Sabtu, 03 Oktober 2020

TWISTED - 16


∵ TWISTED ∵


|


|


|


|


Satu minggu lewat setelah hari itu, Hyukjae masih memikirkan banyak hal tanpa keluar dari kamarnya. Yang ia lakukan benar-benar sama seperti apa yang pernah Jaemin lakukan saat ia usai di gigit oleh Jeno pertama kali dalam hidupnya.

Namun yang berbeda disini, Hyukjae tetap membalas pesan dari Donghae tanpa sedikitpun berpikir untuk menghiraukan kekasihnya itu walau mereka sudah hampir satu minggu tak bertemu.

Hyukjae bukan tidak menerima kenyataan akan siapa kekasihnya namun ia hanya tengah mencerna, ia tengah berpikir tentang keegoisannya seorang diri untuk mengikuti jejak adiknya. Memiliki kekasih yang bukan seorang manusia, bahkan mungkin akan tidak disukai oleh saudaranya yang lain.

Banyak hal yang dipikirkan olehnya, bagaimana jika Donghae dibenci oleh keluarganya karena keegoisannya?

Tapi jika dirinya tak egois ia mungkin harus pergi dari Donghae dan itu bukanlah pilihan yang akan dipilih olehnya. Karena sejak awal dirinya memang akan memilih Donghae sebagai pilihan akhirnya.

Jemarinya menyentuh layar ponsel dan mencari kontak adiknya Na Jaemin, ia ingin berbicara langsung dan mendengar dari mulut sang adik tentang Jaemin dan juga Jeno. Bagaimana semuanya berawal?

Hyukjae memutuskan untuk membersihkan diri sejenak, usainya ia melihat Jaemin membalas pesannya dan menyanggupi untuk bertemu dengan Hyukjae.

Setelah berpakaian rapi, ia segera menuju cafenya sendiri untuk bertemu dengan Jaemin, dirinya terlihat begitu bersemangat. Lagipula jawaban Jaemin akan menjadi akhir dari keputusan akan langkah apa yang mungkin diambil oleh Lee Hyukjae atas hubungannya dengan pemimpin Mansion Lee tersebut.

"Kau akan kemana Oppa?"

Hyukjae menoleh saat melihat Lami menyapanya yang tengah memakai sepatu diteras depan, gadis itu sepertinya akan berangkat kerja. Ia tersenyum simpul "Cafe.. Seminggu cukup untuk berlibur rasanya."

"Ah..."

"Kau mau Oppa antar?"

"Tidak perlu Oppa, aku dijemput Yixing Oppa.." Lami menunjuk kearah pintu pagar panti dan sudah terdapat mobil Junmyeon didepan sana.

"Yixing?"

Hyukjae mencoba untuk mengingat siapa pria itu, kenapa namanya terasa familiar diingatannya?

'Praaaang'

'Chenle-ya?? Kau tak apa-apa?'

Suara gaduh dari tengah restoran membuat Hyukjae menoleh kesumber suara dan ia melihat adiknya Jaemin dan seorang pria bersurai pink berdiri disana, jemari pria itu gemetar dan segera diraih oleh Jaemin.

2 pria lagi datang dan mereka menoleh bersamaan kearah seorang pria tinggi yang berdiri dengan segelas wine ditangannya.

Itu adalah pria yang datang bersama dengan Junmyeon tadi bukan?

Ah... Hyukjae ingat.

Yixing pria yang ada di acara Junmyeon dan membuat pria bersurai pink itu menjatuhkan gelasnya karena terkejut. Bahkan termasuk adiknya Jaemin pun ikut terkejut saat itu.

"Oppa aku berangkat ya.."

Lami pergi melambai mau tak mau Hyukjae pun ikut melambai walau ia bertanya-tanya akan siapa itu Yixing? Kenapa dia tiba-tiba muncul diantara mereka? Mungkin hal itu juga akan ditanyakan oleh Hyukjae pada Jaemin nanti.

Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, Hyukjae tengah membantu Lucas dengan beberapa pesanan saat Jaemin masuk kedalam cafe.

"Hyung.."

"O.. Kau sudah datang Jaemin-ah." Hyukjae menoleh kemudian meletakkan nampan kosong diatas meja bar "Duduklah dulu.."

Jaemin mengikuti perintah hyungnya untuk duduk terlebih dahulu, ia menghampiri meja paling pojok dekat dengan kaca, jemarinya meletakkan kunci mobil Jeno diatas meja ia melihat jam tangannya sebelum mulai mencoba rileks menunggu Hyukjae.

Dirinya harus menjemput Jeno yang saat ini tengah pemotretan untuk sebuah brand pakaian yang akan diluncurkan pada musim dingin nanti. Sekaligus membawakan makanan saat ia kembali menjemput Jeno.

"Apa kau lama menungguku?" Hyukjae datang dengan 2 gelas minuman, satu americano kesukaan Jaemin dan satu lagi milkshake strawberry untuk dirinya sendiri.

"Aku baru 5 menit duduk hyung, ada apa? Apa ada masalah?"

Hyukjae terkekeh "Kenapa kau berkata seperti itu? Apa diriku terlihat memiliki masalah?"

Awalnya Jaemin berpikir Hyungnya dan Donghae bertengkar, karena pria bernama Lee Donghae itu sekarang tidak pernah lagi berangkat pagi hari selama seminggu ini ditambah Jungwoo membantu di cafe karena Hyukjae ternyata tidak bekerja selama seminggu.

Namun melihat sambutan dan senyuman hyungnya Jaemin tahu keduanya mungkin baik-baik saja, tapi ia yakin ada masalah yang ingin dibicarakan oleh Hyukjae padanya makanya dirinya dipanggil kemari untuk datang.

"Aku merasa seperti itu Hyung.."

Hyukjae menyeruput milkshake strawberry miliknya, ia tengah menyusun kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan, karena hal ini sangat sensitif bagi Jaemin ia tahu akan hal itu. Dirinya tak ingin bertengkar dengan Jaemin karena pembicaraan nanti.

"Jaemin-ah.."

"Ya?"

"Setelah tahu siapa Jeno apa kau benar-benar masih mencintainya? Setelah tahu dia yang menyebabkan kematian ayahmu apa kau benar-benar masih menyukainya?"

Pria bersurai auburn itu tidak lantas langsung menjawab pertanyaan itu ia mengenggam gelas minumannya, ice americano, merasakan dingin dari minuman itu pindah ke telapak tangannya.

"Kau tahu, Hyung hanya ingin bertanya, memastikan, aku sama sekali tidak ingin memaksakan kehendakku ataupun yang lainnya padamu. Keputusanmu atas hubungan yang kau jalani dengan Jeno adalah hak mu, yang ingin kutahu hanyalah... apa kau bahagia Jaemin-ah? Apa kau benar-benar bahagia dengan keputusanmu?"

Na Jaemin tersenyum, inilah alasan mengapa ia sangat menyayangi Lee Hyukjae, hyungnya ini selalu berbicara dan berkata dengan lembut padanya. Menanyakan apa yang terjadi padanya dahulu tanpa berniat menyinggung perasaan siapapun.

"Aku sudah tahu dia pembunuh ayahku sebelum diriku mencintainya hyung.."

"Dengan kata lain diriku sudah tahu siapa dia sebenarnya jauh sebelum diriku mencintai Lee Jeno, lagi." Tambah Jaemin.

"Lagi?"

"Mungkin kau tak percaya padaku, tapi.. dikehidupan lalupun aku mencintainya."

Hyukjae terdiam, ia pun memikirkan hal yang sama akhir-akhir ini setelah mengingat kembali bagaimana reaksi Jungwoo dan Donghae saat melihatnya, seperti melihat hantu. Apa mungkin dirinyapun...

"Mungkin saat itu Jeno tertarik padaku karena wajahku mirip dengan seseorang dari masa lalunya, tapi aku tertarik padanya karena ingin melenyapkannya aku benar-benar membencinya Hyung, karena aku tahu dia pelakunya."

"Lalu? Kemana rasa bencimu?"

"Bagaimana aku bisa terus menerus membencinya yang selalu berbuat baik padaku Hyung, bagaimana bisa diriku membenci orang yang selalu berusaha ada untukku. Bagaimana aku bisa melenyapkannya jika dia sendiri tidak tahu kalau dirinya membunuh ayahku 20 tahun silam Hyung."

"Maksudmu? Maksudmu, Jeno bahkan tak tahu kalau dirinya pernah membunuh orang?"

Jaemin menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, dirinya jadi teringat bagaimana Jeno terlihat begitu frustasi hanya karena mengingat mimpi buruknya yang sesungguhnya adalah kenyataan, jika Jeno tahu dirinya pembunuh Jaemin tak tahu apa yang akan dilakukan pria bermata sipit itu nantinya.

"Dia tidak pernah tahu dan tak akan pernah tahu, aku sudah membakar buktinya dan akan menutup mulutku rapat-rapat selamanya."

Hyukjae menghela nafas, namun ia kembali tersenyum hangat sambil meremas jemari Jaemin yang saling bertumpu diatas meja. Dirinya mengerti perasaan Jaemin, bahkan ini kali pertama ia melihat adiknya begitu membela seseorang dalam hidupnya.

Tentu saja Hyukjae masih ingat bagaimana Jaemin masuk rumah sakit hanya karena menahan peluru dengan tubuhnya hanya demi menyelamatkan Jeno. Padahal pria itu mungkin tak akan mati walaupun terkena peluru.

"Hyung mengerti.. kau sangat mencintainya Jaemin-ah Hyung mengerti."

Mendengar Hyungnya mengerti tak lantas membuat Jaemin senang, ia menarik jemarinya yang tertumpu dipaling bawah lalu memindahkannya diatas punggung tangan Hyukjae "Katakan padaku Hyung, ada apa? Apa pertanyaan ini ada hubungannya dengan dirimu dan Donghae-ssi?"

Perlahan Hyukjae menganggukkan kepalanya, iapun sama seperti Jaemin menyukai Donghae bahkan lebih dari apapun. Ia sudah memikirkan tentang pria tampan itu sejak dirinya berumur 8 tahun.

Bayangkan saja garis wajah Donghae tidak sedetikpun menghilang dari ingatannya selama 20 tahun hingga mereka akhirnya bertemu kembali di cafe ini.

"Sejujurnya diriku dan Donghae, kami.. sudah menjalin hubungan diam-diam dibelakang kalian semua. Kami tak ingin membuat dirimu dan Jeno terbebani dengan hubungan kami.."

Mendengar ucapan Hyukjae membuat Jaemin justru terkekeh pelan "Aku pun sudah tahu sejak awal, teman macam apa yang datang mengajakmu untuk sarapan bersama setiap hari setiap pagi tanpa jeda."

Hyukjae menggaruk pipinya yang tak gatal, sudah ia duga kalau hal itu akan menimbulkan kecurigaan. Tapi mau bagaimana lagi, Donghae orang yang sibuk bukan? Mereka hanya bisa bertemu dipagi hari sebelum cafe benar-benar buka dan pria itu berangkat ke kantornya untuk masing-masing memulai hari dengan kesibukan.

"Lalu? Apa kau meragukan sesuatu hingga bertanya padaku Hyung?"

Kembali kepala Hyukjae mengangguk "Aku hanya memiliki satu pilihan, tetap bersama dengan Donghae. Kau mungkin tak tahu kalau aku sudah menyukainya sejak diriku berumur 8 tahun Jaemin-ah. Hari dimana kita pertama kali bertemu, dihari itupun aku bertemu dengannya ditaman.."

"Jadi sejak awal kau bertemu dengannya disini kau tahu bahwa Lee Donghae-ssi tidak menua?" Pertanyaan Jaemin disambut anggukan oleh Hyukjae. "Kau sudah tahu siapa Lee Donghae-ssi yang sebenarnya Hyung?"

Lagi, Hyukjae menganggukkan kepalanya "Tentu saja diriku tahu.. Aku paham sekarang mengapa dia terlihat begitu tampan 20 tahun lalu, mungkin karena dia seorang penghisap darah.." Jawabnya sambil terkekeh pelan.

Jaemin menerawang, ia ingat taman itu iapun ingat disana juga Jeno berjongkok dihadapannya mengusap penuh kelembutan kepala kecilnya dan menatapnya dengan dalam. Jika diingat-ingat seharusnya Jaeminpun jatuh hati pada Jeno saat itu, pesona seorang Lee Jeno 20 tahun lalu tidaklah main-main.

Namun saat itu dirinya terlalu takut dan masih shock karena kejadian malam sebelumnya. Jeno yang terlihat manis dan baik itu sangatlah mengerikan dimalam sebelumnya.

"Jadi.. Jika diriku mengambil langkah yang sama denganmu apa dirikupun menyakiti mereka? Jinhyuk? Siwon Hyung? Junmyeon Hyung? Apa diriku menyakiti mereka?"

Pertanyaan Hyukjae adalah pertanyaan yang selama ini mengganjal dikepalanya terlebih setelah kejadian di panti, ia jelas-jelas memilih untuk meninggalkan keluarganya dan pergi melindungi Jenonya, apa dia menyakiti keluarganya?

"Akupun masih mempertanyakan hal yang sama Hyung.. Apa diriku menyakiti keluargaku?" Namun Jaemin kembali menangkup jemari Hyukjae.

"Tapi, kejarlah kebahagiaanmu Hyung. Donghae-ssi sudah menunggumu begitu lama." Ucapan Jaemin membuat Hyukjae mau tak mau tertawa pelan dan mengangguk, ia paham sekarang.

Mengapa Donghae terkejut saat melihatnya, ia mungkin reinkarnasi seseorang dimasa lalu prianya. Ingin rasanya berterima kasih pada Donghae yang tetap mencintainya.

"Ah, Jaemin-ah.. Kau kenal Yixing?"

"Yixing?"

"Pria yang ada di acara pembukaan restoran baru milik Junmyeon Hyung yang menatap dirimu dan temanmu hingga gelas miliknya terjatuh, kau ingat?"

Jaemin kembali mengingat pria itu yang muncul 2x dihadapannya, ada apa dengannya?

"Ada apa dengannya?"

"Tadi pagi Lami dijemput olehnya.. Apa menurutmu pria itu orang yang baik?"

Pertanyaan itu mengganjal didalam kepalanya, ia tidak tahu harus memberikan jawaban apa saat ini karena pemburu tentu saja berbahaya bagi kekasihnya dan kaumnya.

"Jika kau bisa meminta Lami untuk menjaga jarak dengannya lakukan saja Hyung, bagaimanapun dia orang asing.."

Jawaban yang diberikan Jaemin hanya dapat disambut anggukan patuh oleh Hyukjae, ia merasa pria itu mungkin memang berbahaya bagi adik kecil mereka, Lami.

Twisted


Malam sudah merangkak naik, Jungwoo baru saja keluar dari ruang kerja Donghae setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan disana, walau mereka sudah berada di mansion dan sudah melepaskan jas kerja mereka tetap saja keduanya memiliki sifat yang sama.

Workaholic

Pandangan Jungwoo menangkap siluet punggung Renjun yang berada di dapur ketika dirinya ingin kembali ke kamarnya untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Langkahnya yang sudah mantap menuju kamarpun berganti, ia justru melangkah menuju dapur.

Ada yang mengganjal dibenaknya setelah mendengar penuturan Lucas tentang ucapan Renjun yang dicuri dengar oleh pria berkulit tan tersebut.

"Kau masih terjaga?"

Renjun yang tengah menatap layar ponselnya menoleh saat mendengar suara dari ambang pintu dapur "Oh, Jungwoo Hyung. Diriku masih memiliki sedikit pekerjaan, kau sendiri?"

"Aku baru dari ruangan Donghae-ssi membantunya untuk mengerjakan beberapa hal." Jungwoo mendekat ia duduk berhadapan dengan Renjun dimeja dapur yang menyerupai meja makan namun lebih kecil.

Keduanya diam dan tak berbicara sedikitpun, Renjun menunduk menatap ponselnya ia sedang membalas pesan Xiaojun beruntung hubungannya dan detektif itu sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.

Sedangkan Jungwoo tengah menatap Renjun yang duduk dihadapannya, ia sangat ingin bertanya namun tak tahu harus memulainya darimana. Ia ingin tahu mengapa Renjun dan Jaemin pergi kepanti bersama-sama bahkan sama sekali tak mengatakan apapun pada penghuni mansion yang lain.

Dirinya yakin kalau Jenopun tak tahu menahu tentang masalah ini.

"Ada apa Hyung? Kau terlihat ingin bertanya padaku." akhirnya Renjun meletakkan ponselnya karena diseberang sana Xiaojun tak lagi membalas pesannya, bisa dipastikan kalau detektif itu sudah jatuh tertidur dengan pulas.

"Apa kau merahasiakan sesuatu? Kau dan Jaemin. Apa kalian merahasiakan sesuatu dari kami?"

Selain Renjun, Jungwoo pun jauh lebih peka daripada dirinya. Renjun memang seorang pemburu, ia peka akan segala hal terutama yang berhubungan dengan kaumnya sendiri ataupun penghisap darah.

Namun Jungwoo? Seumur hidupnya ia sudah menjalani hal buruk terlebih ketika mansion diserang oleh pemerintah saat itu, ialah yang peka dengan suara bising di depan gerbang dan meminta seluruh penghuni segera bersiap-siap untuk pergi menyelamatkan diri.

Sejak itu Kim Jungwoo lebih mudah mencurigai sesuatu daripada Renjun, sayang saja wajah manisnya pun bisa mengecoh seseorang. Tidak akan ada yang sadar bahwa seorang Kim Jungwoo tengah mengawasi seseorang atau mencurigai seseorang, seperti sekarang.

Seingat dirinya, Renjun tak pernah terlihat mencurigakan dalam kurun waktu satu minggu ini, tapi Jungwoo tahu kalau dirinya menyembunyikan sesuatu. Entah sejak kapan Kim Jungwoo mencurigainya dan Jaemin.

"Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan Hyung.."

"Kau dan Jaemin pergi ke panti dan bertengkar dengan saudara Jaemin disana. Aku tahu itu Renjun-ah, tapi yang kupermasalahkan disini adalah... ada apa dengan Jeno, Jaemin dan mungkin seseorang lainnya dari masa lalu mereka. Apa kau tahu sesuatu?"

Renjun menghela nafasnya, ingin berbohongpun rasanya sudah sulit. Hanya karena melihat gadis itu berkata ingin menyingkirkan Jeno saja membuat Renjun naik pitam. Ia akan berusaha sebisa mungkin membuat gadis itu tidak bisa mewujudkan keinginannya.

"Kau ingat saat mansion kita didatangi prajurit pemerintah?"

Jungwoo mengangguk, tentu dia ingat. Hari itu dimana ia kehilangan kedua orangtuanya didepan matanya sendiri, kalau bukan Donghae dan Eunhyuk yang melindunginya untuk bersembunyi hingga tuannya itu rela tertangkap mungkin saat ini Kim Jungwoo sudah tiada.

"Kau pikir kenapa prajurit pemerintah bisa menggeledah mansion dengan tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Pengungsi Goryeo? Bahkan hanya tersisa beberapa keturunan murni Goryeo yang tinggal didalam mansion."

Ia baru memikirkan tentang hal ini sekarang, mengapa sebelumnya tidak pernah terpikirkan tentang penyebab penyerangan itu dikepalanya.

"Semuanya karena ulah permaisuri."

Kening Jungwoo semakin mengerut, semakin ia mendengarkan semakin dirinya tidak mengerti. Ada apa dengan Mansion Lee dan Permainsuri.

"Park Jaemin. Dia disukai oleh permaisuri, dan bayangkan betapa murkanya wanita itu saat tahu Jaemin menolaknya dan memiliki hubungan dengan Jeno."

"Maksudmu? Kejadian malam itu semua hanya karena Park Jaemin menolak permaisuri? Bukankah dia sudah menjadi istri raja? Apa itu masih kurang untuknya?"

Itupun hal yang terbersit dibenak Renjun saat mengetahui hal tersebut, namun rasa suka wanita itu sepertinya sudah membuatnya gelap mata.

Membunuh rakyatnya sendiri, ada yang lebih mengerikan daripada itu?

"Dia membuat rumor, menangkap penghuni mansion, membunuh mereka dan memperlihatkan segalanya dihadapan Jaemin agar dia menyesal telah memilih Jeno daripada dirinya."

"Lalu? Apa hubungan semua ini dengan dirimu dan Jaemin dengan pantinya?"

"Wanita itu, si permaisuri.. dia adalah adik Jaemin di kehidupan ini."

"Bukankah itu bagus?"

"Adik yang mencintai kakaknya, dan membenci Jeno sama seperti dahulu. Aku tak tahu apa yang akan dilakukannya lagi dikehidupan kali ini. Apa itu yang kau sebut bagus, Hyung?"

Jungwoo hampir membuka mulutnya andai saja Chenle tidak masuk dengan tiba-tiba kedalam dapur membuat keduanya terdiam, melihat dua penghisap darah 'senior' terdiam sambil menatapnya seperti itu membuat Chenle tersenyum kikuk.

"A-aku akan mengambil air lalu kembali ke kamar." Sambil menggaruk kepala belakangnya yang tak gatal Chenle segera melangkah menuju kulkas dan mengambil botol miliknya kemudian segera bergegas untuk kembali kekamar.

"Zhong Chenle." Panggilan Renjun membuatnya berhenti melangkah, dan membuat Jungwoo menatap Renjun tak mengerti.

Bukankah mereka sedang membicarakan hal penting? Kenapa menahan Chenle untuk kembali ke kamarnya?

"Ya?"

"Ada yang ingin kutanyakan padamu." Renjun menepuk kursi kosong disebelahnya dan meminta Chenle untuk duduk diantara dirinya dan Jungwoo.

Menurut, Chenlepun duduk dikursi itu sambil memeluk botol minumnya dan menatap kedua penghisap darah itu bergantian.

"Jaemin berkata padaku ada seseorang yang tengah kau hindari saat ini. Siapa dia?"

Sebentar Chenle diam dan berpikir, apa Jaemin benar-benar mengatakan hal itu pada Renjun? Sejak kapan Jaemin dan Renjun bisa saling berbincang satu sama lain? Saat ini satu-satunya orang yang disedang dihindarinya hingga ia tinggal di mansion Lee adalah kakak angkatnya.

"Kau yakin ingin tahu siapa dia?"

"Ya... sepertinya dia sudah mengetahui siapa Jeno dan diriku, dia sudah terlalu dekat dengan penghuni panti tempat Jaemin dibesarkan, jika aku tak tahu siapa dia bagaimana bisa aku melindungi keluargaku. Bukankah kau juga ingin melindungi Jisung?"

Genggamannya pada botol minum dipelukannya mengerat, entah sejak kapan membahas hyungnya membuatnya takut. Mengingat Hyungnya hanya membuat Chenle ingat bagaimana jahatnya sang Hyung yang selalu memintanya mendekati penghisap darah kemudian membunuh mereka dihadapan Chenle.

"Tak apa Chenle-ya.. Jisung sudah membawamu kemari, kau bagian dari Mansion Lee.." Ucap Renjun sambil menyentuh jemari Chenle, ia tahu pria itu merasa takut. Padahal dia adalah pemburu, namun sikapnya sama sekali jauh dari kesan seorang pemburu, mendekati Renjun 10%pun tidak.

"Jika yang kau temui disana benar orang yang tengah diriku jauhi, sebaiknya kau memang harus menjauhinya." Chenle meletakkan botol minum yang dipeluknya tadi diatas meja.

"Dia kakak angkatku, Zhang Yixing. Kami keluarga pemburu, lebih tepatnya keluargaku. Namun Yixing Hyung lebih berlatih keras daripada diriku untuk menjadi seorang pemburu, dia... terobsesi dengan bebannya menjadi seorang pemburu."

"Sebentar.." Jungwoo menyela pembicaraan, kepekaannya yang berkurang atau Chenle dan Renjun yang terlalu pintar menyembunyikan rahasia besar bahwa Chenle adalah seorang 'pemburu', bagaimana bisa seorang pemburu tinggal didalam mansion yang terisi dengan makhluk yang menjadi incarannya??

"Kau pemburu?"

Chenle mengangguk.

"Bagaimana bisa kalian merahasiakan semua ini?" Jungwoo benar-benar tidak bisa mengerti bagaimana bisa Renjun merahasiakan tentang siapa identitas Chenle yang sebenarnya.

"Hyung.. akupun seorang pemburu.."

"Ya.. Tapi kau sudah menjadi seorang penghisap darah Renjun-ah, sepertiku, seperti Donghae-ssi."

Chenle tahu statusnya sebagai manusia pemburu merupakan ancaman terbesar saat ini, berbeda jauh derajatnya dengan Renjun yang bekas seorang pemburu dan sekarang menjadi penghisap darah.

"Diawalpun kupikir dia sama dengan pemburu yang lain Hyung, tapi.."

"Hanya karena Jisung menyukainya kau berubah pikiran? Kau Hyungnya, seharusnya kau bisa meminta Jisung berpikir terlebih dahulu sebelum membawanya kemari."

"Jungwoo Hyung, apa kau pikir hanya Jisung yang menyukainya? Anak ini pun.."

"Diaam!!" Chenle berteriak sambil memukul meja makan kecil dihadapannya, membuat kedua pria manis dan lebih tua berabad-abad darinya dan tengah beradu mulut didepannya berhenti bersuara.

Keduanya berkedip beberapa kali menatap Chenle yang terlihat menarik nafasnya usai mengeluarkan suara nyaringnya tersebut.

"Aku tahu kau tidak mempercayaiku, akupun tidak mempercayai kalian. Alasanku berada disini hanya karena Jisung dan Jaemin Hyung. Mereka yang menyakinkanku untuk tinggal disini menjauh dari kakakku."

"Dan jika saat ini kalian berhadapan langsung dengan kakakku, seharusnya kalian berhenti mempermasalahkan keberadaanku. Zhang Yixing bukan pemburu biasa, dia tidak akan pernah mengampuni penghisap darah manapun yang sudah masuk dalam genggamannya."

Chenle menutup kedua matanya, mengingat bagaimana dirinya memohon untuk hidup seorang penghisap darah yang sudah menganggapnya sebagai teman namun justru Yixing mencekik lehernya tanpa ampun membuat si penghisap darah itupun menyerah dan meminta Yixing membunuhnya saja daripada melukai Chenle.

"Dia yang mati atau penghisap darah itu yang mati, tapi karena aku mengenalnya dengan baik, aku yakin dia akan melakukan segala cara agar penghisap darah itu yang tewas ditangannya."

Renjun dan Jungwoo saling bertatap, mereka sudah tahu hari itu akan datang. Hari dimana seorang pemburu akan datang untuk melenyapkan keberadaan mereka satu per satu.

"Apa ini tandanya kita akan mulai berperang Renjun-ah?"

Renjun tak menjawab, ia hanya menatap layar ponselnya yang hitam, ia menatap Chenle yang menunduk dan mengepalkan tangannya kuat-kuat, kemudian ia menatap Jungwoo.

Sepertinya ucapan Jungwoo ada benarnya.

Saat itu sudah tiba.

Ini waktunya mereka melindungi orang yang berarti bagi mereka, Jeno, Jaemin, mungkin kali ini Renjun yang harus berdiri didepan mereka.

Twisted


Mark menyelimuti tubuh Donghyuk yang terlihat kelelahan setelah berpergian seharian bersamanya, ia melanjutkan kegiatannya bersama dengan jurnal miliknya yang hampir terisi setengah, bayangkan sudah berapa tempat yang didatanginya bersama dengan Donghyuk?

Sudut bibirnya terangkat saat melihat beberapa fotonya bersama dengan Donghyuk yang diambil menggunakan kamera polaroid miliknya. Ibu jarinya menyentuh foto tersebut kemudian kembali membalik beberapa lembar hingga sampai dilembar terakhir.

Kosong.

Ia belum tahu akan kemana setelah selesai mengelilingi Seoul. Jeju-do? Busan? "Akan kemana kita besok Fullsunku?" Tanyanya pada Donghyuk yang kini tengah mendengkur pelan karena lelah.

Jemarinya menutup buku jurnalnya lalu meletakkannya dimeja tepi kasur, baru saja jemarinya ingin membelai puncak kepala Donghyuk sebelum dirinya pulang ke flat sederhananya, namun rasa kering ditenggorokan mengusiknya.

Markpun beranjak dari tepi kasur dan keluar dari kamar perlahan, ia akan mengambil minum untuk dirinya dan Donghyuk berjaga-jaga jika mataharinya terbangun ditengah malam dan haus. Walau bukan darah yang diberikannya setidaknya sebotol air mineral sedikit membantu.

"Diaam!!"

Langkah Mark terhenti, bukan dirinya yang diteriaki namun ia terkejut mendengar suara melengking Chenle berasal dari dalam dapur, pria itu setahunya dibawa oleh Jisung untuk tinggal di mansion beberapa waktu lalu.

Awalnya Mark hanya berhenti sambil mengelus dadanya, namun langkahnya kembali terhenti saat mendengar kelanjutan ucapan Chenle yang panjang namun Mark mengerti ucapan pria berkepala besar tersebut dengan cepat.

Bahkan sahutan suara lembut tangan kanan Donghae, Kim Jungwoo akan sebutan perang yang mengandung makna mengerikan dibenaknya membuat Mark menyandarkan tubuhnya pada dinding dekat dengan dapur, isi kepalanya segera penuh dengan bayangan wajah bunga mataharinya, ia tak ingin kekasihnya terlibat dengan apapun hal buruk tersebut.

"Donghyuk..."

Mark bergerak untuk melangkah mundur ia sebaiknya berpura-pura tak mendengar apapun kemudian kembali ke kamar dan menginap semalam menemani mataharinya malam ini, dengan cepat tubuhnya berbalik untuk kembali ke kamar Donghyuk namun saat berbalik ia terkejut melihat Donghae sudah berdiri dibalik tubuhnya.

"Donghae-ssi."

Donghae menatap Mark sebentar lalu menatap kearah ambang pintu dapur, tanpa perlu menguping ia tahu apa yang dibicarakan oleh ketiga orang tersebut didapur sana.

"Kita perlu bicara empat mata Mark-ssi." Donghae segera beranjak menaiki tangga menuju lantai 2 dan segera disusul oleh Mark yang mau tak mau mengekor dari belakang, sepertinya dirinyapun ingin membicarakan sesuatu dengan Donghae.

Twisted


"Bagaimana? Kau sudah menentukan ingin makan apa? Aku lelah hanya mengikutimu berkeliling disekitar sini." Protes pria tinggi bersurai kelam itu dengan wajah bosan karena hanya berkeliling saja mengikuti sahabatnya.

"Apa yang kau perhatikan XiaoJun-ah.." Pria bersurai kelam itu menatap arah pandang Xiaojun yang menatap restoran sushi yang baru 3 hari lalu didatangi oleh mereka.

"Kau ingin makan disana lagi?"

"Tidak.." Keningnya berkerut, ia melihat mobil yang sama selama beberapa hari ini selalu terparkir didepan restoran tersebut. Ditambah lagi siluet dari orang yang seperti pernah dilihatnya kini berada didekat mobil itu.

"Aku hanya merasa familiar dengan orang itu yang selalu memarkir mobilnya dan menatap kearah restoran itu terus menerus sejak kita makan disana 3 hari lalu."

Pria bersurai kelam itupun ikut menatap kearah mobil hitam yang dicurigai temannya itu, ya... memang dirinyapun juga merasakan hal yang sama, mobil itu berada disana hampir setiap hari.

"Apa perlu kita menyelidikinya?"

"Tunggu.." Xiaojun menahan lengan temannya itu "Menyelidiki tak perlu mendatanginya secara langsung bukan?"

"Bagaimana jika kita makan siang saja disana?" Ajak si pria bersurai hitam itu dengan semangat bahkan tak lupa tersenyum lebar seolah-olah idenya amat sangat cemerlang saat ini, oh sebagai detektif dia sangat semangat menyelidiki sesuatu secara terang-terangan berbeda dengan Xiaojun yang lebih berhati-hati.

"Hendery!" Panggilnya, namun temannya itu sudah menyebrang menuju restoran sushi milik Jisung. Mau tak mau dirinyapun ikut menyusul sahabatnya tersebut sambil menerima panggilan dari Renjun.

"Aku baru akan makan siang direstoran Jisung, apa kau akan menyusul?"

"Xiaojun!! Awas!"

Teriakan Hendery membuat Xiaojun menoleh kearah kanannya, sebuah mobil melaju cepat kearahnya beruntung pria itu memiliki reflek yang cepat. Dengan cepat ia melangkah mundur walau tubuh bagian kanannya terserempet sedikit.

Mobil itu terus melaju dan pergi begitu saja, namun pria dengan surai gelap itu segera menghapal nomor plat mobil tersebut dan segera mencatatnya diponsel. Kemudian menghampiri Xiaojun yang terduduk di aspal sambil memegangi bagian tubuh kirinya yang menghantam aspal.

"Kau baik-baik saja?"

"Ya aku baik-baik saja."

Chenle berlari keluar, ia terkejut melihat Xiaojun menjadi korban tabrak lari. Ia segera menghampiri Xiaojun yang dirinya kenal teman dekat Renjun "Kau tak apa?"

"Tak apa Chenle-ya."

"Aku akan memanggil bantuan."

Karena terlalu panik Hendery sampai lupa meminta bantuan, ia memijit keningnya sendiri "Terima kasih." ucapnya pada Chenle sebelum waiter yang dikenal Xiaojun itu kembali beranjak ke restoran.

'Ck, padahal sedikit lagi kena.'

Langkah kaki Chenle terhenti ia bahkan batal mendorong pintu tempatnya bekerja, dengan cepat kepalanya menoleh kebelakang, kanan dan kiri, bulu romanya berdiri saat ia yakin bahwa barusan dirinya mendengar suara seseorang dibelakangnya.

Namun dengan cepat kepalanya kembali menggeleng dan segera masuk kedalam restoran, Chenle harus memanggil bantuan.

Baik Renjun ataupun Chenle hanya duduk diam diruang tunggu, Xiaojun hanya diberikan pengobatan ringan karena hanya mengalami luka lecet dan memar dilengan kirinya.

"Aku..."

Suara Chenle memecahkan keheningan diantara dirinya dan Renjun, membuat pria itu menoleh "Aku yakin mendengar seseorang berbicara dibelakangku dan suara itu sangat mirip dengan suara Yixing Hyung."

"Dia berkata 'Ck, padahal sedikit lagi kena', bagaimana kalau dia sudah memulainya Hyung?" tanya Chenle sembari menatap Renjun, ia tidak siap dengan apapun tindakan Yixing pada mereka nantinya.

Renjun menghela nafasnya, orang macam apa yang tengah dihadapinya saat ini? Apa dia sudah gila dengan menyentuh Xiaojun yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Mansion Lee.

"Terima kasih."

Suara Xiaojun membuat Renjun dan Chenle menoleh, pria bersurai terang itu keluar dari ruang perawatan sambil tersenyum lebar dan menahan tangan kirinya yang kini diperban karena lecet terhantam aspal tadi.

"Kau masih bisa tersenyum lebar dihadapan wanita cantik setelah nyawamu hampir melayang, eoh?"

Senyum diwajah Xiaojun langsung menghilang seketika saat mendengar ucapan Renjun, apalagi melihat betapa kesalnya wajah pria yang tengah menatapnya saat ini.

Apa dirinya melakukan kesalahan?

"Sepertinya kau sudah baik-baik saja dan sudah bisa pulang sendiri." Renjun bangkit berdiri lalu membenarkan jas abu-abu yang digunakannya "Aku pulang duluan Chenle.."

Baik Chenle ataupun Xiaojun saling melempar pandangan tak mengerti dengan 'mood' Renjun yang baru saja berubah dengan drastis.

"Detektif Xiao, apa kau kesulitan untuk pulang? Jam kerjaku sudah selesai, aku bisa membantumu kembali ke kantor."

Suara lembut seorang gadis dari balik pintu ruang rawat membuat Xiaojun kembali menoleh dan tersenyum kikuk, sedangkan Chenle menggelengkan kepalanya ia malas melihat adegan seperti ini.

Namun gelengan dikepalanya terhenti saat melihat Renjun kembali lagi menghampiri Xiaojun dan mencengkram lengan detektif yang diperban tersebut kemudian menariknya.

"Akh!!" Xiaojun pun ditarik paksa oleh Renjun tanpa sempat menolak tawaran bantuan dari dokter cantik tersebut.

Sedangkan Chenle memberikan cengiran polosnya seolah-olah ia tak mengenal Renjun dan Xiaojun barusan.

"ZHONG CHENLE, KAU INGIN KEMBALI BERSAMA ATAU TIDAK?!"

Teriakan Renjun menggema kencang dan secara otomatis membuat Chenle bangkit dari duduknya kemudian membungkuk pada dokter cantik tersebut "Permisi.." ia segera berlari mengejar Renjun yang masih menyeret Xiaojun yang kesakitan tanpa menoleh kebelakang.

"Aa-aarhhh tanganku, tanganku.."

Xiaojun masih mengelus lengannya yang terasa berdenyut karena ulah Renjun yang mencengkram lengannya yang malang tanpa perasaan. Saat ini mereka tengah berada disalah satu meja dalam restoran milik Jisung.

Hanya Renjun, Chenle, Jisung, Xiaojun dan temannya yang tadi menjadi saksi Hendery. Kelimanya duduk melingkar disalah satu sudut meja tanpa ada yang memulai pembicaraan sama sekali sampai tiba-tiba Hendery bersuara ketika notifikasi ponselnya berbunyi.

"Yaaak! Aku sudah tahu pemilik mobil itu. Tapi aku tak menjamin bahwa pemiliknya yang tadi ingin menabrak Xiaojun. Jadi kita.."

"Katakan saja siapa pemiliknya?"

Hendery menelan liurnya, ia tak menyangka pria yang selalu dipuja-puja oleh Xiaojun benar-benar segalak dan setegas ini padahal dirinya hanya ingin berbasa basi sedikit "Nama pemiliknya Zhang Yixing, mobil ini dibeli menggunakan kartu kredit Kim Junmyeon beberapa hari lalu."

Renjun menoleh pada Chenle yang terkejut mendengar nama itu, jemari Chenle segera di genggam oleh Jisung dia tahu nama itu. Nama yang pernah diberikan Xiaojun padanya dahulu agar menjauhi masalah.

"Nama itu terdengar familiar bagiku." ucap Xiaojun. Ingatannya tentang nama dan siluet tubuh seseorang yang mencurigakan tadi seolah-olah berputar dikepalanya.

Jisung benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa Xiaojun benar-benar melupakan nama orang yang pernah diselidikinya? Ucapannya untuk melupakan apa yang tengah diselidikinya sama sekali tidak main-main saat itu.

Chenle mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri fotonya ia menunjukkan foto kakaknya pada Hendery dan Xiaojun "Apa maksudmu yang kau lihat tadi orang ini?" Demi apapun yang ada didunia ini Chenle benar-benar penasaran setelah mendengar Hendery mengatakan bahwa alasan mereka ingin makan di restoran ini karena melihat mobil yang sama dengan orang yang mencurigakan berada didepan restoran selama 3 hari ini.

Jika ya, maka mereka semua harus berhati-hati. Mungkin apa yang terjadi pada Xiaojun hanyalah sebuah peringatan kecil saja.

Perlahan kedua detektif itu menatap layar ponsel Chenle bersamaan, Hendery sampai mengerutkan keningnya "Aku tak yakin tapi ya terlihat familiar dengan jaket kulit yang digunakan olehnya." Ucap Hendery.

Sedangkan Xiaojun masih menatap lekat-lekat foto itu, ia mencoba mengingat-ingat dimana dia pernah melihat pria ini "Kurasa dia, aku ingat melihat wajahnya dari samping beberapa kali ketika melewati restoran ini."

Renjun segera mengambil ponsel Chenle dari tangan Xiaojun dan mengembalikan pada pemiliknya "Mulai hari ini menjauhlan dari restoran ini, menjauhlah dari Mansion Lee dan jangan menghubungi kami lagi, kau paham bukan Detektif."

Baik Xiaojun, Hendery dan Jisung menatap Renjun bingung hanya Chenle yang mengerti kenapa. Renjun ingin membuat pria bersurai terang itu menjauh dari bahaya.

"Jika kalian terancam kami akan membantu mencari siapa yang melakukan ini, kami ini detektif." Bantah Hendery, ia sudah terlibat dan melihat langsung ditambah lagi ada satu orang yang mereka curigai bersama tentu saja dia tidak akan mundur begitu saja.

"Ini bukan masalah yang bisa detektif seperti kalian tangani jadi sebaiknya menjauhlah." Renjun segera beranjak pergi usai menghardik Hendery dengan ucapannya, namun Xiaojun dengan cepat segera mengejar Renjun keluar dari restoran.

Cengkraman kuatnya menahan langkah Renjun, dirinya sudah sampai terluka seperti ini apa bisa dia menjauh dan berpura-pura tak terlibat.

"Apa yang kau bicarakan, jika orang itu berbahaya bagimu, bagi Mansion Lee bukankah seharusnya diriku membantu kalian? Membantumu?"

Renjun berbalik ia menatap wajah Xiaojun lekat-lekat, pria itu selalu tulus ingin membantunya dalam segala hal. Tapi kali ini tidak, ia tak ingin Xiaojun terlibat dalam apapun masalah yang akan menimpa Mansion Lee.

"Dia seorang pemburu, dia mengincar kami Xiaojun-ah, dirimu hanyalah peringatan, nyawamu akan terancam jika kau terus berada didekat kami." Perlahan Renjun melepaskan cengkraman erat dilengannya "Menjauhlah, anggaplah kau tidak pernah tahu tentang Mansion Lee, tidak pernah mengenalku."

Jemari Xiaojun terjatuh lemas mendengar ucapan Renjun, bagaimana bisa dia berpura-pura tidak mengenal Renjun? Dia bisa berpura-pura tidak tahu menahu tentang Mansion Lee ataupun penghisap darah. Tapi Renjun? Dia mencintai pria itu hampir selama setengah umurnya.

"Kau ingin aku hanya diam melihatmu berjuang sendirian Huang Renjun? Kau ingin aku melihatmu berakhir begitu saja eoh? Aku bisa melindungimu, kali ini saja. Bisakah kau berhenti melindungiku."

Renjun menghela nafasnya pelan, dadanya sesak, ternyata Xiaojun tahu selama ini ia melindungi anak ini "Aku menyelamatkanmu hari itu, bukan untuk melihatmu mati konyol karena melindungiku Xiao Dejun. Aku ingin kau hidup dengan atau tanpa diriku."

"Menjauhlah.. Dan kau akan selamat." Renjun beranjak pergi meninggalkan Xiaojun dan segala sesak didadanya. Mencintai Huang Renjun sama sulitnya dengan mencairkan sebuah gunung esm

Twister


Sepasang gembok berwarna biru kini menjadi objek kosong yang ingin diisi oleh Mark dan Donghyuk, keduanya duduk di sisi tangga bagian luar menara Namsan, sibuk dengan spidol dan gembok mereka masing-masing.

Menuliskan kalimat tentang hubungan keduanya yang akan mereka jalani kedepannya dan permintaan lainnya.

Sesekali Mark melirik Donghyuk sambil tersenyum, ia ingin mengintip apa yang kekasihnya itu tulis, namun dengan cepat Donghyuk sadar dan menyembunyikan gembok miliknya.

"Yak! Selesaikan milikmu dan jangan menyontek Lee Minhyung.."

Mark terkekeh pelan kemudian kembali berkonsetrasi dengan gembok miliknya yang masih kosong, ia tak tahu ingin menulis apa disana. Harapan apa yang ia inginkan ada dihadapannya saat ini, Lee Donghyuk menjadi dunianya.

Jemarinya perlahan menuliskan namanya dan dan Donghyuk tak lupa dengan simbol cinta ditengah nama mereka. Hanya itu, singkat namun jelas. Mark mencintai Donghyuk dan ia hanya ingin satu nama itu saja yang mengisi hidupnya.

Usai, keduanya menggantungkan gembok milik mereka berdampingan, Mark melirik apa yang ditulis Donghyuk digemboknya.

'Diriku, Markeu, dan Mansion Lee. Bahagia selamanya'

Perlahan senyum diwajah Mark menghilang, ia tahu keinginan itu tak akan tercapai. Apalagi setelah dirinya tak sengaja menguping beberapa hari lalu, kebahagiaan didalam Mansion Lee mungkin hanya akan bertahan beberapa waktu lagi, sepertinya Jeno dan Jaemin belum tahu apapun, tak ada yang ingin memberitahukan keduanya bahwa mungkin bahaya akan datang sebentar lagi.

"Akhirnya kau membawaku ke Namsan, berapa lama aku harus menunggumu membawaku kemari."

Suara Donghyuk membuyarkan lamunan Mark, ia kembali bangkit berdiri dan segera menyamakan posisinya dengan Donghyuk yang berdiri dekat dengan pagar.

"Donghyuk-ah.. Ada yang ingin kukatakan.."

"Ya? Apa yang ingin kau katakan?"

"Jika kau mencintai adikku, bawa dia pergi dari sini. Bawa dia keluar dari Korea, semakin jauh semakin baik." Donghae menghela nafasnya ia menatap pintu kamar Donghyuk yang tertutup.

"Jeno memang adikku yang paling penurut tapi Donghyuk, adikku yang paling baik. Dia terlalu polos untuk berada disituasi yang mungkin akan semakin buruk kedepannya, dan aku tak ingin dirinya terluka."

"Tapi.. Bagaimana caraku membawanya?"

"Ajaklah dia menikah denganmu.. Disebagian negara Eropa hubungan kalian legal." Donghae terkekeh, ia ingin seperti itu, bahkan ini adalah ide untuk dirinya dan Hyukjae. Namun dia tak bisa pergi begitu saja, adik-adiknya membutuhkan dirinya.

Mark terdiam, ia tak tahu harus berkata apa.

"Jika kau tak bisa, tak apa.. Aku tahu permintaanku adalah beban berat untukmu."

Donghae menepuk bahu Mark ia kembali menghela nafas "Tapi.. jika kau tak bisa membawanya, kau yang harus pergi menjauh dari kami. Dirimu sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah yang tengah kami alami, dan aku tak ingin ada manusia yang tewas karena membantu kami."

Kedua mata Mark membulat ia terkejut, bagaimana mungkin dirinya harus dipisahkan dengan Donghyuk? Tapi iapun tak yakin bisa membawa prianya pergi dari Korea dengan mudah. Walaupun ia sudah memiliki cukup banyak tabungan dalam account bank nya.

"B-berikan aku waktu untuk memikirkannya."

"Baiklah, nikmati waktumu Mark. Tapi kuharap cepat, waktu terus berjalan Mark." Usai mengatakan itu Donghae pergi berlalu dari hadapan Mark setelah membuat pria tirus itu berpikir keras akan langkah apa yang akan di ambilnya.

Hubungannya dan Donghyuk.

"Jika kau diharuskan memilih diriku atau Mansion yang mana yang akan kau pilih Donghyuk-ah? Diriku atau keluargamu?"

Pertanyaan Mark membuat bibir Donghyuk terkunci, terlihat jelas raut terkejut terbaca disana. Bagaimana caranya menjawab pertanyaan tersebut? Donghyuk tak akan pernah bisa memilih diantara keduanya dalam hidupnya.

"Kau tahu aku tak akan bisa memilih Mark..."

"Aku memilihmu daripada dendamku Donghyuk-ah.."

Donghyuk mengerutkan keningnya "Apa kau tengah memperhitungkan perbuatanmu padaku Mark Lee? Kau tahu aku tak mungkin memilih diantara dirimu dan keluargaku, mereka yang menolongku Mark."

Keduanya terdiam, Mark tahu ia salah mengajukan pertanyaan tapi dirinya tak tahu harus memulai darimana?

"Apa kau hanya akan diam saja? Kau sudah merusak moodku Mark." Donghyuk beranjak dari tepi pagar, ia hampir kembali menaiki tangga andai saja Mark tidak menahan lengannya.

"Aku belum selesai berbicara Lee Donghyuk.." Mark melirik Donghyuk yang menunduk, pertanyaannya pasti membuat prianya ini sedih.

Ia tahu akan begini jika meminta Donghyuk memilih, mungkin maksud Donghae meminta Mark menikahi Donghyuk hanya agar mereka berdua pergi sejauh mungkin dari Korea. Benar-benar jauh.

"Menikahlah denganku Lee Donghyuk.."

Ia tak perduli lagi dengan jumlah uang di account banknya, dirinya akan bekerja keras diluar sana untuk mengumpulkan kembali tabungannya yang terpakai saat ini, yang terpenting sekarang adalah membawa Donghyuknya pergi sejauh mungkin dan menjadikan pria ini miliknya.

"......???" Donghyuk segera menoleh dan menatap Mark tidak percaya, apa yang didengarnya barusan??

"Menikahlah denganku.." Mark mengeluarkan kotak biru kecil dari sakunya lalu membuka kotak tersebut, terdapat sepasang cincin berlapis emas putih disana tanpa hiasan apapun.

Sederhana namun terlihat indah dikedua mata Donghyuk "K-kau sungguh-sungguh?"

"Aku tak mungkin bercanda tentang hal ini.. Aku sudah memikirkannya matang-matang untuk menjadikanmu seutuhnya milikku."

Sekali lagi Mark menarik Donghyuk agar berdiri dihadapannya, salah satu jemari Donghyuk berada dalam genggamannya dan kedua netra tajamnya menatap kedua mata bulat Donghyuk.

"Maukah kau menikah denganku, Lee Donghyuk?"

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar