∵ TWISTED ∵
|
|
|
|
Perlahan Jeno dan Chenle mendudukan Jisung di kursi yang berada dibagian belakang restoran. Chenle menatap bingung Jisung, ini pertama kali selama dirinya mengenal Jisung ia melihatnya seperti ini, apa yang terjadi?
"Kau tak apa-apa?" Jeno menggenggam jemari Jisung sembari duduk disisi kanannya.
"Aku tak menyangka akan melihatnya lagi Hyung, kupikir kesempatan itu tidak akan pernah datang padaku."
"Kesempatan itu datang Jisung-ah.. Kau berhak bertemu dengannya."
Jeno menatap Chenle dan Jisung bergantian, ia lalu berdiri dan mempersilahkan Chenle untuk duduk ditempat yang didudukinya tadi.
"Temani dia, aku akan mengambilkan air untuknya." Jeno segera beranjak meninggalkan keduanya, dari cara Chenle menatap Jisung sepertinya mereka butuh waktu untuk saling berbincang tentang siapa pria yang membuat Jisung terkejut.
Chenle duduk disebelah Jisung ia menatap Jisung lekat-lekat dengan wajah bingung, "Apa kau baik-baik saja Jisung-ah?"
Sempat terlintas bahwa pria tadi bisa saja bagian dari masa lalu Jisung, bagaimanapun pria itu sudah hidup mungkin lebih dari setengah abad lamanya dan pasti memiliki setidaknya satu orang yang pernah disukainya. Membayangkannya saja entah mengapa membuat dada kiri Chenle berdenyut sakit.
Jisung berusaha menghirup nafasnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Reaksinya terlalu berlebihan dan hanya akan menimbulkan sebuah kecurigaan dihadapan kekasihnya.
Netranya melirik pada Chenle yang masih terbaca dari wajahnya kalau pria itu sangat kebingungan dengan apa yang terjadi. Jemarinya mengenggam perlahan jari jemari Chenle yang meremas pahanya sendiri sedari tadi.
"Pria itu bukan siapa-siapaku jangan berpikir yang tidak-tidak, kau seharusnya tahu kalau dirimu adalah manusia pertama yang pernah dekat denganku semenjak diriku menjadi seperti ini."
"Lalu? Siapa orang itu? Kau sangat terkejut melihatnya."
"Dia adalah Hyung yang pernah mengajarkan banyak hal padaku dahulu, dia selalu melindungiku dan sangat baik padaku, seperti layaknya keluarga."
Chenle mendengarkan baik-baik setiap kata yang keluar dari bibir Jisung "Aku sangat ingin membalas setiap kebaikannya padaku dikehidupan itu, namun dia tewas dihari dimana dirikupun hampir tewas."
"Maksudmu tewas?"
"Dia terkena racun sehingga Donghae Hyung tidak bisa membuatnya menjadi seorang penghisap darah, sedangkan diriku saat itu tertusuk pedang dan Jeno Hyung segera mengigitku sebelum diriku meregang nyawa sehingga menjadi seperti mereka, penghisap darah."
Chenle menatap Jisung yang mengulang cerita masa lalunya, ia bahkan akhirnya tahu bahwa Jisung menjadi penghisap darah karena Jeno menyelamatkannya dari kematian.
"Dia hyung yang sangat berarti selain hyung kandungku sendiri."
"... Jadi, kau memiliki saudara kandung?"
Jisung menghela nafas pelan kemudian menganggukkan kepalanya, Chenle benar-benar tak bisa menyembunyikan wajah penasarannya "Dia tewas terkena panah beracun demi menyelamatkan Jeno Hyung. Saat itu diriku kehilangan dua orang yang berarti dihidupku dihari yang sama."
Jemarinya menangkup wajah Chenle agar menoleh kedalam restoran, Jisung menunjuk siluet Jaemin yang tengah memperhatikan gerak gerik Jeno dari jendela yang berada dibelakangnya "Dia, Na Jaemin adalah reinkarnasi kakakku."
"A-apa??" kali ini Chenle menatap Jisung dan siluet Jaemin bergantian, ini pertama kali dalam hidupnya ia melihat ada yang namanya 'Reinkarnasi'.
"Jeno-ya?"
Jeno menoleh saat mendengar Jaemin memanggilnya, ia baru saja ingin melangkah kedapur untuk meminta air mineral dalam kemasan botol untuk Jisung, namun langkahnya terhenti di ambang pintu dapur.
"Ya?"
"Nanti setelah pulang ada yang ingin kubicarakan denganmu."
"Kenapa tidak sekarang?" Jeno mengerutkan keningnya, biasanya Jaemin akan berbicara langsung padanya tanpa mengatakan kapan dia ingin berbicara dengannya seperti saat ini.
"Ini akan menjadi perbincangan yang panjang jadi sebaiknya kita bicarakan dirumah saja."
Jeno mendekati Jaemin kemudian menyentuh pipi kiri Jaemin mengelusnya perlahan dengan senyum manis dibibirnya, ia melihat Jaemin kembali menyandarkan wajahnya pada telapak tangan Jeno seperti biasanya.
Mungkin ini hanya perbincangan biasa saja, Jaemin tidak sedang marah padanya atau apapun "Baiklah kita akan berbincang saat sudah sampai di Mansion."
Begitu keduanya tiba di mansion, mereka segera beranjak ke kamar Jaemin setelah Jeno terlebih dahulu mengambil sebotol air minum untuk Jaemin yang dilihatnya lebih banyak diam sedari tadi bahkan tidak makan ataupun minum. Setelah berada di kamar Jaemin, dalam diam Jeno memperhatikan apa yang sedang dikeluarkan oleh prianya dari dalam lemarinya.
Mereka memutuskan untuk pulang dan tidak melanjutkan acara sampai puncak, pertama karena ada kakak Chenle disana dan bisa saja itu membahayakan mereka jika terus berada di acara itu sampai akhir.
'Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi jika berurusan dengan seorang pemburu.' Itu ucapan Chenle saat berkata dia ingin membawa Jisung kembali mansion.
Netra Jeno kembali memperhatikan gerak gerik Jaemin yang mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dari lemari lalu duduk ditepi kasur menyusul Jeno.
"Sebelum aku memperlihatkan ini aku ingin bertanya padamu tentang Hyukjae Hyung... Apa kalian mengenalnya? Dahulu mungkin."
Ia sudah menduga pertanyaan ini akan datang dari bibir Jaemin cepat atau lambat, karena melihat reaksi Jisung tadi.
"Apa kau bertanya karena melihat Jisung seper..."
"Bukan hanya Jisung, Donghae-ssi, Jungwoo-ssi pun juga memberikan reaksi yang sama."
Kali ini Jeno terkejut, apakah saat Donghae bertemu dengan Hyukjae pertama kali saat itu ada Jaemin disana?
"Mereka bertemu saat diriku sedang menjauhimu, Hyungmu datang ke cafe Hyukjae Hyung dan terkejut setengah mati hingga jatuh terduduk dilantai begitu juga dengan Jungwoo-ssi. Hari itu Donghae-ssi datang untuk memintaku kembali lagi bekerja seperti biasa karena diriku sama sekali tidak merespon pesan darimu."
Jujur saja Jeno ingin tertawa jika ingat kejadiaan saat itu ketika dirinya hampir gila karena Jaemin tidak membalas pesannya ataupun mengangkat teleponnya, namun saat ini bibirnya terasa kaku walau hanya untuk terkekeh pelan.
Ia tidak menyangka Jaemin pernah melihat reaksi lain selain Jisung. Dan ia tak menyangka Hyungnya bahkan sampai jatuh terduduk karena terkejut, ada sedikit rasa bersalah saat ia ingat dirinya begitu marah pada Donghae yang merahasiakan tentang keberadaan Hyukjae.
"Kenapa kau tidak mengatakan hal itu padaku?"
Jaemin tertawa pelan "Bagaimana caraku mengatakan padamu jika berbincang saja setelah kejadian itu terasa sulit, kau lupa?"
"Tidak tentu saja diriku tidak lupa, bahkan Donghyuk dan Mark-ssi mengajak kita keluar agar kita bisa berbincang."
Jemari Jaemin mengeluarkan beberapa kertas dari dalam amplop "Tapi, Jeno-ya. Dari reaksi mereka diriku sadar bahwa kaupun menunjukkan reaksi yang sama saat bertemu denganku, walau tidak seekstrem mereka."
"Hah?" Kedua mata Jeno membulat, jantungnya mulai berdetak semakin cepat. Ada rasa takut terselip didadanya, bagaimana jika pertanyaan tentang Hyukjae hanyalah pengalihan dari pertanyaan yang sebenarnya? Tentang Jaemin dan kehidupan masa lalunya.
"Park Jaemin, apa dia seseorang yang berarti untukmu?" Tanya Jaemin sembari mengangkat selembar kertas yang berisi cetakan foto dari lukisan rupa Jaemin yang dilukis oleh Jeno.
Dengan cepat Jeno menyambar kertas tersebut, berapa lama ia tak melihat lukisan ini? Dirinya pikir semua yang berhubungan dengan dirinya dan Jaemin sudah habis terbakar dan disita oleh istana saat itu.
"Darimana kau mendapatkan ini?"
Jaemin enggan menjawab, ada sedikit kekecewaan yang tersirat didalam dadanya saat melihat reaksi Jeno, caranya menatap lukisan Park Jaemin. Masih terlihat rasa rindu dikedua matanya tersebut.
Melihat Jaemin tidak menjawab pertanyaannya membuat Jeno kembali menatap Jaemin, jika pria ini sudah tahu sejak lama kenapa dia tidak pernah berkata apapun, sudah sejauh apa Na Jaemin membiarkan dirinya berpikir seorang diri tentang apa yang terjadi antara dirinya dan Park Jaemin?
Ia meraih jemari Jaemin meremasnya dengan cukup kuat, sudah waktunya untuk membicarakan masa lalu "Dia orang yang sangat berarti untukku.." Jeno meremas jemari Jaemin agar pria itu menoleh padanya "Dia dan dirimu memang terlihat sangat mirip Jaemin-ah, bahkan nama kalian sama. Tapi, seluruh hal yang kau miliki didalam sana.." Jeno menunjuk dada Jaemin "Berbeda, kalian sangat berbeda.."
"Aku mencintai Park Jaemin dahulu, dan sekarang aku mencintaimu Na Jaemin. Yang kurasakan denganmu dan dengannya berbeda."
"Dengan wajah semirip ini apa iya kau menganggapku berbeda dengannya?"
Jeno terkekeh pelan, ia bisa mendengar ada nada kecemburuan terdengar dalam kalimat itu padahal Jeno yakin mereka reinkarnasi orang yang sama.
"Aku bisa membedakannya, kau tidak selembut Park Jaemin, dan Park Jaemin tidak sekuat dirimu. Dia penurut dan kau keras kepala. Dia selalu tersenyum sejak pertama berjumpa denganku sedangkan kau memperlakukanku dengan kurang bersahabat sejak awal bertemu. Cara kalian menarik perhatianku saja sudah berbeda, bagaimana bisa aku tak dapat membedakan kalian."
Jeno meletakkan lukisan Park Jaemin kemudian menangkup wajah Jaemin kekasihnya "Tapi kalian sama-sama selalu ingin melindungiku, kumohon jangan pernah lagi kau berdiri didepanku untuk melindungiku, aku tidak ingin kehilangan orang yang kucintai lagi Na Jaemin."
"Aku sudah pernah kehilangan dirinya, aku tak ingin kehilangan dirimu lagi."
Jaemin terdiam ia ingin tersenyum sangat lebar tapi ucapan Jeno tentang sikap dirinya saat awal berjumpa membuatnya teringat apa alasannya bersikap kurang bersahabat pada Jeno.
Jika dirinya mengatakan alasannya apa yang akan dilakukan Jeno? Sedangkan membayangkan dirinya seorang pembunuh saja Jeno sudah terlihat sangat frustasi, mungkinkah Jeno akan meninggalkannya lalu membunuh dirinya sendiri?
Tidak, bukan itu yang Jaemin inginkan.
"Haruskan aku mempercayaimu Lee Jeno?" Tanyanya berusaha menghilangkan apa yang tengah merambat dalam pikirannya.
"Tentu, kau harus mempercayaiku." Jeno melepas tangkupannya dan kembali meraih kertas tersebut ia menatapnya sekilas lalu kembali menatap Jaemin dihadapannya.
"Ah kalian berbeda, dia lebih manis sepertinya darimu."
"Yaak! Wajah kami sama tentu saja dirinya manis dirikupun sama. Kau pilih kasih sekali dengan kekasih lamamu." Jaemin merampas kertas itu kemudian menyimpannya kembali dalam amplop, membiarkan Jeno justru tertawa pelan melihat kecemburuannya.
"Aku sempat menyelidiki keluargamu sebelum ekhmm.. kita, melakukan itu. Kuharap kau tidak keberatan atau marah padaku."
Jeno mengacak surai Jaemin, ia tak perduli Jaemin menyelidiki keluarganya atau tidak karena tidak ada satupun kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarganya, orang yang menyelidiki mereka hanya akan terkejut melihat eksistensi mereka di dunia selama ini.
"Lalu? Apa yang kau dapatkan eoh?"
"Rahasia.." Ia segera beranjak kembali ke lemarinya kemudian menyimpan berkas tersebut didalam sana membiarkan Jeno tahu dimana letak pria manis itu meletakkannya, toh Jenopun sudah tahu apa isi berkas-berkas tersebut.
"Dan tentang Hyukjae Hyung?"
Jeno tersenyum sambil melangkah menghampiri Jaemin, tak ada beban lagi rasanya diatas pundaknya saat ingin bercerita tentang masa lalu dengan kekasihnya "Dimasa lalu dia adalah kekasih Donghae Hyung dan pelatih serta senior yang sangat dekat dengan Jisung, adikmu di masa lalu."
Dirinyapun mengerti sekarang mengapa reaksi Donghae, Jungwoo dan Jisung sampai seperti itu "Hyukjae Hyung pasti sangat baik hingga mereka terkejut sampai seperti itu. Sampai saat ini pun dia memang sangat baik terlebih padaku."
"Dirimupun baik, dimasa lalu dan masa kini."
"Berhenti mengeluarkan kata-kata manismu atau akan ku kurangi persediaan darahku untukmu."
"Bagaimana bisa kau sangat kejam Na Jaemin."
"Karena aku Na Jaemin.." Ia mengecup hidung Jeno gemas lalu melangkah keluar, dirinya merindukan dapur beserta dengan isinya.
"Susul aku kedapur Lee Jeno, segera."
Terdengar seperti perintah namum terlihat menggemaskan, pria itu menghilang di balik pintu dan terdengar berlari turun dari tangga menuju dapur, meninggalkan Jeno yang terkekeh seorang diri dikamarnya lalu perlahan keluar dan menyusul Jaeminnya.
Jeno melewati kamar Renjun yang tertutup walau setelah ia pergi menuruni tangga pintu kamar Renjun terbuka, pria itu tanpa sengaja menguping pembicaraan Jeno dan Jaemin.
Jadi Jaemin memang tidak pernah memanfaatkan kemiripan wajahnya dengan Park Jaemin, bahkan pria itu bisa dengan jelas merasa cemburu dengan reinkarnasi dirinya sendiri, terdengar lucu memang.
Tapi..
Mengapa Jaemin justru menjalin hubungan dengan Jeno? Bukankah dia tahu prianya adalah pembunuh ayahnya sendiri??
⇨ Twisted ⇦
Siang itu Donghae melangkah menuju taman belakang dan melihat Donghyuk serta Mark tengah sibuk dibagian terujung taman menanam bibit baru bunga matahari sambil menghirup teh hangat dicangkirnya.
Ia pikir Mark akan lebih rajin membawa Donghyuk keluar namun sepertinya mereka saling berbagi hobi masing-masing, Mark tetap menemani Donghyuk menjalani hobinya mengurus kebun bunga mataharinya sedangkan adiknya juga tetap pergi kencan dengan Mark menjalani hobi si dominan berjalan-jalan.
Ketika ia berbalik, Donghae terkejut menemukan Jisung sudah berada di belakangnya "Jisung-ah, kau mengejutkanku."
"Maaf Hyung..."
"Ada apa?"
"Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan reinkarnasi Eunhyuk Hyung.."
Donghae terdiam, dirinya harus mempersiapkan diri untuk reaksi Jisung yang mungkin lebih parah dari Jeno.
"Awalnya aku kecewa karena ternyata kau sudah mengetahui keberadaannya terlebih dahulu tanpa memberitahukan pada kami. Namun setelah kupikirkan lagi, dan mendengar penjelasan Jeno Hyung mungkin keputusanmu memang benar."
Masih teringat jelas dimemorinya bagaimana tubuhnya limbung karena terkejut melihat Lee Hyukjae dihadapannya saat itu. Mungkin menyiapkan mental terlebih dahulu jauh lebih baik daripada dipertemukan langsung dengannya.
"Jika boleh, apa aku bisa bertemu lagi dengannya?"
Donghae tersenyum ia menepuk puncak kepala Jisung yang lebih tinggi dari tubuhnya "Tentu.. Kau tidak perlu ijin dariku, dia juga Hyungmu bukan? Kau berhak bertemu dengannya."
"Terima kasih Hyung!" Dengan cepat Jisung memeluk Donghae bahkan sangat erat hingga pria yang paling tua tersebut tak bisa bernafas dan hampir tercekik.
"Kau akan membunuhnya Jisungie."
Ucapan Donghyuk membuat Jisung mau tak mau melepaskan pelukannya pada Donghae yang sudah meronta-ronta memohon untuk dilepaskan sedari tadi.
"Apa yang membuat kalian begitu senang?" Donghyuk melepas sarung tangan kuning yang penuh dengan tanah kemudian meletakkannya di sudut terdekat dengannya, ia akan mencucinya nanti.
"Kami bertemu dengan Eunhyuk Hyung.."
"Eoh?"
"Reinkarnasi Eunhyuk Hyung..."
"Benarkah?!" reaksi Donghyuk memang berlebihan, dirinya pun sudah tahu tentang hal itu namun ia belum memiliki waktu untuk bertemu dengan pria bernama Lee Hyukjae yang membuat Donghae uring-uringan diawal pertemuan.
Mulut Donghyuk segera ditutup oleh Donghae agar tidak menimbulkan kecurigaan, mungkin Mark bisa shock jika mendengar pembicaraan tidak normal mereka.
"Hyung!" Donghyuk memukul tangan Donghae agar lepas dari mulut bahkan hidungnya "Kau ingin membunuhku?"
"Sssttt... Diamlah."
"Bagaimana jika Mark Hyung mendengarnya.."
"Mendengar apa?"
Baik Jisung ataupun Donghae sama terkejutanya hingga mereka berdua melakukan hal random yang tak masuk diakal dihadapan Donghyuk serta Mark.
"Tenanglah, Mark sudah tahu segalanya. Reaksi kalian yang seperti ini justru lebih mencurigakan."
"Benarkah?"
"Tahu apa??" Mark berkali-kali membeo dan mengulangi ucapan yang didengarnya dengan wajah polosnya.
Ketiganya menghela nafas pelan, tak menyangka bahwa Mark ternyata cukup kurang tanggap kecuali masalah kekasihnya sendiri.
"Aku akan ke kedai sushiku."
"Aku akan pergi ke cafe Hyukjae."
Keduanya pergi dari hadapan Donghyuk yang terkekeh dan Mark yang masih merasa bingung "Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"
"Tidak, kau tidak melakukan apa-apa. Bersihkan dirimu, kita akan pergi bukan?"
"Ah, iya. Aku hampir lupa."
Mark segera melepas sarung tangannya kemudian menyusul Donghyuk menuju ke kamarnya mereka akan membersihkan diri setelahnya baru mereka akan pergi kencan seperti hari-hari sebelumnya, menghabiskan tempat yang dicatat oleh Mark dibuku jurnalnya.
⇨ Twisted ⇦
Siang itu Renjun melangkah memasuki sebuah cafe ditengah kota Seoul, ini pertama kali ia bertemu lagi dengan XiaoJun setelah pertengkaran kecil mereka saat itu.
Walaupun mereka tetap saling berkomunikasi lewat chat melalui ponsel namun tetap saja ketika mereka akan bertemu lagi setelah kejadian itu membuat Renjun sedikit canggung saat menerima ajakan Xiaojun untuk berjumpa.
Begitu dirinya masuk ia melihat punggung pria itu ditambah surai terangnya yang begitu mencolok membuat Renjun segera mengenali pria tersebut tanpa ragu, kakinya segera melangkah menghampiri Xiaojun yang duduk membelakangi arah datangnya lalu segera duduk dihadapannya.
"Lama rasanya tidak bertemu denganmu." sapa Renjun berusaha menelan kecanggungannya, apalagi begitu melihat Xiaojun tersenyum manis padanya seperti biasanya.
"Ya, rasanya lama sekali padahal hanya hampir 2 minggu. Kita pernah tak bertemu hampir 6 bulan tapi tak terasa selama ini."
Renjunpun merasakan hal yang sama, mungkin karena mereka bertengkar saat terakhir mereka bertemu. Ia segera meraih buku menu dan mencari apa yang ingin dipesan olehnya. Instingnya mengatakan Xiaojun tengah menatapnya saat ini.
"Aku minta maaf tentang hal kemarin, aku tahu Jeno adikmu. Diriku mungkin terlalu iri padanya." jelas Xiaojun ia menghirup kopi hangat yang sudah dipesannya sejak tadi.
"Karena aku tahu kau memang hanya menganggap Jeno adik yang paling kau sayangi, jadi..." Xiaojun mengeluarkan sebuah amplop berisi berkas pembunuhan 20 tahun lalu, kemudian menyerahkannya pada Renjun. "Aku akan memperlihatkan padamu hasil penyelidikanku terlebih dahulu baru kuberikan berkas ini pada Jeno."
Renjun segera menatap amplop tersebut dan Xiaojun, dirinya tak bisa menyembunyikan keterkejutan dalam dirinya "Kau benar-benar menyelidikinya?"
Xiaojun tidak menjawab, Renjunpun segera mengambil amplop tersebut dan mengeluarkan berkas tersebut dan membaca hasilnya, yang secara langsung mengarah pada Jeno.
Tak ada satupun penghisap darah yang tinggal di Seoul selain keluarga mereka ditahun itu, tepat sehari setelah kejadian hanya Jeno yang pergi keluar dari Korea dan tak kembali selama 20 tahun lamanya.
"Apa kau sudah gila?"
"Dia memintaku tetap mencarinya walau sudah kukatakan aku tak bisa menemukan apapun, dia menghubungiku 3 hari yang lalu dan memohon agar lebih mengusahakan penyelidikanku Renjun-ah."
Renjun meletakkan kembali berkas tersebut "Kau tahu kami merahasiakan hal ini 20 tahun lamanya, dan kau benar-benar berniat memberitahukannya?"
"Renjun-ah, dia pembunuh. Walaupun Jeno tidak melakukannya dengan sengaja tapi tetap saja dia menghilangkan nyawa seseorang Huang Renjun."
"Seharusnya kau juga menangkap wanita yang memasukkan obat itu pada minumannya, jika bukan karena dia Jeno tidak mungkin membunuh seseorang malam itu."
"Menyalahkan wanita itu tidak akan mengubah kenyataan apapun, yang dilihat Jaemin saat kecil adalah Jeno yang membunuh ayahnya bukan wanita itu!"
Renjun meremas ujung amplop yang digenggamnya "Apa kau tahu Jaeminpun tidak memperdulikan hal itu lagi?"
Kening Xiaojun berkerut "Apa maksudmu?"
"Dia... Sudah tahu Jeno pembunuh ayahnya sedari awal, apa kau pikir seseorang bisa melupakan wajah seseorang yang telah membunuh ayahnya? Dia tahu itu sejak pertama kali bertemu dengan Jeno."
Renjun bukan mengada-ada, diawal pertemuan ia mempertanyakan sikap dingin Jaemin, mengapa pria itu berubah dalam semalam dan menerima tawaran bekerja Jeno. Semuanya terjawab saat ia tahu bahwa Jaemin pernah melihat pembunuh ayahnya yang tidak lain adalah Jeno.
"Dia tahu itu semua, tetapi dia tetap bersama dengan adikku. Jadi kumohon Xiaojun-ah, hancurkan bukti-bukti ini."
BRAAAK!!
Keduanya berjengit kaget saat meja yang mereka duduki dipukul keras dengan dua tangan seorang gadis namun yang membuat Renjun terkejut adalah saat melihat siapa gadis itu. Sejak kapan dia ada dicafe ini? Sial.
"Jeno... Makhluk itu, dia yang membunuh ayah Jaemin Oppa?"
Xiaojun dan Renjun saling melempar pandangan, mereka tak menyadari bahwa akan ada yang mendengar pembicaraan mereka sedari tadi. Seharusnya mereka berdua lebih berhati-hati.
Gadis itu, Lami. Mengambil berkas tersebut dari tangan Renjun dan segera pergi berlari keluar dari dalam cafe.
"Hei!!"
Renjun segera beranjak untuk mengejar, sedangkan Xiaojun segera mengeluarkan dompetnya dan meletakkan beberapa lembar uang diatas meja kemudian segera pergi mengejar Renjun.
"Berhenti!!"
'Ccciiiiiiiitt!!!'
"Renjun awas!"
Beruntung Xiaojun berhasil menarik Renjun untuk menghindari hantaman mobil yang melaju sangat kencang ketika dirinya hampir mengejar Lami yang sudah menyebrang terlebih dahulu.
"Kau tak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja." keduanya mengedarkan pandangan berharap melihat sedikit saja siluet Lami disebrang sana namun nihil.
"Maafkan aku, seharusnya kita berbincang dikantorku saja."
Renjun menghela nafasnya kasar, ya, dirinya sangat ingin menyalahkan Xiaojun saat ini. Namun ia tak tega melakukannya, lagipula saat ini bukan waktunya menyalahkan orang lain.
Ia segera mengeluarkan ponselnya dari saku ia mencari nomor ponsel seseorang yang belum pernah dihubunginya selama ini "Tak apa, jangan menyalahkan dirimu sendiri."
Begitu ibu jarinya menemukan nomor yang dicarinya dengan nama '나재민' ia segera menghubungi nomor tersebut.
"Kita perlu bicara, sepertinya Jeno akan berada dalam bahaya setelah ini."
Kali ini hanya Jaemin yang bisa Renjun mintai tolong, ia tak tahu lagi harus bagaimana jika hal ini sampai diketahui oleh seluruh saudara Jaemin di panti.
⇨ Twisted ⇦
"Adikmu tiba-tiba saja muncul di hadapanku dan Xiaojun, dia merampas hasil penyelidikan Xiaojun dan membawanya pergi."
"Itu adalah hasil penyelidikan kasus 20 tahun lalu, kematian ayahmu."
Jaemin mengerutkan keningnya, mengapa Xiaojun menyelidiki kematian ayahnya? Bagaimana kalau...
"Jeno memintanya... Tanpa tahu siapa pelaku sebenarnya."
Jaemin memukul stir mobil dihadapannya, mengapa Jeno sampai harus menyelidiki kejadian 20 tahun lalu tanpa memberitahukan padanya? Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Jeno?
Saat ini Jaemin tengah mengendarai mobil milik Jeno, meninggalkan sang pemilik di kedai milik Jisung demi segera menemui Renjun yang berada ditengah kota, yang bahkan belum mengiyakan permintaan Jaemin untuk pergi begitu saja.
Mobilnya berhenti dengan decitan keras didepan cafe tepat dihadapan Renjun, Jaemin membuka pintu samping pengemudi agar Renjun segera naik "Masuklah, jelaskan didalam. Aku tahu kemana Lami akan membawa berkas penyelidikan itu."
Usai Renjun masuk dan meninggalkan Xiaojun keduanya segera melesat menuju tempat tujuan. Sedangkan Xiaojun ia segera memutuskan kembali ke kantor dan mengupayakan beberapa hal agar hasil penyelidikannya tidak tersebar keluar.
"Jelaskan padaku mengapa hal ini bisa terjadi?"
"Hampir dua minggu lalu Jeno meminta Xiaojun untuk menyelidiki kasus 20 tahun lalu. Aku tak tahu dia dengar darimana tentang kasus ayahmu tapi dia memiliki berkas kasus milik ayahmu lalu meminta Xiaojun mencari siapa saja penghisap darah yang ada dikota ini 20 tahun lalu, bulan agustus."
Jaemin meremas gagang stirnya makin erat, dirinya sudah mencoba menyembunyikan kenyataan tersebut tapi mengapa Jeno bisa mengusik hal tersebut?
"Kau sudah tahu bukan kalau Jeno adalah pembunuh ayahmu."
Mobil yang dibawanya berhenti mendadak, beruntung tidak ada yang menabrak mobil tersebut dari belakang. Jaemin segera menoleh menatap Renjun. Bagaimana bisa Renjun tahu tentang apa yang dia rahasiakan?
"Iya bukan, kau tahu Jeno itu pembunuh ayahmu?"
"Lalu? Jika aku tahu kenapa? Apa itu semua masalah saat ini."
"Lalu kenapa kau merahasiakannya? Kau seharusnya bisa membalaskan dendam kematian ayahmu padanya bukan?"
Jaemin mendengus pelan kemudian terkekeh, dadanya terasa sesak mendengar kata-kata itu, ia mengesampingkan kematian ayahnya, melepas jubah perangnya karena begitu mencintai Jeno "Jika kau berpikir bahwa diriku sama sekali tak ingin membunuhnya kau salah, berapa kali diriku berpikir untuk membunuhnya setiap pagi, betapa aku sangat membenci dirinya yang selalu bersikap baik dihadapanku tanpa merasa berdosa sama sekali setelah membuat diriku menjadi yatim piatu."
Keduanya terdiam dengan pemikirannya masing-masing "Tapi dia membuatku justru mencintainya.. Aku bahkan tak bisa untuk tidak ikut berbohong padanya bahwa kejadian 20 tahun lalu hanyalah sebuah mimpi buruk saat melihatnya merasa takut kalau mimpinya membunuh seseorang adalah kenyataan."
Kedua matanya menatap asal kesembarang arah, perlahan Jaemin menghela nafasnya lalu kembali menjalankan mobilnya "Bagaimana bisa aku membunuhnya sedangkan diriku berbohong untuk melindunginya." gumamnya pelan, entah pria di sisi kanannya mendengarnya atau tidak.
"Hal itu sudah bukan hal penting saat ini, yang terpenting sekarang adalah menyusul Lami." tambahnya kemudian kembali menjalankan mobil menuju panti, jika semua orang dipanti sudah tahu Jaemin harus menjelaskan banyak hal disana.
Renjun pun menurut, kali ini ia hanya ingin melindungi adiknya walaupun harus mengikut sertakan Jaemin dalam hal ini.
Tak berapa lama mereka tiba di depan halaman panti, baik Jaemin maupun Renjun mengintip kearah dalam berharap tak ada siapapun orang dewasa didalam sana yang tengah bersama dengan Lami.
"Kau yakin dia ada disini?"
"Dimana lagi dia bisa mencari pembelaan jika bukan disini, mencari seluruh Oppanya." Jaemin memarkir mobil asal, dan segera turun tanpa mengajak Renjun yang kemudian menyusul belakangan.
Kaki mereka melangkah menuju bangunan panti, begitu masuk kedalam langkah Jaemin perlahan berhenti saat melihat Lami tengah duduk diruang tamu bersama dengan Jinhyuk yang menunduk dan juga bersama dengan Siwon serta Junmyeon yang kini menatap kedatangan Jaemin dan entah kenapa ada Yixing disana diantara para kakaknya.
"Jaemin-ah, kau harus lihat ini."
Siwon hampir mendekati Jaemin dengan berkas ditangannya, namun tangannya terangkat sebagai permintaan agar Siwon berhenti dan jangan menghampirinya. Kedua netranya menatap berkas yang berada dalam genggaman tangan Siwon tersebut lekat-lekat, nyawa Jenonya ada didalam sana.
"Aku tak perlu melihatnya, berikan saja berkas itu padaku." pintanya.
Sedikit tak percaya dengan apa yang didengarnya Siwon memicingkan kedua matanya menatap Jaemin "Disini ada nama pembunuh ayahmu Jaemin-ah, bukankah kau selalu ingin mengetahui siapa pembunuhnya?!"
"Bukankah seharusnya nyawa dibayar dengan nyawa.." pria yang datang bersama Junmyeon mengucapkan kalimat yang hanya memperkeruh suasana.
Renjun hampir melangkah mendekat karena tak suka dengan cara berbicara orang tersebut yang terdengar seperti sengaja menyulut kemarahan diantara mereka tapi Jaemin menahannya "Dia orang yang dihindari Chenle, dia kakaknya. Jangan gegabah." bisiknya pelan.
Jaemin kembali menghela nafasnya, tanpa berkas sialan itupun dia tahu siapa pembunuh ayahnya sejak awal. Karena Na Jaemin melihat jelas wajah Jeno saat itu malam dimana ayahnya terbunuh.
"Aku tahu, berikan saja berkas itu padaku."
Lami menghampiri Jaemin lalu dengan tiba-tiba menampar wajah pria tampan itu dihadapan semua yang berada disana, bahkan hingga Renjun dan Jinhyuk terkejut "Sekarang apalagi rencanamu, eoh? Kami ini saudaramu, jika kau ingin melenyapkannya kau bisa meminta bantuan kami semua, kau tidak perlu membohongi kami dengan menjalin hubungan spesial dengannya dan diam-diam ingin melenyapkannya seorang diri. Kau menyakitiku Oppa karena kupikir kau memilihnya bukan diriku."
Jaemin menyentuh wajahnya yang terasa perih, namun ucapan Lami jauh lebih terdengar perih di hatinya. Apa perasaannya hanya terlihat serendah itu dimata gadis tersebut? Berpura-pura menyukai Jeno? Omongan macam apa itu, bahkan jika dirinya bisa merubah takdir ia akan membuat dirinya dan ayahnya tidak melewati jalan tersebut malam itu, kalau perlu membuat Jeno tidak meminum minuman sialan itu.
Ia menghela nafasnya pelan dan menghiraukan Lami kemudian melangkah cepat menghampiri Siwon merampas berkas tersebut kemudian mengeluarkan pemantik dari balik saku hoodienya sambil berjalan keluar panti dan dengan segera membakar berkas tersebut tanpa sisa dihadapan seluruh saudaranya.
"Oppa!! Apa yang kau lakukan?"
"Aku tidak pernah berpura-pura dengan yang kurasakan terhadap Jeno, aku memang memilihnya daripada dirimu Lami-ya."
Baik Lami ataupun Siwon terdiam keduanya terkejut melihat hasil penyelidikan tersebut terbakar dihadapan mereka, Lami masih berusaha meraih lengan Jaemin menebak-nebak apa rencana Jaemin setelah ini berharap apa yang di bayangkan dalam kepalanya memang benar adanya.
"Kau seperti ini hanya karena ada dia bukan?" Lami menunjuk Renjun yang datang bersama dengan Jaemin, karena memang Lami merampas berkas tersebut dari tangan pria itu. "Dia berkata kau menyembunyikan kenyataan selama ini, dia berkata bahwa kau sudah tahu sejak awal, tentu saja itu bagian dari rencanamu bukan Oppa?"
"Bagian dari rencanaku?" Jaemin menarik lengannya agar lepas dari genggaman Lami "Rencanaku adalah merahasiakan hal ini seumur hidup. Aku sudah melupakan kejadian 20 tahun yang lalu.."
"Ayo kita pergi." Jaemin mengajak Renjun agar segera pergi, ia sudah membakar bukti tersebut dirinya hanya ingin semua seolah-olah tak pernah terjadi.
"Na Jaemin."
Langkahnya dan Renjun kembali tertahan, ia menoleh karena Junmyeon memanggilnya "Apa ini balasanmu pada kami yang sudah merawatmu sedari kecil?"
Dirinya tak ingin kurang ajar, dirinya pun tak ingin ada diposisi seperti ini, iapun merasa bersalah dengan situasi saat ini namun ia tidak akan pernah merasa bersalah pada seorang Kim Junmyeon "Aku tentu merasa bersalah akan yang terjadi saat ini, namun bukan untukmu. Melainkan pada Siwon Hyung dan Jinhyuk Hyung. Berhentilah merasa bahwa dirimu mengurus diriku sedari kecil karena kau hanya memikirkan usahamu, restoranmu dan hanya memberikan uangmu pada panti ini."
"Yak! Na Jaemin!!"
"Sepertinya penghisap darah itu sudah mencuci otakmu?"
"Apa katamu? Ulangi sekali lagi."
Siwon sudah mengenggam gagang pistol dibalik sakunya saat melihat Renjun melangkah mendekati mereka dengan mata merah menyala, beruntung Jaemin menahan pria itu agar tidak melangkah terlalu dekat.
"Yang kau lakukan barusan... Apa sejak awal kau sudah tahu dia orangnya? Jaemin-ah?"
Dengan berat hati kepalanya mengangguk, hanya anggukan pelan yang ia berikan sebagai jawabannya atas pertanyaan Jinhyuk padanya.
"Sejak hari pertama diriku bertemu dengannya aku tahu dia pembunuh ayahku. Itulah mengapa diriku bersedia bekerja dengannya, aku ingin menyelidikinya, aku ingin tahu siapa dirinya, aku sangat ingin membunuhnya."
Jaemin tersenyum kecut "Namun semakin diriku tahu segalanya tentang Lee Jeno keinginanku untuk membunuhnya menghilang."
Lami kembali melangkah cepat mendekati Jaemin menarik-narik pakaian yang digunakan Jaemin, ia tidak bisa menerima penjelasan semudah itu, yang ia tahu Jaemin menyukai dirinya hampir seumur hidupnya namun karena seorang Lee Jeno semuanya berubah.
"Apa kau ini bodoh eoh! Kenapa kau menyukainya, kau seharusnya membunuhnya, lihat apa yang terjadi? Kau menjauh dari kami Oppa, apa harus kulenyapkan dia dari hadapanmu agar kau kembali pada kami? Agar kau kembali padaku?!"
"YAAK!!"
Tanpa memperdulikan bahwa perlakuannya mungkin akan menyakiti Lami, Renjun menarik lengan gadis cantik itu dengan kasar dari pakaian Jaemin lalu menghempaskannya.
"Menjauhlah dari adikku dan Jaemin. Bisakah kau berhenti berada dikehidupan mereka seperti kehidupan masa lampau eoh! Berhenti memisahkan adikku dengan Jaemin!!" umpatnya kesal, ia bahkan tak sadar kini seluruh mata disana tengah menatapnya tak mengerti termasuk Jaemin.
"Kali ini Na Jaemin adalah bagian dari hidup Jeno, bagian dari Mansion Lee. Dia mencintai adikku, kuharap kalian mengerti dan menerima keputusannya."
Namun, bukan Renjun namanya jika tidak bisa menghindar dari situasi seperti ini, ia segera menarik Jaemin agar segera pergi dengannya. Bahkan dirinya yang mengendarai mobil karena hanya Renjun yang tetap tega menjalankan mobil saat Lami berteriak-teriak memanggil dan mengejar Jaemin beserta mobil Jeno yang perlahan meninggalkan pekarangan panti.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku sama sekali tak ingin Jaemin berurusan dengan makhluk seperti itu." ucap Junmyeon, ia menghela nafasnya dengan berat dan kesal.
Dirinya tak pernah melihat Jaemin membantah ucapannya sedikitpun selama ini, tadi adalah yang pertama dan baginya perubahan Jaemin itu semua karena makhluk bernama Lee Jeno.
Sedangkan Siwon ia hanya menatap Junmyeon tanpa minat, sejak awal dirinya tak setuju adiknya ini membawa oranglain dalam permasalan pribadi keluarga mereka namun dia tetap memaksa dan bagaimana akhirnya? Pria yang tak dikenalnya ini seenaknya saja membuka mulutnya dan memperkeruh suasana.
Siwon mengenal Jaemin dengan baik, adiknya bisa berbuat sejauh ini pasti karena dia memiliki alasannya sendiri, yang tewas malam itu dengan tragis adalah ayahnya sendiri. Bahkan dia sangat ingin menemukan pembunuhnya, menjadikan keinginannya itu sebagai motivasinya untuk tetap hidup.
Namun setelah menemukannya, adiknya justru dengan sengaja merahasiakannya. Bahkan hidup bersama dengan sipembunuh itu, adiknya memiliki alasan dan Siwon hanya perlu tahu apa, dirinya tak terlalu memperdulikan hal lainnya.
Berbeda dengan Jinhyuk yang terpaku akan ucapan Renjun, ia ingat setiap kalimat yang dikeluarkan pria itu dengan jelas.
Lukisan seseorang yang mirip dengan Jaemin, apa ada hubungannya dengan adiknya Na Jaemin? Apa ada hubungannya juga dengan reaksi terkejut Renjun saat melihat Lami dirumah sakit saat itu?
Terlalu banyak pertanyaan dikepalanya hingga dirinya ataupum saudaranya yang lain sama sekali tidak menyadari bahwa Yixing kini tengah mendekati Lami dan berusaha untuk menenangkannya, atau mungkin menghasut gadis patah hati itu.
"Kau ingin melenyapkannya bukan?"
"Siapa yang kau maksud?"
"Lee Jeno? Na Jaemin? Mereka berdua menyakitimu bukan?" Yixing menepuk pundak gadis itu perlahan mencoba menenangkan isak tangisnya.
"Apa kau tahu walaupun mereka immortal, namun sebuah pasak kayu bisa membunuh mereka hanya dengan sekali tikam tepat didada kiri mereka."
Tangisan dari matanya perlahan berhenti, gadis itu menghapus air matanya dan menatap Yixing yang berbicara padanya dengan suara lembut bahkan sangat menenangkan.
Lami tertarik dengan apa yang dikatakan Yixing, atau lebih tepatnya dia tertarik menyingkirkan keduanya yang sudah menyakitinya.
Sama seperti yang sudah-sudah, dikehidupan lampau.
⇨ Twisted ⇦
Jaemin dan Renjun tengah duduk diatas kap mobil Jeno, mata keduanya tengah sibuk menatap keramaian dihadapan mereka berapa banyak orang yang datang ketempat ini menjelang sore hari, sungai Han.
Tempat dimana Jeno meminta Jaemin menjadi kekasihnya dengan sebuah kecupan lembut dibibirnya tepat dibawah pohon yang tengah mengugurkan beberapa bunga mereka saat itu.
"Apa maksud ucapanmu tadi? Tentang diriku, Jeno dan Lami? Aku sama sekali tak mengerti.."
Selama ini Jaemin hanya tahu dirinya mungkin saja reinkarnasi Park Jaemin kekasih Jeno yang tewas berkorban untuk Jeno, ia tidak pernah mendengar tentang Lami juga berasal dari masa lalu mereka, baik Jeno atau siapapun tidak pernah menyebutkan tentang Lami, atau gadis yang menjadi setidaknya orang ketiga diantara hubungan Park Jaemin dan Lee Jeno dimasa lampau.
"Aku hanya tahu diriku mungkin saja... ya mungkin saja reinkarnasi Park Jae..."
"Kau hanya tahu sebagian kecil saja Na Jaemin.." Renjun memotong ucapan Jaemin, ia menoleh pada pria bersurai auburn itu.
"Bahkan mungkin hanya itu yang adikku Jeno ingat di memorinya."
Jaemin merapatkan bibirnya, ia menanti hal apa yang diketahui Renjun saat ini yang bahkan Jeno tak tahu.
"Aku tahu lebih banyak lagi tentang kehidupan kalian Na Jaemin." Renjun menarik sebuah senyum simpul dibibirnya "Apa kau pikir semuanya berawal dari Lee Jeno, Park Jaemin dan Permainsuri Seo?"
Permainsuri Seo? Apa itu Lami? Namun bukan itu pokok permasalahannya, ucapan Renjun seolah-olah menegaskan hal ini bukan terulang 2 kali diantara mereka ber-3.
"Semua ini berawal dari Lee Jinki si tangan kanan putra mahkota bernama Kim Kibum dan calon permainsurinya bernama Putri Jeong."
Kening Jaemin berkerut, ia tak tahu siapa yang disebutkan oleh Renjun. Siapa itu Jinki dan Kibum? Apa ada hubungannya dengan Jeno dan Park Jaemin?
"Kisah kalian bertiga semua dimulai saat Silla masih memimpin negara ini. Di dua kehidupan lampau, kau adalah seorang putra mahkota, Kim Kibum. Kau sudah mengenal Jeno sedari kecil, kalian tumbuh bersama. Saat itu dia bernama Lee Jinki tangan kananmu yang selalu kau bawa kemanapun dan kau lindungi dalam keadaan apapun."
Renjun mendengus mengeluarkan kalimat itu sama seperti melihat kejadian hari ini, Na Jaemin yang tengah melindungi Jeno.
"Kemarikan kepalamu."
"Eoh?" Dirinya tengah fokus mendengarkan cerita Renjun namun lelaki itu justru memintanya agar memajukan kepalanya, menurut Jaemin sedikit memajukan kepalanya.
Dalam gerakan cepat Renjun tiba-tiba menempelkan telapak tangannya diatas kepala Jaemin, dan dalam hitungan detik pemuda Na itu kehilangan kesadarannya dan tergeletak diatas kap mobil.
"Mimpimu yang akan membuatmu ingat padanya Kibum-ah.."
Tubuhnya Jaemin seperti terlempar sangat cepat, sekitarnya terlihat bergerak maju sangat cepat sedangkan tubuhnya terdorong mundur tanpa henti hingga tubuhnya terjatuh diatas tanah berumput.
"Jinki-ya!!"
"Eo!!"
Suara itu membuat Jaemin menatap sekeliling, ia melihat seorang anak berumur sekitar 12 tahun berlari melewatinya seolah-olah tak melihatnya sama sekali menghampiri anak lainnya.
Mereka bercengkrama sebentar sebelum netranya melihat anak yang berlari melewatinya tadi mengambil tas berisi alat berburu kemudian membawanya di bahu kiri.
"Setelah ini kita pulang bagaimana?"
"Aku akan mengantarkanmu sampai istana tapi, aku akan segera pulang Kibum-ah. Renjun Hyung pulang hari ini, kau tahu sudah sebulan aku tak melihatnya.
"Renjun?" gumam Jaemin seorang diri.
Kibum mengerucutkan bibirnya, "Akupun ingin bertemu dengannya."
"Tapi..."
Sraaak...
Keduanya menoleh kesegala arah begitu mendengar suara langkah kaki mendekat kearah mereka, keduanya berlari saat melihat seseorang bermata merah tiba-tiba muncul dan berniat menerkam keduanya.
Jaemin berniat menolong namun ia tak bisa menyentuh apapun, dirinya seperti hanya penonton ditempat ini. Mau tak mau kakinya ikut melangkah kemana makhluk mengerikan itu mengejar kedua anak yang wajahnya terlihat sangat familiar baginya.
"Lari Kibum-ah."
Jinki terselengkat dan meminta Kibum untuk segera pergi tapi kedua kaki putra mahkota itu sama sekali tidak ingin beranjak padahal penghisap darah itu sudah sangat dekat dengan mereka.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu."
Erangan dan nafas berat makhluk itu semakin dekat, Kibum segera berjongkok memeluk Jinki dengan erat. Namun tak ada sedikitpun serangan mengenai mereka hingga keduanya melihat hyung yang sudah hampir sebulan lamanya tak mereka lihat tengah menahan tubuh penghisap darah itu.
"Renjun?"
"Renjun Hyung??"
"Bawa Jinki pergi Kibum-ah." Mereka melihat tubuh Renjun terjatuh keatas tanah karena pergelutan tersebut.
"Pergi!!"
Jinki bangkit berdiri dari jatuhnya kedua kakinya gemetar melihat Hyung yang sudah merawatnya sedari kecil mungkin saja akan tewas "Pergi Jinki-ya!!"
"Lee Jinki ayo.." Kibum meraih lengan Jinki dan berusaha menariknya.
"Tapi Kibum-ah.."
"Mulai hari ini aku yang akan menjagamu, Renjun Hyung pun ingin kau selamat bukan mati konyol disini." Terpaksa Kibum menarik Jinki segera pergi dari sana meninggalkan Renjun yang mengorbankan diri untuk mereka.
Jaemin terdiam ia tidak menyangka akan melihat bagaimana cara Renjun akhirnya menjadi seorang penghisap darah, sudah selama inikah dia hidup??
Tubuhnya tiba-tiba saja seperti tertarik lagi kebelakang hingga punggungnya menabrak dinding istana bersebelahan dengan seorang pria yang berdiri memunggunginya sedang meletakkan alat berburu diatas tanah.
"Jinki-ya.."
Jaemin terpaku dengan suara itu, ia menoleh kesumber suara. Dari pintu masuk seorang pria dengan tinggi yang sama dengan dirinya berwajah sama sepertinya memanggil dengan lembut pria yang sedari tadi membelakanginya.
Begitu pria itu berbalik karena namanya dipanggil Jaemin bukan main terkejut karena melihat Jeno tengah tersenyum manis dengan eye smile khas miliknya "Bersihkan dirimu Kibum-ah, aku sudah membereskan peralatanmu."
Kedua anak kecil yang tadi dilihatnya sudah beranjak dewasa, wajah Lee Jinki yang ada dihadapannya ini sama persis dengan wajah Jenonya, tidak mungkin bukan itu artinya Jinki akan menjadi penghisap darah sebentar lagi?
Tidak, tidak.. Ia harus melakukan sesuatu. Jaemin kembali mendongak namun kedua manusia itu sudah beranjak pergi, mau tak mau ia mengikuti siluet keduanya yang pergi menuju bagian belakang istana.
Kedua kakinya berhenti melangkah ketika melihat ternyata keduanya tengah saling mencumbu bibir satu sama lain, tubuh Jinki yang saat itu lebih besar daripada Kibum mengunci tubuh si putra mahkota diantara kedua tangannya dan dinding dibelakang tubuhnya.
Bahkan Jaemin bisa melihat keduanya hampir tak memperdulikan kebutuhan oksigen bagi pernafasan dan kelangsungan hidup mereka andai saja, suara seorang gadis tidak membuat keduanya berhenti.
"Oppa!!!"
Baik Jaemin ataupun Jinki dan Kibum sama terkejutnya karena mendengar suara yang familiar ditelinga mereka. Jaemin berbalik, ia melihat gadis cantik itu melewatinya. Betapa terkejutnya Jaemin melihat wajah siapa yang baru saja melewatinya dengan wajah marah dan mata yang memerah terlihat tengah menahan kepedihan.
"Lami?"
Jadi, apa yang dikatakan Renjun benar adanya.. Lami, dirinya dan Jeno terperangkap dalam lingkaran yang sama sejak masa ini.
Kepalanya menoleh ia menatap ketiga manusia dihadapannya, mereka benar-benar terlihat seperti pantulan cermin keadaan dirinya dan Jeno serta Lami saat ini.
Siapa yang salah disini sebenarnya? Siapa yang memulai hubungan rumit seperti ini sejak awal??
⇨ To Be Continued ⇦
Tidak ada komentar:
Posting Komentar