myCatalog

Sabtu, 03 Oktober 2020

TWISTED - 15


∵ TWISTED ∵


|


|


|


|


Jeno menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya berkali-kali, ia bahkan tidak fokus dengan apa yang tengah Jisung dan Chenle bicarakan dihadapannya.

Ia sibuk memikirkan Jaemin yang tiba-tiba saja pergi saat menerima panggilan kemudian meminjam mobilnya, namun ini sudah lebih dari sejam dia tidak kembali dan juga tidak memberikan kabar padanya.

Dirinya tidak pernah melihat Jaemin sepanik tadi sebelumnya, bahkan dengan tergesah-gesah mengambil kunci mobil diatas meja dan segera pergi sebelum Jeno sempat menyahuti ucapannya.

"Bagaimana dengan membawakan kue atau..."

"Dia bukan anak kecil Jisung-ah, bahkan dia pemilik sebuah cafe dia pasti memiliki banyak rasa cake di cafe nya."

Jisung menggaruk keningnya ucapan Chenle benar adanya, ingin bertemu dengan reinkarnasi Eunhyuk saja menyulitkan baginya karena terlalu banyak hal yang dipikirkan oleh kepalanya.

"Bagaimana menurutmu Hyung?" tanya Jisung, namun baik dirinya dan Chenle baru menyadari bahwa Jeno sedari tadi hanya menatap keluar kedai tanpa mendengar panggilan Jisung padanya apalagi pembicaraannya,.

"Jeno-ssi?" Chenle menepuk lengan Jeno, membuat pria bersurai hitam itu akhirnya menoleh terkejut pada Chenle dan Jisung yang tengah menatapnya.

"Ya?"

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Tak ada... Hanya saja, Jaemin belum kembali."

Jisung dan Chenle ikut melihat jam yang melingkar dipergelangan tangan mereka, benar juga sudah hampir satu jam Jaemin pergi tergesah-gesah tadi dan belum kembali.

"Coba kau menghubungi ponselnya Jeno-ssi, mungkin dia tidak sempat mengabarimu."

Saran Chenle ada benarnya, ia mencoba menghubungi ponsel Jaemin namun hasilnya nihil, tak ada jawaban dari seberang sana karena memang ponsel tersebut tergeletak didalam mobil Jeno sedangkan Jaemin saat ini masih dalam keadaan tidak sadar dalam pengawasan Renjun.

"Bersabarlah sedikit Jeno-ya.. Jaemin-mu akan kembali sebentar lagi." gumam Renjun sambi menatap Jaemin yang berkali-kali mengerutkan kening dan alisnya bahkan terlihat gelisah dihadapannya.

Nafasnya terasa tersengal dan berat, kenyataan ini terlalu berat untuk diterimanya secara tiba-tiba seperti dengan cara seperti ini. Apa Renjun sengaja ingin membuatnya gila??

"Kau, aku calon istrinya kenapa kau masih saja menganggu calon suamiku!"

Jaemin enggan melihat apa yang terjadi dibalik tubuhnya kepalanya kembali berpaling, ia cukup mendengar suara pertengkaran antara Lami dan dirinya, kepalanya benar-benar pening mendengar keduanya saling meneriaki satu sama lain.

"Kumohon kalian jangan bertengkar, aku akan pergi setelah kalian menikah."

"Jinki-ah apa aku mengijinkanmu untuk pergi."

"Bisakah kau pergi saja ke neraka Lee Jinki, aku sangat membencimu. Bahkan mungkin kebencian itu akan terus bertumbuh dikehidupan selanjutnya!"

"Yak! Apa kau gila? Apa pantas seorang calon permainsuri berbicara seperti itu?"

"Lalu apa pantas seorang Putra Mahkota mengencani tangan kanannya sendiri? Berperilaku menyimpang dengan seorang lelaki?"

Sang putra mahkota hampir mengangkat tangannya, ia tidak bisa menahan emosi dalam dadanya, seharusnya ia sejak awal melarikan diri saja dari istana dan hidup berdua dengan Jinki, namun pria itu memintanya untuk bertahan di istana sampai dirinya menjadi raja di negeri ini.

Kibum menurut, namun tak lama justru gadis ini muncul dan mereka berkata bahwa dia akan dinikahkan dengan gadis tersebut sebelum pelantikan dirinya sebagai raja.

Seharusnya gadis itu lebih bisa menjaga mulutnya, tanpa Jinki yang selalu menenangkannya seorang Kim Kibum tidak akan mau menerima pernikahan tersebut.

"Tahan Kibum-ah, kau tidak boleh memukul seorang gadis.."

Lagi, hanya sebuah kalimat dan sentuhan di lengannya Kibum menahan sekali lagi emosi dalam dirinya, namun hal itu justru membuat si gadis cantik itu geram. Ia menarik tusuk kondenya dan berniat untuk menusuk Jinki melenyapkan pria yang membuat Kibum tak pernah menoleh kepadanya.

"Akh!" Jaemin menyentuh perutnya yang terasa nyeri secara tiba-tiba hingga dirinya terduduk diatas tanah, ia seperti tertusuk sesuatu tapi ia tidak melihat ada darah di telapak tangannya saat ini, namun rasa sakit itu benar-benar membuatnya meringis.

Kepalanya menoleh kebelakang ia melihat dirinya, Kim Kibum berdiri dihadapan Lami menjadi tameng atas Lee Jinki yang hampir saja tertusuk oleh tusuk konde yang kini bersarang diperut kiri Kibum. Tempat yang sama dimana ia merasa sakit pada perut kirinya.

"Apa yang kau lakukan?"

"Melindungimu."

Tubuh Kibum merosot bersamaan dengan Jinki yang memeluk kuat tubuh prianya, luka itu memang tidak akan membuat Kibum tewas hanya saja luka itu akan menjadi perkara besar nantinya.

"Benarkah kau melindunginya?"

Baik Kibum ataupun Jinki sama-sama menatap sang gadis, ucapan sang Putri sama sekali tidak mencerminkan rasa takut atas apa yang baru saja dilakukannya, ia bahkan tetap bisa tersenyum usai melakukan hal buruk itu.

Jinki hampir berteriak memanggil bantuan untuk segera menolong Kibumnya yang mulai terlihat pucat namun teriakan sang Putri membuat baik Kibum ataupun Jinki terdiam.

"Tolong!!! Putra mahkota diserang, Lee Jinki menusuk putra mahkota!!"

"Kau gila?!"

"Itu yang akan terjadi setiap kau melindunginya, Kim Kibum. Setiap langkah yang kau ambil untuk melindunginya hanya akan membuatnya menderita."

Putri Jeong melangkah pergi setelah mengatur ekspresi wajahnya menjadi panik dan berlari mencari bantuan, sedangkan Kibum segera mencengkram lengan Jinki erat-erat "Pergi dari istana sekarang juga, bersembunyilah. Aku akan mencarimu jika keadaan sudah aman Jinki-ya."

Jinki menatap Kibum dengan mata tajamnya "Tapi aku tidak menusukmu Kibum-ah."

"Aku tahu.. Tapi mereka, ibuku? Pergi aku tak ingin mereka menangkapmu, cepat pergi aku akan menemuimu 2 hari lagi di pondok biasanya."

Remasan kuat dilengan Jinki mau tak mau membuat pria itu mengalah, setelah ia menyandarkan tubuh Kibum yang terluka dan mengecup puncak kepalanya Jinkipun segera pergi, walau enggan tapi dirinya harus tetap menurut.

Netra coklatnya masih bisa melihat punggung Jinki pergi meninggalkan istana lewat pintu belakang, bersamaan dengan Putri Jeong dan pengawal yang datang dengan panik menolongnya sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.

Kedua kaki Jaemin melangkah mundur, ia terkejut setelah melihat apa yang terjadi barusan. Namun, belum sempat dirinya mencerna dengan baik apa yang tengah terjadi tiba-tiba saja sekelilingnya berganti tempat, ia berada didalam sebuah ruangan saat ini.

"Kau pikir aku akan percaya ucapanmu bahwa calon istrimu sendiri yang menusukmu? Kau terlalu memanjakan Lee Jinki sejak dulu Putra Mahkota!"

Sebuah gebrakan meja membuat Jaemin berjengit kaget, namun tidak dengan Kibum. Pria itu tetap duduk bersandar setelah ia sadar dan sudah diobati.

"Hukum mati dia dan penduduk desanya, atau akan kupanggil dia kembali ke istana dan memenggal kepalanya dihadapanmu, Putra Mahkota. Pikirkan hal itu baik-baik."

Sang ibu suri pun pergi dari kamar milik Kibum meninggalkan anaknya tersebut dalam dilema, kedua matanya yang memerah karena menahan tangis dan amarah terlihat jelas disana.

Dirinya tak tahu harus berbuat apa, ia tidak tahu langkah apalagi yang harus dilakukan olehnya untuk menolong prianya, mereka semua seperti tengah menghunuskan pedang tak kasat mata secara bersamaan kearah dirinya, hingga langkah apapun yang dilakukannya hanya akan membuatnya terluka.

Seperti kilasan dalam sebuah film, Jaemin kembali berpindah secara tiba-tiba ia melihat Kibum berada di pondok tempatnya berjanji untuk bertemu dengan Jinki 2 hari kemudian. Begitu Jinki tiba Kibum segera memeluk prianya dengan erat seolah-olah bisa jadi ini adalah pertemuan terakhir mereka.

"Aku tidak ada pilihan lain, besok para prajurit akan datang kedesamu melakukan pembantaian massal, kumohon padamu pergilah malam ini."

Jinki mendorong Kibum agar melepas pelukannya "Apa maksudmu? Desaku? Apa salah desaku?"

"Ibu memintaku menurunkan perintah untuk membunuhmu dan penduduk desamu atau dia akan memenggal kepalamu dihadapanku. Terpaksa kugunakan cara pertama agar kau memiliki waktu untuk lari dan pergi Jinki-ya."

Penjelasan panjang lebar Kibum membuat Jinki terdiam ia menatap pria bermata bulat dihadapannya lekat-lekat.

"Apa nyawaku sebanding dengan mereka? Apa kau sudah tidak waras mengorbankan seluruh penduduk desa ini hanya demi keegoisanmu Kim Kibum?!"

"Lalu, apa yang kau inginkan? Apa kau berharap diriku melihat kepalamu dipenggal dihadapanku begitu?!"

Baik Jinki ataupun Kibum sama-sama diam, keduanya sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing. "Pulanglah, jika kita berjodoh kau dan diriku akan bertemu lagi nanti." Jinki beranjak keluar dari pondok dan segera kembali kedesanya tanpa berpaling lagi pada Kibum, ada kekecewaan besar yang ia rasakan karena keputusan Kibum terhadap Desa dan seisi penduduknya.

Mungkin yang dikatakan oleh putri Jeong ada benarnya, semakin Kibum melindunginya, semakin Jinki terluka karena perbuatan Kibum. Dan sepertinya memang hal tersebut yang tengah terjadi saat ini.

Ia takut, jujur saja dirinya takut. Sejak awal menjalani hubungan terlarang tersebut dengan Kibum ia tahu hal seperti ini akan menimpanya. Tapi ketika saat itu tiba dirinya benar-benar takut. Tidak ada satu orangpun yang tidak takut mati bukan? Begitupun Lee Jinki.

Kedua tangannya membereskan barang-barangnya agar bisa pergi dari desa sebelum fajar datang mengikuti apa yang diminta oleh Kibum, namun gerakannya terhenti saat melihat keluar jendelanya, bagaimanapun orang-orang desa tidak pernah sekalipun memperlakukannya dengan sebelah mata mereka orang-orang yang baik, tidak seperti cara mereka memperlakukam dirinya semena-mena ketika berada di istana.

Jinki berhenti berkemas dan segera keluar dari kediaman kecil milik Renjun yang ia tempati setelah Hyungnya tersebut tewas belasan tahun lalu, iapun mulai mengetuk semua pintu rumah didesanya dan berkata untuk segera pergi dari desa secepatnya sebelum fajar tiba. Entah kemana mereka akan pergi yang pasti saat ini Jinki akan membawa mereka pergi untuk menghindar dari prajurit istana.

Netra coklat Jaemin hanya diam menatap dirinya sendiri yang terlihat gelisah ketika dirinya sudah berpindah lagi kepagi hari, ia sudah duduk di kursi kepemimpinan dengan Putri Jeong disisi kirinya dan ibu suri di sisi kanannya.

Setelah menghela nafas pelan dan menutup matanya rapat-rapat Kibum membuka mulutnya "Habisi seisi desa atas perintahku."

'Kuharap kau benar-benar pergi Jinki-ya.'

Jaemin berbalik badan ia meremas rambutnya sendiri, kenapa Kim Kibum begitu lemah? Bukankah dia seorang Putra Mahkota? Mengapa bisa-bisanya dia mengambil keputusan bodoh seperti ini atas desakan orang lain.

"Itukah diriku?" tanyanya entah pada siapa, hingga tubuhnya lagi-lagi terasa tertarik kebelakang dan terjatuh ditengah ladang luas tepat dikaki bukit.

Telinganya mendengar teriakan dan jeritan dari arah belakangnya, ketika kepalanya menoleh netra bulatnya melihat pembantaian massal dengan mata kepalanya sendiri dan ia melihat Jinki, Jenonya berlari dengan luka hampir disekujur tubuhnya berusaha menghindar dari kejaran prajurit berkuda dibelakangnya.

Terlihat wajah pucat Jinki frustasi karena gagal menyelamatkan sebagian penduduk desa yang tewas karena memutuskan mengikuti jalannya melarikan diri, namun pria itu menatap sekeliling dia terlihat lelah hingga sebuah hantaman kuat benda tumpul dibagian belakang kepalanya berhasil membuatnya ambruk diatas tanah.

"T-tidak... Jeno-ya!" Jaemin segera bangkit berdiri ia berlari mendekati tubuh Jeno yang sudah ditinggalkan oleh para prajurit, namun belum dirinya sampai ia melihat siluet orang yang dikenalnya berlari menuruni bukit dengan cepat.

Renjun.

Dia berlari dan segera memanggil-manggil nama Jinki agar pria itu tetap sadar, namun bukan menyahuti panggilan Renjun mereka justru mendengar Jinki memanggil Kibum dengan air mata yang menetes dari pelupuk matanya.

Sekarang baru Jaemin tahu mengapa Jeno bisa menjadi seorang penghisap darah, ia melihat Renjun mengigit Jinki setelah kesadaran pria itu menghilang, menyelamatkannya dari kematian dengan cara yang lain.

Jaemin tetap berdiri ditempatnya dalam diam membiarkan air hujan menerpa tubuhnya dari langit yang mendung dan bergemuruh namun kedua matanya tidak lepas dari menatap Jeno yang perlahan sadar bahkan mulai terlihat haus dan meminum darah segar dari tubuh tak bernyawa disekitarnya.

"Jeno.. Namamu sekarang Lee Jeno, kau adikku."

Dan disana ia melihat Donghae mengulurkan tangannya pada Jinki yang sama sekali tak mengingat apapun, bahkan Renjun dibelakangnya berpura-pura tak mengenali Jeno.

Huang Renjun memberikan kehidupan baru bagi Jinki, membuatnya menjadi penghisap darah dan memberikan identitas kehidupan baru baginya, melupakan masa lalu yang menyakitkan bagi Jinki karena ulah Kibum.

"Kibum... Apa yang dilakukannya saat ini? Apa yang sedang dilakukan sibodoh itu?"

Bagai terjawab, dirinya kembali berada didalam istana ada Kibum dengan mata dan hidung merahnya menatap pakaian pernikahannya yang akan berlangsung esok hari.

Dan dihadapannya sudah ada Renjun yang menuntut jawaban atas pertanyaan 'apa yang terjadi dengan adiknya?'

"Kau pikir sekali kematian akan cukup untuk menebus dosamu Kim Kibum dan seluruh penduduk desa? Kau tahu Lee Jinki bahkan rela mengorbankan apapun untukmu."

Kibum menghela nafasnya ia bahkan tak tahu lagi bagaimana caranya bernafas setelah mendengar pasukannya kembali dan mengatakan Jinki dan seluruh penduduk desanya tewas, kedua mata bulat dengan netra cokelatnya bahkan hampir mengering karena menangis setiap hari, pria yang dicintainya tewas ditangannya sendiri apa adalagi hal yang lebih menyakitkan daripada hal itu.

"Aku tahu kau tak akan mati begitu saja belasan tahun lalu Hyung.." Kedua mata bulat nan redup itu kembali menatap Renjun dari atas kepala hingga ujung kaki, mitos tersebut benar adanya.

Sang putra mahkota pernah mendengar bahwa mereka yang diserang oleh penghisap darah akan menjadi immortal atau tewas, sepertinya Renjun berada dalam opsi pertama, menyadari hal itu Kibum merasa ada harapan walau sedikit disana, harapan agar dosanya pada mereka yang tewas hari ini terbayarkan bahkan dikehidupan selanjutnya.

"Kau tetap hidup bahkan tak menua, kalau begitu... Bolehkah diriku meminta sesuatu padamu?"

Kibum menatap cangkir cawan dihadapannya kemudian kembali menatap Renjun yang masih berdiri dihadapannya. Anggaplah ini permintaan terakhirnya "... jika diriku kembali hidup dimasa depan bunuhlah diriku hingga itu cukup untuk menebus dosaku pada Jinki, pada seluruh penduduk desa tersebut, kumohon..."

Harapan Kim Kibum saat itu hanya satu, agar dia bisa menebus segala dosanya dan membayar kematian kekasihnya, Lee Jinki.

"Kumohon Hyung..."

Ucapan Kibum membuat kedua bola mata Renjun dan Jaemin membulat, terkejut. Bagaimana bisa permintaan itu keluar dari mulutnya?

Kibum mengambil secangkir teh dihadapannya dan menuangkan serbuk bubuk dari bungkus kertas kecil yang disimpan disakunya, membiarkan kertas kecil tersebut tergeletak diatas selembar kertas tipis yang bertuliskan sebuah pesan.

Kesedihan karena kehilangan kekasih.

"Kumohon..."

"Baiklah, kau bisa memegang ucapanku."

Seharusnya Renjun bisa mengatakan pada Kibum bahwa Jinki masih hidup bukan, setidaknya dia tahu kekasihnya masih hidup, begitu pikir Jaemin.

Putra mahkota tersenyum tulus pada Renjun "Terima kasih Hyung.." Dan tanpa pikir panjang Kibum segera meminum segelas teh tersebut hingga habis, membiarkan Renjun pergi dari kamarnya dan perlahan merasakan bagian dadanya terbakar sangat sakit hingga darah segar menetes keluar dari bibirnya dan kesadarannya menghilang.

Putra mahkota itu membunuh dirinya sendiri dihadapan Jaemin dan Renjun.

Melihat dirinya sendiri tewas dimasa lalu sama sekali bukan termasuk harapan yang Jaemin miliki sejak berusia dini. Dirinya tak tahu harus berbuat apa saat ini melihat pria yang serupa dengannya membiru dan menjemput ajalnya.

Kedua matanya terpejam, Jaemin berharap ia segera bangun dari alam ini dan kembali alamnya saja. Ia ingin menemui Jenonya berada disampingnya dan menjaganya.

Bruk!

Suara itu membuat Jaemin membuka kembali kedua matanya, namun dirinya tak lagi berada diistana, ia berada ditengah pasar di era Joseon. Netranya menangkap siluet dirinya dan Jeno berada dihadapannya tengah saling menatap satu sama lain.

"Boleh aku tahu siapa namamu?"

"Namaku?" Pria yang serupa dengan Jaemin itu tersenyum, mata bulatnya terlihat semakin manis saat senyuman lembut mengiringinya mengucapkan siapa namanya.

"Jaemin, Park Jaemin imnida."

"Jeno.. Lee Jeno Imnida..."

'Park Jaemin...' ia terkekeh pelan, entah mentertawakan takdir antara dirinya dan Jeno atau mentertawakan ucapan Jeno yang mengatakan bahwa Park Jaemin lebih lembut dari pada Na Jaemin.

Karena kini, ia melihat sendiri perbedaan diantara mereka. Bahkan air wajah mereka saja berbeda, Na Jaemin lebih tegas, Park Jaemin lebih lembut dan mudah tersenyum dengan riang.

Bahkan pertemuan pertama mereka dengan sosok Jeno terasa begitu berbeda.

Jaemin mengikuti kemana dirinya dimasa lalu melangkah, ia tanpa sadar berpindah tempat bahkan mungkin waktu karena saat ini Park Jaemin tengah berada ditaman bunga dalam istana, ia menghampiri seorang wanita yang membelakanginya lalu membungkuk memberi hormat.

"Apa permainsuri mencariku?"

Wanita itu berbalik perlahan dan berhasil membuat Na Jaemin terkejut setengah mati melihat wajah familiar dihadapannya, ia bahkan tak lagi bisa berpikir apa yang terjadi saat ini. Iapun tak lagi mendengar pembicaraan antara dirinya di masa lalu dengan Lami dimasa lalu.

Namun ia melihat dengan jelas bagaimana wajah Park Jaemin berubah menjadi tegas sambil menepis jemari permainsuri yang menyentuh wajah dan tubuhnya.

"Park Jaemin! Berani-beraninya kau..."

"Pertama, kau seorang permainsuri, kau adalah istri dari pemilik negara ini. Aku membantumu menjaga martabatmu Permainsuri."

"Dan yang kedua, diriku sudah memiliki seseorang dihatiku. Kau tak akan pernah bisa menyingkirkannya dari sana bagaimanapun caramu menggodaku."

"Permisi." Park Jaemin dengan berani memotong ucapan Permainsuri dihadapannya lalu segera pergi beranjak usai dirinya selesai mengucapkan kalimat panjang lebar tersebut.

Rasa kecewanya akan Kim Kibum yang egois dan lemah sedikit terobati saat melihat bagaimana tegas dan beraninya Park Jaemin dihadapannya barusan, namun entah mengapa Jaemin yakin hal yang barusan ia lihat akan menjadi permulaan dari hal buruk yang akan terjadi nanti.

Perkataan gadis tersebut dari masa lalu masih terngiang dikepalanya, seberapa besar keinginannya melindungi sang kekasih, itu hanya akan berakhir menyakitinya.

Dan benar saja, sekelilingnya berubah dalam sekejap ia melihat Mansion Lee dipenuhi oleh prajurit beberapa penghuni mansion sudah diperintahkan untuk pergi namun sebagian tetap bersikukuh tinggal untuk membantu melawan namun tewas sia-sia di pekarangan mansion, sebagian lagi tertangkap oleh bawahan pemerintah.

Ia melihat Jeno dan Jisung diantara para penduduk berniat untuk masuk kedalam namun seseorang menahan mereka, "Hyukjae Hyung.." gumamnya saat melihat Pria yang sangat serupa dengan Hyukjae Hyungnya mendorong Jeno dan Jisung pergi dari sana dengan bantuan penduduk yang menutupi kepergian mereka.

Dalam penglihatannya, pria berwajah seperti Hyukjae Hyungnya itu sempat menatap khawatir kearah Mansion sesaat sebelum benar-benar pergi bersama Jeno serta Jisung.

Kakinya bergerak maju namun dirinya justru berada ditempat gelap Jaemin tak melihat apapun dihadapannya hanya gelap, namun ia mendengar banyak suara di telinganya.

"Berhenti... Kau menyakiti orang yang tak bersalah. Jika Park Jaemin masalahmu kau bisa menyingkirkannya tidak perlu membawa anggota keluargaku."

"Perintah ini mutlak.. Akupun akan menyingkirkan Lee Jeno. Jika diriku tidak mendapatkan Park Jaemin dirinyapun begitu, mereka bisa bersama di neraka nanti."

Suara Lami dan Renjun berputar-putar dikepalanya, cara permainsuri mengatakannya membuatnya sekali lagi mengingat saat calon istri Kibumpun membuat Jeno menimpa kesalahan yang bukan sama sekali kesalahannya sama sekali dan hal yang sama terjadi lagi sekarang.

Jaemin jatuh berlutut sambil menutup telinganya kepalanya benar-benar terasa akan pecah mendengar ucapan itu berkali-kali berputar didalam kepalanya, ingatan ini terlalu menyakitkan baginya.

Tiba-tiba hening ia tidak lagi mendengar suara apapun, namun begitu matanya terbuka ia melihat Renjun berdiri dihadapannya menatapnya tajam.

Tangan kirinya sudah menggenggam erat busur sedangkan tangan kirinya sudah terdapat satu anak panah dengan ujung lancip.

"Aku bukan pengkhianat Jaemin-ah.. Aku hanya melakukan apa yang kujanjikan padamu, dikehidupanmu yang sebelumnya. Aku hanya ingin melindungi keluargaku."

Renjun menarik busur tersebut perlahan tubuhnya semakin menjauh dari Jaemin hingga yang ia lihat hanya anak panah yang melesat cepat ke dada kirinya menembus hingga ke punggung.

"Haaaaahh!!!!"

Jaemin terbangun hingga terduduk diatas kap mobil sambil meremas dada kirinya, ia bernafas tersengal-sengal kedua matanya terlihat memerah karena masih merasa sakit yang menusuk di dada kirinya.

"Kau sudah bangun?"

Kepalanya menoleh kearah sumber suara, netra coklatnya melihat Renjun yang menodongkan sebuah pistol tepat dikepalanya.

Entah airmata Jaemin menetes untuk siapa, tapi yang terlintas dikepalanya saat ini hanya Jeno, dua kehidupan lampau berapa kali dirinya menghancurkan Jeno. Dan ia tidak akan membuat prianya hancur lagi seperti dahulu.

Namun angan hanyala tinggal angan saat nyawanya kembali berada ditangan Huang Renjun.

"Kau.. ingin membunuhku lagi, Renjun... Hyung?"

Renjun sama sekali tidak menjawab pertanyaan Jaemin yang menatapnya, ia yakin pria itu sudah melihat semuanya, semua hal yang selama ini hanya disimpan olehnya sendiri.

Mengapa Jeno berarti baginya, karena pria itu adiknya. Dan bagaimana seorang Jaemin menghancurkan kehidupannya dan Jeno 2x, apa akan ada yang ke-3x jika Renjun membiarkan Jaemin tetap hidup?

"Kau sudah melihat semuanya Kibum-ah? Jadi seharusnya kau tahu, apa yang harus kulakukan padamu saat ini."

Jaemin menutup kembali matanya, ia sangat tahu permintaan apa yang dirinya minta pada Renjun dikehidupan lalu, pria ini sudah menuntaskan janjinya membunuh Jaemin dengan panahnya, mungkin kali ini timah panas ini akan melubangi kepalanya.

Tapi kali ini, dirinya yakin akan berbeda.

"Aku sangat mencintai Jeno, Hyung. Kumohon, kali ini. Aku akan benar-benar melindunginya. Kali ini, ijinkan aku yang melindunginya.."

Saat ini Jaemin benar-benar ingin menangis, dadanya terasa sesak sangat sesak, beruntung sekali dirinya hanya tewas selama ini setelah dirinya lahir ia tidak akan ingat apapun dalam kepalanya, kesalahan apa saja yang sudah dilakukan olehnya dimasa lalu sama sekali tak akan menghantuinya saat ini dikehidupan selanjutnya.

Bagaimana dengan Jeno? Dia bahkan tidak pernah benar-benar tewas, bagaimana jika ingatannya kembali? Bagaimana jika pria itu ingat siapa yang membunuhnya?

Bagaimana dengan Renjun? Dia tahu segalanya tentang apa yang terjadi dimasa lalu, pria itu menjadi saksi bisu betapa rumit hubungannya dengan Jeno, pantas saja Renjun begitu tidak menyukai kehadirannya saat itu.

Tak ada jawaban, Renjun menarik bagian atas pistol yang digenggamnya membuka kunci senjata api tersebut kemudian kembali menempelkan ujung pistol tersebut pada kepala Jaemin.

Renjun menarik pelatuk pistolnya tanpa ragu saat melihat Jaemin kembali meneteskan air matanya.

'Klik'

Pistol tersebut tidak meletus sama sekali, Renjun sudah mengosongkan peluru dalam pistol tersebut. Ia menarik lagi pelatuk pistol tersebut hingga 2x.

"Anggap aku sudah membunuhmu dikehidupan kali ini Na Jaemin. Kupegang kata-katamu, jangan sampai adikku terluka lagi karena ulahmu." Renjun melempar pistol dalam genggamannya kearah Jaemin lalu membuang selongsong peluru yang tadi mengisi pistol milik Jaemin keatas aspal, lalu melangkah pergi meninggalkan Jaemin.

Sedangkan pria itu perlahan menekuk kedua kakinya dan memeluknya dengan kuat "Argghh!!!!" jemari kanannya mengepal memukul kap mobil yang tengah didudukinya, ia berteriak kencang hingga tersedak tangisannya sendiri.

Dadanya kembali terasa sesak, kepalanya berdenyut sakit bagai diremas dengan kuat. Kenapa ia harus terlahir sebagai orang yang pernah menyakiti Jeno dengan cara seperti itu, kenapa??

Kenapa dirinya tetap berakhir kembali mencintai Jeno hingga dikehidupannya kali ini?

Twisted


Jeno beranjak dari kursi dalam kedai sushi milik Jisung ketika melihat mobilnya kini terparkir didepan restoran yang lebih suka disebut Kedai oleh adiknya.

Saat ini Jisung dan Chenle tak lagi menemaninya karena keduanya tengah disibukkan dengan pekerjaan mereka masing-masing, bagaimanapun Jisung tetap pemimpin sedangkan Chenle tetap pegawai.

Kakinya makin melangkah dengan cepat menghampiri Jaemin yang terlihat tak bersemangat turun dari mobilnya. "Jaemin-ah.. Apa yang terjadi? Kemana kau pergi? Apa kau tak apa-apa?" Jeno segera menangkup wajah Jaemin dan mengecek keadaan prianya.

Sedangkan Jaemin tak berniat menjawab apapun, ia menarik Jeno kedalam pelukannya dengan erat. Mengabaikan tatapan beberapa orang yang lewat didepan restoran dan mungkin akan memandang tak suka atau risih pada mereka.

"Jaemin-ah? Ada apa denganmu?"

"Mulai saat ini aku yang akan melindungimu, aku tak akan membiarkan hal apapun menyakitimu Jeno-ya."

Kedua alis Jeno bertaut bingung ia sama sekali tak mengerti maksud ucapan Jaemin padanya, dirinya tak perlu dilindungi bukan kecuali jika berhadapan dengan pemburu mungkin.

Jeno melepas pelukannya dengan Jaemin ia kembali menangkup wajah pria yang dicintainya itu, menatapnya lekat-lekat mencoba mencari masalah yang tengah menghinggapi Jaemin "Kau selalu melindungiku Jaemin-ah, jangan pernah berpikir kau tidak pernah melindungiku."

Bagi Jeno, dirinya sudah cukup dilindungi oleh Jaemin. Entah itu Park Jaemin ataupun Na Jaemin sama-sama memberikan nyawanya tanpa berpikir 2x untuk menolong Jeno. Ia tak ingin Jaemin lagi-lagi berdiri didepannya sebagai tameng, sudah cukup satu kali ia kehilangan Jaemin, sudah cukup rasanya ia diselamatkan oleh Jaemin.

Jaemin kembali memeluk Jeno, ia tak perduli ucapan apa yang keluar dari bibir Jeno karena ia tahu, semakin dirinya sekuat tenaga melindungi Jeno pria ini akan semakin terluka "Kalau begitu aku akan tetap melindungimu."

Kekehan kecil keluar dari bibir Jeno iapun mengangguk patuh dalam pelukan erat Jaemin "Apa kau lupa? Kau bodyguardku bukan? Tugasmu memang melindungiku." ia mengalah saja, dirinya sama sekali tak mengerti apa yang membuat Jaeminnya jadi seperti ini.

Ini bahkan pertama kalinya Jaemin tiba-tiba memeluk Jeno dan berkata semanis ini padanya, ingat bukan Jaemin itu sangat hemat berbicara bahkan dalam mengungkapkan ekspresi.

"Kau sudah pulang? Apa kau tahu Jeno-ssi sudah seperti orang gila mengkhawatirkan dirimu." suara Chenle dari balik tubuh Jeno membuat keduanya perlahan melepas pelukannya.

"Ya dia memang selalu mengkhawatirkanku.." Jaemin menepuk pelan wajah Jeno sebelum ia beranjak kedalam bersama Chenle, dirinya butuh asupan energi setelah perjalanan panjang dialam mimpinya tadi karena ulah Renjun.

Meninggalkan Jeno yang kini menatap mobil didepan sana sendirian, entah apa yang dipikirkannya. Namun Jeno menghela nafas sebentar sebelum menyusul keduanya masuk kedalam kedai sushi milik Jisung setelah mengatur kembali mimik wajahnya untuk kembali tersenyum seperti sebelumnya.

Twisted


Siang itu Jungwoo tengah disibukkan dengan beberapa pesanan di cafe milik Hyukjae, seperti biasa ia akan membantu di cafe jika Donghae dan Hyukjae tengah bertemu diluar atau pergi sebentar untuk makan bersama.

"Kau bisa melakukannya?" tanya Lucas dari balik tubuh Jungwoo yang terlihat lebih ramping daripada tubuh besar dan tinggi Lucas.

"Bisa, kau sudah mengajariku berkali-kali." jemari lentik Jungwoo sibuk meracik secangkir kopi saat ini bahkan sangat fokus dengan pekerjaannya tersebut hingga tak menyadari Lucas tengah terkekeh sendiri melihat betapa seriusnya Jungwoo meracik segelas latte dengan hiasan foam bergambar daun diatasnya.

"Lucas-ssi?"

"Ya?"

"Apa Hyukjae-ssi ada masalah? Tak biasanya ia meminta bertemu dengan Donghae-ssi tiba-tiba seperti hari ini."

Ini siang hari, sedangkan mereka sudah bertemu tadi pagi dan saat siang datang justru Hyukjae meminta bertemu lagi dengan Donghae secara tiba-tiba, jika dikatakan rindu? Apa iya Hyukjae tipe pria yang seperti itu? Ini pertama kalinya ia melihat Hyukjae meminta bertemu dengan Donghae dengan tiba-tiba.

"Ah itu... Mungkin karena permasalahan di panti kemarin siang."

Masih sibuk dengan pekerjaannya, Jungwoo tak menoleh sama sekali tapi dia tetap mendengarkan setiap kata yang diucapkan Lucas "Masalah?"

"Ya.. kemarin kami tutup lebih cepat dan pulang ke panti karena Siwon Hyung meminta kami untuk segera pulang."

Jungwoo menghentikan pekerjaannya ia meletakkan secangkir kopi yang sudah terlihat sempurna dengan hiasan foam susu diatasnya "Sebentar..." ia berbalik dan menatap Lucas penasaran "Kau... juga tinggal dipanti? Kupikir kau hanya pekerja paruh waktu disini?"

"Hahaha, bukan hanya dirimu yang berpikir seperti itu."

Jungwoo tersenyum ia lalu menepuk bahu Lucas "Tak apa menjadi penghuni panti, dirikupun juga tak memiliki orang tua." ia kemudian meraih gelas lain untuk membuat pesanan selanjutnya "Lanjutkan ceritamu."

"Begitu kami sampai, kami mendengar sedikit pertengkaran didalam. Lami, Siwon Hyung, dan Junmyeon Hyung tengah mengomeli Jaemin yang datang bersama Renjun-ssi."

Jemari Jungwoo berhenti bekerja "Renjun?"

"Ya.. Mereka membicarakan tentang kasus pembunuhan 20 tahun lalu, kemudian membicarakan tentang Jeno-ssi, bahkan Renjun mengucapkan hal aneh disana."

"Maksudmu?"

"Menjauhlah dari adikku dan Jaemin. Bisakah kau berhenti berada dikehidupan mereka seperti kehidupan masa lampau eoh! Berhenti memisahkan adikku dengan Jaemin... Begitu yang kuingat, selebihnya diriku kurang mendengarnya."

Jungwoo terdiam, jujur saja dia sendiri yang sudah mengenal Renjun seumur hidupnya sajapun tidak mengerti apa maksud ucapan pria yang terkenal sangat pendiam tersebut.

"Lalu apa kau tahu masalah apa yang terjadi diantara mereka?"

Lucas menggendikkan kedua bahunya "Kami datang seolah-olah tidak mendengar apapun, mereka pun tak mengatakan apapun pada kami."

Pikiran Jungwoo bercabang, entah mengapa ia yakin ada sesuatu yang dirahasiakan oleh Renjun seorang diri selama ini, namun mengapa Jaemin ikut serta dalam rahasia itu?

Bukankah semua penghuni mansion pun tahu kalau Na Jaemin adalah reinkarnasi Park Jaemin? Apa ada hal lain yang tak diketahui mereka namun diketahui oleh keduanya?

Donghae kembali melangkah menuju kursi taman sambil membawa segelas jus strawberry, minuman kesukaan Lee Hyukjae. "Ini minumanmu, apa sekarang kau sudah mau bercerita ada apa? Sejak tadi kau hanya diam saja, dan itu membuatku khawatir."

Tanpa semangat Hyukjae menerima minuman pemberian Donghae, ia kembali bersandar pada kursi taman dan menghela nafas pelan, ia menoleh pada Donghae sejenak "Donghae-ya.."

"Hm?"

"Kapan kau akan jujur padaku, tentang makhluk apa dirimu yang sebenarnya?"

Donghae terdiam, ia tak menyangka Hyukjae akan bertanya tentang hal itu sendiri secepat ini. Ia bahkan belum tahu harus mulai darimana menceritakan semuanya.

Sejak awal Hyukjae sudah tahu bahwa ada yang berbeda dari Donghae sejak mereka pertama kali bertemu di cafe, namun perlahan Hyukjae mengingatnya. Ia pernah bertemu dengan Lee Donghae 20 tahun lalu, ditaman yang tengah mereka datangi saat ini.

Awalnya dirinya tak ingin membahas tentang hal itu, ia pun tak perduli makhluk apa yang masih memiliki wajah sama setelah 20 tahun lamanya namun pembicaraan Jaemin dan saudaranya yang lain membuatnya kembali berpikir tentang siapa Donghae? Siapa Jeno? Siapa keluarga Lee itu? Apa dirinyapun benar dengan memiliki hubungan bersama Donghae? Karena Jaemin terlihat terjepit diantara saudaranya dan kekasihnya sendiri.

"Hyukie.. Kau.."

Hyukjae mengenggam jemari Donghae erat, "Biarkan aku yang memulainya.. tapi, berjanjilah kau akan menceritakan segalanya padaku. Aku ingin memastikan bahwa apa yang tengah diriku jalani bersamamu sama sekali tidak salah Donghae-ya."

Mau tak mau Donghae menganggukkan kepalanya, ia membalas genggaman erat Hyukjae pada jemarinya. Ia menunggu apa yang ingin prianya ucapkan padanya, lebih tepatnya sejak kapan Hyukjae sadar bahwa Donghae bukanlah manusia.

"Mungkin kau sudah lupa, tapi aku tidak akan pernah melupakan hari itu, 20 tahun yang lalu, ditaman ini.. Kita pertama kali bertemu Donghae-ya."

Kening Donghae berkerut, ia mencoba untuk menggali ingatannya sendiri akan kejadian 20 tahun lalu. Namun nihil, ditahun itu kasus yang melibatkan Jeno benar-benar menyita seluruh pikirannya.

Hyukjae terkekeh, Donghaenya memang sudah tua. Terbukti dari ingatannya yang sangat payah "Ahjussi... bisa bantu gendong aku?" Hyukjae mengucapkan sebuah kalimat yang berhasil membuat kedua mata Donghae membulat, terkejut.

Hyukjaenya...

20 tahun lalu, ditaman ini. Ketika Donghae tengah berdiri di tepi truck ice cream menunggu Jeno yang tengah sibuk mengantri untuk membeli dua cup ice cream tidak jauh darinya.

Saat itu Donghae melipat kedua tangannya di dada lalu berbalik badan membelakangi Jeno bersamaan dengan seorang anak kecil berjenis kelamin laki-laki berumur kira-kira 8 hingga 10 tahun berdiri dihadapannya karena hampir tertabrak oleh tubuh tinggi Donghae.

Anak itu mendongak dengan mata sipitnya menatap Donghae "Kau ingin kemana dengan makanan sebanyak itu, jika tidak berhati-hati kau bisa jatuh."

"Ahjussi... bisa bantu gendong aku?"

Donghae hampir menarik uratnya saat mendengar dirinya dipanggil ahjussi, bukankah seharusnya dia dipanggil Hyung saja sudah cukup?

"Tanganku tak sampai untuk mengantarkan pesanan ini kesana.."

Kedua mata anak kecil itu menoleh kearah kedai truck ice cream yang memiliki meja sangat tinggi, belum lagi dengan pintu truck yang tertutup rapat.

Mau tak mau Donghae menghela nafas dan menganggukkan kepalanya "Kau yakin mengantarkan ketempat yang tepat?" Tanya Donghae kembali memastikan sebelum dirinya mengorbankan dirinya untuk menggendong anak ini.

Kepala anak itu mengangguk dengan cepat, Donghae terkekeh pelan melihat tingkah menggemaskan anak itu walaupun dirinya sempat dipanggil Ahjussi sekalipun tadi.

Ia berjalan kearah belakang anak kecil tersebut kemudian menggendongnya dari belakang dengan mudah agar si pria kecil ini bisa sejajar dengan meja kedai truck.

"Ahjussi, ini pesananmu."

"Ah, terima kasih Hyukie. Maaf ahjussi lupa membuka pintu.."

"Tak apa Ahjussi."

Penjual ice cream tersebut menghentikan kegiatannya melayani pembeli untuk mengambil pesanannya lalu membayar pesanan tersebut "Ambilah kembaliannya untukmu menabung."

Si kecil bernama Hyukie itu tersenyum lebar "Terima kasih Ahjussi.."

Donghae yang melihat interaksi keduanya pun tak bisa menyembunyikan senyum dibibirnya, walau ia harus melihat kekehan kecil dari bibir Jeno karena melihatnya menggendong anak kecil.

"Kau hebat anak kecil." puji Donghae saat menurunkan pria kecil yang dipanggil Hyukie itu.

"Terima kasih Ahjussi.."

Hyukie tersenyum lebar memamerkan gummy smile khas miliknya membuat Donghae sempat terdiam sesaat. Namun sebuah permen yang disodorkan oleh anak kecil itu membuyarkan lamunannya.

"Untukku?"

"Mm!" kepala anak itu mengangguk dengan cepat, Donghae segera menerima pemberian permen tersebut.

"Akan kusimpan.."

"Kau tidak akan memakannya Ahjussi?"

Donghae menggeleng dan kembali tersenyum hangat "Karena ini pemberianmu aku akan menyimpannya dengan baik."

Walau dirinya hanya anak-anak namun mendengar pemberiannya begitu dihargai hatinya pun menghangat bahkan tersenyum lebih lebar lagi dan berhasil lagi-lagi membuat senyum dibibir Donghae kembali meredup.

"Hyukiee!!"

Keduanya menoleh saat pria kecil lain dikejauhan memanggil si anak yang berada dihadapan Donghae.

"Yaaa..." Hyukie melambai pada Donghae dan segera pamit untuk pergi meninggalkan Donghae yang rasanya belum puas melihat gummy smile anak kecil tersebut.

"Hyung.. Ini untukmu."

Kedatangan Jeno membuat Donghae mau tak mau menoleh terkejut, ia tak menyangka Jeno akan selesai lebih cepat daripada dugaannya. Ia mengambil satu cup ice cream lalu kepalanya kembali mencari dimana anak bergummy smile tadi namun nihil ia tidak melihat siapapun lagi. Kemana anak itu pergi??

"Siapa yang kau cari Hyung?"

Donghae masih berusaha mencari kesekeliling, namun tetap nihil. Ia tersenyum pada Jeno lalu menggelengkan kepalanya pelan "Tak ada, ayo kita berangkat."

Hari itu setelah ia mengantarkan Jeno ke bandara Donghae menyempatkan diri kembali ke taman itu untuk mencari anak kecil bergummy smile tersebut. Sarannya sendiri pada Jeno yang merasa familiar dengan tatapan mata anak kecil yang ditemuinya di taman tadi membuatnya ingin kembali menemui pria kecil dengan gummy smile lucu itu lagi.

Namun hingga langit menghitam ia tidak lagi melihat anak itu.

Bahkan 3 hari setelahnya, dirinya datang dengan Jungwoo untuk mencari si pria kecil dengan gummy smile tersebut, namum hasilnya tetap sama.

"Mungkin anak itu tidak menetap disini." ucap Jungwoo ikut menatap sekeliling namun hasil yang ia dapatpun sama.

Hari itu Donghae menelan harapannya bertemu lagi dengan anak kecil yang sudah mengusiknya hanya karena gummy smile yang sangat mirip dengan milik Eunhyuknya.

'Eunhyuk-ah..'

"Ayo kita kembali Jungwoo-ya."

Sejak sore itu Donghae dan Jungwoo tidak pernah lagi datang ketaman itu hingga 20 tahun berlalu, Donghae melewati taman yang sama ketika akan pergi menuju Jewel's cafe.

Sepersekian detik ia teringat akan anak kecil bergummy smile yang terlihat sangat mirip dengan Eunhyuknya, senyum mengembang dibibirnya memikirkan sudah seperti apa anak kecil itu setelah 20 tahun berlalu.

Donghae berdiri di depan cafe bertuliskan 'Jewel's' ia melangkah masuk kedalam ketika melihat punggung Jaemin yang dicarinya berada disana, ia hanya harus berbicara tanpa harus berlama-lama disini.

Namun suara seseorang membuatnya berhenti melangkah "Apa kau pekerja part time yang datang melamar?"

Suara itu seperti familiar dipendengarannya, tapi setelah ia pikirkan lagi beberapa rekan kerjanya pun memiliki suara yang hampir mirip satu sama lain, namun saat Donghae menoleh berniat untuk membantah ia terkejut bukan main.

Wajah yang ada dihadapannya, mata sipit yang tengah menatapnya, rahang tegas yang membingkai wajah pria dihadapannya membuatnya terdiam dan melemas disaat yang bersamaan.

Beruntung pria itu dan Jaemin segera membantunya untuk kembali bangkit berdiri lalu mendudukkan tubuhnya disalah satu kursi.

Namun mungkin Donghae tidak pernah menyadari bahwa bukan hanya dirinya yang terkejut hari itu, melainkan Lee Hyukjae pun merasakan hal yang sama.

Ia sampai tak bisa melepaskan tatapan matanya barang sedetikpun dari Donghae hingga Jaemin sampai menegurnya karena terus menerus menatap Donghae.

Pria dihadapannya ini, adalah orang yang membantunya 20 tahun lalu. Pria yang berkata akan menyimpan permen darinya, dan orang pertama yang membuat dadanya menghangat.

Tapi...

Mengapa dia masih terlihat sama dan tak berubah?

"Apa kau mengingatnya Donghae-ya? Ahjussi?"

Donghae masih terdiam hingga mulutnya sedikit terbuka, ia tak percaya bahwa sebenarnya ia sudah bertemu dengan Eunhyuknya sejak pria ini masih kecil. Instingnya tidak pernah salah memang.

"Jika aku tahu kau sudah menyadarinya sejak awal, aku tidak akan merahasiakan hal ini sekian lama Hyukie.."

"Jadi? Makhluk apa dirimu sebenarnya? Apa aku harus berhati-hati padamu? Atau aku bisa tetap berada disisimu Lee Donghae?"

Perlahan Donghae mengeratkan genggaman jemarinya dan Hyukjae, ia menautkan jemarinya dan prianya saling bersilang satu sama lain.

"Jika kukatakan, apa kau akan tetap bersamaku Lee Hyukjae? Karena diriku tak bisa lagi kehilanganmu dikehidupan ini."

Dada kiri Hyukjae berdebar kuat, ia mungkin saja sejak awal bisa menebak siapa dan makhluk apa Donghae, tapi mendengar langsung dari bibir Donghae... Hyukjae sejujurnya takut.

Namun, hal itu bukan yang diminta olehnya saat ini?

Siapa Donghae?

Dan... apa maksudnya, dia tak bisa lagi kehilangan Hyukjae?

"Aku.."

Perlahan Donghae mendekat pada telinga Hyukjae membisikkan identitas aslinya pada Hyukjae.

"... Penghisap darah."

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar