranya terlalu sibuk menatap pandangan dihadapannya.

"Walaupun kau tertusuk pedang sekalipun tetaplah berada disini Jaehyun-ssi, jika kau tetap ingin hidup dan melindungi Jisung."

"Jadi sejak awal kau memang dengan sengaja membawaku kemari?"

Taeyong menghela nafas iapun bangkit berdiri kemudian berbalik menghadap Jaehyun "Ya.. Jadi bertahanlah, tunjukkan bahwa kau bukan Jung yang buruk seperti pamanmu itu."

Pria tampan itu menarik sebuah senyuman sembari menatap Taeyong "Jadi sekarang kaupun mulai meragukan mereka?"

"Tidak... Diriku tak pernah sekalipun meragukan keluargaku. Yang kuragukan adalah dirimu..."

Netranya bisa melihat senyum dibibir Jaehyun meredup ia sedikit terlihat kecewa atas ucapan Taeyong padanya. Ketika dirinya percaya pada pria itu justru sekarang dirinya yang diragukan.

"Bagaimanapun darah lebih kental daripada air Jung Jaehyun. Pastikan saja kau bukan Jung yang busuk seperti pamanmu."

Taeyong yang pertama kali memutuskan tatapan keduanya kemudian melangkah melewati Jaehyun dan segera beranjak keluar "Cepatlah mandi, aku akan menunggumu dibawah."

Blam

Suara pintu yang tertutup terdengar jelas ditelinga Jaehyun ia terkekeh pelan mentertawakan dirinya sendiri. Apa disini hanya ia yang mulai meletakkan kepercayaan pada seorang Lee Taeyong?

Us

Ini sudah hari ke-3 Lucas tidak berpapasan dengan Jungwoo di lobby gedung kantor, entah dirinya yang telat datang atau dirinya juga yang datang terlalu pagi. Pria itu sedikit kacau semenjak mendapati pria idamannya itu ternyata sudah menjadi kekasih seseorang.

Walau tak ada pekerjaannya yang terganggu sama sekali namun Lucas akan terlihat kacau justru ketika sedang tak mengerjakan apapun, baik dirinya dan Jayden memutuskan untuk melakukan penyelidikan mandiri di apartemennya setiap malam. Terkadang Johnny dan Aiden ikut datang menemani mereka melakukan penyelidikan bersama, semakin banyak yang membantu akan lebih cepat mendapatkan hasil bukan?

"Ini untukmu."

Suara Johnny memecahkan lamunan Lucas, ia melihat secangkir kopi panas sudah ada dihadapannya dan tentu saja dengan Johnny yang berdiri disamping meja kerjanya "Terima kasih Hyung..."

"Kau baik-baik saja?"

Perlahan Lucas menganggukkan kepalanya. Dirinya terkenal dengan pribadi yang tak bisa berhenti berbicara tanpa diminta, namun beberapa hari ini mulutnya benar-benar diam seperti seolah-olah nyawanya tercabut begitu saja.

"Pria dengan rambut merah itu kah yang membuatmu seperti ini? Apa kau melihatnya dengan seseorang?"

Lucas menoleh perlahan pada atasannya tersebut, pasti Jayden sudah menceritakan tentang kejadian di laboratorium saat itu pada Johnny. Orang ini benar-benar sangat ingin tahu dengan kehidupan para anak buahnya, terutama jika anak buahnya sangat dekat dengannya.

"Kau tahu dari Jayden atau Aiden Hyung kali ini?"

Pria tinggi itu terkekeh dan segera mendudukkan dirinya di kursi Jayden yang kosong karena pria itu tengah tidak berada di tempat.

"Tidak tahu dari siapapun, tapi Jayden memintaku untuk menemanimu selama dia pergi. Dan sepertinya tebakanku memang benar adanya."

"Hhh..." Lucas menghela nafas kemudian menggaruk dahinya yang tak gatal "Aku hanya terkejut dirinya sudah memiliki seseorang." Dirinya terlalu naif berpikir pria semanis Jungwoo tak memiliki seseorang untuk menjaganya bahkan dirinya berharap menjadi seseorang yang akan menjaga pria itu.
Sayang sekali saat ini keinginan itu hanyalah tinggal sebuah harapan semata.

"Daripada memikirkan pria itu sebaiknya kita membahas tentang penyelidikan yang tengah kalian lakukan. Bagaimana perkembangannya?"

Lucas mengangguk setuju, ia lebih baik berkutat dengan banyak hal daripada memikirkan tentang Jungwoo, dirinya bisa terjebak dalam kesedihan yang berlarut-larut "Tak terlalu banyak informasi yang kudapatkan. Diriku dan Jayden sudah diam-diam mendatangi rumah tempat dimana Park Jisung tinggal untuk mencari petunjuk atau apapun. Namun sepertinya kami terlambat, seisi rumah sudah berantakan karena ulah tim bodoh yang mengacak-acak sebuah rumah hanya demi mencari satu orang.."

"Mengacak seisi rumah?"

"Ya.. Rumah tersebut sangat berantakan, seluruh benda berserakan bahkan laci-lacipun terbuka dengan isi yang berhamburan di lantai, belum lagi deng-.."

"Berhenti.." Johnny menginterupsi ucapan Lucas, ia menemukan kejanggalan dalam cerita anak buahnya tersebut.

"Ada apa Hyung?"

"Apa kau tak merasa aneh mereka mencari keberadaan Park Jisung dengan mengacak-acak seisi rumah? Apa kau pikir pria dengan tinggi seperti Park Jisung akan bersembunyi didalam laci?"

Dalam sekejap ekspresi wajah Lucas segera berubah, ia paham apa yang dicari oleh tim bodoh tersebut, bukan Park Jisung.

"Sepertinya anak itu memiliki sesuatu. Dan mereka mencarinya, nyawa Park Jisung benar-benar dalam bahaya jika mereka terus mencari dengan bar-bar seperti ini."

Lucas mencelos mendengar ucapan Johnny, sebenarnya apa yang anak itu miliki hingga mereka mengejarnya sampai seperti ini? Masalah hidup Park Jisung mengapa terasa lebih berat daripada masalah percintaannya.

"Perluas pencarian, minta Jayden membawa lebih banyak laporan dari laboratorium dan kumpulkan lebih banyak data tentang Park Jisung dan Park Jungsoo." Johnny segera bangkit berdiri saat ia melihat Lucas segera mengerjakan apa yang dimintanya, menghubungi Jayden dan juga memperluas pencarian terhadap Park Jisung.

Johnny melangkah keluar dari ruangan sembari merogoh saku, ia mengeluarkan ponsel kemudian menghubungi seseorang dan bersandar di salah satu sisi dinding sembari memandang sekitar.

"Ya?"

"Apa kau aman untuk berbincang saat ini?"

"Katakanlah.."

Johnny mengerti dengan kode ucapan tersebut, orang yang dihubunginya saat ini tengah tidak leluasa untuk menerima panggilan. Namun ia harus menyampaikan hal ini sebelum terlambat.

"Sepertinya mereka sudah menyadari bahwa Jisung mungkin saja memiliki sesuatu yang mungkin diberikan oleh Dr.Park sebelum kematiannya."

Diam, suara pria diseberang sana hanya terdengar menghela nafas pelan.

"Aku akan memastikan dimana lokasinya dan memastikan keamanannya. Kau tenang saja, Paman.."

".... Baiklah."

Sambungan terputus, Johnny menatap layar ponselnya sebentar kemudian ikut menghela nafas sebentar. Ia menatap sekeliling kemudian menyimpan kembali ponselnya dan mengeluarkan sebungkus rokok dari balik saku dan menghidupkan sebatang rokok tersebut.

Namun baru tiga kali ia menghisap batang nikotin tersebut Johnny sudah mematikan rokok itu dan membuang puntungnya kedalam tempat sampah, dirinya bukan perokok aktif, dirinya hanya akan menghisap nikotin saat benar-benar merasa buntu akan sebuah kasus. Ia harus menemukan Jisung sebelum tim lain menemukan anak itu dan memastikan keamanannya sesuai dengan janjinya.

Us

Sebuah tambang dilempar dari sebuah papan yang berada dipuncak tenda sirkus kebawah, Winwin dan Yangyang berdiri diantara Jisung yang tengah mengintip kebawah dari papan panjang yang diinjaknya saat ini. Susah payah dirinya menelan liur, walau ia seorang stunt biker sekalipun ia tidak pernah berada diketinggian seperti ini.

Bahkan kepala besar Chenle terlihat lebih kecil saat ini daripada biasanya.

"Apa ini tidak terlalu berlebihan? Jisung tidak akan betah berlatih lebih dari 1 hari." keluh Chenle saat melihat Jisung berada disana, disisi kirinya sudah ada Renjun dan Yuta yang tengah memperhatikan latihan pertama Jisung. Sedangkan Ten berada di sisi kanannya, ketiganya sangat santai melihat Jisung diatas sana seolah-olah yakin bahwa tidak akan terjadi hal buruk apapun.

"Melompatlah Jisung..."

"Ha?" Jisung menunjuk dirinya sendiri, ia kembali melihat kebawah papan, ketinggian dihadapannya membuat kepalanya pening seketika. Tingginya bukan main-main apa Winwin sudah gila dengan membuatnya melompat dari atas sini? Bagaimana jika tulangnya patah? Atau yang terburuk, tewas?

Yangyang sudah memegang salah satu kayu trapeze memundurkan tubuhnya dan mulai berlari kearah Jisung yang baru saja sadar dirinya mungkin akan tertabrak jika tetap berdiri ditempat.

"Sebentar-sebentar.." Jisung berniat untuk beranjak, namun Yanyang jauh lebih cepat. Lengan kirinya meraih tubuh Jisung dan keduanya melompat dari atas papan dengan Yanyang yang menahan tubuh mereka dengan tangan kanan.

"Kau gila kita bisa jatuh!" omel Jisung, ia belum siap untuk mati.

Dekapan Yangyang mengendur membuat Jisung berjengit kaget, pria itu melepaskan dekapannya hingga tubuh Jisung merosot kebawah dengan cepat.

"Jisung!!"

Chenle melangkah maju mengundang atensi Ten dan Renjun, keduanya menatap punggung Chenle sebelum saling melemparkan tatapan satu sama lain.

Seumur hidup mereka mengenal Chenle ini kali pertama mereka mengetahui dengan jelas kelemahan terbesar adik kecil mereka, Jisung.

Beruntung tangan kiri Yangyang menahan jemari Jisung dengan kuat hingga kini pria tinggi itu bergantung. Ia bahkan tak dapat berteriak karena terkejut, jantungnya benar-benar seperti terjun ke lambung karena tubuhnya merosot begitu saja.

Namun baru sebentar tubuhnya ditahan oleh Yangyang pria itu sudah menggerakkan lengannya, menggoyangkan tubuh Jisung dalam genggamannya.

"Yak, sebentar-sebentar. Apa kau berniat agar diriku terjatuh eoh? Apa kau gila?!" Jisung benar-benar terbakar emosi, mengapa pria ini hanya menatapnya sambil tersenyum apa dia tak bisa mengatakan apapun?

"Park Jisung!!"

Chenle berteriak saat melihat tubuh Jisung dilempar oleh Yanyang, menuju tali trapeze yang lain namun Jisung justru gagal menggapainya dan terjun bebas kebawah, beruntung Chenle segera menteleport dirinya untuk menangkap tubuh Jisung dan muncul lagi dihadapan para hyung mereka saat terjatuh dengan jarak rendah ditengah-tengah tenda.

Bruk

"Boleh juga.." ucap Yuta sembari mendongak dan menatap Winwin yang masih berdiri di papan tertinggi dalam tenda tersebut dengan wajah datarnya dan hanya menatap Yuta sekilas.

"Gerakannya kurang cepat.. Chenle bahkan tidak bisa mendarat dengan benar. Dia akan tertangkap dengan mudah."

Perbincangan Ten dan Renjun sama sekali tidak di dengar oleh Chenle yang sibuk mengecek keadaan Jisung, wajah pria itu pucat pasi. "Jisung-ah kau masih hidup bukan?" ia menepuk-nepuk wajah Jisung agar tersadar dari fase terkejutnya.

Jemari panjang Jisung menahan tangan Chenle yang menepuk-nepuk wajahnya, ia mendudukkan dirinya usai melihat Chenle beranjak dari atas tubuhnya.

"Kau baik-baik saja?"

"Y-Ya aku baik-baik saja, kau menyelamatkanku bukan?"

"Park Jisung.."

Keduanya menoleh keatas, Winwin memanggilnya. Wajah pria itu tetap terlihat datar tanpa emosi namun ada senyum kecil diwajahnya "Latihan selanjutnya kau harus lebih serius, jika tak ada Chenle maka mungkin kepalamu yang akan mendarat ditanah."

Kalimat yang diucapkan Winwin menjelaskan bahwa Jisung harus kembali lagi naik keatas dan mencoba lagi hingga dirinya bisa, disaat seperti ini Winwin terlihat lebih menyeramkan daripada Yuta.

"Yak! Kalian kenapa membuat Jisung berlatih seberat ini?" omel Chenle, sedangkan Jisung kembali pucat pasi.

"Bukankah sudah kami katakan kemarin, jika dia tidak berlatih maka tak akan ada yang melindunginya. Setidaknya dia harus bisa melindungi dirinya sendiri tak perlu melindungi orang lain." ucap Renjun, ia mendekati Chenle dan Jisung sambil mengulurkan tangan kirinya.

Jisung meraihnya, walau gemetar Renjun bisa merasakan remasan kuat dalam genggaman anak itu. "Kau hanya perlu berjuang untuk dirimu sendiri Park Jisung.."

Ucapan Renjun sedikit banyak membuatnya kembali berpikir, disaat seperti ini bahkan tak ada Jaehyun disisinya. Dia pergi secara tiba-tiba dengan predikat sebagai seorang buronan, bagaimana keadaan Jaehyun disanapun dia tak tahu.

Perlahan ia menoleh pada Chenle yang juga menyusul dirinya untuk bangkit berdiri, pria itupun karena menyelamatkannya bisa jadi juga menjadi salah satu buronan. Ia tak bisa bersembunyi terus bukan? Ucapan Renjun ada benarnya, setidaknya ia harus bisa melindungi dirinya sendiri jika dia ingin melindungi Jaehyun dan Chenle.

"Aku mengerti..." Gumamnya dan kembali melangkah menghampiri tangga tempatnya memanjat menuju papa tertinggi dimana Winwin berada, walau Chenle sempat menahan Jisung namun pria tinggi itu meyakinkan Chenle bahwa dirinya harus melakukan ini.

Sedangkan Yangyang tetap berada di salah satu trapeze sembari menatap Jisung yang kembali menghampiri Winwin, pria itu sudah memanjat dan duduk di besi trapeze seolah-olah tengah bermain ayunan diatas ketinggian.

"Taruhan denganku, kali ini dia akan jatuh dan kakinya patah.." Ujar Yuta yang tak memalingkan tatapannya dari Winwin dan Jisung yang sudah tiba di atas sana.

".... Tidak.. Aku yakin dia bisa setidaknya dia bisa mencapai Yangyang.."

Yuta mengalihkan tatapannya pada Ten, ia tak pernah melihat Ten menaruh keyakinan pada seseorang seperti dirinya yakin pada Jisung saat ini. Ia kemudian mengalihkan tatapannya pada Jisung lagi diatas sana.

Netra tajam Winwin menatap Jisung yang tengah menghirup nafasnya dalam-dalam "Kau yakin ingin melompat setelah terjatuh? Manusia biasa akan meminta waktu memulihkan diri dari rasa shock yang ia terima saat terjatuh dari ketinggian seperti ini."

"Apa kau pikir diriku orang biasa?" Jisung tersenyum pada Winwin, dan dibalas senyuman simpul oleh pria tersebut.

"Welcome to Freak Show.." Ucap Winwin seolah menyambut Jisung.

Jisungpun melangkah mundur seperti yang dilakukan oleh Yangyang tadi, namun ia mengambil langkah mundur yang lebih panjang, kemudian berlari dengan cepat dan melompat dengan tangan yang terangkat tinggi keudara.

Grep!

Senyuman lebar Yangyang adalah hal pertama yang dilihat oleh Jisung saat dirinya mencapai trapeze pertama dimana Yangyang kini berdiri di trapeze tersebut dengan tangan Jisung yang menggenggam erat besi trapeze dengan kedua tangannya.

".... Waw kau benar.. Dia berhasil." Yuta bahkan tak bisa berkedip saat melihat Jisung benar-benar berhasil, kini harus ia akui Winwin bisa membuat Jisung menggunakan Trapeze terlebih dahulu daripada belati miliknya.

"Baiklah, Jisung sudah berhasil melompat. Kini giliranmu.." Ten menghampiri Chenle yang masih mendongak keatas menatap Jisung yang tengah di bantu oleh Yangyang untuk naik keatas trapeze, keduanya akan turun dengan bantuan tangga.

"Aku? Apa diriku harus melompat juga?" Chenle menunjuk wajahnya dengan tatapan horor sambil menatap Ten, namun pria itu terkekeh pelan dan menggeleng.

"Kau hanya perlu melawanku.." Ten mengetuk pelipisnya kemudian menarik Chenle dalam rangkulannya dan segera membawanya ke tenda dimana Somi sudah menunggu mereka untuk berlatih.

Ia pikir dirinya dapat mengalahkan Ten dengan mudah, ia pikir hanya menggunakan tenaga karena setahunya memang Ten tidak sekuat Taeyong ataupun Somi yang notabenenya adalah seorang perempuan.

Namun nyatanya Chenle salah besar, Ten lebih kuat daripada itu. Pria itu bahkan bisa membaca gerakannya sebelum ia sampai di hadapan Ten dan memukul Chenle tanpa ampun dengan tongkat kayu miliknya.

"Argh.."

Ini sudah yang ke-4 kalinya Chenle terjatuh karena Ten membaca serangannya dengan mudah. Bahkan Somi sampai meringis setiap melihat Chenle terhantam tongkat kayu yang tengah digenggam oleh Ten, pria itu tidak pernah main-main dengan latihan yang dijalaninya.

"Kau serius Hyung? Kau ingin berlatih atau membunuhku?!" Omel Chenle, ia merasa tak akan bisa melawan Ten jika pria itu saja selalu bisa menghindari serangannya. Bagaimanapun Ten bisa membaca serangannya.

"Berlatih, namun akupun juga bisa membunuhmu dengan mudah. Kau ingin selemah ini? Bukankah kau sangat ingin melindungi sahabat manusiamu itu? Bagaimana jika gerakanmu terbaca dengan mudah, bukan menyelamatkannya kau justru menjebloskan dirimu dalam masalah."

Chenle mengerti dengan jelas maksud ucapan Ten padanya, ini pasti karena dirinya terekam jelas menyelamatkan Jisung saat itu. Ia kembali bangkit dan berteleport menyerang Ten secara tiba-tiba dari belakang namun pria itu sudah berbalik dan memukul Chenle dengan tinjunya.

"Ulangi lagi."

Pria itu tak menyerah dan kembali bangkit, ia berteleport menghilang dari hadapan Ten untuk menjauh sebelum kembali menyerangnya dari arah berlawanan, namun lagi-lagi serangannya terbaca.

"Ulangi lagi!"

Berkali-kali Chenle mencoba untuk menyerang Ten dari berbagai arah namun yang didapatkan olehnya hanyalah sebuah pukulan keras yang membuatnya terhantam ke tanah. Ten benar-benar tidak main-main dengan serangannya.

"Oppa, kurasa biarkan Chenle beristirahat. Dia sudah terluka cukup parah." Somi meminta Ten untuk berhenti, bagaimanapun ia tidak tega melihat Chenle yang terlihat lelah dan juga dirinya yakin anak itu sudah memiliki banyak luka memar di balik pakaiannya.

"Tidak.. Dia harus bisa mengalahkanku sekali baru dia bisa beristirahat."

Chenle menghela nafasnya ia bahkan sudah tersengal-sengal, dirinya tak tahu bagaimana cara mengalahkan Ten. Mau ia pikirkan bagaimanapun caranya akan sangat sulit mengecoh Ten yang dapat membaca gerak geriknya bahkan mungkin sebelum Chenle memikirkannya Ten akan bisa menebak gerakannya.

Ten mendekati Chenle ia bisa merasakan betapa rumitnya isi kepala Chenle saat ini ia berjongkok dihadapan pria bermata sipit tersebut "Kau tahu dengan jelas kekuatanku Chenle-ya. Seharusnya kau pun tahu kelemahan terbesarku, jangan biarkan diriku membaca pikirkanmu. Kau hanya perlu melakukannya tanpa harus memikirkan apa yang harus kau lakukan... Seperti saat dirimu menyelamatkan Jisung tanpa berpikir panjang."

Raut wajah Chenle tampak terkejut, ia pikir apa yang dilakukannya saat itu salah "Kupikir.."

"Berhentilah berpikir... Itu hanya membuang waktu, kau harus memutuskan segala hal tanpa harus berpikir terlalu lama Chenle. Terkadang hal spontan yang kau lakukan akan menyelamatkanmu.. dan sahabatmu itu."

Ten beranjak bangkit ia melangkah menjauh menghampiri Somi, namun sebuah pukulan tongkat di punggungnya berhasil membuat langkahnya berhenti dan Somi menutup mulutnya karena terkejut.
Ia berbalik dan melihat Chenle sudah berada dibalik tubuhnya dengan sebuah tongkat di tangannya, gerakan cepat barusan sama sekali tak terbaca olehnya. "Apa seperti itu Hyung?"

Ten tersenyum ia mengangguk dan memeluk Chenle "Benar.. Lakukan seperti itu, jangan biarkan siapapun membaca gerakanmu termasuk diriku sekalipun." Ia melepas pelukannya "Lanjutkan latihanmu dengan Somi aku harus memastikan tulang punggungku baik-baik saja usai pukulan kuatmu itu."

"Maafkan aku Hyung.."

Chenle tersenyum kikuk saat Ten sudah melangkah keluar tenda sembari meremas bahu kanannya, sedangkan Somi memberikannya seikat perban "Gunakan ditanganmu, kau harus belajar meninju setelah makan siang.." Ujar Somi dan perlahan mengacak surai rambut Chenle anak itu segera berlari menuju tenda milik Winwin dan menghampiri Jisung untuk mengajaknya makan siang bersama.
Sedangkan Ten melangkah menjauh dari arena sirkus, ia menuju tepi bukit dan menatap sekeliling dalam diam hingga ponsel dalam sakunya berbunyi, tanda sebuah pesan masuk.

Bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat pesan dari siapa yang diterimanya 'sudah makan siang?'

Dengan cepat Ten membalasnya, berharap akan segera mendapatkan balasan dari sipengirim. Namun ia memutuskan kembali menuju area sirkus karena perutnya sudah meronta-ronta untuk segera diisi setelah menyimpan kembali ponselnya.

Sedangkan si pengirim pesan baru saja ingin membalas pesan masuk dari kekasih hatinya tersebut namun sebuah berkas tiba-tiba saja datang ke meja kerjanya.

"Hyung, ini laporan tentang Park Jungsoo dan Park Jisung yang kau minta.."

Pria itu tersenyum dan meraih berkas tersebut dari tangan anak buahnya "Terima kasih Lucas.."

"Kau tak makan siang? Aku akan pergi makan siang dengan Jayden.."

"Kau bisa pergi duluan, aku akan menyusul.."

Pria itu masih sibuk dengan ponselnya dan mengetik balasan sebelum ia menyadari bahwa Lucas masih berdiri dihadapannya dan melihat wajah bodohnya saat membalas pesan singkat.

"Ah.. Kau punya kekasih ternyata diluar sana."

"Ck.. Kau.. Ayo kita pergi ke kantin.." Pria itu akhirnya menyimpan ponselnya tanpa membalas, setelah ia membaca sekali lagi balasan kekasih hatinya tersebut. Dan segera merangkul Lucas yang tengah terkekeh karena ini kali pertama ia melihat atasannya tersebut terlihat sangat bodoh ketika berhadapan dengan layar ponsel.

'Aku sedang melatih 2 anak baru di Sirkus.. Akan makan siang sebentar lagi, sebaiknya kaupun tidak melupakan makan siangmu.. Johnny..'


To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar