Selasa, 29 September 2020

TWISTED - 11



∵ TWISTED ∵


|


|


|


|


Detektif tampan itu hanya menatap bingung pintu kamar Renjun yang tertutup bersamaan dengan si pemilik yang pergi meninggalkannya didalam sana seorang diri bersama dengan keheningan.

Untuk sepersekian detik pria itu hanya berdiri dalam diam mencerna apa yang baru saja terjadi saat dirinya ditinggalkan, ini pertama kalinya Renjun mengijinkannya berada didalam kamar milik pria dingin itu seorang diri.  "Apa dia baru saja meninggalkanku?" Tanyanya kembali seorang diri tanpa ada jawaban ia masih tidak percaya dengan hal yang baru saja terjadi.

Namun daripada dirinya memusingkan hal itu pria tampan tersebut memutuskan untuk duduk saja di kursi yang berada disudut kamar, kursi yang diduduki Renjun sebelumnya.

Ia membuka dan membaca kembali berkas hasil penyelidikannya tentang kasus kematian Na Wangshik 20 tahun lalu, beberapa kali ia membaca keterangan Na Jaemin yang tertulis disana berulang kali dan tanpa sadar penjelasan disana membuat keningnya berkerut saat menyadari sesuatu, sepertinya ia mulai mengerti apa yang membunuh pria berumur 40 tahun tersebut 20 tahun lalu.

Pria itu meletakkan kembali berkas penyelidikannya dan segera beranjak keluar dari kamar Renjun, ada yang harus ditanyakannya pada lelaki tersebut.

Atau lebih tepatnya memastikan.

Saat ia menutup pintu kamar Renjun ia melihat pria yang dicarinya tengah berada tidak jauh dari posisinya berada dan baru saja keluar dari kamar lainnya dengan ekspresi yang tak bisa dibaca oleh siapapun walau dirinya detektif sekalipun, Renjun terlalu pandai menyimpan dan mengatur ekspresi serta emosinya.

"Huang Renjun.." Panggilnya, dan dia mendapat atensi pria itu yang kini melangkah kearahnya "Aku ingin membicarakan tentang kasus kematian Na Wangshik 20 tahun lalu."

Renjun berhenti melangkah ia menatap detektif tersebut dalam diam untuk sesaat, perlahan ia menghela nafasnya "Sepertinya kau sudah tahu sesuatu Xiaojun-ah.."

Pria dihadapannya ini bukanlah hanya sekedar detektif swasta biasa, dia adalah satu-satunya teman manusia yang dikenal Renjun sejak 17 tahun lalu, dan tahu bahwa Renjun immortal sejak 10 tahun lalu berdasarkan tebakan si detektif sendiri.

Karena ia menyadari bahwa Renjun sama sekali tidak bertambah tua sejak mereka pertama kali bertemu saat dirinya kehujanan dan hampir mati kedinginan dipinggir jalan tanpa ada siapapun yang mau mengulurkan tangan untuk menolongnya, hanya Renjun yang mau mengulurkan tangan pada pria itu 17 tahun lalu.

"Aku yakin bukan dirimu, siapa? Siapa yang membunuh Na Wangshik malam itu."

"Kenapa kau yakin itu bukan diriku?"

"Aku mengenalmu sejak berumur 13 tahun, aku tahu kau tidak akan melakukannya."

Renjun mengeraskan rahangnya "Kau hanya mengenalku selama 17 tahun Xiaojun, sedangkan aku hidup jauh lebih lama dari itu. Kau sama sekali tidak mengenalku."

"Lalu mengapa? Selama aku mengenalmu tidak pernah sekalipun kau melakukan hal yang buruk dihadapanku. Bukankah itu cukup bagiku untuk memberikan penilaian untukmu."

"Bagaimana jika memang diriku yang membunuh Na Wangshik? Itu terjadi 3 tahun sebelum aku mengenalmu."

Detektif bernama Xiaojun itu menghela nafasnya, ia tahu mana orang yang benar-benar mengaku salah dengan yang berpura-pura mengaku salah. "Lalu kenapa? Kasus itupun sudah ditutup 4 tahun lalu. Kejahatanmu sebelum aku mengenalmu sama sekali tidak ada diingatanku."

Jawaban Xiaojun benar-benar membuat Renjun tertegun diam, biasanya pria itu sangat manja padanya bahkan terlihat sangat tidak dewasa karena selalu mengajaknya berkencan sejak menginjak umur 20 tahun, namun Renjun selalu menolaknya karena baginya Xiaojun masih seperti anak-anak dan suka bermain-main sehingga tidak pernah menanggap serius ajakan Xiaojun.

Hingga baru saja Renjun sadar, Xiaojun kecil yang dikenalnya 17 tahun lalu itu memang sudah benar-benar dewasa, jawaban tadi bukanlah jawaban yang akan diberikan oleh seorang anak-anak padanya.

"Berapa umurmu tahun ini Xiaojun-ah?"

"30 tahun, kau sudah menolak ajakan kencanku selama 10 tahun. Apa perlu kujelaskan yang lebih detail lagi?"

Renjun kembali menghela nafasnya, apa kali inipun yang diatas sana sengaja membuatnya teralihkan dari masalah Jeno dan Jaemin pada Xiaojun? Seumur hidupnya baru kali ini ada seseorang menunggunya hingga seperti ini, bahkan ini kali pertama selama ia hidup ratusan tahun ada seseorang yang menunjukkan ketertarikan padanya secara terang-terangan.

Lagipula 10 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk seseorang menunggu apalagi setelah tahu siapa dirinya dan keluarga besarnya, seharus dia bisa pergi melarikan diri begitu sadar bahwa tidak ada satupun manusia di Mansion Lee kecuali dirinya saat itu.

Ia kembali menatap Xiaojun, diumurnya yang sudah menginjak 30 tahun seharusnya pria ini sudah memiliki kekasih tapi dia tetap memilih untuk tidak memiliki siapa-siapa.

Tangannya yang terkepal karena sedari tadi merasa emosinya dipermainkan dengan kenyataan yang tiba-tiba muncul di satu hari yang sama perlahan terbuka, Renjun memutuskan untuk melupakan permasalahan itu sejenak setidaknya hari ini.

Mungkin itu lebih baik, satu hari saja ia memikirkan dirinya seorang dan kehidupannya dan pria dihadapannya ini.

"Kau ingin berkencan bukan? Mari kita berkencan hari ini."

Pria itu terkejut bukan main, ia tidak menyangka setelah sekian lama dirinya bisa berkencan dengan pria yang sudah menolongnya ini "Benarkah?"

"Tentu saja, kau mau atau tidak?"

Detektif itu segera mendekati Renjun dengan pandangan menyelidik "Jika ini pengalihan atas pertanyaankupun aku tidak keberatan. Ayo kita kencan." Tangannya terulur, jemarinya segera menarik jemari Renjun agar saling mengait dengan jemarinya "Tapi kali ini jangan membicarakan tentang Jeno, aku sudah bosan mendengar tentangnya setiap kita bertemu."

"Jeno adikku.." Renjun baru akan membantah namun ia mengurungkan niatnya saat melihat wajah Xiaojun yang tengah menatap dirinya, memohon "Baiklah, tidak ada Jeno kali ini."

Twisted


Jisung memarkirkan mobil Jeno didepan restoran miliknya, mereka baru saja selesai medical check up kesehatan Jaemin. Beruntung pemulihannya sesuai dengan apa yang dikatakan dan diharapkan oleh dokter, Jaemin sudah bisa mulai bekerja seperti biasa dalam beberapa hari kedepan.

"Kalian ingin makan berdua saja atau bersama denganku dan Chenle?" Ledek Jisung, karena sebenarnya dirinya dan Chenle tidak mungkin makan bersama di dalam restoran jika tidak ingin timbul pembicaraan yang tidak-tidak tentang Chenle dikemudian hari.

Jisung tertawa pelan melihat raut kebingungan yang terpancar dari wajah keduanya "Bercanda, aku akan makan siang dengan Chenle diluar atau di ruanganku. Kalian nikmati saja makan siang kalian.." Jisung memberikan kunci mobil pada Jeno walaupun nanti dirinya lagi yang akan mengantarkan Jeno serta Jaemin kembali ke mansion tapi tetap saja dia akan mengembalikan kunci mobil pada pemiliknya.

"Sampai jumpa nanti." Jisung segera turun dan memasuki restoran miliknya meninggalkan Jeno serta Jaemin didalam mobil.

"Kau sudah lapar? Atau kau ingin berkeliling dulu sebelum makan siang?"

Jaemin menatap sekeliling restoran Jisung, restoran ini berada tidak jauh dari sungai han apa sebaiknya mereka kesana? Bukankah dulu juga mereka mulai berbaikan pun ditempat itu? "Aku ingin berkeliling dulu, sepertinya perutku belum meronta untuk diisi."

"Sungai Han..."

"Sungai Han."

Jaemin dan Jeno saling melempar pandangan terkejut sebelum terkekeh pelan karena mereka menyebutkan nama tempat yang sama untuk mereka kunjungi, Jeno segera turun dari kursi disamping pengemudi kemudian membukakan pintu mobil untuk Jaemin, mereka memutuskan untuk berjalan kaki menuju sungai Han yang terletak tidak jauh dari restoran milik Jisung.

Keduanya melangkah bersama dengan Jeno yang perlahan meraih jemari Jaemin dan mengenggamnya kemudian dibalas genggaman oleh pria tersebut, mereka melewati sebuah mobil merah maroon metalik yang baru saja datang dari arah berlawanan.

"Bukankah itu adikmu? Siapa pria disampingnya?"

"Itu Na Jaemin, apa kau tidak mengenalinya setelah menyelidikinya?" Renjun menoleh kembali kearah samping ia melihat Jeno dan Jaemin melangkah bersama sambil berbincang dan tertawa pelan, sama seperti masa lalu.

Namun bukan rasa nyaman yang dilihatnya saat ini ketika melihat keduanya saling berbincang satu sama lain seperti itu, melainkan rasa takut. Kebahagiaan keduanya selalu terenggut karena keegoisan seseorang termasuk dirinya yang tidak ingin melihat Jeno terluka. Entah apa yang akan terjadi kali ini.

"Kau melamun?"

Renjun memalingkan wajahnya dari jendela mobil ia menoleh menatap Xiaojun kemudian tersenyum "Tidak... Hanya sedikit memikirkan sesuatu."

"Bagaimana dengan restoran adikmu yang lain? Aku suka dengan sushi disana."

"Baiklah, tak apa. Disana saja, dirikupun ingin bertemu dengan Jisung."

Melihat restoran sushi itu membuat Renjun teringat akan Chenle, sepertinya dia harus berbicara 4 mata dengan pria itu, seorang pemburu tidak boleh berada didekat penghisap darah seperti mereka.

Karena Renjun sama sekali tidak ingin Jisung terluka sedikitpun.

Begitu tiba di Sungai Han keduanya memutuskan untuk mendudukkan diri sambil bersandar di sebuah pohon yang cukup besar sambil memandang sekitar.

Keduanya berada dalam keheningan walaupun jemari mereka saling bertaut erat satu sama lain, "Jaemin-ah.."

"Ya?"

Jeno mengubah posisi duduknya hingga ia kini menghadap kearah Jaemin "... Mengapa kau menolongku? Bukankah kau tahu siapa diriku?"

Perlahan Jaemin menunduk ia menatap genggamannya dengan Jeno dan melepasnya, jemarinya terangkat untuk mengacak surai kelam milik Jeno sembari tersenyum begitu manis pada pria itu.

"Akupun tak tahu... Aku hanya ingin melindungi pria yang kucintai.. Walau itu dengan nyawaku sekalipun.."

Jeno meraih tangan Jaemin dikepalanya, ia kembali mengenggam jemari itu dan memberikan kecupan hangat pada punggung tangan Jaemin berkali-kali dengan netranya yang memandang lekat pria bersurai auburn tersebut.

"Jangan pernah lakukan hal itu lagi, aku tidak ingin kehilanganmu Na Jaemin.."

"Apa kau benar-benar takut diriku menghilang? Kau benar-benar mencintai diriku Lee Jeno?" Bagaimanapun Jaemin masih memikirkan bahwa dirinya hanya menggantikan posisi seseorang saat ini.

Kembali Jeno menatap Jaemin lekat-lekat, ia paham keraguan yang dirasakan Jaemin terhadapnya, "Jadilah milikku, maka kau tidak akan ragu lagi seberapa besar perasaanku padamu Na Jaemin."

"M-Milikmu?"

"Jadi kekasihku, seperti Donghyuk dan Mark." Jeno sampai meralat ucapannya sambil terkikik geli, Jaemin sepertinya terkejut. Jemarinya terulur menyentuh wajah Jaemin, pria yang mampu membuat perutnya selalu tergelitik.

"Menurutmu apa jawabanku akan 'tidak mau' setelah ku korbankan tubuhku untuk menyelamatkanmu Tuan Lee?"

"Sepertinya itu berarti kau bersedia.. " Jeno tersenyum dan mendaratkan beberapa kecupan manis diatas bibir ranum Jaemin "Selamat Datang di mansion Lee Tuan Na.." Ucap Jeno yang membuat kedua terkekeh bersamaan sebelum Jaemin memeluk Jeno dengan erat.

Ia benar-benar meletakkan jubah perangnya dan menyerah.

Twisted


Xiaojun membukakan pintu untuk Renjun, kedatangan keduanya segera disambut oleh beberapa pekerja karena mereka tahu bahwa Renjun adalah saudara sepupu pemilik restoran ini, hanya Chenle yang tak tahu bahwa restoran ini milik Jisung.

Renjun menatap sekeliling tak ada Jisung dan Chenle padahal ia melihat mobil Jeno terparkir didepan restoran, "Duduk disini Renjun-ah."

Suara Xiaojun menyadarkannya, ia tersenyum dan duduk di kursi yang dipilih dan ditarik oleh detektif tampan itu untuknya. Ia memang melupakan permasalahan Jeno dan Jaemin sejenak namun ketika tiba disini ia teringat dengan kalung yang digunakan Chenle. Kepalanya benar-benar sakit karena permasalahan kedua adiknya tersebut.

"Apa ada yang tengah kau pikirkan? Pesanlah, kau juga harus mengisi perutmu."

"Tak ada.." Renjun tersenyum dan memutuskan untuk membuka buku menu yang sudah ia hafal diluar kepala isinya, namun ia kembali menatap Xiaojun berpikir sekali lagi haruskah ia mengatakan pada Xiaojun apa yang tengah dipikirkannya saat ini? "Memang ada yang tengah kupikirkan namun sepertinya hal tersebut tidak terlalu penting."

Xiaojun meraih jemari Renjun kemudian mengenggamnya perlahan "Ceritakan padaku jika kau ingin mengatakannya, sekarang pesanlah makanan dahulu."

Menurut adalah hal langka yang bisa dilakukan Renjun namun kali ini ia memutuskan untuk menurut saja pada apa yang dikatakan Xiaojun, tanpa sadar selain Donghae dirinya membiarkan otaknya justru mematuhi pria ini. Ini kencan pertama dalam hidupnya, bukankah dia harus menikmatinya dengan benar?

Xiaojun tersenyum melihat Renjun mengangguk dan mulai menyebutkan apa yang ingin dipesan olehnya. Iapun menyebutkan ulang pesanan Renjun dan pesanannya pada pramusaji yang tengah melayani mereka dengan mencatat nama pesanan yang diinginkan oleh mereka.

"Aku akan ke kamar kecil sebentar.." Renjun berdiri dan segera beranjak menuju kamar kecil, namun ketika dirinya hampir sampai di kamar kecil pintu belakang terbuka dan ia melihat Jisung datang dari sana.

"Jisung-ah? Kau disini? Kukira kau tidak ada."

"O, Hyung. Aku sedang makan siang bersama dengan Chenle dibelakang. Dengan siapa kau kemari? Apa kau melihat Jeno dan Jaemin Hyung didepan?"

"Aku melihat mereka tapi sepertinya mereka pergi menuju Sungai Han.." Renjun menepuk lengan Jisung "Aku datang dengan Xiaojun bisa kau temani dia sebentar selama aku dikamar mandi."

"Baiklah.."

Alasan Renjun menyayangi Jisung seperti ia menyukai adiknya yang lain karena anak itu sangat penurut bahkan sangat polos. Terlalu polos hingga Renjun takut Jisung akan tersakiti dengan mudahnya, terlebih ada setitik rasa bersalah juga direlung hatinya karena membunuh Park Jaemin dan membuat Jisung sebatang kara. Satu-satunya cara menebusnya adalah dirinya menjadi kakak yang melindungi Jisung dari segala ancaman yang ada.

Jemarinya hampir menyentuh knop pintu kamar mandi namun atensinya teralihkan pada pintu yang tadi digunakan Jisung kembali terbuka, ia melihat Chenle kini datang dari sana sambil membawa 2 kotak bekal yang sudah habis.

Chenle yang berpapasan dengan Renjun segera memberi salam dengan sebuah anggukan lalu berniat beranjak pergi, andai saja Renjun tidak memanggilnya.

"Chenle-ssi.."

"Ya?"

"Ada yang ingin kutanyakan.."

Chenle menatap Renjun sedikit bingung apa yang ingin ditanyakan oleh bos nya itu? Apa dia ada melakukan kesalahan? Atau karena dia terlalu dekat dengan Jisung?

"Iya? Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Apa kau sudah tahu siapa Jisung? Siapa kami?"

Air wajah Chenle yang semula tenang berubah, ia terlihat terkejut dengan pertanyaan tersebut yang langsung tertuju pada point pertanyaan tanpa basa basi terlebih dahulu, Jisung sudah mengatakan bahwa Renjun adalah hyung yang paling tidak suka bertele-tele ia akan mengatakan apa yang terlintas dalam benaknya begitu saja, seperti saat ini.

Renjun menghela nafasnya, ia paham dengan raut wajah itu. Karena dirinyapun pernah diposisi seperti itu, ketahuan mengetahui identitas seorang penghisap darah hingga dirinya justru terbunuh akhirnya.

Terbunuh sebagai manusia dan hidup seperti mereka.

"Apa kau sengaja mendekatinya? Apa kau sengaja mengorek tentang kami darinya?"

Chenle segera menggelengkan kepalanya dengan cepat "Aku tidak pernah dengan sengaja mendekati Jisung, diawal kami berkenalan lewat game. Lalu saling menyapa lewat chat dan akhirnya bertemu. Aku sama sekali tidak ingin tahu apapun tentang kalian."

Melihat bagaimana Chenle memberikan pembelaan pada dirinya sendiri membuat Renjun kembali merasa terjepit, bagaimana jika Chenle berbohong? Tapi bagaimana jika ucapannya benar? Bagaimana jika Jisung tahu.

"Darimana kau tahu aku...."

"Pemburu?" Renjun memotong ucapan Chenle, ia menarik turun kerah lehernya dan menunjukkan sebuah tatto atau tanda buatan yang terdapat dikulitnya "Akupun pernah hidup sebagai seorang pemburu dahulu. Dan kulihat kau menggunakan kalung yang serupa dengan tanda milikku."

Chenle menyentuh lehernya sendiri ia meremas kalung yang tersembunyi di balik kerah kemeja seragamnya. Ia terkejut mengetahui bahwa seorang penghisap darahpun pernah menjadi seorang pemburu dimasa lalunya.

"Aku tahu kau bingung, tapi... kumohon, jangan pernah menyakiti Jisung. Dia bahkan terlalu lugu untuk tahu bahwa ancaman dalam hidupnya ada didepan matanya sendiri."

"Aku tidak pernah berpikir untuk menyakitinya, sama sekali tidak."

Chenle mengerti kekhawatiran Renjun namun ia memang sama sekali tidak akan menyakiti Jisung, berniatpun tidak. Walau ia berbohong dengan berkata dirinya tak pernah sengaja mendekati Jisung diawal namun setelahnya tidak ada kebohongan lain yang dimiliki olehnya.

"Aku tahu dan bisa merasakannya bahwa kau tidak akan menyakitinya, tapi kaummu.. iya. Mereka akan menyakiti Jisung cepat atau lambat." ucapan Renjun membuat Chenle terdiam, ia ingat dengan jelas ucapan kakaknya yang ingin melenyapkan Jisung jika dirinya tidak memberikan hasil apapun diakhir bulan ini.

"Kau sudah selesai?"

Xiaojun tiba-tiba muncul karena ia menunggu terlalu lama dimeja tadi seorang diri, karena takut terjadi sesuatu pada pasangan kencannya iapun menyusul kebelakang.

"Ya.. Aku sudah selesai.." Renjun terpaksa membatalkan niatnya untuk membasuh wajahnya dikamar mandi, ia sebaiknya menyudahi pembicaraan antara dirinya dan Chenle. "Maaf membuatmu menunggu.." Renjun menarik Xiaojun agar pergi kembali ke meja mereka.

"Tak apa, kupikir terjadi sesuatu padamu." Xiaojun tersenyum, namun senyuman dibibirnya perlahan memudar ia tengah mencoba-coba untuk mengingat-ingat dimana ia pernah melihat wajah pramusaji yang tengah berbincang dengan Renjun tadi.

Dan...

Pria bersurai terang itu menoleh kebalik dinding dimana Jisung masih berada disana sejak tadi, bahkan sebelum dirinya datang Jisung sudah berada disana dan memberikan gesture telunjuk pada bibirnya, meminta Xiaojun untuk diam saja setelah melihatnya.

Apa yang Jisung lakukan disana dengan raut wajah yang berpikir sangat keras.

"Apa yang harus kulakukan?" Cicit Chenle, ia harus bagaimana agar Jisung tidak disentuh oleh kaumnya. Ia hanya ingin hidup normal sebagai manusia bukan pemburu walaupun ia dekat dengan seorang penghisap darah sekalipun.

'Haruskah diriku keluar saja dari sini? Dan menjauhi Jisung?' Batinnya berkecambuk.

Jisung menghela nafasnya sebentar kemudian mencoba merubah raut wajahnya, ia kembali tersenyum sebelum melangkah kembali ke pintu belakang tempat dimana Chenle berada yang hanya berjarak 3 langkah dari posisi sebelumnya.

"Chenle-ya.. kau baik-baik saja?"

Lamunan Chenle menguap begitu saja saat Jisung nemanggilnya, bukan hanya Park Jisung yang berpura-pura tersenyum saat ini namun Chenle pun sama.

".... Ya Jisung-ah, aku akan membawa kotak makan ini ke lokerku baru akan kembali ke belakang. Tunggu aku disana." Chenle menunjuk tempatnya dan Jisung makan tadi seperti perintah memang namun Jisung menyukai perintah tersebut.

"Cepatlah kembali kubawakan jus jeruk untukmu." Jisung menggoyangkan 2 botol jus di genggamannya sebelum melihat Chenle pergi sambil mengangguk.

Senyum diwajahnya perlahan memudar, ia kembali bersandar di dinding dekat dengan wc, berapa kali Jisung menghela nafasnya yang terasa berat. Ada sesuatu yang menganjal didadanya, terasa berat dan sangat sakit saat ia kembali tersadarkan akan siapa Chenle dan akan siapa dirinya.

Mereka berbeda, sejak awal.

Ya...

Jisung sudah tahu, sejak awal dia sudah tahu tentang Chenle, dia tahu pria itu adalah seorang pemburu, salahkan Jisung yang bisa meminta bantuan Xiaojun untuk mencari tahu identitas seseorang dengan mudah.

Mungkin Xiaojun lupa namun Jisung masih ingat hari dimana ia tahu Chenle adalah seorang pemburu ditambah lagi dengan bukti kuat dari hasil penyelidikan Xiaojun. Hari itu Jisung memutuskan untuk menghiraukan kenyataan siapa Chenle sebenarnya, walau dadanya terasa begitu sakit.

Dan rasanya semakin sakit saat mendengar Renjun sudah menyadari perbedaan diantara dirinya dan Chenle yang begitu mencolok, mungkinkah tanpa sadar selama ini Jisung menyangkal segala perhatiannya pada pria itu karena dirinya tak ingin berharap terlalu tinggi?

Mungkin sejak awal dirinya memang sudah menyukai pria itu.

Chenle kembali dengan setengah berlari betapa takutnya dia bahwa Jisung akan menunggunya, namun yang ia lihat justru Jisung tengah bersandar sambil menunduk didekat pintu menuju kamar mandi.

"Jisung-ah?" Chenle mendekati Jisung, ia menepuk bahu pria yang lebih tinggi darinya itu agar mendongak menatapnya. "Kau tidak apa-apa?"

Namun Chenle terkejut bukan main saat melihat kedua mata Jisung yang biasanya berwarna coklat kini berubah menjadi merah ketika mendongak menatap kedua netranya.

Otaknya meminta Chenle untuk berlari menjauhi mata merah itu namun tubuhnya mengingkarinya, Chenle tetap berdiri diposisinya berhadapan dengan Jisung yang masih menatapnya, jemarinya bahkan masih bertengger manis di bahu kanan Jisung meremas bahu tersebut pelan.

Namun tatapan itu memang sama sekali tidak membuat Chenle merasa takut, tatapan mata merah Jisung membuatnya justru melangkah semakin mendekat. Tangan kanannya terangkat untuk menyentuh wajah pria itu.

Namun dengan cepat Jisung menahan Chenle untuk menyentuhnya, "Kau.. Pemburu.." Jisung menarik tubuh Chenle kemudian mendorong pria bersurai pink tersebut pada dinding bertukar posisi dengannya hingga kini Chenle yang bersandar di dinding, atau lebih tepatnya terhimpit diantara dinding dan Jisung.

"Dan aku Penghisap darah.." ucapnya dengan nada datar, ia menunggu Chenle menyangkal ucapannya namun yang ia lihat hanya raut terkejut.

Kedua bibir pria bersurai pink itu terkatup rapat dan sama sekali tidak berniat membantah atau mengatakan apapun sebagai pembelaan.

Setidaknya... Berbohonglah dihadapan Jisung, tapi Chenle memilih untuk tak berbohong lagi, dirinya sudah lelah berbohong, ia lelah berpura-pura.

"..... Park Jisung."

Netra merah itu semakin dalam menatap Chenle ketika kepalanya menunduk dan semakin dekat dengan pria yang balas menatap kedua matanya.

"Apa salah jika diriku menyukaimu Zhong Chenle?"


Twisted


Siang itu Jisung tengah memainkan game dari ponselnya ia menunggu seseorang datang sejak sejam yang lalu di sebuah cafe yang terletak ditengah kota seseorang tersebut tak datang terlambat hanya saja Jisung memang yang datang lebih awal.

Bosan, ia menutup layar gamenya dan membuka portal berita. Dilihatnya berita tentang sang kakak yang beberapa tahun belakangan ini selalu masuk dalam headline news berita mancanegara 'Jeno Lee'.

"Kau sedang diasingkan tapi tetap membuat Donghae Hyung sakit kepala karena ulahmu dengan menjadi model." Gumamnya pelan, dia tidak kesal bahkan bangga dengan apa yang dicapai oleh Hyungnya saat ini.

'Kliiing'

Suara gemerincing dari pintu cafe yang terbuka membuat Jisung mengalihkan pandangannya kearah pintu, seorang pria dengan surai berwarna pink keunguan masuk kedalam, untuk sejenak ia tertegun menatap pria itu apalagi ketika pria tersebut menoleh padanya dan saling melempar pandangan satu sama lain.

Jisung masih tertegun saat melihat pria itu melangkah semakin mendekatinya, kedua matanya baru berkedip saat sosok bersurai pink itu sudah berada dihadapannya dan melambai didepan wajahnya.

"Kau Park Jisung?"

"...ya."

"Aku Chenle.. Zhong Chenle."

Perkenalannya pada pria berdarah China yang dikenalnya dari portal chat game itu membuat Jisung hampir tidak bisa fokus dengan pekejaannya sendiri, entah mengapa kedua mata sipit dan surai pink itu berhasil menghantui pikirannya.

Belum lagi suaranya saat menyebutkan nama Jisung dengan sedikit aksen lidah ibu yang masih terdengar kental ditelinganya, membuatnya semakin terhipnotis padahal mengingat dirinya yang serumpun dengan vampire seharusnya Jisunglah yang bisa menghipnotis manusia bukan sebaliknya.

Sudah berapa lama Jisung mulai dekat dengan pria bernama Zhong Chenle itu? Ia bahkan menghiraukan kekhawatiran Donghae dan Renjun saat keduanya tengah memikirkan beberapa kasus yang melibatkan kaum mereka sebagai korban.

Bahkan saat itu berapa kali Xiaojun akan datang ke Mansion Lee menyerahkan laporan yang disalinnya diam-diam dari kantor kepolisian, Donghyuk pun ketika itu semakin menyakinkan dirinya bahwa tetap berada didalam rumah adalah hal terbaik yang bisa dilakukannya.

Ia tidak terluka dan tidak melukai orang lain itu sudah cukup baginya, ia tidak ingin melukai orang lain lagi.

"Korban kali ini.." Xiaojun meletakkan selembar foto korban dengan luka dada yang berlubang besar disebelah kiri, tepat dijantungnya.

Renjun menghela nafas kasar ia tahu teknik membunuh seperti ini, ia tahu apa yang melubangi dada kiri makhluk tersebut.

Ya, makhluk.

Sosok yang berada di dalam foto itu adalah salah satu pekerja Mansion Lee yang sudah memutuskan untuk hidup mandiri 5 tahun lalu tapi entah kenapa dia ditemukan tewas tragis seperti ini.

"Ini ulah pemburu.. Aku tahu itu.."

Donghae menghela nafasnya ia melirik Renjun yang tengah meremas jemarinya, ia tahu adiknya tersebut khawatir dan ia tahu masa lalu adiknya adalah seorang pemburu. Dan Donghae percaya ucapan Renjun bahwa apa yang tengah terjadi dan menyerang beberapa makhluk penghisap darah adalah pemburu, tidak ada yang lebih tahu tentang hal ini selain Renjun sendiri.

"Rahasiakan ini dari Jeno, biarkan dia tetap tenang di Perancis dan sebaiknya kita semua lebih berhati-hati. Aku tidak ingin kehilangan siapapun lagi dikeluarga ini." Ucap Donghae dan diiyakan oleh Xiaojun serta Renjun, termasuk Jungwoo yang tengah menahan kesedihannya, korban tersebut adalah sahabat terdekatnya.

"Aku akan kembali ke kantor, hubungi diriku jika kau butuh apapun." Xiaojun berpamitan pada Renjun, ia berpapasan dengan Jisung yang terlihat riang dibandingkan dengan anggota Mansion yang lain.

"Kau terlihat senang?"

"Ya tentu saja, apa yang harus membuatku tidak senang?"

Xiaojun terkekeh, tidak tahu apapun memang lebih baik. Jisung benar-benar membuatnya iri "Kau akan keluar? Aku akan mengantarmu jika ya."

"Benarkah? Antarkan aku ke game center kalau begitu. Aku ingin bertemu dengan temanku sambil bermain game." Jisung segera beranjak mendekati mobil Xiaojun namun pria itu menatap Jisung ragu "Ada apa Hyung?"

"Kau hanya memakai pakaian training seperti itu? Bukankah kau suka memakai setelan jas mahalmu?" Xiaojun sudah hafal dengan tabiat Jisung, ia sangat suka disebut pria dewasa maka ia akan mengenakan kemeja dengan jeans atau satu stel jas berwarna senada kemanapun ia pergi.  Karena anak ini sangat suka disebut pria dewasa.

"Jika aku mengenakan itu, akan terasa aneh jika diriku memasuki sebuah game center. Sudah cepat ayo antarkan aku."

Jisung merengek dan segera naik kedalam mobil berwarna merah metalik milik Xiaojun dan menunggu dirinya diantarkan menuju game center.

Begitu tiba keduanya sudah melihat seorang pria bersurai pink dengan hoodie putih tengah berdiri didepan game center "Baiklah, terima kasih Hyung." Jisung segera turun dan menghampiri teman bermain gamenya itu, tanpa membiarkan Xiaojun menanyakan siapa pria itu.

Bagaimanapun juga ia tidak ingin Jisung terluka, bukankah para penghisap darah tengah terancam saat ini? Xiaojun menurunkan kaca mobilnya "Jisung-ah, hubungi aku jika kau ingin diantar pulang."

Jisung yang tengah mengobrol dengan pria bersurai pink itupun menoleh dan mengangguk sambil melambaikan tangan, apa-apaan itu. Kenapa perilakunya sangat berbanding terbalik dengan kesan dewasa yang selama ini didambakannya.

"Chenle-ya.. Aku haus, apa yang ingin kau minum akan kubelikan." Jisung hampir berdiri dari kursinya namun Chenle menahannya.

"Kali ini aku yang membelikan minuman, kau selalu mentraktirku. Memang berapa banyak uang saku yang kau punya? Kau ini masih SMA Jisung-ah.."

Mau tak mau Jisung tersenyum kikuk, ia terpaksa memalsukan identitasnya pada Chenle dan mengatakan bahwa dirinya seorang siswa padahal dia adalah seorang pemilik restoran, bahkan pemilik beberapa saham diperusahaan besar "Ah aku lupa akan hal itu.." Kekehnya pelan.

"Tunggu disini."

Ia melihat Chenle bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu keluar, Jisungpun melanjutkan game yang tengah dimainkannya namun ia teringat bahwa dirinya belum mengatakan apa minuman yang diinginkannya.

"Aish.. kau pikun Park Jisung."

Jisung segera menyusul Chenle setelah menitipkan dua komputer dengan bangku kosong pada teman satu teamnya yang lain, ia keluar dari game center dan melihat Chenle tengah berjalan kearah mini market.

Kedua kakinya segera berlari menyusul Chenle, namun langkahnya tertahan saat melihat temannya itu tiba-tiba ditarik seseorang bertudung hitam hingga memasuki sebuah gang kecil. "Apa itu penculikan?"

Jisung segera melangkah lebih cepat menuju gang kecil tersebut ia hampir berbelok andai saja ia tidak mendengar pertengkaran mulut kedua orang dibalik gang tersebut.

"Aku sudah lelah Hyung, kau memintaku untuk mendekati mereka, menjadi teman mereka kemudian kau membunuh mereka dihadapanku, aku lelah dan jangan memintaku untuk melakukan hal itu lagi!"

"Zhong Chenle! Itu tugasmu! Kau seorang pemburu, itu tugasmu!"

"Aku hanya ingin hidup normal hyung, aku manusia biasa bukan pemburu, akupun tidak memiliki urusan dengan penghisap darah kenapa kau membuatku berdosa dengan menjebak mereka."

Jisung bisa mendengar Chenle tersedak, pria itu tercekat dengan ucapannya sendiri seolah-olah ucapan itu adalah hal yang ditahannya selama ini dan tak pernah berani ia keluarkan.

"Oh ya? Bagaimana dengan Park Jisung?"

Keduanya terkejut mendengar nama Jisung disebutkan, Jisung menoleh dan mendekatkan kepalanya dari balik dinding ia ingin mendengar apa jawaban Chenle, apa pria itu tahu dirinya seorang Penghisap darah?

"Jisung temanku, dia hanya teman dari game yang kumainkan. Apa kau tak bisa pergi menjauh dan membiarkan diriku hidup normal saja?"

"Tidak bisa.. Kau pemburu, itu garis takdirmu. Kau dilahirkan dikeluarga Zhong. Itu takdirmu, seharusnya kau yang menjalankan semuanya sejak awal bukan diriku, aku hanya kakak angkatmu bukan?"

"Ya.. Tapi kau terobsesi Hyung. Hentikan, mereka bahkan tidak menyakitimu seujung rambutpun."

"Mereka akan menyakiti oranglain Chenle, itu pasti cepat atau lambat. Maka mereka harus disingkirkan sebelum saat itu datang."

Chenle menatap Hyungnya itu dengan rasa sesak didadanya, ia tak tahu apa yang merasuki sang Hyung yang terlihat sangat lembut dan ramah dahulu hingga jadi seperti ini, terlihat seperti menyimpan dendam pada mereka para penghisap darah "Kau akan gila karena obsesimu Hyung.."

Ia mendorong tubuh pria bertudung hitam tersebut lalu segera beranjak keluar dari gang tersebut sambil menghapus air mata yang menggenang dipelupuk matanya, beruntung Jisung memiliki insting yang cepat untuk bersembunyi sebelum Chenle lewat dihadapannya.

Jisung merasa dibohongi karena ia tak tahu Chenle seorang pemburu namun iapun tak berhak mengetahui rahasia seseorang yang tengah disembunyikannya dengan susah payah. Kedua mata tajamnya menatap punggung Chenle yang berjalan kembali ke arah game center.

"Bagaimana jika kau tahu siapa diriku Chenle-ya.." gumamnya pelan, Jisung memutuskan untuk melangkah kelain arah ia yang akan ke mini market dan membeli minuman untuknya dan Chenle.

"Oo Jisung menyusulmu apa kau tidak melihatnya?"

"Tidak..."

Chenle menjawab seadanya seolah-olah ia tak sadar dan tak perduli siapa yang baru saja menyusulnya, yang dicarinya hanya satu saat ini sebuah note kecil dalam tasnya ia merobek beberapa catatan lalu meremasnya dengan kuat.

"Aku harus membuangnya." Chenle melangkah ke tempat sampah dekat dengan pintu masuk saat ia membuang kumpulan kertas tersebut Jisungpun masuk kedalam.

Keduanya terdiam sesaat ketika saling melempar pandangan satu sama lain hingga akhirnya Jisung menyerahkan sebotol air pada Chenle "Minumlah, ku susul kau ke mini market tapi sepertinya kita selisih jalan." ucap Jisung dengan senyum di bibirnya.

"Ah.. Maafkan aku, seharusnya aku yang mentraktirmu. Aku melupakan dompetku dan kembali untuk mengambilnya." Chenle mengambil minuman yang diberikan Jisung "Gomampta Jisung-ah." Chenle segera kembali beranjak menuju bangkunya, ia tak ingin Jisung yang sedari tadi menatapnya tanpa berkedip sadar bahwa kedua matanya memerah karena hampir menangis tadi.

"Kau menangis Chenle.." Jisung menghela nafasnya, ia hampir menyusul Chenle andai saja kedua netranya tidak melihat kertas berwarna kuning yang tadi dibuang Chenle dengan tergesa-gesa.

Sambil memperhatikan sekitar Jisung mengambil kertas-kertas tersebut dan segera menyimpannya dalam saku hoodienya lalu kembali ke kursinya dan melanjutkan permainan game nya.

Hari sudah malam, Chenle sudah pulang, hanya Jisung seorang diri duduk didalam kursi mini market ada semangkuk ramen dihadapannya yang masih tertutup dengan asap yang mengebul dari sisi-sisi mangkuk tersebut yang tak tertutup rapat.

Tangannya sibuk membuka setiap lembaran kertas yang diremat oleh Chenle dan dibuang ketempat sampah tadi, setelah 4 lembar kertas note berwarna kuning itu terbuka lebar ia menjajarkannya dan membaca setiap isinya dengan hati-hati.

'Park Jisung'

'Tempat tinggal, belum diketahui'

'Mengaku berumur 18 tahun'

'Berbohong tentang nama sekolahnya, dia tidak terdaftar disana.'

'Mahir bermain game, aku suka.'

'Mata, coklat tidak merah.'

'Seharusnya dia bukan penghisap darah.'

Jisung berpindah pada kertas lainnya.

'7 november, matanya berubah menjadi merah. Dia penghisap darah.'

Tidak ada catatan apapun lagi setelahnya, sedangkan itu kejadian 2 bulan lalu. Dan sekarang Chenle membuang kertas-kertas ini, padahal bukti bahwa dirinya seorang penghisap darah ada disini.

"Dia bahkan tahu siapa diriku. Baiklah, mungkin memang sebaiknya seperti ini."

Jisung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Xiaojun agar menjemputnya "Ada yang ingin kubicarakan Hyung bisa kau menjemputku.." pria tinggi itu kembali mengambil kertas yang dijajarkan olehnya dan memasukkan kedalam saku hoodie yang digunakannya lalu keluar dari mini market tersebut tanpa menyentuh ramen miliknya sama sekali.

Begitu mereka tiba dimansion Jisung menunjukkan foto Chenle yang berselca dengan dirinya diponselnya pada Xiaojun "Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari tahu tentangnya, namanya Zhong Chenle. Aku ingin tahu segalanya, semuanya tentang dirinya tanpa terkecuali."

Xiaojun menaikkan sebelah alisnya "Dia bukankah pria yang tadi kau temui?"

"Ya Hyung, bisakah kau menolongku?"

"Tentu.." Xiaojun menganggukkan kepalanya, sepertinya ada yang perlu diketahui oleh Jisung atau dia sudah tahu dan memerlukan bantuannya untuk memastikannya agar apa yang diketahui olehnya memang nyata.

Hanya butuh 1 minggu bagi Xiaojun untuk mencari tahu tentang pria bernama Zhong Chenle, ia bertemu dengan Jisung direstoran milik pria itu dengan berkas penyelidikan ditangannya. Keduanya berada didalam kantor dan Xiaojun menyerahkan amplop berwarna coklat pada Jisung.

"Kau sudah tahu dia pemburu sejak awal bukan? Tujuanmu membiarkan diriku tahu untuk apa Jisung-ah."

Jisung diam ia bahkan tak membuka amplop yang di berikan Xiaojun padanya, ia meletakkan amplop tersebut kedalam laci meja kerjanya. Jisung akan membakar hasil penyelidikan Xiaojun nanti agar tak ada yang tahu bahwa Chenle adalah pemburu.

"Aku ingin kau menjadi saksi bahwa diriku Si Penghisap Darah dan dia Si Pemburu setidaknya bisa berteman tanpa saling melukai satu sama lain."

"Dia pemburu Jisung-ah, kau dan keluargamu mungkin saja akan berada dalam ancaman. Aku tidak berniat melihat mayatmu atau salah satu penghuni mansion berada dalam kantung mayat."

"Chenle tahu siapa diriku Hyung, tapi dia memutuskan untuk merahasiakannya. Dan kali ini kumohon kau juga melakukan hal yang sama untukku."

Xiaojun terdiam, ia menatap Jisung tidak habis pikir bagaimana bisa dia berpikir hal serumit ini akan berjalan mudah seperti keinginannya. "Aku akan diam dan merahasiakannya bahkan akan melupakan hari ini pernah ada. Tapi ingatlah, Renjun akan menyadarinya cepat atau lambat." Xiaojun berdiri, ia hendak pergi namun langkahnya tertahan sejenak.

"Sebelum kau membakar hasil kerja kerasku sebaiknya kau membacanya terlebih dahulu. Chenle memiliki seorang kakak angkat yang terobsesi dengan penghisap darah. Jika diriku memiliki sedikit saja bukti dia yang membunuh para penghisap darah belakangan ini aku pasti akan bisa menangkapnya."

"Sebaiknya kau berhati-hati padanya."

Beberapa jam lewat setelah kepergian Xiaojun, iapun memutuskan untuk membaca hasil penyelidikan calon kakak iparnya itu. Jisung hanya perlu membaca tentang kakak angkat Chenle. Dan itu cukup membuat dirinya bergidik ngeri, selain pemburu diapun seorang assassin.

"Jisung-ah.. Kau mempertaruhkan hidup dan matimu saat ini." ujarnya sebelum benar-benar membakar hasil penyelidikan Xiaojun lalu membuangny kedalam wadah besi yang berada diatas mejanya.

Rahasianya dan Chenle akan melebur menjadi abu.

Kedua mata itu saling melempar pandangan satu sama lain, mata merah itu mengintimidasi pria yang sedikit lebih pendek darinya yang terkurung diantara kedua tangannya saat ini.

"Bagaimana jika aku menyukaimu Zhong Chenle..."

"............. Kau sudah tahu itu salah bukan?"

"Jika salah, bukankah seharusnya sejak awal kau menusukku dengan pasak milikmu.."

Chenle diam sesaat ia menghela nafasnya pelan, kedua tangannya menarik kerah pakaian Jisung agar mendekat padanya "Karena bagiku, keberadaanmu bukan kesalahan Park Jisung.."

Karena Park Jisung muncul dalam hidupnya akhirnya Chenle memberanikan diri untuk melangkah menjauh dari sang kakak, ia tidak perduli lagi ucapan kakaknya yang selalu mencekokinya dengan kenyataan palsu tentang betapa jahat dan buruknya seorang penghisap darah, karena pada kenyataannya Jisung tidak seperti apa yang kakaknya sebutkan. Kini bahkan dirinya sendiri yang akan berdiri paling depan untuk menjadi pelindung Jisung dari kakaknya.

Karena Jisung ia tahu, penghisap darah tidak selalu seburuk yang sering diucapkan oleh kakaknya.

Jarak keduanya sangat dekat karena Chenle menariknya semakin mendekat, Jisung menangkup wajah Chenle dengan jemari panjangnya bisa terlihat wajah pria bersurai pink itu sangat kecil saat Jisung menangkup wajahnya dengan telapak tangan besar Jisung.

"Aku menyukaimu Chenle-ya.. Salahkah?"

Gelengan pelan dikepala Chenle ia anggap sebagai jawaban atas pertanyaannya, mereka hanya 2 anak kecil yang terjebak dengan perasaan yang benar di waktu dan situasi yang salah.

Jarak diantara keduanya kian menipis hingga bibir tebal Jisung menempel pada bibir Chenle, beberapa kali kecupan kecil yang hanya saling menempel yang Jisung hujamkan pada bibir Chenle, itupun sudah membuat jemari mereka berkeringat karena ini kali pertama mereka berciuman.

Perlahan kedua mata merah Jisung kembali berubah kewarna coklat saat mereka kembali saling bertatapan, Chenle tersenyum menatap Jisung yang masih mengelus wajahnya "Menjauhlah dari kakakmu, tinggal denganku maka kau akan menjauh darinya."

Chenle menganggukkan kepalanya, ia menunduk dan mengeluarkan kalung keluarganya yang tersembunyi dibalik kerah pakaiannya lalu menariknya dalam sekali tarikan hingga terlepas, Chenle sudah mengambil keputusan dan Jisunglah keputusannya. "Aku..."

"Sshhh..." Jisung memberikan gesture pada Chenle untuk diam, ia meraih kalung tersebut dan menatap kaitan bandul dengan rantai tersebut dengan seksama.

Dirinya pernah masuk camp militer saat masih berpindah-pindah tinggal di Eropa jadi matanya cukup jeli untuk menangkap hal janggal disekitarnya, termasuk sesuatu yang aneh pada kalung milik Chenle.

Ia terpaksa merusak kaitan penghubung antara bandul dan rantai tersebut dan benar saja ada pelacak kecil disana, namun Jisung tidak tahu apakah pembicaraan keduanya terekam atau tidak.

Kalau memang alat ini juga merekam maka identitasnya dan Renjun sudah terbongkar karena pembicaraan Chenle dengan Renjun tadi bahkan juga pembicaraannya barusan dengan Chenle.

Dengan cepat Chenle merogoh sakunya dan mengambil ponsel dari dalam sana, ia mengetikkan sesuatu disana.

"Bagaimana ini? Dia pasti akan mendatangimu Jisung-ah.."

Perlahan Jisung membacanya, jemarinya mengelus puncak kepala Chenle berusaha menenangkan pria yang sudah diklaim sebagai miliknya saat ini. Jisung meraih ponsel Chenle dan mengetikkan sesuatu disana "Dia tidak akan melukai siapapun kali ini, percayalah padaku."

Jisung hanya perlu memberitahukan hal ini pada Xiaojun dan memintanya untuk menyelidiki benda tersebut, lalu segera membawa Chenle menuju Mansion Lee untuk tinggal bersamanya.

Ia yakin baik dirinya ataupun Chenle akan aman jika bersama, dan kakaknya itu tidak akan bisa menyentuh dirinya dan Chenle sedikitpun.

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar