∵ TWISTED ∵
|
|
|
|
Jinhyuk dan Xiaojun memasuki apartemen pria bersurai terang itu dengan cepat. Jinhyuk segera duduk dikursi yang ditunjuk dan ditawarkan oleh Xiaojun sedangkan sipemilik flat segera melangkah ke dalam kamarnya untuk mengambil berkas yang sudah berada dimeja nakasnya sejak beberapa hari belakangan.
Ia kembali melangkah keluar dengan berkas ditangannya lalu menyerahkan berkas tersebut pada Jinhyuk "Bacalah.."
Pria tinggi itu segera mengambil berkas tersebut dan mulai membacanya secara perlahan, lembar demi lembar hingga keningnya berkerut. Yang dihadapi oleh Jeno bukanlah seorang pemburu biasa diapun ternyata seorang assasin.
"Dia berbahaya, sangat berbahaya. Yang kupikirkan saat ini bukan hanya keselamatan penghuni Mansion tapi juga saudaramu yang ikut membantunya. Dia tak segan-segan mengorbankan siapun demi mencapai tujuannya. Itu yang dilakukannya pada Chenle, dia tidak perduli adiknya itu menderita karena ulahnya."
"Aku akan menemui Hyungku."
Xiaojun mendongak saat melihat Jinhyuk bangkit dari duduknya, pria tinggi itu terlihat sangat tidak bisa menahan emosi yang terbaca jelas diwajahnya.
Tak ada satu orangpun yang suka melihat saudaranya dimanfaatkan terlebih untuk melakukan sebuah kejahatan. Walaupun Junmyeon sangat menyebalkan dan Lami saat ini berubah mereka berdua tetaplah saudaranya dan tugasnyalah untuk menarik keduanya dari bahaya.
"Apa yang akan kau lakukan? Jeno meminta kita hanya membaca dan memahami berkas Zhang Yixing bukan mendatangi mereka."
"Aku tak bisa hanya diam saja, mereka akan mengambil langkah lebih cepat daripada kita jika yang kita lakukan hanya diam dan menunggu serta melihat situasi. Setidaknya aku bisa menarik kedua saudaraku keluar dari masalah ini."
Detektif muda itu ragu, namun ucapan Jinhyuk pun ada benarnya. Jika mereka berhasil menarik seseorang yang diyakini adalah sumber dana dan bantuan terbesar milik Zhang Yixing, ia yakin pemburu itu akan kehilangan beberapa penopangnya.
"Aku ikut denganmu, untuk berjaga-jaga. Kau tahu dua orang jauh lebih baik daripada hanya satu orang."
Keduanya saling melemparkan tatapan menyakinkan satu sama lain sebelum menghela nafas kemudian menganggukkan kepala bersama, yakin dengan keputusan yang mereka ambil saat ini kemudian beranjak dari apartemen Xiaojun.
Jemari Xiaojun dengan ragu mengetik sebuah pesan untuk Renjun, ia tahu pria itu sudah memintanya menjauh dari masalah... Namun jika dirinya yang hanya manusia biasa ini bisa menyelamatkan para penghisap darah kenapa tidak?
'Aku dan Jinhyuk akan pergi menyelidiki Zhang Yixing, kuharap kau tak marah tentang hal ini. Dan Jeno... Dia sudah tahu tentang segalanya.'
Ia membaca kembali kalimat yang akan dikirimkannya, ibu jarinya dengan ragu menekan tombol send. Usainya ia menoleh pada Jinhyuk yang menatapnya dan ponselnya bergantian "Kenapa?"
"Kenapa kau harus mengirimkan pesan seperti itu? Kita tidak akan mati disana tenang saja.."
Xiaojun terkekeh pelan sembari kembali menyimpan ponselnya kedalam saku, ya mungkin saja mereka tak akan mati disana, tapi mungkin saja iya. Melihat bagaimana jahatnya Zhang Yixing itu.
Walaupun Jinhyuk mengatakan hal seperti itu namun sepertinya dirinyapun merasakan hal yang sama. Haruskah ia mengirimkan pesan juga pada Hyukjae? Satu-satunya saudaranya yang mengenalnya luar dan dalam??
PRAAANGG!!
"Kau tak apa-apa Hyung?" Lucas segera berlari dari bagian luar Cafe menuju dapur begitu mendengar suara gelas yang pecah, ia melihat Hyukjae tengah terdiam menunduk menatap pecahan gelas diatas lantai.
"... Tak apa, tanganku hanya licin, maaf Lucas.."
"Biar kubantu membereskannya, kau layani pembeli saja diluar." Jungwoo menepuk punggung Lucas kemudian mendorong pria tinggi itu untuk kembali keluar sedangkan dirinya masuk kedapur dan membersihkan pecahan gelas yang berserakan dilantai menggunakan sapu dan serokan sampah.
"Kau baik-baik saja Hyukjae-ssi?"
Hyukjae mengangguk cepat dan tersenyum simpul menanggapi pertanyaan Jungwoo, walau sebenarnya ia berbohong.
Entah mengapa dalam benaknya baru saja terlintas tentang Jinhyuk, perasaannya tiba-tiba saja tak enak. Walau mereka bukan saudara kandung tapi Hyukjae sangat dekat dengan Jinhyuk sedari kecil.
Dan perasaan tak enak itu membuat gelas dalam genggamannya terlepas hingga menghantam lantai dan hancur berantakan.
Mendengar jawaban Hyukjae pria manis itupun segera beranjak kepintu belakang cafe setelah membersihkan semua pecahan kaca "Jika dirimu kurang enak badan katakan saja padaku, kau bisa pulang atau beristirahat sebentar Hyukjae-ssi."
Hyukjae mengangguk sekali lagi tak lupa dengan senyuman simpul yang terlihat sangat dipaksakan bahwa dirinya saat ini baik-baik saja, dan Jungwoo tak bisa memaksa Hyukjae untuk berbicara jujur. Donghae memintanya berjaga disini setelah mendengar kabar bahwa Hyukjse terluka semalam maka dari itu ia akan berada di Cafe sampai keadaan membaik.
Entah sampai kapan.
Jungwoo segera berlalu, ia membuka pintu belakang dan membuang pecahan gelas di serokan ke bak sampah besar dibelakang cafe, namun langkahnya terhenti ketika ia akan kembali masuk kedalam.
Kepalanya menoleh dan menatap kearah luar gang sempit yang menjadi penghubung jalan besar didepan sana dan pintu belakang cafe milik Hyukjae. Entah apa yang terlintas dalam pikiran Jungwoo namun perasaannya saat inipun terasa kurang tenang.
Entah ada apa?
⇨ Twisted ⇦
Sore itu Sungai Han menjadi tempat Jeno dan Jaemin menghabiskan hari bersama. Keduanya menyewa sepeda untuk setidaknya berkeliling bersama di tepi Sungai Han, menikmati pemandangan mengingat musim gugur sudah berakhir dan musim dingin akan segera datang.
Baik Jeno ataupun Jaemin tidak berbincang sama sekali, keduanya benar-benar ingin menikmati momen kebersamaan mereka bersama tanpa terinterupsi oleh suara mereka sendiri. Keduanya mengambil potret selfie mereka menggunakan ponsel Jeno, pria bersurai hitam tersebut tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya saat melihat hasil jepretan kameranya.
Selca pertama mereka setelah sekian lama saling mengenal.
Ia melirik Jaemin sambil menyimpan ponselnya kedalam saku, pria itu masih asik menatap hamparan luas sungai han dihadapannya "Sepertinya aku akan mewarnai rambutku."
Ucapan Jaemin membuat Jeno mengalihkan pandangannya pada surai auburn milik Jaemin, ia mendekat dan merapikan helaian rambut prianya agar tak semakin berantakan karena tertiup angin.
"Bagaimana dengan golden rose?"
Ia bertanya tanpa menoleh pada Jeno, dirinya masih hanyut dengan pemandangan hamparan luas Sungai Han yang tenang dihadapannya dan membiarkan wajah serta rambutnya diterpa angin membuat Jeno semakin sibuk membenahi rambutnya yang berantakan.
"Kau indah dalam warna apapun Na Jaemin."
"Benarkah?" Pemuda Na itu menoleh dan bertanya dengan nada tak percaya pada Jeno, namun ia tetap tak bisa menyembunyikan senyum dibibirnya. "Apa kau akan tetap mengenaliku dikehidupan selanjutnya."
Jaemin sadar, dirinya manusia, suatu saat ia pasti akan meninggalkan Jeno terlebih ketika dirinya menua nanti. Hal yang sudah ia pikirkan sejak dini dan membuatnya takut, ia akan pergi meninggalkan Jeno nya.
"Aku akan selalu mengenalimu apapun warna rambutmu nanti."
"Berjanjilah kau akan mengenaliku dan membuatku mencintaimu lagi..." Jaemin mengulurkan jemarinya, kemudian mengangkat jari kelingkingnya dihadapan Jeno. Entah mengapa dirinya seperti familiar dengan kalimat yang diucapkannya barusan, dan Jaemin sangat ingin mengucapkannya pada Jeno meminta pria itu mengikat janji kecil dengannya.
Kalimat itu membuat Jeno terdiam sesaat, itu adalah ucapan yang diucapkan Park Jaemin padanya sebelum kematian datang menjemputnya. Ia menatap prianya kemudian menatap kelingking milik Jaemin yang mengarah padanya, ia mencoha untuk mengesampingkan kenangan buruk yang terlintas dalam benaknya.
"Aku berjan..." Belum usai Jeno menyanggupi janjinya, belum sampai kelingkingnya saling mengait dengan kelingking Jaemin, tiba-tiba saja ponsel keduanya berbunyi bersamaan menginterupsi janji diantara keduanya.
Dua pasang netra coklat itu saling melempar tatapan dalam sebelum keduanya sama-sama mengepalkan tangan masing-masing, melupakan janji kecil tersebut kemudian mengambil ponsel mereka dari dalam saku.
"Aku akan menerima panggilan.." Ucap Jaemin sembari menjauh saat melihat nama sipemanggil 'Huang Renjun'.
Sedangkan Jeno hanya menganggukkan kepalanya, begitu melihat siluet Jaemin menjauh iapun segera menerima panggilan dari ponselnya.
"Ya Jisung-ah?"
"Kau dimana? Renjun Hyung tengah menggila direstoranku karena Xiaojun mengatakan dia pergi menyelidiki Zhang Yixing." Jisung mengintip dari balik dinding sambil diam-diam menghubungi Jeno sambil berbisik.
Kening Jeno segera berkerut mendengar ucapan Jisung dari seberang sana "Apa?! Bukankah aku tak meminta mereka untuk menyelidiki apapun secara langsung?"
Jisung sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan Jeno, ia sudah tahu segala rencana Hyungnya semenjak dirinya ikut merahasiakan kalau Jeno sudah mengetahui segalanya. Kedua maniknya pun sejak tadi tak berpaling dari Chenle yang menatapnya khawatir, insting alami seorang keturunan pemburu murni memang tidak pernah main-main, ia tahu akan berbahaya jika berurusan dengan Zhang Yixing.
"Aku.... perasaanku benar-benar tidak enak Jisung-ah."
Hanya sebuah kalimat yang terlontar dari bibir Chenle beberapa hari yang lalu berhasil membuat Jisung jadi lebih ekstra hati-hati untuk menjaga Chenlenya, apalagi saat ini ia tengah melihat Chenle berdiri dibelakang Renjun menatap Hyungnya khawatir karena Xiaojun menghilang.
"Aku tak tahu Hyung, tiba-tiba saja Renjun Hyung yang baru sampai diruang kerjaku tersentak kaget setelah mengaktifkan ponselnya dan menerima notifikasi pesan, dia mulai menghubungi Xiaojun terus menerus namun tak diangkat."
Kepala Jeno berdenyut sakit, jika pesan itu baru dibaca sekarang apa Xiaojun sengaja tidak menjawab panggilan Renjun?? "Bertemu di apartment Xiaojun, aku akan kesana sekarang."
Jeno menghela nafasnya kasar kemudian mematikan panggilannya secara sepihak, ia ingin menemui Xiaojun dan Jinhyuk secepatnya. Begitu Jeno menyimpan ponselnya kembali ia melihat Jaeminpun tengah melangkah mendekat padanya sambil menyimpan kembali ponselnya, terlihat segaris wajah panik disana.
"Ada apa?"
"Sepertinya aku harus pergi, ada urusan yang tak bisa kutinggalkan."
Sebenarnya ini pertama kalinya Jaemin memberikan alasan yang kurang cukup jelas pada Jeno akan kemana dirinya, terlihat dari air wajahnya iapun tak menemukan alasan apa yang harus digunakannya.
Mengesampingkan ketika Jaemin tiba-tiba pergi begitu saja beberapa waktu lalu dan hanya berkata ingin pergi sebentar dan mengambil kunci mobil Jeno 'Kupinjam mobilmu ini penting, aku akan segera kembali.' Ucapnya saat itu, lebih terdengar normal daripada saat ini.
Namun karena Jeno sendiripun harus segera pergi menuju apartemen Xiaojun dan bertemu dengan Jisung disana ia hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum seperti biasa tanpa menyadari ada yang janggal dari cara Jaemin berbicara padanya bahkan air wajahnya.
"Bawalah mobilku. Aku masih ingin disini sebentar lagi dan menunggu Jisung datang menjemputku." Jeno memberikan kunci mobilnya pada Jaemin, lagipula ia pun tak akan menggunakan mobil itu.
Jaemin menerima kunci mobil tersebut, namun keduanya kembali terdiam. Entah mengapa keduanya merasa canggung hanya untuk berpisah. Namun Jaemin segera mencairkan suasana "Aku akan segera pulang saat urusanku selesai, kau sudah harus berada di mansion saat diriku sampai."
Dengan patuh pria bersurai hitam itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, ia hanya perlu menemui Xiaojun dan Jinhyuk. Usai berurusan dengan kedua manusia itu dan menyakinkan mereka berdua dia akan segera kembali ke mansion dan bertemu dengan Jaeminnya.
"Kita akan bertemu nanti malam."
Keduanya saling melempar senyuman sebelum berpisah, Jaemin melangkah menuju tempat parkir dimana mobil sedan hitam milik Jeno berada. Semakin lama langkahnya semakin cepat hingga Jeno tak lagi melihat siluet tubuh Jaemin.
Iapun kembali mengeluarkan ponselnya, mencoba untuk menghubungi Jinhyuk dan Xiaojun bergantian beberapa kali namun hasilnya nihil.
Tak ada jawaban.
"Sial!"
Tidak, Jeno tidak sedang marah saat ini, ia hanya khawatir. Bagaimana jika terjadi sesuatu hal yang buruk pada mereka berdua? Walaupun mereka mendalami bela diri sekalipun tetap saja mereka berdua hanyalah manusia biasa yang ingin menyelidiki seorang pemburu yang terobsesi pada kaumnya, benar-benar tak imbang.
Setelah yakin Jaemin sudah tak terlihat lagi dari pandangannya Jeno melangkah menuju arah timur sungai Han sambil sesekali menatap sekeliling memastikan tidak ada seorangpun disekitarnya dan secara tiba-tiba menghilang begitu saja dari jalan setapak Sungai Han dengan cepat dan kembali muncul di tangga darurat apartemen Xiaojun.
Jeno beranjak keluar dari pintu tangga darurat dan melangkah di lorong apartemen Xiaojun ia segera mengetuk pintu flat milik detektif tersebut dengan cepat, berharap dalam hitungan kurang dari semenit pintu tersebut terbuka dan menampakkan wajah Xiaojun ataupun Jinhyuk.
Namun nihil, pintu tak terbuka dan tak ada jawaban dari ketukan Jeno. Mengesampingkan norma kesopanan ia kembali menteleport dirinya berpindah kedalam apartemen Xiaojun tanpa ijin.
Apartemen tersebut memang kosong tak ada orang satupun didalam sana, netranya segera tertuju pada berkas yang sedikit berantakan dari dalam map yang terbuka diatas meja diruang tamu kecil dalam flat si detektif.
Jeno segera membaca berkas tersebut, ini adalah hasil penyelidikan yang dikatakan oleh Xiaojun. Latar belakang Zhang Yixing dan keluarganya adalah assasin, dan dia diasuh oleh keluarga Zhong sejak kecil. Dia adalah pemburu berdarah assasin, tak heran mengapa dia sangat terobsesi.
Ketika seorang pembunuh menjadi seorang pemburu disaat yang bersamaan, Jeno yakin kalau memang tidak akan ada yang bisa lepas dari genggaman Zhang Yixing jika pria itu sudah menargetkan mangsanya.
"Sial... kemana mereka berdua?" rasanya Jeno ingin mengumpat saat ini, kedua tangannya sudah meremas surai hitamnya berkali-kali hingga terlihat sangat berantakan karena ulahnya sendiri. Panggilan kesekian kalinya pada ponsel Jinhyuk sama sekali tidak terangkat.
Jeno mendudukkan dirinya sendiri di sofa ruang tamu, mencoba untuk tenang kemudian menghirup udara sebanyak mungkin dan menutup kedua matanya mencoba untuk tidak panik dalam keadaan seperti ini.
Ayo berpikir Lee Jeno, berpikir.
Namun dering dari ponselnya mengalihkan konsentrasinya, kedua netranya menatap nomor asing pemanggil yang tidak berada dalam kontak tersimpan diponselnya.
Ragu, namun Jeno menerima panggilan tersebut "Ya?"
"Uhhuuukk"
Kedua matanya melebar saat mendengar suara siapa yang tengah terbatuk diseberang panggilan sana, belum lagi nafas terengah-engah yang terdengar jelas di telinganya. Jeno segera bangkit berdiri dari duduknya "...J-Jinhyuk Hyung.."
"Matikan ponselmu bodoh! Akh! Hhh hhhh...."
Jemarinya mengepal, itu suara Jinhyuk. Telinganya terlalu peka untuk menghiraukan suara-suara yang didengarnya diseberang sana. Suara pukulan dan ringisan dari bibir Jinhyuk, namun polisi itu masih sempat mengomelinya karena menerima panggilan ini.
"Apa mau kalian? Jika masalahmu adalah diriku, kita selesaikan saat ini juga."
"Kau lebih berani daripada yang kukira, kupikir kau hanyalah seorang pengecut yang akan bersembunyi terus menerus dibalik tubuh Jaemin Oppa..."
Hening sesaat, ia jujur saja terkejut. Dari semua suara yang ia harap menyahuti ucapannya dirinya tak menyangka akan mendengar suara Lami diseberang sana. Jaeminnya akan kecewa jika mengetahui hal ini.
Apa saat ini gadis itu tengah menyakiti Jinhyuk? Apa otaknya benar-benar sudah dicuci oleh pemburu gila itu?
"Apa maumu Lami? Bisa kah kau jangan bertindak gegabah.."
"Kau tidak berhak mengguruiku.." Terdengar gadis itu terkekeh karena nasehat yang Jeno berikan padanya. "Kemarilah jika kau sehebat itu.."
"Dimana kau ingin menemuiku?"
"Akan kukirimkan alamatnya, datanglah sebelum petang jika kau memang ingin melihat pria bernama Jinhyuk ini selamat."
Kini suara seorang pria yang menyahutinya, Jeno yakin itu suara dari pemburu yang tengah berurusan dengannya saat ini.
Jika memang sejak awal dirinyalah yang mereka incar, seharusnya mereka langsung menargetkan dirinya saja bukan orang lain.
Panggilan terputus sepihak, dan tak lama sebuah notifikasi pesan masuk kedalam ponselnya. Ia melihat alamat yang dikirimkan padanya, daerah pesisir. Jeno segera beranjak dari sana setelah mengatur google maps di ponselnya untuk mengarah menuju pesisir, Jeno segera membuka pintu flat Xiaojun bersamaan dengan Jisung yang sudah berdiri didepan pintu dan hampir mengetuk.
"Hyung? Kupikir kau belum sampai?"
"Terpaksa kugunakan teleportasiku.." Jeno menunjukkan ponselnya pada Jisung, tertera alamat dan arahan dari maps untuk menuju kealamat yang diberikan oleh Lami dan pemburu itu. "Mereka mungkin ada disana, aku mendengar suara Jinhyuk. Jika mereka pergi bersama mungkin Xiaojunpun berada disana bersama dengan mereka."
Jisung menahan langkah Jeno yang hampir beranjak pergi meninggalkannya, apa Hyungnya ini mau pergi ketempat itu sendirian? Bukankah itu sama saja dengan bunuh diri?
"Dengan apa kau kesana? Apa kau tahu tempatnya? Itu hanya sebuah alamat, kau bahkan tak bisa membayangkan bagaimana bentuk tempat tersebut, kau buta arah dan jalan apa kau lupa itu?"
Ya... Alasan Jeno selalu tak pernah membawa mobil miliknya sendiri adalah daya ingatnya akan jalanan dikota sangat lemah, ia tidak pernah bisa mengingat jalan yang sudah dilewati dan yang akan dilewatinya jika ia sudah menyentuh stir mobil. Fokusnya akan terbagi dan hanya membuat Jeno tak tahu dirinya akan kemana.
Ia bahkan bisa melupakan tujuannya jika sudah berhadapan dengan stir mobil dan jalanan dihadapannya saat fokusnya terbagi dua.
"Aku akan mengantarkanmu.." Jisung tahu setiap dari mereka dapat berpindah tempat kemanapun tapi tidak dengan Jeno. Ia hanya bisa berpindah ketempat yang terlintas dalam ingatannya secara visual.
Renjun pernah berkata bahwa luka berat dikepala Jeno dimasa lalu walau terlihat sembuh diluar tapi tidak dengan didalamnya, hantaman kuat dikepala belakangnya menganggu sistem kerja otak pria tampan tersebut. Maka dari itu hampir seluruh penghuni mansion akan melindungi Jeno dan menjadi penunjuk arah bagi Jeno termasuk dirinya, Jisung.
"Kau tahu bahwa tidak akan ada jalan kembali Jisung-ah."
Jisung menganggukkan kepalanya tanda mengerti, "Aku tahu ini sudah lewat ratusan tahun lamanya Hyung tapi kau harus mengingat siapa diriku yang sebenarnya, aku adalah pengawal pribadi pertamamu."
Ada kehangatan yang menjalar di hati Jeno, ia tidak menyangka Jisung masih mengingat hal tersebut padahal itu sudah sangat lama dan predikat itupun sudah dihapuskan dari dirinya sejak ratusan tahun lalu.
"Jika kau memang ingin menghadapi mereka, maka aku akan berada disampingmu."
Jisung yang sekarang ada dan hidup abadi sebagai penghisap darah adalah karena Jeno. Jika Jeno tak menyelamatkannya mungkin dia tidak akan pernah hidup selama ini, menjadi sukses diusia yang tetap muda dan mungkin dia tidak akan mengenal Zhong Chenle kekasihnya.
"Tapi... Bagaimana dengan Chenle?"
Jeno masih berusaha menahan anak itu agar tidak ikut menggunakan nama orang yang paling sangat ingin dilindunginya. Sejak awal masalah ini hanya menyangkut dirinya, jika Jisung terseret dalam permasalahannya dan pemburu bagaimana dengan pria bersurai pink itu?
Namun Jisung hanya diam dan tak menjawab pertanyaan Jeno tentang bagaimana Chenle, jika sesuatu terjadi pada keduanya.
Entahlah..
Namun saat ini ia hanya ingin menolong Jeno, menolong orang yang sudah menolongnya sejak awal pertemuan mereka ratusan tahun lalu.
Sedikit menyesal saat tadi ia berkata pada Chenle bahwa dirinya hanya akan pergi menemui Jeno lalu mengantarkannya pulang padahal sejak awal Jisung tahu mereka pasti tidak akan segera pulang ke Mansion bahkan hingga petang lewat.
"Dia akan baik-baik saja."
Jisung menepuk lengan Jeno kemudian meremasnya pelan sebelum ia beranjak meninggalkan koridor tersebut kembali menuju parkiran.
Jika ia memang ingin bertemu dengan Chenle dan pulang cepat maka mereka harus menyelesaikan perkara ini dengan cepat. Mau tak mau Jenopun segera mengikuti Jisung setelah menutup pintu flat Xiaojun yang akan terkunci otomatis saat tertutup dari luar.
Ia menghela nafas kemudian menyimpan ponselnya kedalam saku "Tunggulah Hyung, Xiaojun, aku akan datang."
⇨ Twisted ⇦
Jaemin memarkirkan mobilnya asal didepan restoran milik Jisung, ia segera turun dan berlari masuk kedalam restoran sambil mencari keberadaan Renjun. Hingga netranya menangkap keberadaan pria pucat itu di sudut restoran bersama dengan Chenle dan seorang pria bersurai legam yang belum kenalnya.
Pria itu sibuk dengan layar laptop yang terbuka dengan raut serius seolah-olah menunggu sesuatu agar segera muncul di layar laptopnya, namun sepertinya yang ditunggu olehnya tak kunjung muncul.
"Bagaimana? Apa kalian memiliki kabar tentang Xiaojun-ssi?" Dirinya segera mendekati sudut menghampiri ketiga orang tersebut dan bertanya tanpa basa-basi. Iapun terkejut saat Renjun menghubunginya dengan panik mengatakan bahwa Xiaojun akan pergi menyelidiki Zhang Yixing kemudian pria tersebut tak bisa dihubungi.
"Hendery sedang mencarinya melacak lokasi GPS dari ponselnya, namun hasilnya belum keluar."
"Aku tak tahu apa yang salah, namun ini pertama kalinya diriku sulit menemukan seseorang. Biasanya tidak akan memakan waktu lama. Padahal diriku sangat yakin GPS diponselnya tidak mungkin mati."
Sebagai seorang detektif menghidupkan GPS di ponsel merupakan sebuah kewajiban, agar mereka dapat dilacak dengan mudah dari kantor pusat andai saja terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Seperti sekarang contohnya.
Hendery frustasi, ia benar-benar khawatir saat ini. Walaupun dirinya tak tahu apa pokok permasalahnnya namun jika sahabat yang sudah dianggap bagai saudaranya sendiri tersebut itu menghilang tentu saja dia khawatir dan panik setengah mati.
Padahal Renjun sudah meminta Xiaojun untuk menjauh dari hal ini namun detektif itu justru menjebloskan dirinya sendiri dalam masalah, ia bersumpah akan memukul kepala Xiaojun dengan keras saat sudah menemukannya nanti.
"Akan kuambilkan air untukmu.."
"Tidak perlu Chenle-ya.." Jaemin menahan Chenle yang hampir melangkah kebelakang untuk mengambilkan segelas minuman untuk Jaemin. Ia datang bukan untuk minum, dirinyapun turut memikirkan keadaan Xiaojun walaupun Jaemin hanya pernah bertemu sekali dengannya saat berada di Mansion.
Namun rasanya ada yang kurang saat Jaemin menatap sekeliling "Dimana Jisung?"
"Tadi Jisung berkata akan menjemput Jeno-ssi."
"Ah.." Jaemin mengangguk tanda mengerti, Jeno benar-benar memanggil Jisung ternyata, setidaknya Jeno akan berada di mansion sebelum petang seperti janji mereka tadi.
'Ting!'
Suara yang berasal dari laptop tersebut mengundang atensi Jaemin, Renjun dan Chenle.
"Akhirnya aku menemukannya!" Hendery segera memutar laptopnya agar menghadap pada ketiga pria yang sedari tadi menunggu hasil pencarian Xiaojun, dirinya sampai tak menyangka kalau sahabatnya ini memiliki banyak teman yang mengkhawatirkannya selain dirinya.
Dari ketiga orang tersebut hanya Chenle yang mengerutkan keningnya seolah-olah bertanya-tanya, berbeda dengan Renjun dan Jaemin yang terlihat terkejut saat melihat dimana lokasi keberadaan Xiaojun.
"Bukankah ini sebuah rumah singgah?" Tanya Chenle sambil menunjuk titik merah yang berkedip dilayar laptop Hendery yang menunjukkan lokasi GPS Xiaojun berada.
"Apa kalian tahu tempat ini?" Hendery sepertinya menyadari perubahan air wajah keduanya, hingga ia yakin bahwa mereka tahu dimana tempat ini.
"Itu, tempatku tinggal sejak kecil."
"Sial, seharusnya aku tahu dia akan datang kesana." Renjun segera beranjak keluar namun ketiga lainnya pun ikut menyusul langkah Renjun, bahkan Hendery sampai menutup laptopnya asal ia segera mengikuti pria bersurai auburn dan Chenle untuk menyusul Renjun.
"Kita pergi bersama, apa kau memanggilku kemari hanya untuk melihat-lihat eoh?"
"Dia pemburu Na Jaemin."
"Dan aku seorang bodyguard, yang kulindungi adalah kekasihku sendiri dan teman-temanku. Jadi jika kau tidak mengikut sertakan diriku, maka aku akan pergi seorang diri kesana."
Renjun mengeraskan rahangnya, ia tak menyangka Na Jaemin akan sangat keras kepala seperti ini "Akupun akan ikut, dia Hyungku, mungkin aku bisa membujuknya sekali lagi untuk yang terakhir." Chenlepun ikut menyertakan dirinya saat tiba diantara Renjun dan Jaemin.
"Diriku... Jangan lupakan diriku. Xiaojun sahabatku, jangan sampai kalian tidak memasukkanku kedalam hitungan." Henderypun datang dengan susah payah sambil memasukkan laptopnya kedalam tas.
"Kalian.. Aku tidak akan pernah bertanggung jawab atas nyawa kalian. Jadi jaga sendiri nyawa yang kalian bawa." Tegas Renjun, ia tahu maksud semuanya adalah baik namun dirinya yang biasa melakukan segalanya sendiri cukup terkejut saat ini.
Setidaknya saat ini Renjun memiliki orang-orang yang akan membantunya dan mengangkat sedikit beban dipundaknya bersama-sama, ia tak sendiri lagi.
Mereka menggunakan mobil Jeno menuju panti tempat dimana Jaemin dibesarkan. Ketika mereka tiba mobil yang dikendarai Jaemin memasuki halaman depan panti yang terlihat sangat sepi.
"Kenapa tempat ini sangat sepi? Seperti tak berpenghuni." Pertanyaan Chenle mengundang rasa khawatir Jaemin, pasalnya saat jam seperti ini seharusnya terlihat beberapa anak-anak berlarian dihalaman tapi kali ini tidak.
Mobil berhenti, tanpa menunggu penumpangnya turun Jaemin segera beranjak lebih dahulu turun dan segera berlari memasuki bangunan panti. Dan ia terkejut melihat didalam panti sangat berantakan, seperti bekas perkelahian, apa yang terjadi??
"Ilwoo-yaaaa?! Inkyung-aahh!"
Jaemin berlari semakin kedalam mencari keberadaan adik-adiknya "Mija-yaa.."
"Woonheee?!!"
Nihil, tak ada jawaban.
Ia kembali menatap sekeliling yang benar-benar berantakan, bagaimana bisa ada seseorang yang berkelahi di panti, dan kemana adik-adiknya?
"Sebaiknya kita berpencar.." Ucap Hendery sambil mengeluarkan pistol dari balik saku belakangnya, merekapun berpencar mengelilingi bagian dalam bangunan yang cukup luas tersebut mencari keberadaan anak-anak panti dan keberadaan Xiaojun.
Chenle melangkah memasuki bagian belakang yang jauh lebih berantakan daripada bagian lain dibangunan ini, langkahnya terhenti ia terkejut hingga tercekat saat menemukan sesosok tubuh tergeletak diatas lantai dengan darah yang mengalir dari kepalanya.
"Yaaaak!!! Kemarilah, aku menemukan seseorang!!" Wajahnya familiar, rasanya seperti pernah melihatnya.
Hendery datang paling awal dan segera menyimpan kembali pistol kedalam sakunya, ia segera berlutut didepan sosok tubuh pria tersebut dan mencoba untuk meluruskan tubuh tak sadarkan diri tersebut.
Dengan cepat Hendery merogoh sakunya dan melemparkan ponselnya pada Chenle yang berdiri sambil meremas kedua tangannya sendiri "Hubungi polisi dan ambulance, minta bantuan secepatnya kemari."
Dengan patuh Chenle segera menghubungi polisi dan ambulance sambil beranjak menjauh mencari jalan halaman belakang bangunan panti agar mendapatkan sinyal yang lebih bagus.
Bersamaan dengan Jaemin dan Renjun yang datang dari dua arah yang berlawanan, betapa terkejutnya Jaemin melihat siapa yang saat ini tergeletak dengan wajah pucat disana bersimbah darah dari kepalanya.
"J-Junmyeon Hyung?!"
"Kau mengenalnya?" Tanya Hendery dan hanya di sambut oleh anggukan cepat Jaemin "Kepalanya dipukul dengan benda tumpul, dia bisa kehabisan darah jika tidak segera ditolong."
"..... Kumohon cepatlah kemari kami.." Chenle menjauhkan ponsel dari telinga dan bibirnya, tangannya jatuh lemas saat melihat banyak tubuh tak bernyawa dihalaman belakang panti.
Namun matanya menatap salah satu tubuh yang tergeletak terkelungkup dengan surai terang "Xiaojun Hyung!!"
Teriakan Chenle dari belakang bangunan membuat Renjun segera berlari kebelakang meninggalkan Hendery dan Jaemin, walau pria bersurai kelam itu khawatir akan temannya namun ia tengah menyelamatkan seseorang saat ini.
Begitu tiba ia melihat Chenle tengah ragu-ragu ingin membalik tubuh pria bersurai terang yang menggunakan jaket kulit berwarna putih tulang. Renjun segera menghampiri Chenle dan segera membalik tubuh tersebut karena ia yakin itu adalah Xiaojun. Jaket itu pemberian darinya ketika Xiaojun resmi menjadi detektif 5 tahun lalu.
"Xiaojun-ah?!"
Renjun terkejut melihat pria tersebut pucat dan mengeluarkan darah yang tak berhenti mengalir dari perut sebelah kirinya. Ia melihat belati kecil berwarna hitam yang terbuat dari besi tebal, ia menatap Chenle yang ikut terkejut melihat belati itu.
Mereka sangat mengenali belati tersebut, milik pemburu seperti mereka.
"Xiaojun-ah! Buka matamu!" Renjun menarik Xiaojun kedalam dekapannya sambil menepuk-nepuk wajah pria itu dengan keras bahkan rasanya tepukan itu terasa seperti pukulan daripada tamparan andai saja Xiaojun tak sadarkan diri saat ini.
"Buka matamu!!" Satu pukulan keras mendarat lagi diwajah tampan Xiaojun, dan berhasil pria itu membuka kedua matanya perlahan ia terlihat lelah, namun sepertinya suara Renjun dan tamparannya membuat kesadaran pria itu kembali walau tak seutuhnya.
"Kau akan baik-baik saja, ambulance akan segera datang." Chenle segera menempelkan lagi ponsel Hendery pada telinganya beruntung saluran panggilannya masih tersambung, dengan terbata-bata Chenle meminta bantuan sebanyak-banyaknya.
Ini pertama kali dalam hidupnya ia melihat begitu banyak mayat bergelimpangan seperti saat ini.
"Aku baik-baik saja..."
Walau dalam keadaan lemah sekalipun Xiaojun tetap berusaha memberikan senyum terbaiknya pada Renjun, apalagi ini kali pertama ia melihat pria pucat itu mengkhawatirkan dirinya hingga kedua matanya memerah seperti menahan tangis. Apa dia sebenarnya sudah berhasil mendapatkan hati sipenghisap darah itu? Apa gunung es yang menyelimuti hatinya sudah mencair?
Dengan langkah gontai Jaemin melangkah kebagian belakang panti meninggalkan Hyungnya pada Hendery, netranya menatap beberapa tubuh yang tak bernyawa disana entah mengapa dirinya yakin kalau itu adalah ulah Hyungnya, Jinhyuk.
Namun tak mungkin Jinhyuk melukai Junmyeon, ia perlu tahu apa yang terjadi sebenarnya tadi di panti, ada apa?? Kenapa semuanya jadi seperti ini? Siapa yang mereka hadapi disini.
Ia melangkah menghampari Xiaojun dan Renjun dan terduduk didekat keduanya "Dimana Jinhyuk Hyung? Kau datang dengannya bukan kemari?" Jaemin langsung bertanya tanpa perlu berbasa basi menanyai keadaan Xiaojun ia bisa melihat pria itu terluka, namun keberadaan saudaranyapun tak kalah penting.
"Bisakah kau tahan sejenak pertanyaanmu? Apa kau lihat dia bisa menjawab pertanyaanmu saat ini?" Renjun tak dapat mengontrol emosinya, ia tak bisa menahan sesak didadanya sendiri saat melihat Xiaojun lemah dan terluka seperti saat ini.
"Apa kau pikir mataku buta tak melihat hal buruk apa yang terjadi pada rumahku? Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi pada kedua Hyungku!" Balas Jaemin tak kalah sengit, keduanya tengah sama-sama tertekan dan membutuhkan jawaban.
Kenapa?
Apa yang terjadi?
Genggaman lemah jemari Xiaojun pada lengan Renjun membuat pria pucat itu lebih tenang dan mengurungkan niatnya untuk membalas ucapan Jaemin.
Xiaojun menatap Jaemin, pria itu mungkin akan terkejut dengan apa yang akan dirinya katakan, bahkan mungkin bukan hanya Jaemin tapi juga Chenle.
"Mereka... menggunakan Jinhyuk untuk menarik Jeno datang."
Ketiga pria yang mengelilingi Xiaojun perlahan mematung, wajah mereka masing-masing terkejut dan memucat. Apa maksudnya dengan menggunakan Jinhyuk untuk menarik Jeno datang? Kenapa Jinhyuk berhubungan dengan Jeno?
Lagipula, Jaemin yakin saat ini mungkin Jeno sedang dalam perjalan pulang menuju mansion bersama dengan Jisung.
"Apa maksudmu?"
Xiaojun menarik nafasnya dengan susah payah "Mereka.. Hhh sudah memperhitungkan hari ini akan datang, kami menemui Junmyeon agar hyungmu menjauh darinya... Namun sepertinya hhhh ini jebakan.."
Jaemin segera bangkit berdiri, jebakan? Siapa yang menyiapkan jebakan untuk siapa?
"Jeno... nyawanya dalam bahaya."
Xiaojun melirik Chenle yang mengenggam ponsel ditangannya dengan kuat ".... Dan hyungmu.. hhh sejak awal dia menargetkan Jisung."
"Apa?" Chenle terkejut bukan main, ia meraih ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Jisung namun panggilannya tak diangkat.
Walaupun pria itu tengah menyetir sekalipun Jisung tak pernah menghiraukan panggilannya, Chenle menatap panggilannya yang terputus karena tak terjawab diseberang sana.
Ia menatap Jaemin dan Renjun kemudian mereka kembali menatap Xiaojun "Mereka dalam bahaya saat ini." nafas Xiaojun tersengal ia terbatuk karena rasa sakit diperutnya semakin tak tertahankan, belum lagi darah tak berhenti mengalir dari perutnya.
"Xiaojun-ah!"
Chenle kembali mencoba menghubungi Jisung sedangkan Jaemin masih mencoba untuk tenang walaupun saat ini ia tengah memikirkan keberadaan Jeno namun ia yakin kekasihnya itu pasti tengah dalam perjalanan kerumah bukan?
"Gigit dia.. Xiaojun tak akan selamat jika kau menunggu ambulance datang!"
"Kau gila Na Jaemin?!"
"Kau ingin dia tewas? Gigit dia dan berhentilah bersikap egois Hyung, kau membutuhkannya bukan dia yang membutuhkanmu."
Ucapan Jaemin bagai tamparan untuk Renjun, bagaimana bisa ucapannya begitu tepat. Selama ini, mungkin tanpa disadari olehnya memang Renjun yang membutuhkan Xiaojun, ia butuh sosok seseorang yang selalu ada untuknya dan mendukungnya apapun keputusan dan jalan yang akan Renjun ambil.
Hal yang selalu Xiaojun lakukan untuknya.
Namun dirinya terlalu egois untuk menyadari hal tersebut nyata dan hanya beranggapan dirinya bisa melakukan segalanya sendiri, melindungi semuanya sendirian dan menganggap perlakuan istimewa Xiaojun padanya hanya kebohongan belaka.
Mungkin, itu memang takdirnya sejak awal ketika bertemu dengan Xiaojun di malam hari saat hujan lebat, melihatnya mengigil kedinginan di tepi jalan seorang diri dengan pakaian tipis membuat Renjun yang biasanya tidak terlalu memperdulikan manusia justru tergerak dan mengulurkan tangannya pada Xiaojun kecil.
Ia kembali menatap Xiaojun yang tersengal-sengal semakin ia menunda maka dirinya akan kehilangan Xiaojun.
"Xiaojun-ah.. Apa kau ingin kuselamatkan?" ucapan itu tak terjawab, Xiaojun terlalu sibuk mencari oksigen untuk paru-parunya.
Namun Renjun memang sepertinya tak menunggu jawaban, pria itu segera menunduk menyingkirkan kerah kemeja yang digunakan Xiaojun dan mengigit leher pria itu bersamaan dengan kesadarannya yang menghilang, sedikit menghisap darah Xiaojun yang terasa sangat manis dilidahnya kemudian mengeluarkan racun yang sama seperti saat ia mengigit Jeno dahulu.
Chenle dan Jaemin diam menatap Renjun usai menggigit leher Xiaojun namun pria itu diam tak ada respon sama sekali "Kenapa dia hanya diam saja?" tanya Chenle panik, bagaimana jika Xiaojun tewas dan Renjun terlambat mengigitnya? Bagaimanapun Chenle tak berniat melihat seseorang tewas dihadapannya.
"Mana ku tahu, bisa kah kau tak membuatku panik Zhong Chenle?" omel Renjun ikut panik karena takut dirinya terlambat mengigit Xiaojun dan kehilangan pria itu selamanya.
"Xiaojun-ah?" panggilnya lagi sambil menepuk-nepuk wajah pria tampan tersebut yang masih terlihat sangat pucat. Apa iya dirinya terlambat?
"Tunggu sebentar, ini memakan waktu."
Hanya Jaemin yang terlihat sangat tenang, ia pernah melihat bagaimana proses Renjun dan Jeno menjadi seorang penghisap darah dan memang hal tersebut tidaklah instan dan langsung berubah begitu saja, butuh sedikit waktu.
"Chenle, apa kau sudah memanggil ambulance?" Hendery keluar dari dalam dengan pakaian tercecer bercak darah Junmyeon disana, ia menggunakan hoodie hitamnya sebagai bantalan untuk kepala Junmyeon, berharap pria itu akan tertolong.
Terlalu banyak darah yang mengalir dari kepalanya.
"Ya.. Sudah, mereka seharusnya sudah dalam perjalanan kemari.." Chenle terkejut Hendery tiba-tiba saja datang, bagaimana jika Xiaojun bangkit dan menyerang Hendery efek dari proses perubahan dari manusia menjadi penghisap darah.
Kedua netra Hendery menyipit saat melihat tubuh yang tergeletak dan tengah dipeluk oleh Renjun "Xiaojun? Itu Xiaojun bukan?"
Tidak ada yang menjawab hingga kedua mata pria bersurai terang itu terbuka dengan pupil merahnya, ia menarik nafas dan terbatuk tiba-tiba seperti ia baru saja bangkit dari kematian.
"Kau baik-baik saja Xiaojun-ah?" Hendery hampir melangkah menghampiri Renjun yang membelakanginya namun beruntung Jaemin segera menghampiri Hendery.
"Biarkan mereka berdua, Renjun lebih khawatir pada Xiaojun dari siapapun." Jaemin memberikan kode pada Chenle untuk mengikutinya kedalam, bagaimanapun juga Chenle manusia bagaimana jika Xiaojun menyerangnya.
Ia pernah melihat bagaimana laparnya Jeno saat bangkit kembali dari kematian jadi ia tidak ingin melihat betapa laparnya Xiaojun dihadapannya.
"Aku ingin meminta bantuanmu." Ucap Jaemin, mau tak mau Henderypun kembali kedalam bersama dengan pria bersurai auburn itu dan Chenle meninggalkan Xiaojun diluar sana dengan Renjun.
"Bantuan apa yang kau inginkan?"
"Bisa kau lacak seseorang untukku?"
"Ya... Asal kau memiliki nomor ponselnya, aku bisa mengakses paksa data di ponselnya dan mencari posisinya dengan GPS yang terpasang diponselnya."
Jaemin menuliskan dua deret nomor diatas sebuah kertas yang diambilnya dari meja nakas kemudian memberikannya pada Hendery "Nomor pertama milik Choi Jinhyuk dia pria yang datang kemari bersama dengan Xiaojun, tak ada tanda-tanda keberadaannya disini. Dan nomor kedua adalah milik Lami adikku, temukan saja dimana dia berada. Bisakah?"
"Tentu.." Hendery mengambil kertas tersebut kemudian beranjak keluar kembali menuju mobil, karena ia meninggalkan laptopnya disana.
"Chenle-ya, bisakah kau menghubungi Mansion dan bertanya apakah Jeno dan Jisung sudah sampai? Tapi jangan sampai ada yang curiga, bisakah?"
"Tentu Hyung.." Chenle baru saja ingin menghubungi mansion namun teringat akan ponsel Hendery yang masih berada di genggamannya "Aku akan mengembalikan ponsel Hendery-ssi terlebih dahulu."
Jaemin menganggukan kepalanya dan melihat Chenle menyusul Hendery kedepan menuju mobil yang mereka gunakan tadi, sedangkan Jaemin seorang diri kembali menatap sekeliling yang sepi dan begitu berantakan.
Ia perlahan berjongkok memeluk kedua kakinya sendiri dengan erat, rasanya ia begitu sangat ingin menangis saat ini, Junmyeon terlihat sekarat dihadapannya.
Pertemuan terakhir merekapun sangat buruk, bagaimana jika ia kehilangan Junmyeon?? Jaemin belum sempat meminta maaf atas ucapan kasarnya pada Junmyeon.
Walau pria itu sibuk bekerja, sibuk mencari uang namun jauh dalam lubuk hatinya Jaemin tahu semua itu dilakukan demi adik-adik kecilnya dipanti, Junmyeon tak ingin adik-adik mereka hidup begitu susah seperti dirinya dan Siwon serta Jinhyuk dan Hyukjae yang ditinggalkan begitu saja oleh pengurus panti.
"Siapa namamu tadi?"
Jaemin kecil mendongak menatap pria berkulit putih yang berkeringat itu tengah berdiri didekatnya yang duduk di sudut food truck dihari pertamanya bergabung dengan keluarga ini.
"Jaemin... Na Jaemin."
Pria itu tersenyum kemudian memberikan Jaemin sebuah mantao panas "Makanlah, kau terlihat kurus. Makanlah yang banyak, mulai hari ini jika kau lapar minta apa saja pada Hyung akan Hyung buatkan."
Jaemin menerima mantao panas itu dan segera memakannya, ia lupa kalau dirinya belum makan sejak tadi pagi Siwon membawanya kemari "Terima kasih Hyung.."
"Sama-sama Jaemin-ah." Elusan lembut disurai miliknya membuat Jaemin kecil paham bahwa Junmyeon pun tak kalah lembut seperti Siwon, ia hanya ragu untuk menunjukkannya.
"Bisa kah kau tidak terlalu sibuk Junmyeon-ah, bahkan dalam setiap pertemuan keluarga kau tidak pernah ada." Omel Siwon saat Junmyeon lagi-lagi akan pergi dan meninggalkan perkumpulan bulanan mereka saat Jaemin saat itu menginjak usia 20 tahun.
Junmyeon tak menjawab ia hanya melangkah keluar dan kembali memakai sepatunya namun Jaemin mengejar Hyungnya itu "Hyung.. Apa kau tak bisa ikut berkumpul kali ini saja?"
Junmyeon menoleh, ia menghela nafas pelan kemudian menepuk kepala Jaemin mengelus surai auburnnya "Jika aku tidak bekerja keras aku takut kalian tidak akan bisa menempuh pendidikan terbaik. Kau adikku yang paling penurut Jaemin-ah kau pasti mengerti."
"Aku akan segera bekerja dan membantumu serta Siwon Hyung."
"Tidak.. Kau harus mengejar mimpimu Jaemin-ah.. Biar Hyung yang bekerja demi kalian." Junmyeon menepuk wajah Jaemin memberikan semangat pada adik tak sekandungnya itu.
"Masuklah, mereka akan mencarimu." Junmyeon baru saja akan melangkah pergi, namun Jaemin menahannya.
"Berjanjilah, saat diriku bekerja nanti kau akan berhenti.."
Junmyeon hanya tersenyum dan mengangguk kecil namun tak menjawab kemudian beranjak pergi kedua bahunya terlihat turun, terlalu banyak beban yang ditanggung Junmyeon apalagi setelah Siwon memutuskan untuk menikah.
Perlahan isakan keluar dari bibir Jaemin ia menyesali ucapannya beberapa hari lalu pada Hyungnya, andai dirinya bisa menebus segalanya ia akan jauh lebih baik pada Junmyeon yang mengorbakan masa mudanya hanya untuk kebutuhan dan pendidikan adik-adiknya dan itu tentu saja termasuk dirinya.
".... Hyung..." Panggilnya dengan lirih, berharap setidaknya Junmyeon membuka kedua matanya saat Jaemin memanggil.
"Junmyeon Hyung.." Panggilnya lagi, hingga terdengar isakan makin kuat keluar dari bibirnya sambil semakin kuat Jaemin memeluk kedua kakinya "....Kumohon jangan tinggalkan kami Hyung.. Maafkan aku..."
⇨ To Be Continued ⇦
Tidak ada komentar:
Posting Komentar